PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR KEPULAUAN K

PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR KEPULAUAN KALEDUPA UNTUK
USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Coastal Management of Kaledupa Islands for Phycoculture)
Akhmad Mansyur1); S. Alam Lawelle2); Anita Indriasari3)
ABSTRACT
Kaledupa Islands (KI) is a conservation area by the Minister of Forestry of Indonesia number 393
/ Kpts - VI / 1996) and as supporting public welfare Wakatobi is based on Law No. 29/2003,
concerning the establishment of Wakatobi. Under these conditions, require management KI
towards the harmony between the two provisions. One form of management that can support it is
the Phycoculture. Therefore, this study aimed to: (1) reveal the utilization of the existing
condition of coastal waters KI by region and season suitability. (2) Revealing regional economic
parameters to optimize the utilization of Phycocultur region. (3) Getting grand strategy of
exploiting the coastal waters of the KI to support phycoculture. Analysis of suitability, carrying
capacity, strategies and area utilization scenarios are used to achieve the objectives of this study.
As a result, found that the condition of area utilization phycoculter have demonstrated over
limited based on the number of units of long-line method. Half of them have been in the category
of decreasing return to scale. Retrieved also that there are three categories of regions that can
support the phycoculture that is good stable, good dominant and stable is not well with the total
area that reaches 5.946 ha. For the sake of optimization of management, regional economic
parameter values obtained Rp 7.246.5000 - Rp 12.980.6000 per ha per year, or Rp 627.612 to
5,785,656 per ha per season as the policy value of the lease or contract utilization. Finally, the

grand strategy KI management of coastal waters for phycoculture is to "promote regional user
satisfaction" through scenarios: (1) improvement of the structure of cultivation method and
period of the production process; (2) improving the distribution of users by preparing and
strengthening the focus groups; and (3) creating access to capital guarantee for the improvement
of the structure of farming inputs.
Keywords: Coastal, Management, Kaledupa archipelagos, phycoculture
Abstrak
Kepulauan Kaledupa (KK) merupakan kawasan konservasi berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor 393/Kpts-VI/1996) dan sebagai penunjang
kesejahteraan masyarakat Wakatobi berdasarkan undang-undang Nomor 29/2003, tentang
pembentukan Kabupaten Wakatobi. Kondisi tersebut, mewajibkan pengelolaan KK kearah yang
selaras antara dua ketentuan itu. Hal ini, dapat diwujudkan melalui usaha budidaya rumput laut.
Karenanya, Kajian ini ditujukan untuk: (1) mengungkap kondisi eksisting pemanfaatan perairan
pesisir KK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim.(2)
Mengungkap parameter ekonomi kawasan untuk mengoptimalkan pemanfaatan kawasan usaha
budidaya rumput laut. (3) Mendapatkan grand strategi pemanfaatan perairan pesisir KK untuk
mendukung usaha budidaya rumput laut. Analisis kesesuaian, daya dukung, strategi dan skenario
pemanfaatan kawasan digunakan untuk mencapai tujuan kajian ini. Sebagai hasil, diperoleh
bahwa kondisi pemanfaatan kawasan usaha budidaya rumpiut laut telah menunjukkan over
1 Dosen, Jurusan agribisnis, FPIK UHO

