Hubungan DPR RI dan Presiden dalam Konstruksi Sistem Multi Partai Pada Pemerintahan SBY-Boediono Tahun 2009-2014

(1)

Hubungan DPR RI Dan Presiden Dalam Kerangka Sistem Multi

Partai Dan Sistem Presidensial Di Indonesia Tahun 2009-2014

SKRIPSI

Oleh :

LEONARD VARERA TAMPUBOLON NIM : 090906067

Dosen Pembimbing: Drs. P. Anthonius Sitepu, M.S

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVESITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSISAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

LEONARD VARERA TAMPUBOLON (090906067)

Hubungan DPR RI Dan Presiden Dalam Kerangka Sistem Multi Partai Dan Sistem Presidensial Di Indonesia Tahun 2009-2014

Rincian isi Skripsi, 97 halaman, 33 buku, 4 jurnal, 4 situs internet. (KIsaran buku dari tahun 1983-2014)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Hubungan DPR RI Dan Presiden Dalam Kerangka Sistem Multi Partai Dan Sistem Presidensial Di Indonesia Tahun 2009-2014. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisa dan mendeskripsikan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dalam konstruksi sistem presidensial pada nasa pemerintahan SBY-Boediono serta memahami hubungan antara kedua lembaga tersebut dalam konstruksi system presidensial pada pemerintahan SBY-Boediono. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku, surat kabar, majalah dan internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan presidensial mengakibatkan kurang efektifnya pemerintahan karena sering mendapatkan tekanan dari parlemen pada pemerintahan SBY-Boediono, sangat rawan dengan konflik akibat dari berbagai kepentingan partai politik di parlemen. Kombinasi antara sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia memiliki pengaruh destruktif. Khususnya pengaruh multi partai yang ada di pemerintahan (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), dinama beberapa pengaruh yang saya temukan dalam penelitian saya ini yaitu; pertama, sistem multi partai mempengaruhi rapuhnya ikatan koalisi di DPR. Kedua, control berlebihan DPR mengganggu efektifitas pemerintahan. Ketiga, hak preogartif presiden tereduksi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sistem multi partai kurang efektif di dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.


(3)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

FACULTY OF SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

LEONARD VARERA TAMPUBOLON (090906067)

Relations House of Representatives and the President in the framework of Multi-Party System And Presidential System In Indonesia Year 2009-2014

contents, 97 page, 33, books, 4 journal, 4 internet sites. (Range of books of the year 1983-2014)

ABSTRACT

This study tried to describe and analyze the facts about the relationship of Parliament and the President in the framework of Multi-Party System And Presidential System in Indonesia 2009-2014. The aim of the research is to analyze and describe the powers between the legislative and executive in the construction of the presidential system in the SBY-Boediono nasa and understand the relationship between these two institutions in the construction of the presidential system of government of SBY-Boediono. The data used in this study comes from books, newspapers, magazines and the internet. The analysis method used in this research is descriptive qualitative.

The results of this study indicate that the application of multi-party system in a presidential system of government resulted in a lack of effective government since often get pressure from parliament on the SBY-Boediono, very prone to conflict resulting from the various interests of political parties in parliament. The combination of multi-party system and the presidential system in Indonesia has a destructive influence. In particular, multi-party influence in the government (executive) and the House of Representatives (legislative), now where some of the effects that I have found in my research is that; The first, a multi-party system affect the fragility of the coalition in the House bonding. Second, excessive control the House disrupt the effectiveness of government. Thirdly, the right of the president preogartif reduced. From the results of this study concluded a multi-party system is less effective in a presidential system of government.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan DPR RI dan Presiden dalam Konstruksi Sistem Multi Partai Pada Pemerintahan SBY-Boediono Tahun 2009-2014”. Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikanpendidikan Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam skripsi ini mendeskripsikan hubungan kekuasaan antara Legislatif dan Eksekutif dalam konstruksi sistem presidensialisme pada masa pemerintahaan SBY-Boediono serta memahami Hubungan antara kedua lembaga tersebut dalam konstruksi sistem presidensialisme pemerintahan SBY-Boediono. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna. Oleh karena itu dengan kerendahan hati mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun intelektualitas untuk perbaikan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada;

1. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) USU berserta jajarannya

2. Terima Kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik (FISIP) USU

3. Terima kasih kepada Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si selaku dosen pembimbing yang setia memberikan saran, kritik, dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

4. Terima kasih buat kedua orang tua saya, Almarhum Bapak saya Mangiring Tampubolon yang sudah tenang bersama Tuhan Yesus Kristus di surga. Terima Kasih yang sangat besar juga saya sampaikan kepada ibu saya Madina Pakpahan yang selalu setia mendidik dan membimbing saya dari kecil dan selalu memberikan saya semangat dan dukungan baik secara moril maupun materi. Segala sesuatu yang saya dapatkan hingga saat ini adalah buah dari setiap doa mamak. Mungkin saya bukan anak yang baik tapi saya selalu ingin membuat mamak tersenyum. Semoga Tuhan selalu memberikan kesehatan dan rezeki kepada kita.

5. Terima kasih buat keluarga Mp Gultom/Lasmauli Tampubolon, S,pd yang selalu member saya motivasi dan dukungan. Dan juga terima kasih buat abang saya Aribarata Tampubolon, S,sos yang selalu membimbuing dan memberikan motivasi khususnya dalam kehidupan kampus.

6. Untuk para Bung dan sarinah GmnI Medan Raya baik senior-senior maupun kawan-kawan juang yang memberikan saya banyak ilmu dan pengalaman untuk lebih memaknai hidup dengan berjuang tanpa henti dalam mewujudkan mimpi. Semoga kita tetap menjaga api semangat dalam perjuangan ideologis kita


(5)

membela kepentingan rakyat marhaen. Sehingga nanti ke depannya GmnI Medan Raya tetap ada dan melahirkan Pejoeang Pemikir dan Pemikir Pejoeang dan setia di garis perjuangan Rakyat.

7. Untuk keluarga besar Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, terutama angkatan 2009, Ian, Jimmy, Bagus, Try Edo, Novie, Meilyska, Chastry Ertika,Andy, Samran, Desmond, Fredy, Albert Septian Simamora, Albert Samrey Sinurat , Alex, Hebron, Ben Rumapea, dan kawan-kawan yang lain yang tidak dapat satu sebutkan satu persatu namanya. 8. Untuk abang- abang dan kakak-kakak dan adik-adik saya dari departemen ilmu

politik yang selalu memberikan keseruan dalam pergaulan dan saran dalam mengerjakan skripsi.

9. Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik yang tidak bisa disebut satu persatu dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih setulusnya, mohon maaf kalau tidak saya sebutkan karena keterbatasan saya, tapi hormat dan ucapan terima kasih saya ucapkan dengan hati yang murni.

Penulis menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak, dimana skripsi ini masih kurang dan jauh dari kesempurnaan baik dalam pengumpulan data, pengolahan data, serta penyajiaannya. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan rmanfaat bagi para pembaca walaupun terdapat banyak kekurangan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan kembali banyak terima kasih bagi semua pihak yang telah memberi bimbingan, masukan, bantuan, dan dukungan selama proses pengerjaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Medan, Januari 2015


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 10

I.3 Pembatasan Masalah ... 10

I.4 Tujuan Penelitian ... 11

I.5 Signifikasi Penelitian ... 11

I.6 Konseptualisasi dan Teori ... 12

6.1 Sistem Pemerintahan ... 12

6.1.1 Sistem Pemerintahan Presidensial ... 13

6.2 Partai Politik ... 16

6.3 Sistem Kepartaian ... 20

6.3.1 Sistem Multi Partai ... 21

6.4 Parlemen Sebagai Lembaga Perwalian ... 22

6.4.1 Fungsi dan Wewenang Parlemen ... 24

6.5 Teori Checks and Balances ... 25

6.6 Teori Pemisahan Kekuasaan ... 27

I.7 Metodologi Penelitian ... 29

7.1Penelitian ... 30

7.2. Teknik Pengumpulan Data ... 30

7.3. Teknik Analisis Data ... 30

I.8. Sistematika Penulisan ... 31

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN II.1 Kekuasaan Eksekutif ... 33

II.2 Kekuasaan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) ... 39

II.3 Partai Politik Indonesia dan Sistem Kepartaian ... 43

3.1Partai Politik Indonesia ... 43

3.2 Sistem Kepartaian Indonesia ... 53

II.4 Hubungan Presiden dan Partai Politik ... 56


(7)

