PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENC

1. PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENCIPTAKAN DEMOKRASI YANG
BERKUALITAS

PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK UNTUK MENCIPTAKAN DEMOKRASI YANG
BERKUALITAS

Sekarang ini keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan. Banyak
rakyat beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang hanya
mementingkan dan merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Pemerintah Indonesia pun tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil
rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian rakyat yang mengeluh, karena hidup
mereka belum dapat disejahterakan oleh negara. Pandangan masyarakat
terhadap politik itu sendiri menjadi buruk, dikarenakan pemerintah Indonesia
yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik.bagi
mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2014 nanti, cenderung terjadi
penyelewengan berupa money politic. Hal tersebut, dikatakan salah satu
narasumber dalam acara seminar yang diselenggarakan KPU, yakni, Refli Harun
dari Centre For Electoral Reform. Menurutnya, permasalahan yang sering dialami
oleh para calon Kepala Daerah, tidak jauh dengan money politic dan mafia
hukum. Sehingga, banyak para calon kepala daerah menyalahi aturan.

kampanye masih berkutat pada seputaran upaya membangun menara
popularitas. Sehingga pola dan kemasan kampanye menjadi karikatif, bombastis
(lepas dari dimensi pendidikan politik sebagai investasi berharga berdemokrasi),
menjadi modus utama menarik perhatian dan meraup suara dibandingkan
menjadi pembuatan kesepakatan antara yang akan berkuasa dengan yang akan
dikuasai. Lemahnya aspek substansial dari pola, isi, dan model kampanye pada
Pemilukada Banten 2011, kata Ikhsan, menyebabkan kekentalan nuansa
pertarungan antar pasangan calon bukan terletak pada kompetisi kualitas
problem solving bagi masyarakat. Tetapi lebih bergeser pada nuansa
pertarungan premanisme politik, seperti saling rusak media kampanye, besarbesaran, dan banyak-banyakan baliho, spanduk, dan lain-lain. Ditambah dengan
upaya saling jegal untuk mendapatkan tempat strategis kampanye yang
melibatkan massa dan berlomba mendatangkan jumlah pendukung dalam satu
lapangan terbuka, di samping konvoi yang seringkali menunjukkan keberingasan
massa kampanye di jalan.
dengan demikian masalah –masalah mengenai perpolitikan yang
berhubungan dengan kepemiluan sangat kompleks sehingga masyarkat dituntuk
untuk memiliki pengetahuan yang lebih tentang masalah politik. Pemerintah
mempunyai kewajiban dalam mencerdaskan rakyatnya dan Partai Politik seperti
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai politik


Bahwa Partai Politik mempunyai kewajiban untuk melakukan kegiatan pendidikan
Politik kepada Masyarakat.
Pendidikan politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan orientasi-orientasi poltik pada individu. Ia meliputi keyakinan
konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik,
serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki
kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik. Disamping itu, ia
bertujuan agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang aktif
di masyarakatnya. Pendidikan politik merupakan aktifitas yang terus berlanjut
sepanjang hidup manusia dan itu tidak mungkin terwujud secara utuh kecuali
dalam sebuah masyarakat yang bebas.Dengan demikian pendidikan politik
memiliki tiga tujua : membentuk kepribadian politik, kesadara politik, dan
parsisipasi politik. Pembentukan kepribadian politik dilakukan melalui metode tak
langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode langsung berupa
pengajaran politik dan sejenisnya. Untuk menumbuhkan kesadaran politik
ditempuh dua metode : dialog dan pengajaran instruktif. Adapun partisispasi
politik, ia terwujud dengan keikutsertaaan individu-individu – secara sukarela—
dalam kehidupan politik masyarakatnya. Pendidikan politik dalam masyarakat
manapun mempunyai institusi dan perangkat yang menopangnya. Yang paling
mendasar adalah keluarga, sekolah, partai-partai politik dan berbagai macam