2 Dosen, Jurusan Agribisnis, FPIK UHO
3 Dosen Jurusan Kehutanan, FPIK UHO

2

limited berdasarkan jumlah satuan metode long-line. Setengah dari mereka telah berada dalam
kategori decreasing return to scale. Diperoleh pula bahwa terdapat tiga kategori kawasan yang
dapat mendukung usaha budidaya rumput laut yaitu stabil baik, dominan baik dan stabil belum
baik dengan total luas yang mencapai 5,946 ha. Bagi kepentingan optimasi pengelolaan,
diperoleh nilai parameter ekonomi kawasan sebesar Rp 7.246.500 - Rp 12.980.600 per ha per
tahun atau Rp 627,612 - 5.785.656 per ha per musim sebagai kebijakan nilai sewa atau kontrak
pemanfaatan. Akhirnya, Grand Strategi pengelolaan perairan pesisir KK untuk usaha budidaya
rumput laut adalah “meningkatkan kepuasan pelaku usaha” melalui skenario: (1) perbaikan
struktur metode budidaya dan jangka waktu proses produksinya; (2) meningkatkan distribusi
pengguna dengan menyusun dan penguatan kelompok fokus; dan (3) menciptakan akses jaminan
modal bagi peningkatan struktur input budidaya.
Kata kunci: Perairan pesisir, Pengelolaan, Kepulauan Kaledupa, Usaha budidaya rumput laut.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gugus Pulau Kaledupa (GPK) merupakan kawasan konservasi (SK Menteri Kehutanan

RI no. 393/Kpts-VI/1996) dan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat Wakatobi (UU No
29/2003, tentang pembentukan Kabupaten Wakatobi). Keadaan ini mewajibkan pengelolaan
GPK kearah yang mengadopsi keselarasan antara dua ketentuan tersebut. Salah satu wujud
pengelolaan yang dapat menunjang itu adalah budidaya rumput laut.
Secara ekologi, rumput laut berperan sebagai produsen primer penghasil bahan
organik dan oksigen (penyangga kehidupan dalam sistem ekologi). Secara sosial,
budidaya Eucheuma cottonii mampu mendorong masyarakat untuk menjaga dan
mempertahankan kualitas lingkungan perairan pesisir GPK (P2GPK) sehingga upaya
konservasi dapat dilakukan secara bersama. Secara ekonomi, rumput laut merupakan
komoditas yang diminati terutama industri, dimana pada 2010 diperkirakan akan mencapai
274.100 ton (U$ 0,82 kg-1) dan terdapat kekurangan penawaran sekitar 84.100 ton
(Anggadiredja et al. 2006).
P2GPK memiliki potensi sekitar 8.200 ha bagi usaha budidaya rumput laut dengan
pembagian 4.500 dan 3.700 ha sebagai kawasan sesuai (KS) dan sangat sesuai (KSS) (Manafi
2003). Di sisi lain, penduduk GPK terdapat sekitar 16.969 jiwa dan 59% diantaranya tergolong
usia produktif secara ekonomi serta 5.292 jiwa sebagai kepala keluarga (kk) (BPS Wakatobi
2014). Rasio kedua potensi ini memenuhi 1,6 ha/kk yang berarti bahwa P2GPK masih cukup
potensial bagi penciptaan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan budidaya rumput laut
(standar 0,2 ha/kk, anggota tiga hingga empat jiwa/kk, Anggadiredja 2006).
Harapan di atas tidak sejalan dengan tingkat pemanfaatan kawasan yang baru

mencapai 795 ha pada 20014. Laju perkembangan pemanfaatan berjalan lambat (2.8% per
tahun) sejak 1993. Pemilihan lokasi yang terfokus pada KS (kepadatan ≥ 41 kk/ha) (Manafi
2003; Fox 2005), kemampuan modal rendah dan kajian klasifikasi kawasan yang belum
dilengkapi peranan musim serta usia pemeliharaan disinyalir sebagai faktor penghambat.
Akibatnya, terdapat 97.3% lokasi pemanfaatan berproduktivitas < 1 (ton/ha)/panen, pelaku
budidaya cenderung meninggalkan kegiatan ini (Smart 2005). Disamping itu, pengelolaan
kawasan yang tidak mempertimbangkan usia pemeliharaan optimal akan diperhadapkan
dengan beberapa kendala. Pertama, tidak terpetakannya fungsi kawasan penyedia bibit dan
fungsi kawasan pembesaran. Kedua, tidak terpetakannya mutu produk dengan baik. Ketiga,
tidak terpetakannya insentifikasi harga pada pemasaran bibit di tingkat lokal.