BAB III ANALISIS DATA

III.1 Pemerintahan SBY-Boediono ... 67 III.2 Hubungan Dewan Perwakilan Rayat dan Presiden dalam Konstruksi

Sistem Multipartai Pada Pemerintahan SBY-Boediono tahun

2009-2014... 75 BAB IV PENUTUP

VI.1 Kesimpulan ... 89 IV.2. Saran ... 93 DAFTAR PUSTAKA... 94


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 dan Perolehan Suara Tabel 2.2 Komposisi Pembagian Kursi di DPR hasil Pemilu 2009 Tabel 2.3 Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009-2014 Tabel 2.4 Kabinet Indonesia Bersatu II


(9)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSISAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

LEONARD VARERA TAMPUBOLON (090906067)

Hubungan DPR RI Dan Presiden Dalam Kerangka Sistem Multi Partai Dan Sistem Presidensial Di Indonesia Tahun 2009-2014

Rincian isi Skripsi, 97 halaman, 33 buku, 4 jurnal, 4 situs internet. (KIsaran buku dari tahun 1983-2014)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan dan menganalisis fakta-fakta tentang Hubungan DPR RI Dan Presiden Dalam Kerangka Sistem Multi Partai Dan Sistem Presidensial Di Indonesia Tahun 2009-2014. Tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisa dan mendeskripsikan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dalam konstruksi sistem presidensial pada nasa pemerintahan SBY-Boediono serta memahami hubungan antara kedua lembaga tersebut dalam konstruksi system presidensial pada pemerintahan SBY-Boediono. Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku, surat kabar, majalah dan internet. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem multi partai dalam sistem pemerintahan presidensial mengakibatkan kurang efektifnya pemerintahan karena sering mendapatkan tekanan dari parlemen pada pemerintahan SBY-Boediono, sangat rawan dengan konflik akibat dari berbagai kepentingan partai politik di parlemen. Kombinasi antara sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia memiliki pengaruh destruktif. Khususnya pengaruh multi partai yang ada di pemerintahan (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), dinama beberapa pengaruh yang saya temukan dalam penelitian saya ini yaitu; pertama, sistem multi partai mempengaruhi rapuhnya ikatan koalisi di DPR. Kedua, control berlebihan DPR mengganggu efektifitas pemerintahan. Ketiga, hak preogartif presiden tereduksi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sistem multi partai kurang efektif di dalam sebuah sistem pemerintahan presidensial.


(10)

UNIVERSITY OF NORTHERN SUMATRA

FACULTY OF SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

LEONARD VARERA TAMPUBOLON (090906067)

Relations House of Representatives and the President in the framework of Multi-Party System And Presidential System In Indonesia Year 2009-2014

contents, 97 page, 33, books, 4 journal, 4 internet sites. (Range of books of the year 1983-2014)

ABSTRACT

This study tried to describe and analyze the facts about the relationship of Parliament and the President in the framework of Multi-Party System And Presidential System in Indonesia 2009-2014. The aim of the research is to analyze and describe the powers between the legislative and executive in the construction of the presidential system in the SBY-Boediono nasa and understand the relationship between these two institutions in the construction of the presidential system of government of SBY-Boediono. The data used in this study comes from books, newspapers, magazines and the internet. The analysis method used in this research is descriptive qualitative.

The results of this study indicate that the application of multi-party system in a presidential system of government resulted in a lack of effective government since often get pressure from parliament on the SBY-Boediono, very prone to conflict resulting from the various interests of political parties in parliament. The combination of multi-party system and the presidential system in Indonesia has a destructive influence. In particular, multi-party influence in the government (executive) and the House of Representatives (legislative), now where some of the effects that I have found in my research is that; The first, a multi-party system affect the fragility of the coalition in the House bonding. Second, excessive control the House disrupt the effectiveness of government. Thirdly, the right of the president preogartif reduced. From the results of this study concluded a multi-party system is less effective in a presidential system of government.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia ini yang menanamkan pemahaman demokrasi sejak Indonesia merdeka. Demokrasi di Indonesia dari masa ke masa mengalami perubahan setiap zamannya. Hal ini ditandai oleh banyaknya sistem demokrasi yang dianut Indonesia hingga di era reformasi saat ini. Dengan adanya refomasi politik maka amat penting dilakukan reformasi sistem dan jumlah partai, serta budaya politik atas dasar paradigma baru yang sama sekali berbeda dan yang lebih baik. Maka setiap bentuk dan sistem partai politik harus berorientasi pada kepentingan nasional (bangsa), kepentingan seluruh rakyat, serta menghindarikan


(12)

kepentingan golongan. Dengan demikian berdirinya suatu pertain didasarkan atas prinsip keberpihakan kepada kepentingan bersama, kepentingan rakyat yang majemuk1

1

Al Chidar, 1 syawal 1419 H, Pemilu; Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta:Dalrul Falah, Hal 3

.

Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa Partai Politik. Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional. Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.


(13)

Partai-partai yang jumlahnya yang begitu banyak itu diakomodir dalam suatu sistem yang kita kenal dengan sistem multi-partai. Sistem multi-partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai yang dominan sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara cultural maupun secara sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen2

2

Ramlan Surbakti, 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : KPG, Hal,161-162

.

Pasca berakhirnya rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam konteks kepartaian ada tuntutan agar masyarakat mendapatkan kesempatan untuk mendirikan partai, atas dasar itu pemerintah mengeluarkan UU No.2/1999 tentang partai politik. Perubahan yang didambakan adalah suatu sistem dimana partai-partai tidak mendominasi kehidupan politik secara berlebihan, akan tetapi juga tidak memberikan peluang kepada eksekutif untuk terlalu kuat. Sebaliknya, kekuatan eksekutif dan legislatif diharapkan menjadi setara sebagaimana diamanatkan didalam UUD 1945. Partai politik tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Hal itu memungkinkan dalam sistem Kepartaian Indonesia yaitu sistem kepartaian multi partai yang kompititif.


(14)

Pada pemilihan umum 1999 jumlah partai politik yang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu adalah 48 partai politik, dimana perolehan suara sepuluh besar dalam pemilu 1999 yaitu: PDIP dengan 33,11% suara dengan 153 kursi, Partai Golkar dengan 25,97% suara dan 120 kursi, PPP dengan 12,55% suara dan 58 kursi, PKB dengan 11,03% suara dan 51 kursi, PAN dengan 7,35% suara dan 34 kursi, PBB dengan 2,81% suara dan 13 kursi, Partai Keadilan dengan 1,4% suara dan 7 kursi, PKP dengan 1,0% suara dan 4 kursi, PNU dengan 0,6% suara dan 5 kursi, PDKB dengan 0,5% suara dan 5 kursi.3

Pada pemilihan umu tahun 2004 yang lolos verifikasi ada 24 partai politik. Dimana hasil pemilu 2004 yang menempati sepuluh besar yaitu: Partai Golkar dengan 21,58% suara dan 128 kursi, PDIP dengan 18,53 suara dan 109 kursi, PKB dengan 10,57% suara dan 52 kursi, PPP dengan 8,15% dan 58 kursi, Partai Demokrat 7,45% suara dan 57 kursi, PKS dengan 7,34% dan 45 kursi, PAN dengan 6,44% suara dan 52 kursi, PBB dengan 2,62% suara dan 11 kursi, PBR dengan 2,44% suara dan 13 kursi, PDIP yang memperoleh suara palingbanyak, ternyata tidak dapat menjadikan Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDIP) menjadi presiden RI yang keempat. Dengan adanya koalisi partai islam dan beberapa partai baru yang menjadi kubu tersendiri di DPR, yang dikenal sebagai poros tengah, posisi PDIP menjadi lemah. Pada saat itu koalisi partai-partai islam berhasil memenangkan KH. Abdurrahman Wahid dari PKB yang hanya memperoleh 51 kursi di DPR menjadi Presiden Keempat RI.