media penerangan. Pendidikan politik juga memiliki dasar dasar ideologis, sosisal
dan politik . bertolak dari situlah tujuan-tujuannya dirumuskan.
Jika yang dimaksud dengan “Pendidikan” adalah proses menumbuhkan sisi-sisi
kepribadian manusia secara seimbang dan integral, maka “Pendidikan Politik”
dapat dikategorikan sebagai dimensi pendidikan, dalam konteks bahwa manusia
adalah makhluk politik . sebagaimana halnya bahwa pendidikan mempunyai
fungsi-fungsi pemikiran moral, dan ekonomi, maka pendidikan politik juga
mempunyai fungsi politik yang akan direalisasikan oleh lembaga-lembaga
pendidikan.Pendidikan politik itulah yang akan menyiapkan anak bangsa untuk
mengeluti persoalan social dalam medan kehidupan dalam bentuk atensi dan
partisipasi, menyiapkan mereka untuk mengemban tanggung jawab dan
memberi kesempatan yang mungkin mereka bisa menunaikan hak dan
kewajibannya. Hal itu menuntut pendidikan anak bangsa untuk menggeluti
berbagai persoalan sosial dalam medan kehidupan mereka dalam bentuk atensi
dan partisipasinya secara politik, sehingga mereka paham terhadap ideology
politik yang dianutnnya untuk kemudian membelanya dan dengannya mereka
wujudkan cita-cita diri dan bangsanya. Pendidikan politik inilah yang mentransfer
nilai-nilai dan ideology politik dari generasi ke generasi, dimulai dari usia dini dan
terus berlan jut sepanjang hayat. Pendidikan politik merupakan kebutuhan
darurat bagi masyarakat, karena berbagai factor yang saling mempengaruhi,

dengan demikian pendidikan politiklah yang dapat membentuk perasaan sebagai
warga Negara yang benar , membangun individu dengan sifat-sifat yang
seharusnya, lalu mengkristalkannya sehingga menjadi nasionalisme yang
sebenarnya. Ialah yang akan menumbuhkan perasaan untuk senantiasa
barafiliasi, bertanggung jawab dan berbangga akan jati diri bangsa. Tuntunan ini
demikian mendesak dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita, mengingat

bahwa penumbuhan perasaan seperti itu menjadikan seorang warga Negara
serius mengetahui hak dan kewajibannya, serta berusaha memahami berbagai
problematika masyarakat.
Manfaat dari pendidikan politik adalah pemberdayaan masyarakat di bidang
politik.maksud dari pemberdayaan di bidang politik adalah membantu
masyarakat memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan mementukan
tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk
mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini
dilakukan melakukan peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang ia miliiki. Dengan pendidikan politik yang optimal maka
akan menciptakan warga negara yang mengetahui hak dan kewajibannya dan
menyadari bahwa hak dipilih dan memilih merupakan hak yang melekat pada
dirinya. Dan juga menciptakan para pemilih yang rasional yang sesuai dengan

pemikirannya serta menjauhkan pemilu dari politik uang karena para pemilih
telah pandai dan menyadari bahwa uang tidak dapat membeli hak suaranya.
Pemilih tidak lagi memilih secara emosional ataupun subjektif,tetapi lebih
kepada program-program yang akan dilakukan untuk mensejahterakan
masyarakat. Sehingga dengan ini diharapkan suara-suara dalam pemilu lebih
berkualitas tidak suara yang apatis ataupun suara yang asal memilih.
Tujuan pendidikan politik sangat penting sebab pendidikan politik meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan politik yang pada
gilirannya akan mendorong timbulnya kesadaran politik secara maksimal dalam
suatu sistem politik.
Pendidikan politik mempunyai dua tujuan utama. Pertama, pendidikan politik
adalah untuk mengubah dan membentuk tata perilaku seseorang agar sesuai
dengan tujuan politih yang dapat menjadikan setiap individu sebagai partisipan
politik yang bertanggung jawab. Kedua, pendidikan politik dalam arti yang lebih
luas untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan
politik yang ingin diterapkan.
3.DEMOKRATISASI DI INDONESIA
• Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada
tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan

penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global.
Kedua, “migrasi” para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya
mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini
mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada
para pemuda bumiputera. Dapat dicatat disini para “migran politik’ tersebut
antara lain; Bergsma, Baars, Sneevliet, dan beberapa yang lain. Ketiga,
transformasi pendidikan di kalangan masyarakat pribumi.
• Di Indonesia, fenomena demokrasi dapat ditemui dalam sejarah perkembangan
politik pasca kolonial. Fokus demokrasi pada masa demokrasi parlementer
(1955-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965) bentukkan Presiden Soekarno,

demokrasi Pancasila masa Orde Baru, dan karakteristik demokrasi setelah
berakhirnya kekuasaan otoritarian (periode transisi dan konsolidasi demokrasi
1998-2007).
Masa Demokrasi Liberal
• Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai
dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani
oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai
politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah
menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak

sangat luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya
dan mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
• Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu
dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara
nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan
parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante).
Pemilu pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai
proses politik yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol
tidak dibatasi, berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta
mencerminkan pluralisme dan representativness.
• Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja
parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru
ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang
kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya,
yakni “gonta-ganti” pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
• Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang
mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak
kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh “anti
demokrasi”. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai
politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan

keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun
begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi
kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang
menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran
tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi
liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab
utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis
politik tersebut adalah “mengubur” demokrasi liberal yang dalam pandangannya
tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan
demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi, “parliamentary
democracy is not good for revolution”.
Demokrasi Diktatorial (dibawah Soekarno dan Soeharto)

• Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959,
Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan
menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya
sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) .
• Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa
perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan
bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan

kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap
berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah
militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.
• Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak cukup
jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang kemudian
disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat abstrak.
Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik berangkat yang
sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu demokrasi asli
Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai dengan tradisi
dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan
demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan pemikiran
sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
• Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan
pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik.
Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera,
sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan Orde Baru”. Sebagai upaya
lanjut mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif
penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik
(Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar

sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia
menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau
penggabungan partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol
dan hasratnya untuk membangun kepolitikan “kekeluargaan”. Menjaga citra
sebagai “negara demokrasi” terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
• Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan
“gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur
mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai
demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan
instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan
main” yang ditentukan rezim.
• Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan
jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru
sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang
semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai
dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan

hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi
memacu berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut
Soeharto mundur.

Demokratisasi Pasca Orde Baru
• Berakhirnya Orde Baru melahirkan kembali fragmentasi ideologi dalam
masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang
beranekaragam, mulai dari muslim radikal, sosialis, nasionalis, muncul dan
bersaing untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999
diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal
bagaimana transisi demokrasi harus berjalan dan soal memposisikan elite-elite
lama dalam proses transisi.
• Beberapa kemajuan penting dalam arsitektur demokrasi yang dilakukan
pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para
tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan
desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa
pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan
beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi
dan militer dari politik praktis.
• Kesuksesan dalam melangsungkan demokrasi prosedural ini merupakan
prestasi yang mendapatkan pengakuan internasional, tetapi di lain pihak, transisi
juga ditandai dengan meluasnya konflik kesukuan, agama, dan rasial yang
terjadi di beberapa wilayah di tanah air sejak 1998. Misalnya di Ambon, Poso,
Sambas dan lainnya.
• Pemerintahan baru hasil pemilu 1999 yang memunculkan pasangan
Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada
akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Lengsernya
Wahid yang terpilih dengan legitimasi demokratis dan dikenal luas sebagai
pendukung militan demokrasi, menjadi sebuah tragedi transisi demokrasi.
• Praktik berdemokrasi di Indonesia masa transisi mendapatkan pengakuan luas
dari dunia internasional. Dalam indeks yang disusun oleh Freedom House
tentang hak politik dan kebebasan sipil Indonesia sejak pemilu 1999 hingga
masa konsolidasi demokrasi saat ini berhasil masuk dalam kategori “negara
bebas”. Hal ini berbeda dengan kepolitikan masa Orde Baru yang dikategorikan
sebagai dengan kebebasan yang sangat minimal (partly free).
• Problem demokrasi yang populer belakangan ini adalah, dapatkah demokrasi
mampu mengantar bangsa ini ke arah sejahtera? Ataukah sebaliknya, demokrasi
menjadi amat mahal, ketika biaya Pemilu dan Pilkada membutuhkan ongkos
mahal, baik ongkos pemilu, maupun ongkos sosial akibat kerusuhan pasca
pemilu.

4. .Etika Politik

Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam
lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia
adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.
Ada bebagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika
keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan.dalam hal ini termasuk setika politik
yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur
betulsalahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika
politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai
manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang
berlaku dan lain sebagainya.

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis
untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung
jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara
rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri
politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
idiologis dapat dijalankan secara obyektif.

Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik.
Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara
sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda
kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas
hokum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan
orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law,
partisipasi demokratis masyarakat, jaminan ham menurut kekhasan paham
kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan keadaan
sosial.
etika politik adalah nilai-nilai azas moral yang disepakati bersama baik
pemerintah dan/atau masyarakat untuk dijalankan dalam proses pembagian
kekuasaan dan pelaksanaan keputusan yamg mengikat untuk kebaikan bersama.
.Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Sesuai Tap MPR No. VI/MPR/2001 dinyatakan pengertian dari etika kehiddupan
berbangsa adalah rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat
universal dan nilai-nilai budaya bangsa yang terjamin dalam pancasila sebagai
acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

5. Banyak ”deal” di DPR

Dari DPR, kian luas terkuak tentang banyaknya deal yang berlangsung dengan
melibatkan uang. Kegiatan pembahasan RUU lazim diwarnai kiprah pihak-pihak
yang berkepentingan dalam memperjuangkan lolosnya ketentuan tertentu dalam
RUU. Begitu pula dalam penentuan alokasi anggaran, dalam perolehan jabatan
publik yang strategis, atau bahkan dalam urusan kapitalisasi dan manajemen
BUMN. Tidak sedikit yang kemudian berujung menjadi kasus korupsi walau ada
pula yang sekadar mendatangkan keruwetan sebagaimana umumnya skandal
politik.