3

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji: (1) kondisi
aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan
pertimbangan kesesuaian kawasan dan musim. (2) parameter ekonomi kawasan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan kawasan usaha budidaya rumput laut. (3) strategi pengelolaan
perairan pesisir GPK sehingga menunjang usaha yang menguntungkan dan berkelanjutan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (1) basis data pemanfaatan
perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut sehingga pola pemanfaatannya dapat

lebih terarah dan memiliki indikator nilai manfaat; (2) landasan akses modal bagi
pengembangan pemanfaatan kawasan dalam usaha budidaya rumput laut; (3) landasan
penyelesaian konflik pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut; dan (4) landasan strategis
pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut yang menguntungkan dan
berkelanjutan.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Stasiun Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan budidaya rumput laut di GPK, Kabupaten
Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 1) dengan titik koordinat 5O26’ – 5O37’ LS
dan 123O53’ – 124O41’ BT.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Stasiun penelitian ditetapkan 12 stasiun secara sengaja dari 15 titik koordinat
pengamatan Smart (2005) dan penentuan KS dan KSS (Manafi 2003) dengan pertimbangan
mewakili P2GPK bagian timur, tengah dan barat; serta telah dimanfaatkan bagi usaha
budidaya E. Cottonii. Penentuan stasiun tersebut meliputi 1, 2, 3 & 13 (bagian timur); 4, 5, 6
& 7 (bagian tengah) dan 8, 9, 10 & 11 (bagian barat).
Teknik Sampling dan Responden
Teknik sampling di setiap stasiun ditentukan berdasarkan jarak kedekatan pulau dengan
dua titik sampel terdekat dan terjauh pulau, serta satu titik dibagian tengahnya. Pengukuran

biomasa terhadap 60 sampel rumput laut tersebut mempertimbangkan kondisi jumlah dan luas
lokasi, dan pemanfaatan yang mewakili skala satu kepala keluarga.
Responden ditentukan dengan teknik acak dari dua tingkatan kelompok populasi.
Tingkat pertama, merupakan kelompok populasi GPK yang terdiri atas desa-desa berpelaku
budidaya E. Cottonii, kemudian diambil 25% secara acak untuk kelompok populasi tingkat
dua. Dalam populasi pertama, pelaku budidaya tersebar di setiap stasiun penelitian.
Karenanya, diidentifikasi kembali kedalam kelompok stasiun (populasi tingkat dua) yang
kemudian diambil 50% secara acak sebagai responden untuk mewakili kawasan budidaya E.
Cottonii, sehingga memenuhi metode Nazir (2003) seperti Tabel 1.
Tabel 1 Penentuan responden penelitian

4

Jumlah desa
(M)
M

Fraksi desa
(f1)
25%


m=
Jumlah
Fraksi petani
n=
(f2)
f x M Desa Terpilih Petani (N)
N x f2
M
A
N
50%
n

Jumlah
Responden (Y)
Y

Jenis Data
Data penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer meliputi: kualitas

air (DO, BOD5, PH, salinitas, fosfat, nitrat, TSS, suhu, arus dan pertumbuhan biomasa);
jumlah bibit & produksi; alokasi waktu kerja di darat & laut; penggunaan kawasan, tali
(jangkar, ris & ikat), pelampung, perahu & mesin, bahan bakar minyak & oli, tenaga kerja
pria & wanita serta jumlah anggota kelurga pelaku budidaya. Data sekunder terdiri atas:
monografi GPK (luas wilayah, jenis & luas pemanfaatan lahan, curah hujan, dan jumlah
penduduk); kualitas air (KSS & KS, pertumbuhan karaginan).
Teknik dan Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan teknik obervasi dan wawancara langsung serta
recall. Observasi langsung dilakukan dua tahap. Pertama, pengukuran parameter fisik kimia
perairan pada KSS dan KS dalam bulan Juni (sebagai crossing check kedua kawasan).
Kedua, pengukuran biomasa rumput laut setiap minggu sejak awal penanaman hingga panen
(setelah ditimbang, sampel ditanam kembali) pada Musim Timur, Pancaroba dan Barat
(setiap musim, sampel ditempatkan pada titik yang sama). Dengan demikian, terdapat 6 kali
pengukuran setiap sampel pada setiap musim sejak bulan Juli hingga Desember 2015.
Wawancara langsung dan recall dengan responden dilakukan dalam bulan Juni hingga
Oktober). Pemilihan waktu tersebut diperoleh informasi tentang kondisi pemanfaatan
kawasan budidaya rumput laut yang berupa jumlah bibit, alokasi waktu kerja, Alokasi
investasi budidaya, jumlah produksi, harga jual dan keputusan pelaku terhadap pemilihan
lokasi pemanfaatan.
Analisis Data