3

Sigit Pamungkas, 2011, Partai politik Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta; Institute of Democracy and Welfarism (IDW), Hal; 183


(15)

serta PDR 2,13% suara dan 12 kursi.4

Pemilihan umum selanjutnya adalah tahun 2009 yang terdapat 38 partai politik nasional. Dimana hasil pemilihan umum tahun 2009 yaitu: Partai Demokrat dengan 28, 85% suara dan 150 kursi, Partai Golkar dengan 14,45% suara dan 107 kursi, PDIP dengan 14,03% suara dan 97 kursi, PKS dengan 7,88% suara dan 57 kursi, PPP dengan 5,32% suara dan 37 kursi, PKB dengan 4,94% suara dan 27 kursi, Partai GERINDRA dengan 4, 46% suara dan 26 kursi, serta Partai HANURA dengan 3,77% suara dan 18 kursi.Dari hasil pemilu tahun 2009, perolehan suara Partai Demokrat mencapai 300 persen . partai yang belum genap satu dasawarsa ini tidak hanya mampu melipatgandakan perolehan sura partai sajtetapi sekaligus mengalahkan partai-partai besar yang selama ini mendominasi politik kepartaian pasca reformasi. Partai Golkar dan PDIP turun drastis dan berada dibawah perolehan suara Partai Pemilu tahun 2004 merupakan pemilihan umum pertama di Indonesia yang presiden dan wakil presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Dimana menurut pasal 5 UU No.23 tahun 2003 tentang syarat partai politik mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah 15% jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu legislatifhal ini jelas bahwa hanya Partai Gokar dan PDIP yang dapat mencalonkan Presiden dan wakil presiden sendiri. Namun faktanya justru Partai Demokrat yang hanya memperoleh 7,45% suara berhasil menghantarkan Ketua Dewan Pembinanya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Kelima RI dengan dibantu koalisi PKS, PBB, PKPI.

4


(16)

Demokrat. Begitu pula pada pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan yang di usung oleh Partai Demokrat dan koalisinya Sosilo Bambang Yudhoyono-Boediono juga mampu mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.5

Sistem presidensial merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif, dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan menggantikan posisinya. Dalam sistem presidensial, pemilu diadakan dua kali pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua untuk memilih presiden.6

Sejarah pemerintahan presidensial Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi negara. Pelembagaan sistem presidensial itu dimulai bersamaan dengan kelahiran Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Tepatnya sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI, UUD sebagai konstitusi tertinggi yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejak 18 Agustus 1945, sistem presidensial secara resmi dilembagakan melalui

5

Sigit Pamungkas, Ibid, Hal; 201 6


(17)

konstitusi.7

Sistem kepartaian berhubungan erat dengan stabilitas dan instabilitas pemerintahan. Hal ini terkait erat dengan kompatibilitas dengan sistem pemerintahan, sistem dua partai sering disebut sebagai sitem kepartaian yang paling ideal untuk semua sistem pemerintahan, baik sistem presidensial maupun sistem parlementer. Sedangkan sistem multi partai hanya cocok pada sistem parlementer. Sistem multi partai dengan sistem presidensialisme dianggap kombinasi yang tidak sesuai. Sistem multi partai dalam pemerintahan presidensialisme berakibat rendahnya keberlanjutan stabilitas demokrasi.

Sistem presidensial yang digunakan oleh UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar bagi presiden, disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, presiden juga memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Hal ini tercantum pada pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen.

8

Bagaimana dengan Indonesia yang menggunakan sistem multi partai dan sitem pemerintahan presidensialisme? Ada beberapa persoalan yaitu; pertama, upaya membatasi jumlah partai peserta pemilu agar tidak terlampau banyak sulit dicapai. Kedua, sistem check and balance menjadi tidak terwujud atau tidak jelas. Pemerintahan diisi beberapa wakil dari parpol, tetapi tidak tergabung dalam koalisi yang permanen. Begitu pula pihak oposisi. Tidak ada koalisi oposisi yang mantap. Akibatnya, kebijakan pemerintah acapkali ditolak oleh parpol yang notabene punya wakil di kabinet. “Koalisi” Parpol bersatu tergantung pada isyunya. Ketiga,

7

Hanta Yuda, Ibid¸ Hal: 78 8


(18)

terwujudnya persaingan dan kerjasama parpol yang tidak jelas. Bayangkan, parpol-parpol di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten tidak diisi atau didukung oleh parpol-parpol yang sama. Kabinet didukung oleh parpol-parpol yang di beberapa provinsi bersaing menjadi lawan dalam pemilihan kepala daerah.

Pada pemerintahan yang dibangun oleh Susilo bambang yudhoyono-Boediono atau pada sistem presidensial tahun 2009-2014. Presiden masih terjebak dalam logika politik insentif. Dimana presiden menggunakan model trnsaksionla, dimana loyalitas dukungan dari partai koalisi ditukar dengan akomodasi posisi dalam kabinet pemerintahan. Sehingga posisi dalam kabinet adalah insentif untuk loyal. Model insentif itu ternyata tidak selamanya berhasil karena dalam perjalanannya, partai koalisi justru seringkali terbelah dalam menyikapi kebijakan presiden. Itu artinya dukungan dari kubu-kubu partai yang berkoalisi terhadap inisiatif kebijakan presiden berubah-ubah dan tidak bersifat permanen. Bahkan, partai-partai koalisi seringkali terlibat dalam pusaran konflik dalam proses pengambilan keputusan di parlemen.

Dalam konteks semacam itu, Presiden SBY sering kali mengambil dua pilihan strategis: pertama, mengancam untuk menghukum (punishment) partaiyang tidak loyal untuk dikeluarkan dari kabinet pemerintahan. Kedua, memperbesar politik akomodasi (insentif) dalam pembagian kekuasaan sehingga partai koalisi tetap loyal dengan kebijakan presiden. Kedua strategi ini ditunjukan dengan wacana reshuffle kabinet serta akomodasi kepentingan partai koalisi dalam Sekretariat Gabungan (Setgab), sampai saat ini, penggunaan ancaman untuk membangun kepatuhan partai koalisi, hanya menghentikan keributan, tetapi tidak sepenuhnya efektif. Dalam


(19)

momen berikutnya, partai-partai tetap saja bermanuver di parlemen dengan beragam kepentingannya.9

Sementara itu, sistem multi partai yang kita anut dapat menyebabkan ketidakharmonisan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang bisa mengarah pada kebuntuan antar kedua lembaga tersebut apabila yang menguasai lembaga kepresidenan dan yang menguasai lembaga legislatif berasal dari partai yang berbeda. Salah satu kelemahan sistem dalam hal ini adalah ketegangan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Jika presiden mewakili partai lan, maka kesempatan presiden untuk bisa menyelesaikan kegiatan sesuai dengan UU akan terlambat sekalipun keadaan yang terbaik ia tetap saja membutuhkan para politisi di parlemen.

Kondisi pemerintahan presidensial di Indonesia pada periode 2009-2014 yang tidak stabil dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan UUD 1945 tentang sistem presidensial di Indonesia. Koalisi kabinet yang terbangan di Indonesia pada priode ini merupaka koalisi yang sifatnya sementara dan pragmatis karena hanya didasarkan pada kepentingan partai politik.koalisi yang terbangun bukan didasari oleh ideologi atau persamaan tujuan dan cita-cita partai tersebut. Hal tersebut yang membuat penulis tertarikuntuk meneliti tentang Bagaimana Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014

9

http://budisansblog.blogspot.com/2013/03/koalisi-dan-ketidakberdayaan-presiden.htm., diakses pada tanggal 17 November 2013 Pukul 16:22


(20)

I.2. Perumusan Masalah

Pada sistem presidensial yang dijalankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini, yang telah berjalan 10 tahun dinilai tidak efektif. Dalam pemerintahannya Pressiden Susilo Bambang Yudhoyono membangun suatu koalisi untuk memperkuat kekuasaannya. Koalisi yang dibangun memunculkan sebuah anomali sistem politik di Indonesia dan itu terus berlansung dalam pemerintahan SBY priode 2009-2014. Anomali yang dimaksud ialah sistem presidensial berjalan seiring multipartai. Partai politik bahkan cenderung menjadi dominan. Hal itu dapat dilihat dari proses pemilihan umum presiden yang dinilai sangat brgantung pada pemilihan legislatif. Maka yang menjadi perumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014.?

I.3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk kedalam masalah penelitian dan faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut. Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraisan yang sitematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis yaitu :


(21)

1. Faktor tebentuknya partai-partai koalisi yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Indonesia 2009-2014

2. Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014.

I.4. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana sistem multi-partai di Indonesia 2. Memahami bagaimana sistem presidensial di Indonesia

3. Mendeskripsikan dan memahami bagaimana Bagaimana Hubugnan DPR RI dan Presiden dalam Kerangka Sistem multi partai dan sistem presidensial di Indonesia tahun 2009-2014

I.5. Signifikansi Penelitian

1. Secara pribadi penelitian mampu mengasah kemampuan peneliti dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.


(22)

2. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai Partai Politik dan sistem Pemerintahan.

3. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik, dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fisip USU.