Di tingkat daerah, potret serupa ditengarai terutama dalam perekrutan
pemimpin daerah. Besarnya peran uang yang diperlukan untuk membiayai
proses tersebut, ketika terpilih, lazimnya berujung pada imbalan berupa
pemberian konsesi usaha (terutama pemanfaatan kekayaan alam) ataupun
beragam pungutan dalam pemberian izin, yang tidak jarang ditimpali dengan
praktik suap.

Kondisi sama juga mulai hadir dalam kehidupan birokrasi. Penempatan personel
dalam jabatan, atau kesempatan memperoleh jenjang pendidikan akademik
ataupun profesi/teknis, di luar faktor-faktor primordialisme, juga mulai
melibatkan peran uang (di samping pelibatan pengaruh politik). Banyak
anggapan bahwa semua itu telah melahirkan budaya politik yang koruptif. Uang
bagai menjadi penjuru dalam setiap proses politik dan kemudian dalam
administrasi pemerintahan.

Meluasnya pemahaman tentang otonomi yang kian berlangsung bagai tanpa
pakem—dan mendorong munculnya semacam ego kedaerahan yang sempit—
telah mengobarkan gesekan yang semestinya tidak perlu dalam hubungan pusat
dan daerah, ataupun antar-pemerintah daerah. Terjadi semacam tarik-menarik
kewenangan perizinan usaha, kewenangan penentuan alokasi ruang wilayah,
dan kewenangan lain, terutama di bidang pembangunan.

Ujung dari semuanya adalah persoalan lingkungan yang rusak, kekayaan hayati
yang tergerus, dan kian minimnya akses rakyat terhadap banyak sumber daya,
terutama tanah. Simpul dari semua itu adalah pemanfaatan sumber daya/
kekayaan alam dan, pada saat yang sama, isu pembagian pendapatan dalam
kerangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Tumbuh semacam
anggapan politik bahwa semua hanya mungkin diperoleh apabila untuk itu
dimiliki political standing dan, untuk itu pula, penggunaan uang untuk meraihnya
dianggap justified. Anggapan tadi subur karena ditopang oleh iming-iming
manisnya otonomi yang dioperasikan bagai ”kedaulatan dalam skala kecil”.
Konsepsi otonomi yang kurang pas atau pemahamannya-kah yang salah?

Imbas buruk dari politik uang juga dituding ketika di tengah harapan yang tinggi
dalam gerak pembangunan, target dan nilai investasi yang sangat ditunggu
ternyata tidak terwujud. Banyak yang menyebut buruknya infrastruktur,
ketiadaan stabilitas kebijakan dan kepastian hukum, tidak terkendalinya ekses
kebijakan di tingkat pemerintah daerah, kebijakan perburuhan yang tidak
kondusif, serta maraknya beragam praktik pungutan dan suap, baik di kalangan
politisi maupun birokrasi, adalah buah dari situasi yang merupakan produk politik
uang tersebut.

Namun, selain imbas politik uang, permasalahan juga berpangkal dari konsep
dan strategi pembangunan itu sendiri. Di samping problem kesenjangan yang
juga telah diakui resmi presiden (kemiskinan, pengangguran, kesempatan
pendidikan, dan layanan kesehatan), ekses dalam bentuk apatisme dan
ketidakacuhan juga melanda kejiwaan rakyat. Kemerosotan disiplin sosial
(fondasi yang sangat penting bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara)
juga sangat memerlukan perhatian.

Sikap agresif dan destruktif sering ditampilkan sebagai ungkapan rasa tidak puas
mereka. Kerusakan semakin terasa ketika masyarakat menganggap pelanggaran
hukum bukan lagi sesuatu yang tercela; kian menipisnya toleransi, terutama
terhadap perbedaan, merebaknya anggapan uang dapat menyelesaikan segala
hal, serta sikap meminta dan menuntut sebagai jalan pintas kian jadi kebiasaan.