Analisis data penelitian ini meliputi: kesesuaian, daya dukung, strategi dan skenario
optimasi pemanfaatan kawasan. Kesesuaian dianalisa dengan sistem informasi geografis
(SIG) melalui tiga tahap yaitu interpolasi data penelitian Manafi (2003), dan survey
lapangan. Kedua, verifikasi dengan mengintegrasikan laju pertumbuhan harian (LPH)
rumput laut (persamaan Anggadiredja, 2006) kedalam uji statistik rancangan faktorial
dan uji jarak berganda Duncan (Gomes, K.A. dan Gomes A.A., 2007). Interaksi antara
LPH, stasiun dan musim diklasifikasi dengan ketentuan:
1. Kawasan stabil baik (KSB), dimana LPH tetap dalam kisaran baik (≥ 3% per hari)
selama siklus perubahan musim.
2. Kawasan dominan baik (KDB), dimana LPH berada dalam kisaran baik pada sebahagian
besar waktu dalam siklus perubahan musim.
3. Kawasan dominan belum baik (KDBB), dimana LPH berada dalam kisaran belum baik
( 6, maka penggunaan input tersebut tinggi
Penggunaan input tersebut atas kondisi pemanfaatan efektif dihitung dengan
formula daya dukung budidaya efektif (Kamlasi 2008) serta alokasi waktu pemanfaatan
optimal dalam sekali proses produksi berdasarkan parameter biomasa dan karaginan
dalam formula Fauzi (2006). Kondisi pemanfaatan ini dianalisis pula dengan persamaan
tingkat kebutuhan tenaga kerja (persamaan 4) dan kawasan (persamaan 5). Elastisitas
kondisi pemanfaatan dihitung berdasarkan skala usaha keluarga menurut fungsi produksi
Coob-Douglas (Woodwell, 1998) dengan ketentuan:

1. Bila SU > 1, maka proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan
produksi yang proporsinya lebih besar.
2. Bila SU = 1, maka penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan
produksi yang diperoleh.
3. Bila SU < 1, maka porsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan
produksi.
LKK
Daya dukung = α
( pj(T −1))
(Kamlasi, 2008) ................................................................. (2)
Ket: LKL (Luas kesesuaian kawasan); p (panjang tali); j (jarak antar tali); T (jumlah bentang tali ris);
budidaya efektif)

ΔPV j V j t ( e−δt −1 )−δ e−δt V j
=
=0
2
Δt
( e−δt −1 )


α (koefisien

(Fauzi, 2006).................................................
(3)

Ket: ΔPVj (perubahan Present Value biomasa); Δt (perubahan usia rumput laut); Vj (Value biomasa); t (usia rumput
laut);  (bunga bank)

KTK =

∑ U Ḱ
PE

.............................................................................................................

(4)



Ket: KTK (ketersediaan tenaga kerja);
U (jumlah unit usaha, unit/siklus); K (rerata beban kerja
budidaya, (jam/unit)/siklus); P (selang waktu dalam satu siklus produksi, hari/siklus); E (waktu kerja efektif tiap
hari tiap tenaga kerja, (jam/hari)/orang)

X
100
Y
(5)

DCR=

.....................................................................................................

Ket: DCR (demand capacity ratio, %); X (luas pemanfaatan kawasan, ha); Y (luas kawasan, ha)

Y= H*LaKbRcMdNe

(Woodwell, 1998) ...........................................................