I.6. Konseptualisasi dan Teori 6.1 Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan diartikan sebagai tatanan yang terdiri dari komponen pemerintahan yang saling mempengaruhi dalam pencapaian tujuan dan menjaa pemerintahan. Sistem pemerintahan mempunyai sistem dan tujuan untuk menjaga kestabilan suatu Negara itu. Secara luas berarti sistem pemerintahan itu menjaga kestabilan masyarakat, menjaga kekuatan politik, pertanahan, ekonomi, keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu dan demokrasi dimana seharusnya masyarakat busa ikut turut andil dalam pembangunan sistem pemerintahan tersebut. Secara sempit, sistem pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan guna menjaga kestabilan Negara dalam waktu relatif lama dan mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyat itu sendiri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada satupun sistem pemerintahan suatu neara ynag benar-benar sama dengan sistem pemerintahan nagara yang lainya, jadi


(23)

oleh karena itu sering kita temui hanyalah perbandingan pemerintahan dengan patokan-patokan perbandingan tertentu. Namun dapat juga digolongkan kedalam beberapa sistem pemerintahan yang ada di dunia sekarangini. Pengelompokan sistem pemerintahan ini tidak lain untuk lebih jauh melihat perbedaan dan kesamaan dari berbagai sistem pemerintahan, dengan mengetahui tolak ukur pertanggungjawaban pemerintah suatu negara terhadap rakyat yang diurusnya.

6.1.1 Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam sistem presidensial peran dan karakter individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik. Oleh karena itu, jabatan presiden hanya dijabat oleh seorang yang dipilih rakyat dalam pemilu yang berarti presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. Dalam sistem ini presiden presiden dipilh oleh rakyat maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung jawab kepadan rakyat sehingga kedudukan eksekutif tidak bergantung pada parlemen. Sebagai kepala eksekutif presiden menunjuk pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para menteri tidak bisa dihentikan oleh parlemen.

Komposisi kabinet dalam sistem presidensial bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai politik yang berarti sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri tidak didasrkan pada latar belakang politik


(24)

tetapi pada penilaian visi, pengetahuan dan kemampuan mengelolah departemen. Dalam sistem presidensial, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang langsung oleh presiden. Selaku kepala negara presiden adalah simbol representasi negara atau simbaol pemersatu bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab penuh pada jalannya pemerintahan.

Prinsip-pronsip dasar atau ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu10 1. Majelis tetap menjadi majelis saja, tidak ada peleburan fungsi eksekutif

da legislatif

:

2. Ekssekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Presiden dipilih untuk masa jabatan yang pasti, dan dibatasi untuk beberapa kali masa jabatan

3. Kepala pemerintahan adalah kepala Negara

4. Presiden mengangkat kepala departemen/menteri yang merupakan bawahannya

5. Presiden adalah eksekutif tunggal, pemerintahan presidensial cenderung bersifat individual

6. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya

7. Eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi. Majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan atau mosi tidak percaya

10


(25)

8. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Majelis tidak dapat mencopot presiden dari jabatannya, begitupun presiden tidak dapat membubarkan majelis. Sistem ini merupakan sistem check and balance. Sistem ini memperlihatkan kesalingtergantungan antara eksekutif dengan legislative

9. Majelis bekedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dengan legislative seperti dalam sebuah parlemen. Badan eksekutif dan legislative akan saling mengawasi dan mengimbangi dan tidak satupun yang lebih dimonan 10.Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih,

pemerintah presidensial bergantung pada suara rakyat, apabila anggota majelis mewakili konstituennya, maka presiden mewakili seluruh rakyat

11.Tidak ada fokus atau konsentrasi kekuasaan dalam sistem politik, yang ada adalah pembagian atau fragmentasi kekuasaan.

Matthew Soberg Shugart menyatakan bentuk murni dari presidensial adalah11 1. Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih oleh rakyat secara

langsung dan ia merupakan “Kepala Eksekutif”

:

2. Posisi eksekutif dan legislatif didefenisikan secara jelas dan keduanya tidak sling bergantung

11


(26)

3. Presiden memilih dan mengarahkan cabinet dan memiliki sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif dan legislative adalah transsksional. Keduanya independen satu dengan lain karena dipilih rakyat lewat dua pemilu yang berbeda. Posisi legislative tidak lebih tinggi disbanding eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun, eksekutif dan legislative terlibat dalam hubungan pertukaran (transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan politik bergantung dengan permasalahan yang mengemuka.

Sesuai amanat konstitusi hasil amandemen, sistem pemerintahan yang kini berlaku di Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial. Konstitusi itu sendiri tidak secara eksplisit menyebut istilah sistem presidensial dalam keseluruhan batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia. Secara subtansial hampir semua prindip pokok sistem presidensial memang telah dianut oleh konstitusi Indonesia, terlepas dari persoalan bahwa konstitusi merupakan hasil dari amandemen12

Banyak ahli yang mendefenisikan arti dari partai politik seperti “Carl Friedrich”, ia mendefenisikan partai politik ialah sekelompok manusia yang terorganisir yang stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan

.

6.2 Partai Politik

12

Syamsudin Haris, Partai, Pemilu, dan parlemen Era Reformasi, 2014, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, hal: 5


(27)

pemerintahan bagi pimpinan partai dan berdasarkan penguasaan ini akan memberikan manfaat bagi anggota partainya, baik idealisme maupun kekayaan material serta perkembangan lainnya13. Sedangkan menurut “Miriam Budiarjo” partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka14

Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi partai politik

.

Berdasarkan defenisi-defenisi para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa partai politik merupakan sekelompok orang yang mempunyai tujuan yang sama dalam sebuah lembaga yang memiliki orientasi untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan agar dapat mewujudkan kebijakan-kebijakan sesuai dengan cita-cita partai tersebut.

15

Sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialiasasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh

:

a. Sosialisasi Politik

13

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Hal: 160

14

Miriam Budiardjo, Op,.cit,. hal 160

15


(28)

baik secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal, dan informal maupun secara tidak sengaja melalui kontak dan pengalaman sehari-hari, baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat.

b. Rekrutmen Politik

Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakala partai ini merupakan partai mayoritas dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

c. Partisipasi Politik

Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin


(29)

tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi, partai politik merupakan wadah partisipasi politik.

d. Agregasi Kepentingan

Dalam masyarakat, terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acapkali bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi mutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dengan kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan.Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan, maka partai politik dibentuk.

e. Komunikasi Politik

Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik dinegara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi


(30)

dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Keduanya dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam sistem politik demokrasi.

Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak langsung menyampaikan informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat keperintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi dapat dengan mudah memahami dan kemudian memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

f. Pengendalian Konflik

Konflik yang dimaksud disini adalah dalam arti luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan. Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik.

6.3 Sistem Kepartaian

Secara umum terdapat tiga pendekatan umumyang menjelaskan terbentuknya sistem kepartaian, yaitu pendekatan institusional, pendekatan sosiologis, serta pendekatan tabula rasa. Pendekatan institusional dibangun dengan asumsi utama


(31)

bahwa sistem kepartaian dikonstruksi oleh sistem pemilu. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Duverger (1946), ia menyebutkan bahwa pada sisstem pluralitas/mayoritas akan membentuk sistem dua partai, sedangkan pada sistem proporsional akan cenderung membentuk sistem multi partai.

Dengan mengacu pada pemikiran Duverger dapat dikatakan sistem proporsional mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Situasi itu akan sangat mempengaruhi bagaimana konsensus atau konfrontasi antara badan legislatif dengan badan eksekutif.16

Sistem multi partai merupakan suatu sistem yang terdiri atas lebih dari dua partai politik yang dominan. Sistem ini merupakan produk dari struktur masyarakat yang majemuk, baik secara kultural maupun sosial ekonomi. Setiap golongan dalam masyarakat cenderung memelihara keterikatan dengan asal usul budayanya dan memperjuangkan kepentingan melalui wadah politik tersendiri karena banyak partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melaui pemilihan umum, yang terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen

Berdasarkan pendekatan diatas, jika dilihat dari sistem kepartaian Indonesia termasuk kedalam negara yang menggunakan sistem kepartaian multi partai sesuai dengan sistem proporsional yang digunakan dalam sistem pemilu di Indonesia.

6.3.1 Sistem Multi Partai

17

16

Sigit Pamungkas, Opcit, Hal; 50-51 17

Ramlan Surbakti, Op,.cit,hal 161-162


(32)

Penyebab adanya sistem multi partai ini adalah karena adanya aneka ragam suku, agama, ras, dan golongan yang ada dalam suatu negara. Dalam sistem multi partai, jika tidak ada partai yang meraih suara mayorritas, maka terpaksa dibentuk pemerintahan koalisi. Penentu suara, mayoritas adalah setengah tambah satu dari jumlah anggota parlemen.

Pola multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang (proportional representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan partai dan golongan-golongan kecil. Melalui sistem ini partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan18

18

Miriam Budiardjo. 1996. Demokrasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hal. 210

.

6.4 Parlemen Sebagai Lembaga Perwalian

Teori perwakilan politik, Alfred de Grazio mengemukakan bahwa perwakilan diartikan sebagi hubungan dimana dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya. Perwakilan dalam pengertian bahwa seseorang melakukan tindakan baik yang diperuntukan kepada orang lain. Keterwakilan politik diartikan sebagai terwakilnya kepentingan anggota masyarakat oleh wakil-wakil mereka di dalam lembaga parlemen dan proses politik.


(33)

Dalam negara modern dewasa ini, raktyat menyelenggarakan kedaultan yang dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilhnya. Parlemen dinegara demokrasi disusun sehingga mewakili mayoritas dari rakyat. Anggota-anggota parlemen umumnya mewakili rakyat melalui partai politik (political representation). Dengan demikian masyarakat adalah pihak yang diwakili yang mennyerahkan kekuasaan atau mandat untuk mewakili kepentingannya kepada lembaga perwakilannya dalam proses politik dan pemerintahan. Bekerjanya peran dan fungsi badan perwakilan rakyat di satu pihak ditentukan oleh eksistensinya sebagai suatu lembaga politik dan dipihak lain ditentukan oleh perwujudan sebagai organisasi yang mewadahi proses politik. Legislatif adalah struktur politik yang berfungsi menbuat undang-undang. Dimasa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representation (Amerika Serikat), atau House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilh melalui pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik19

Parlemen dipandang tidak hanya sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokrasi, melainkan lebih dipandang sebagai lembaga yang menjalankan tugas pelaksana kedaulatan rakyat secara luas yakni melaksanakan kerja-kerja kontinui termasuk melaksanakan pengawasan terhadap presiden dan pemerintah. Jika dilihat parlemen sebagai pelaksana fungsi legislasi yang melibatkan kerja sama dengan eksekutif maka hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dapat dihubungkan dalam dua kelompok peranan. Pertama, peranan yang bertujuan

.

19


(34)

menyalurkan kepentingan dan partisipasi rakya. Kedua, peranan yang bermakna bagi pemupukan kewibawaan eksekutif atau memberikan legitimasi kepada lembaga eksekutif. Implementasi dari peranan tersebut dapat mengarahkan interaksi parlemen dengan eksekutif kepada situai konfrotatif atau saling memperlemah atau meletakkan parlemen dan eksekutif dalam jalur yang searah dan daling memperkuat.

6.4.1 Fungsi dan Wewenang Parlemen

Diantara fungsi badan legislatif yang piling penting adalah menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat diberi hak inisiatif yaitu hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah. Selain itu berfungsi mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Pengawasan dilakukan melalui sidang panitia legislatif dan melalui hak-hak kontrol yang khusus seperti20

a. Hak Interpelasi

:

Badan legislatif memiliki hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaanya dalam suatu bidang. Dalam hal dipergunakannya hak interpelasi ini oleh DPR, presiden berkewajiban memberikan penjelasan dalam sidang plen. Pada sistem pemerintahan presidensial diterima atau tidaknya penjelasan tesebut tidak memberikan

20

Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong , Fungsi Legislatif dalam Sistem politik Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993, hal: 184-186


(35)

dampak langsung terhadap kedudukan presiden. Apabila keterangan yang diberikan eksekutif kurang memuaskan maka hal ini merupakan tanda peringatan bagi pemerintah bahwa kebijaksanaanya diragukan.

b. Hak petisi

Bebeda dengan hak interpelasi pertanyaan biasanya tidak diikuti oleh perdebatan terbuka karena sifatnya yang hanya mengharapkan jawaban sesuai dengan materi jawabannya. Pertanyaan tersebut dapat diajukan baik lisan maupun tulisan kepada pihak pemerintah untuk kemudian diberikan jawaban atas pertanyaan tersebut yang dapat dilakukan secara lisan dan tulisan.

c. Hak Angket

Hak angket adalah hak anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Dalam pelaksanaan penyelidikan tersebut, legislatif yang mengajukan akan membentuk suatu panitia angket yang akan melaporkan hasil penyelidikannya kepada seluruh anggota legislatif yang bersangkutan.

6.5 Teori Checks and Balances

Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain.


(36)

Butterworths Concise Australian Legal Dictionary mendefinisikan Checks and Balances sebagai berikut; “A system of rules diversifying the membership of, and mutually countervailing controls interconnecting the executive, legislative, judicial branches of government, designed to prevent concentration of power within any one branch at the expense of the others.”

Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar.

Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yakni, pertama, pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu. Kedua, adanya pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan. Prinsip pemisahan kekuasaan membagi tanggungjawab pemerintahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi disini memiliki fungsi mencegah cabang-cabang kekuasaan dari penyalahgunaan kekuasaan, seperti penyalahgunaan untuk tujuan-tujuan khusus , dan kompromi politik. Sebagai ilustrasi bisa dilihat dari uraian berikut; undang-undang dibuat atas persetujuan bersama DPR dan Presiden sebagai implementasi fungsi legislasi. Namun cabang kekuasaan yudikatif dapat membatalkan produk hukum tersebut dengan fungsi judicial review


(37)

yang dimilikinya yakni hak untuk menguji apakah suatu undang-undang berlawanan dengan konstitusi

Implikasi prinsip pemisahan kekuasaan ini adalah kedua lembaga tidak dapat saling menjatuhkan secara politik. Parlemen memiliki kemandirian karena tidak ada ancaman pembubaran parlemen oleh presiden. Sebaliknya preiden pun secara kelembagaan lebih mandiri karena tidak mudah dijatuhkan.

Fungsi utama parlemen dalam sistem presidensial adalah melaksanakan fungi pengawasa, fungsi legislasi, fungsi anggaran. Instrument yang dapat digunakan paarlemen untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan secara efektif adalah hak-hak yang dimiliki oleh anggota parlemen, misalkan hak angket, hak interpelasi, dan hak petisi. Semua hak tersebut sangat penting sebagai instrument untuk menjalankan fungsi pengawasanterhadap jalanya pemerintahan.21

Setiap orang yang telah dengan jelas mengetahui tentang teori pemisahan kekuasaan, tentunya sangat mengenal dengan akrab nama Montesquieu yang merupakan filsuf Perancis pencetus doktrin pemisahan kekuasaan ( separation of power ) dengan teori yang dinamakan dengan Trias Politica.

6.6 Teori Pemisahan Kekuasaan

22

21

Hanta Yuda,,Op.cit. hal: 20 22

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 374

Menyusul setelah lahirnya teori tersebut kemudian menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia, baik dalam bentuk diskusi baik langsung maupun secara tidak langsung serta menghiasi


(38)

berbagai buku yang merupakan karya-karya para ahli terutama yang bergerak di bidang ketatanegaraan. Tentunya sampai sekarangpun berkaitan dengan teori Trias Politica ternyata masih banyak yang mendiskusikannya bahkan menjadi sebuah perdebatan hangat di seputar kenegaraan, baik dalam bentuk dukungan sepenuhnya terhadap gagasan tersebut maupun yang tidak menyetujuinya terutama terhadap gagasannya tentang adanya pemisahan mutlak terhadap kekuasaan ( separation of power ).

Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.23

Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and

23

Ahmad suhelmi,Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 Hal: 226-228


(39)

balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

I.7 Metodologi Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif. Metode deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang bardasarkan fakt-fakta yang tampak sebagaimana adanya24

Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, seta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan sosial. Karenanya pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan pengujian hipotesa seperti yang dilakukan pada penelitian ekspalanatif berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan perbendaharaan teori.

.

25

24

Hadawari Nawawi, 1987, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Yogjakarta: Gajah Mada University press, hal 63

25

Sanafiah Faisal, 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Hal. 20.


(40)

7.1 Jenis Penelitian

Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitaif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodelogi kualitaif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.26

Teknik data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif, dimana teknik ini melakukan analisa atas

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

7.2. Teknik Pengumpulan Data

Data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik dokumentasi. Data-data yang bersumber dari beragam media (buku, jurnal, buletin, majalah, skripsi, dan sebagainya) yang relevan dengan topik penelitian tersebut setelah dihimpun kemudian dipilah melalui proses pembacaan yang cermat dan pencatatan dalam rangka untuk menemukan data-data pokok yang dinilai sebagai bahan utama penelitian yang akan mempermudah penulis dalam melakukan langkah-langkah (proses) penelitian selanjutnya.