(6)

Ket: Y (produksi rumput laut); H (konstanta); L (input tanaga kerja); K (input fasilitas produksi); R (input bibit rumput
laut); M (input operasional); N (input kawasan); a, b, ..., e (koefisien arah fariabel bebas)

Parameter agunan kawasan dianalisis dengan persamaan Net Present Value dan
Sphere rent (Rustiadi 2007).
n

Bt −Ct
t =1 (1+r )t
(7)

NPV =∑

..................................................................................................

Ket: NPV (Net Present Value, nilai ekonomi kawasan berdasarkan tingkat kelayakan); Bt (Benefit, penerimaan pada
waktu t); Ct (Cost, biaya pada waktu t); t (Time, waktu); r (tingkat discount rate, suku bunga bank); n (waktu,

6

lamanya periode analisis)

SR=Y ( m−c )−Ytd

........................................................................................... (8)

Ket: SR (Sphere rent, nilai ekonomi kawasan berdasarkan alokasi waktu kerja); Y (output per unit kawasan); m
(harga satuan output); c (biaya produksi per satuan output); t (biaya alokasi waktu kerja per satuan output per
satuan waktu kerja); c (alokasi waktu kerja setiap unit pemanfaatan kawasan)

Analisis strategi pengelolaan dibangun dari unsur-unsur arah persepsi masyarakat
dalam pemanfaatan kawasan berdasarkan atribut dimensi ekologi, sosial dan ekonomi.
Asumsi arah persepsi ini adalah masyarakat cenderung menjatuhkan pilihan pada kawasan
yang mampu memuaskan kebutuhannya. Tingkat kepentingan dari setiap atribut dimensi
merupakan rasio indeks relatif (persamaan 1) keunggulan masing-masing atribut pada suatu
kawasan dengan total indeks relatif keseluruhan atribut suatu dimensi. Keseluruhan tahapan
ini memenuhi matriks kepuasan pelaku budidaya sebagaimana Arifin (2007).
Analisis optimasi merupakan fungsi dari tingkat penggunaan setiap kawasan, biaya
budidaya per kepala keluarga dan target pengguna potensial dengan kendala keterlibatan
akses modal. Hubungan fungsi ini memenuhi matriks dalam analisis excel solver (Arifin
2007). Demikian pula dengan titik impas sebagai kontrol produktivitas ekonomi anggota
kelompok, dihitung dengan alat analisis yang sama, dimana penentuan biaya produksi dalam
titik ini menggunakan standar biaya minimum yang dihitung dengan mengintegrasikan
persamaan 9 kedalam formula fauzi (2006):
X t =e

((t−∝) 1β )

...................................................................................................................................... (9)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut
Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisik kimia perairan pesisir GPK
(P2GPK) masih tergolong dalam kategori baik atau alami untuk menunjang usaha
budidaya E. cottonii. Semua parameter dalam ukuran standar baku mutu budidaya
(Ditjenkan 1982; Anggadiredja et al. 2006). Kawasan budidaya dibedakan menjadi
kawasan sesuai (KS) dan sangat sesuai (KSS) berdasarkan nilai parameter yang
mendekati batas optimum bagi pertumbuhan E cottonii (Manafi 2003).
Pemanfaatan KSS dan KS dipengaruhi oleh perubahan musim. Pada Musim Timur,
laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut lebih tinggi dan menurun pada musim pancaroba
serta lebih rendah pada musim Barat. LPH diperoleh berkisar antara 2.1 hingga 3.93% per
hari. Hal ini diperkuat oleh Sedana et al (1985) dalam uji budidaya E. cottonii di Pulau
Serangan Bali yang menyatakan bahwa ada peranan run off yang dapat menimbulkan
eutrofikasi perairan, sehingga terjadi peningkatan populasi biota penempel dan herbivora
akuatik ketika musim hujan. Kondisi demikian terjadi pula di GPK yang diduga hal ini
sebagai salah satu faktor utama perubahan LPH E.cottonii. LPH 3% per hari dikategorikan
baik menurut Anggadiredja et al. (2006), sehingga penentuan kawasan budidaya rumput laut
dari KSS ditentukan kedalam kelas stabil baik (KSB) dan KS terdiri atas kawasan dominan
baik (KDB) dan kawasan stabil belum baik (KSBB) sebagaimana disajikan pada peta
kesesuaian kawasan (Gambar 2).