7.3. Teknik Analisis Data

26


(41)

masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan

I.8. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas dan lebih terperinci serta untuk mempermudah isi, maka penelitian ini terdiri ke dalam 4 (empat) bab, yakni:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan menguraikan dan menjelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : KONFIGURASI POLITIK PEMERINTAHAN SBY-

BOEDIONO 2009-2014

Dalam bab ini akan menggambarkan segala sesuatu yang mengenai objek penelitian yaitu bagaimana Kekuasaan Eksekutif, Kekuasaan Legislatif, Partai Politik Indonesia dan Sistem Kepartaian serta Sistem Presidensial Indonesia


(42)

BAB III : ANALISIS DATA

Bab ini nantinya akan berisikan tentang penyajian data dan fakta yang diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, koran, serta internet dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis data dan fakta tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data pada bab-bab sebelumnya serta berisi kemungkinan adanya saran-saran yang peneliti peroleh setelah melakukan penelitian.


(43)

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

II. 1. Kekuasaan Eksekutif

Sejak reformasi terjadi tahun 1998 yang berakibat berakhirnya masa pemerintahan orde baru, mulailah terjadi perubahan (Amandemen) konstitusi Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebanyak empat kali. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan kelembagaan Negara Indonesia. salah satu dampak langsung perubahannya adalah perubahan supremasi MPR menjadi supermasi Konstitusi.

Susunan kelembagaan Negara Indonesia tidak lagi mengenal istilah “lembaga tertinggi Negara” untuk kedudukan MPR sehingga terjadi kesejajaran kedudukan dengan lembaga sejenis demi menciptakan sistem check and balances. Amandemen UUD 1945 itu juga memberikan perhatian Khusus tentang sistem presidensial. Ini merupakan implikasi dari terauma masa orde baru yang mana lembaga eksekutif sangat dominan. Sehingga masyarakat sipil dan organisasi masyarakat menginginkan penyempurnaan batasan kekusaan lembaga eksekutif.

Adapun kekuasan eksekutif menurut UUD 1945 yaitu:

Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam kewenangannya sebagai kepala pemerintahan tentu juga presiden juga menjabat sebagai kepala Negara. Ini menanadakan bahwa Negara Indonesia menganut sistem presidensialisme.


(44)

Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan.

Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam kewenangan presiden tersebut hanya sebatas mengajukan rancangan undang-undang dan membahasnya bersaman. Akan tetapi pemegang kekuasaan membentuk undang-undang berada pada lembaga legislatif. Pada awalnya sebelum mengalami perubahan presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dari perubahan tersebut terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang yang semula berada pada presiden ke lembaga DPR. Presiden hanya berhak mengajukan undang-undang. Pasal 5 ayat (2) berbunyi Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Setelah rancangan undang-undang mendapat persetujuan bersama oleh eksekutif dan legislatif menjadi undang-undang, maka presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang tersebut.

Pasal 10 mengatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara memegang kendali atau sebagai panglima tertinggi atas angkatan bersenjata. Pasal 11 ayat (1) berbunyi Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat


(45)

perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.27

Pasal 11 ayat (2), Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam hal ini kewenangan presiden masih terikat juga oleh kewenangan legislatif berupa bentuk persetujuan. Semua hal diatas tidak berlaku tanpa persetuajuan lembaga legislatif.

28

Pasal 13 ayat (1) Presiden mengangkat duta dan konsul dan ayat (2) dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Serta ayat (3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan menperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam mekanisme pemberian pertimbangan DPR selama ini adalah melakukan pemanggilan satu perstau calon duta besar yang diajukan presiden. DPR melakukan semacam uji kelayakan dan menyampaikan hasil Tidak semua perjanjian internasional diharuskan mendapat persetujuan dari DPR. Jelas disebutkan bahwa perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat seperti kedaulatan Negara, keuangan Negara dan perjanjian yang mengharuskan pembentukan undang-undang baru seperti ratifikasi perjanian internasional. Pasal 12 berisis Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Kewenangan presiden dalam menyatakan keadaan bahaya tentu dengan alasan yang kuat seperti dalam menyataka darurat militer atau darurat sipil

27

Amandemen Keempat UUD 1945 28


(46)

uji kelayakan tersebut kepada presiden sebagai bahan pertimbangan presiden untuk mengambil keputusan tentang pengangkatan duta besar tersebut. Demikian halnya dengan penerimaan penempatan duta besar Negara lain. Presiden seyogianya memberikan pemberitahuan sebelumnya kepada DPR dalam penerimaan duta besar Negara lain sehingga DPR dapat memberikan pertimbangan.

Pasal 14 ayat (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Dalam hal ini presiden memegang kekuasaan dalam hal kehakiman berupa pemberian grasi dan rehabilitasi. Pasal 14 ayat (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam memberi amnesty dan abolisi memperhatikan pertimangan DPR karena ini bersifat politis. Pasal 15 menyatakan bahwa Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.29

Pasal 16 berbunyi Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutanya diatur dalam undang-undang.30

29

Amandemen Pertama UUD 1945 30

Amandemen Keempat UUD 1945

Dewan pertimbangan inilah yang sering disebut Wantimpres, Jika sebelumnya ada lembaga Negara yang memberikan pertimbangan kepada presiden yang setingkat dengan presiden yaitu Dewan Pertimbangan Agung. Namun lembaga itu dihapus dan dibuat Wantimpres yang secara langsung melekat pada lembaga presiden.


(47)

Pasal 17 yat (2) menyatakan bahwa Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ini merupakan kewenangan mutlak yang dimiliki presiden. Pembentukan kabinet merupakan hak prerogatif dari presiden. Dalam pembentukan kabinet, presiden memiliki kekuasaan tunggal dalam menyususn kabinetnya. Presiden terbebas dari intervensi partai politik dan lebih mengedepankan profesionalisme dan kemampuan daripada akomodatif terhadapa kepentingan partai politik.

Pasal 20 ayat (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 20 ayat (4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Dalam hal darurat, presiden dapat menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengharuskan Presiden menetapkan sesuatu kebujakan atau melakukan suatu tindakan yang melanggar undang-undang yang sah. Untuk itu perlu diadakan perubahan undang-undang itu, akan tetapi waktu yang tersedia tidak mencukupi, sementara kebijakan yang bersangkutan sudah sangat mendesak dibutuhkan segera, maka timbullah keadaan yang disebut kegentingan yang memaksa. Untuk itulah pasal ini memberikan fasilitas konstitusional kepada presiden untuk menerbitkan perpu yang dari segi bentuknya adalah PP, tetapi berisi materi


(48)

yang seharusnya diatur dalam UU. Apabila Perpu tersebut ditolak oleh DPR maka otomatis Perpu tersebut batal demi hukum.31

Pasal 23F ayat (1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden. Dalam hal ini presiden melalui amanat presiden memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan dalam menyusun RAPBN dan membahasnya bersama DPR untuk mendapat persetujuan bersama menjadi undang-undang. Undang-undang RAPBN akan selalu datang dari presiden sebagai pelaksana anggaran. Pasal 24B ayat (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden membentuk panitia seleksi untuk memilih calon anggota BPK untuk diajukan ke DPR. DPR akan memilih calon yang telah ditentukan oleh presiden dan setelah itu diresmikan oleh presiden. Dalam pasal 24A ayat (3) presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan Pasal 23 ayat (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Dalam hal ini presiden melalui amanat presiden memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan dalam menyusun RAPBN dan membahasnya bersama DPR untuk mendapat persetujuan bersama menjadi undang-undang. Undang-undang RAPBN akan selalu datang dari presiden sebagai pelaksana anggaran.

31

Jimly Asshiddiqie. Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal 70


(49)

hakim agung dari calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetuju.

Dalam pasal 24C ayat (3) presiden memiliki kewenangan untuk menunjuk tiga orang calon hakim konstitusi dan menetapkan sembilan orang anggota hakim konstitusi. Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden tersebut adalah yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.32

Pasal 7B ayat (1) menyebutkan bahwa Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, II.2 Kekuasaan Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat)

Perubahan Undang-undang Dasar 1945 pasca reformasi memberikan perhatian khusus terhadap penguatan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat. Ini dilakukan untuk memberikan kontrol yang kuat kepada lembaga eksekutif yang melaksanakan jalannya pemerintahan. Kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah :

32


(50)

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat dengan kewenangannya dapat mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau wakil presiden.33

Dalam pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.34

Pasal 20 ayat (1) menyebutkan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Pasal 20A ayat (1) menyebutkan Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Pemberian pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan duta (pasal 13 ayat 2), dalam menerima penempatan duta Negara lain (pasal 13 ayat 3) dan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2).