7

Gambar 2 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut
Kondisi Pemanfaatan Kawasan
Luas dan Alokasi Waktu Pemanfaatan
Berdasarkan analisis SIG, diperoleh bahwa masing-masing kawasan (KSB, KDB &
KSBB) memenuhi luasan 2.557, 180 dan 3.209 ha. Tingkat pemanfaatan kawasan tersebut
mencapai 72, 100 dan 33% (Gambar 2). Dalam skala keluarga, pemanfaatan kawasan ini
dicirikan dengan tingkat penggunaan input yang rendah, dimana rerata pemanfaatan setiap
skala usaha memenuhi 14 unit metode long line. Struktur pemanfaatan tersebut adalah 2 m
(jarak antara unit metode), 6 bentang tali ris setiap unit metode (panjang 25 m/tali & jarak
antara tali 1 m) serta 6 m jarak antara unit metode dalam skala usaha satu dengan berikutnya.
Hal ini, memenuhi koefisien budidaya efektif 56.9% yang berarti bahwa setiap kawasan
dapat memenuhi 116.454; 8.198 dan 146.148 unit metode long line. Diartikan pula bahwa
jumlah penerapan metode long line telah mencapai 83.982; 8.198 dan 47.502 unit.
Kondisi pemanfaatan di atas dapat dinyatakan over limited dibanding struktur
pemanfaatan kawasan dengan koefisien budidaya efektif 57.9% dan 0,025 ha setiap unit
metode long line (Anggadiredja et al. 2006). Dalam struktur tersebut, diperoleh daya dukung
kawasan sebesar 59.190; 4.167 dan 74.282 unit metode long line dengan jumlah metode yang
seharusnya telah diterapkan sekitar 42.685; 4.167 dan 24.144 unit. Pernyataan ini dikuatkan
dengan hasil analisis RTS bahwa hampir keseluruhan lokasi pemanfaatan yang relatif dekat
dengan pemukiman (Gambar 2) telah decreasing RTS (nilai SU < 1). Ini berarti bahwa
penambahan input budidaya sudah tidak proporsional dengan pertambahan hasil yang
diperoleh (menguatkan Smart 2005).
Kondisi over limited dapat pula dilihat berdasarkan alokasi waktu pemanfaatan
kawasan dalam sekali proses produksi. Hasil analisis parameter biomasa dan karaginan
diperoleh bahwa periode pemanfaatan optimal KSB dan KSBB untuk sekali proses produksi
adalah 42 dan 28 hari (Gambar 3). Pada usia tersebut E. cottonii yang dibudidayakan pada
KSB mencapai Present value (PV) maksimum biomas dan karaginan sebesar Rp 1.343 dan
Rp 179.445/unit bibit, sedangkan KSBB mencapai Rp 1,95 dan Rp 1.614/unit bibit. Dalam
hal ini, kadar karaginan yang dicapai adalah 56% pada KSB dan 31% pada KSBB. Ini berarti
bahwa KSB dapat berfungsi sebagai kawasan penunjang kualitas rumput laut GPK, ketika
didasarkan pada kadar karaginan yang menguntungkan yaitu 35% (Sulistijo et al. 1991).
Kemampuan ini, tidak diikuti oleh KSBB yang hanya memenuhi kadar maksimum 31%,
sehingga hanya dapat difungsikan sebagai kawasan penyedia bibit ketika didasarkan pada
biomasa yang telah melebihi dua kali bobot awal (Sulistijo 1985). Akhirnya over limited

8

lebih jelas terlihat dalam pemanfataan KSBB, dimana keputusan pelaku budidaya untuk
memutuskan rantai produksi terjadi dalam batas usia pemeliharaan 45 hari.