35

33

Amandemen Ketiga UUD 1945 34

Amandemen Keempat UUD 1945 35

Amandemen Kedua UUD 1945

Fungsi legislasi yaitu sebagai pembuat kebijakan dan undang-undang yang sebagai patron pihak eksekutif untuk melaksanakan tugas. Atas dasar itulah maka melekat hak pada legislatif yaitu hak inisiatif yaitu hak untuk melakukan perubahan undang-undang yang diusulkan pemerintah.


(51)

Dalam menjalankan fungsi legislasi tidak serta-merta hanya dijalankan oleh DPR akan tetapi bersama-sama dengan presiden. Dalam hal ini pula yang menyebabkan perlunya koalisi pendukung pemerintah untuk memuluskan proses legislasi berupa pembentukan Undang-undang. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, dalam DPR juga sangat dinamis dan cair karena membawa berbagai macam kepentingan dari partai politik. Fungsi kontrol yang dijalankan badan legislatif untuk mencegah pemerintah menjalankan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Badan legislatif menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah agar program-program yang dicanangkan pemerintah berjalan sesuai dengan harapan rakyat.

Fungsi Anggaran dapat kita lihat dalam penyusunan RAPBN. Legislatif turut serta dalam penuyusan Anggaran Pendapatan Belanja Negara untuk mencapai kemakmuran rakyat banyak. Pada umumnya anggota DPR membawa ususlan-usulan proyek dari daerah yang diwakilinya. Demikian juga untuk memastikan bahwa anggaran yang akan dilaksanakan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat banyak.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.36

Hak Interpelasi merupaka hak untuk meminta keterangan kepada eksekutuf terkait dengan kebijakan yang dijalankannya. Hal ini dilaksanakan untuk memastikan kebijakan eksekutif tersebut tidak mencederai rasa keadilan rakyat banyak dan tetap

36


(52)

sesuai dengan undang-undang. Hak Angket merupakan hak untuk langsung melakukan penyelidikan terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan oleh eksekutif. Hak ini digunakan sebelumnya karena ada kecurigaan legislatif terhadap kebijakan eksekutuif yang terindikasi tidak tepat dan melanggar undang-undang.

Hak menyatakan pendapat merupakan lanjutan dari hak angket. Apabila dalam penyelidikan legislatif memang ditemukan pelanggaran, maka legislative menggunakan hak tersebut. Hak menyatakan pendapat biasanya berujung kepada pemakzulan terhadap pemerintah yang melakukan pelanggaran tersebut.

(3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.37

Pasal 21 menyebutkan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Pasal 22 ayat (2) Dewan Perwakilan Rakyat berhak memberikan persetujuan atas peraturam pemerintah pengganti undang-undang.38

3.1Partai Politik Indonesia

Banyak sekali kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945.

II.3 Partai Politik Indonesia dan Sistem Kepartaian

37

Amandemen Kedua UUD 1945 38


(53)

Kehadiran partai politik dalam perjalanan republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal pergerakan nasional. Saat itu, beberapa anak bangsa terdidik berpikiran modern menggagas formulasi bau untuk melakukan perlawanan penjajahan secara modern. Hal itu ditujukkan dengan munculnya beberapa organisasi massa yang bermuatan politik dan bersifat nasional untuk melakukan konsilidasi kekuatan melawan rezim kolonial. Beberapa organisasi-organisasi yang lahir pada masa itu diantaranya adalah Indishe Partji tahun 1912, Indische Social Democratishe Vereninging (ISDV) tahun 1914, Indische Khatolic Partji tahun 1918, PKI tahun 1920, PNI tahun 1924, Partai Indonesia tahun 1931 dan masih banyak lagi, secara nyata mewarnai dominasi kekuatan politik penjajah. Pada zaman itu walaupun situasi darurat perang dan dalam keadaan tidak normal, kaum muda bangsa telah menaburkan embrio partai dari bermacam-macam ideology yang berbeda dan merancang strategi untuk merebut kemerdekaan dari penjajah colonial.39

Pasca kemerdekaan kepentingan mendirikan partai politik untuk merebut kemerdekaan telah mengalami pergeseran. Kebutuhan untuk berorganisasi secara modern dalam hal politik kepartaian adalah untuk menguatkan dan menjaga kedaulatan yang secara de jure telah kita rebut meski stabilitas Negara belum normal. Dalam situasi seperti itu, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, mengusulkan kepada Pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk membentuk partai politik demi kepentingan menjaga dan memperkuat kemerdekaan. Menanggapi usulan tersebut, sesuai kondisi objektif saat itu, maka pada tanggal 3 november 1945

39


(54)

dikeluarkan Maklumat No X tentang keluasaan pendirian partai politik yang ditandatangani oleh Wakil Presiden RI, Mohammad Hatta.

Kebebasan mendirikan partai politik memunculkan banyaknya partai politik yang ikut serta dalam pemilihan umum tahun 1955. Pada fase inilah pertama kali politik Indonesia memiliki multi partai dalam penyelenggaraan pemilu dengan sistem parlemmenter. Hasil pemilu tahun 1955 itu menempatkan empat partai politik sebagai peraih electoral tertinggi, antara lain PNI, Masyumi, NU dan PKI. Akan tetapi, dalam proses menjalankan system pemerintahan, keempat partai besar yang berbeda ideology itu tidak pernah bertemu secara politik dalam menjaga milai pada Maklumat No X.40

Perkembangan berikutnya pada pemilu 1971, satu hal yang cukup memperihatinkan bagi demokrasi dan politik kepartaian adalah kebijakan peleburan partai politik atau fusi partai yang dibuat oleh rezim Orde Baru. Pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan

40


(55)

Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya.41

Jika pada pemilu sebelumnya diikuti oleh banyak partai, maka sejak pemilu tahun 1971 sampai 1997 hanya diikuti oleh tiga partai saja, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar). Pada masa itu, pemilihan umum hanya dapat diikuti oleh ketiga partai tersebut. Penguasa Orde baru berkeinginan untuk menjaga stabilitas perpolitikan dengan cara fusi partai tersebut. Seperti dalam salah satu konsideran UU No. 3/1975 mengenai Partai Politik dan Golkar disebutkan,”Dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik tersebut, diharapkan agar partai-partai politik dan Golkar benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya proses percepatan pembangunan. Dari hal itu jelas sekali pemerintah ingin mengkooptasi kebebasan yang seharusnya dimiliki partai politik dengan dalih stabilitas nasional.

42

Akan tetapi peranan partai politik dalam sistem politik di Indonesia kembali mencuat seiring dengan jatunya pemerintahan Orde Baru. Partai-partai politik di Indonesia semakin bebas untuk berekspresi dan berserikat. Ini akibat dari dikeluarkannya paket revisi undang politik salah satunya adalah undang-undang partai politik yang dirancang oleh tim tujuh Sampai pada pemilu tahun 2004, parati-partai politik semakin berperan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 31

41

Sigit Pamungkas, Ibid, Hal; 153 42

Koirudin. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakart, Pustaka Pelajar, 2004, hal. 45-46


(56)

Tahun 2002 serta Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ada beberapa hal yang mempengaruhi keberlanjutan dari sebuah partai politik yaitu, pertama, massa anggota yang kelak diperkuat dengan massa pemilih meski keduanya tidak selalu sama, pemilih tidak dengan sendirinya anggota. Kedua, tingkat kompetensi pengurus. Perpecahan sendiri sudah merupakan pertanda jenis kepemimpinan partai yang bersangkutan. Sentralisasi kepemimpinan partai ke dalam tangan Dewan Pimpinan Pusat memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Ketiga, tingkat kompetensi para anggota perwakilan sebagai anggota parlemen. Keempat, tingkat penguasaan sumber daya finansial. Kelima, kemampuan eksekutif dan potensi melakukan pekerjaan eksekutif dari sumber daya di dalam partai.43

43

Daniel Dhakidae. Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2004, hal. 12

Untuk melihat bagaimana partai politik pada masa pemerintahan SBY-Bodiono kita dapat melihat hasil Pemilu Legislatif 2009 berhasil mengantarkan tujuh partai terbesar lolos parliamentary threshold ke parlemen. Selain itu, hasil Pemilu 2009 menunjukkan bahwa dua partai besar pemenang Pemilu 2004 (PDIP dan Golkar) mengalami penurunan suara yang cukup signifikan. Di kelompok partai papan tengah (Pemilu 2004), dua di antaranya, yaitu Partai Demokrat dan PKS mengalami kenaikan, meskipun dengan gradasi yang berbeda. Sementara tiga partai menengah lainnya, PAN, PPP, dan PKB mengalami penurunan.

Berikut ini merupakan partai politik peserta pemilu 2009 beserta perolehan suara masing-masing partai politik:


(1)

demikian, koalisi besar pendukung SBY-Boediono tersebut ternyata rapuh secara internal. Fenomena yang terjadi dapat dilihat dari berbagai dinamika yang terjadi dalam hubungan Presiden dengan DPR periode 2009-2014, misalkan dalam kasus Hak angket Century, rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM, dan lainnya, jelas menunjukkan kerapuhan koalisi.

Ketiga, Hak preogratif Presiden tereduksi, Kewenangan Presiden SBY yang paling utama mengalami kompromi sebagai konsekuensi diterapkan dalam kondisi multipartai pragmatis yang ada adalah kewenangan dalam penyusunan Kabinet, khususnya hak preogratif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Pada proses penyusunan kabinet, presiden SBY didorong untuk berkompromi dengan partai mitra koalisi pemerintah dalam penyusunan menteri. Jika ditotal ada 19 Menteri yang berasal dari utusan partai.

Sistem multi partai dalam sistem presidensial di Indonesia membuat ketidakstabilan pemerintahan yang ada di Indonesia. Perpaduan ini diyakini akan cenderung melahirkan presiden minoritas dan pemerintahan terbelah. Kondisi ini terjadi ketika presiden sangat sulit mendapat dukungan politik di parlemen. Sementara itu, sistem multipartai yang kita anut dapat menyebabkan disharmonisasi antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang bisa mengarah pada kebuntuan antar kedua lembaga tersebut apabila yang menguasai lembaga kepresidenan dan yang menguasai parlemen dari partai yang berbeda. Salah satu kelemahan sistem presidensial dalam hal ini adalah ketegangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Jika presiden mewakili salah satu partai dan parlemen mewakili partai lain,


(2)

maka kesempatan presiden untuk bisa menyelesaikan kegiatan sesuai dengan UU akan terlambat sekalipun dalam keadaan yang terbaik ia tetap membutuhkan para politisi di parlemen.

Sistem multipartai menyebabkan rendahnya keberlanjutan demokrasi dalam sistem presidensialisme. Sistem kepartaian seharusnya mendukung terbentuknya sistem pemerintahan yang kuat dan bersih serta meningkatkan efektifitas pemerintahan atau tingkat keterwakilan, namun kenyataannya setiap partai lebih mementingkan kepentingan masing-masing. Jika saja pengembangan institusionalisasi partai politik itu maksimal, tentu akan berimplikasi positif terhadap proses pemantapan sikap, dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik, sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi.

Dalam sistem presidensial, presiden tidak perlu terlalu takut untuk mengajukan kebijakan karena tidak ada ancaman pemakzulan yang serius dari parlemen. Ada benarnya kalau persoalan yang terjadi di negara Indonesia ini adalah masalah sistem yang terjadi sistem presidensial yang dicampukan dengan sistem multi partai. Namun menunut pandangan saya, hal yang mendasar merupakan persoalan pada Kepemimpinan Presiden SBY pada masa periode pemerintahan 2009-2014 dalam mengelolah perbedaan yang terjadi diantara partai-partai koalisi.


(3)

IV.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka yang menjadi saran penulis adalah

sebagai berikut:

1. Indonesia perlu memperketat Electoral Treshold dan menaikkan angka Parliamentary Treshold yang bertujuan untuk penyederhanaan partai politik melalui produk perundang-undangan, hal ini dimaksudkan agar konstelasi politik di DPR melalui hasil pemilu, serta jumlah faksi yang ada di DPR tidak terlalu banyak. sehingga ada partai dominan di DPR yang dapat memperkuat stabilitas pemerintahan dan memperdalam demokrasi.

2. Perlunya pelembagaan koalisi, hal ini niscaya dilakukan karena tidak ada kekuatan politik yang dominan di DPR, untuk itu pelembagaan koalisi di DPR agar memudahkan proses check and balance antara pemerintah dan DPR melalu dukungan partai di DPR.

3. Perlunya pelembagaan oposisi, tradisi oposisi formal yang telah konsisten harus dilembagakan dalam produk perundang-undangan. Melemahnya oposisi formal tidak saja mengancam mekanisme check and balances. Hal ini dilakukan agar DPR mampu mengawasi Pemerintah melalui perundang-undangan sehingga efektivitas pemerintahan lebih baik.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku;

Abidin, Said Zaina. Kebijakan Publik. Jakarta : yayasan pancursiwah. 2004. Hal.43 Jurnal Indonesia Report 2009,Jakarta: The Indonesia Institute, 2010

Al Chidar, 1 syawal 1419 H, Pemilu; Pertarungan Ideologi Partai-Partai Islam Versus Partai-Partai Sekuler, Jakarta:Dalrul Falah.

Agustino, Leo. 2007. Perihal Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu Ambardi, Kruskrido.2010 Mengungkap Politik Kartel. Jakarta : KPG.

Asshiddiqie, Jimli, Pergumulan pergumulan peran pemerintahan dan pergeseran kekuasaan dalam UUD 1945. Jakarta : FH UI press

Asshiddiqie, Jimli, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta, Sinar Grafika, 2009

Basri, Seta. Pengantar Ilmu Politik, 2001, Yogyakarta: Indiebookcorner

Budiarjo, Miriam., Dasar-Dasar Ilmu Politik, 2008 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Budiardjo, Miriam,. 1996. Demokrasi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Budiarjo, Miriam dan Ambong, Ibrahim , Fungsi Legislatif dalam Sistem politik Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993

Cangara, Hafied. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Rajawali Press

Dhakidae, Daniel Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta, Kompas Media Nusantara, 2004

Drs. M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta; Rajawali Press, 1993

Faisal, Sanafiah 1995. Format Penelitian Sosial Dasar-Dasar Aplikasi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Gaffar, Afan, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogjakarta; Pustaka Pelajar, 2005


(5)

Haris, Syamsuddin, Praktek Parlementer Demokrasi Presidensial Indonesia, Yogjakarta: CV ANDI OFFSET, 2014

Haris, Syamsuddin., Partai, Pemilu, dan parlemen Era Reformasi, 2014, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Koirudin. Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakart, Pustaka Pelajar, 2004

Iriawan Maksudi,Beddy, Sistem Politik Indonesia; Pembahasan secara Teoritik dan Empirik, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012

Natsir, Mohhamad 1983. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia

Nawawi, Hadawari, 1987, Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Yogjakarta: Gajah Mada University press

Pamungkas, Sigit, 2011, Partai politik Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta; Institute of Democracy and Welfarism (IDW)

Ramanathan, K, Konsep Asas Politik, Jakarta; ALMS Digital, Jakarta

Ranadideksa, Hendrawan,. Arsitektur konstitusi demokratik mengapa ada negara yang gagal melaksanakan demokrasi, Fokusmedia, Jakarta, 2007

Sanit, Arbit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta; CV. Rajawali, 1985

Sanit, Arbit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2007

Schmandt, Hendry J,. Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Soesatyo,Bambang,. Presiden dalam Pusaran Politik Sengkuni, Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, Jakarta

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2007

Surbakti, Ramlan, 2010, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : KPG

Swasono, Sri Edi. 2001. Dari lengser ke lengser. Jakarta : Universitas Indonesia. Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama


(6)

DOKUMEN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Jurnal dan Majalah;

Jurnal Indonesia Report 2009,Jakarta: The Indonesia Institute

Jurnal REFERENSI, edisi 1, Populis Institute bekerjasama dengan IWD dan FES Indonesia, 2010

Majalah Gatra. Banyak Jalan ke SBY, No 49 tahun X 23 oktober 2004. Hal.24

Syamsuddin Haris. Koalisi dalam sistem demokrasi presidensial Indonesia. Factor-faktor kerapuhan koalisi era Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam Jurnal penelitian politik.

Internet;

http://budisansblog.blogspot.com/2013/03/koalisi-dan-ketidakberdayaan-presiden.htm http://hifdzil.wordpress.com/2008/09/08/studi-hubungan-legislatif-dengan-eksekutif/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_Indonesia_Bersatu_II