Gambar 3 Present value karaginan (KRG) dan biomasa (BMS) E. Cottonii pada
kawasan stabil baik KSB (panel A) dan KSBB (panel B).
Tenaga Kerja
Jumlah unit usaha dalam skala keluarga yang tercatat di lokasi penelitian terdapat
sekitar 1.409 kk. Setiap unit usaha memiliki rerata beban kerja budidaya 294,1 jam/siklus
produksi. Dalam skala tersebut, terdapat rerata 10 orang tenaga kerja yang berasal dari dalam
maupun luar keluarga (pria maupun wanita). Karenanya, tingkat penyerapan tenaga kerja
budidaya dapat mencapai 14.090 orang, suatu kebutuhan yang tidak dicukupi oleh jumlah
penduduk GPK usia produktif (9.870 jiwa). Oleh karena itu, ukuran kebutuhan tenaga kerja
perlu direduksi dengan menggunakan pertimbangan beban kerja setiap unit budidaya dan
waktu kerja efektif setiap tenaga kerja (8 (jam/hari)/jiwa) dalam satu siklus produksi existing
(45 hari/siklus).
Berdasarkan pertimbangan di atas, kebutuhan tenaga kerja mencapai 4.324
jiwa/siklus produksi. Diartikan bahwa alokasi waktu kerja setiap tenaga mencapai 0.65
(jam/hari)/unit usaha sehingga dapat terlibat pada 12 unit usaha yang berbeda setiap harinya.
Bila dikaitkan dengan total pemanfaatan kawasan menurut hasil analisis SIG (3.067 ha),
maka diperoleh daya dukung sosial pemanfaatan kawasan sekitar 2 (jiwa/ha)/siklus produksi.
Parameter Ekonomi Kawasan
Parameter ekonomi kawasan budidaya rumput laut yang diangkat dari pendapatan
bersih pelaku budidaya dalam hektar per tahun sebagai selisih antara pendapatan kotor dan
biaya. Kondisi pemanfaatan KSB, KDB maupun KSBB dicirikan dengan penggunaan input
output yang rendah. Dalam skala tahun, nilai stasional kawasan diperoleh dalam rentangan
pendapatan bersih antara Rp 17.860.809 hingga 38.554.482 per ha per tahun, Nilai ini
menurun seiring dengan pertambahan jarak dari lokasi pemukiman (kisaran Rp 12.980.608
hingga 7.246.573 per ha per tahun). Ini dapat disebut sebagai posisi tawar untuk nilai
ekonomi kawasan. Bagi kepentingan kontrak atau sewa, nilai kawasan berkisar antara Rp
627.612 hingga 5.785.656 per ha per musim. Dalam hal ini, Musim Timur merupakan masa
surplus dan Pancaroba sebagai pemberi keuntungan di seluruh kawasan serta KSB sebagai
kawasan yang bernilai tinggi. Sebagai tambahan, ketika kemampuan pembudidaya
meningkat maka diperoleh arah pengembangan pemanfaatan pada KSB.
Strategi dan Skenario Optimasi Pemanfaatan Kawasan
Strategi pengelolaan dimaksudkan untuk membangkitkan partisipasi masyarakat dalam
memanfaatkan perarian pesisir GPK sebagai kawasan budidaya rumput laut. Kajian tersebut
mencakup kinerja kawasan dalam memberikan kepuasan bagi pengguna berdasarkan
dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Dimensi ekologi meliputi atribut luas ketersediaan dan

9

periode waktu optimal pemanfaatan kawasan dalam sekali proses produksi. Dimensi sosial
beratribut beban kerja budidaya, jumlah tenaga kerja dan demand capacity ratio. Dimensi
ekonomi terdiri atas atribut input dan output produksi. Peranan dari nilai peringkat kedua
atribut dimensi ekologi diperoleh bahwa KSB dan KSBB bernilai keunggulan relatif positif,
namun negatif pada KDB. Karenanya, fokus utama kawasan dalam penerapan strategi ini
adalah KDB dengan skenario perbaikan struktur unit metode budidaya dan periode waktu
produksi KDB, mempertahan strukur luas pemanfaatan KSB dan meningkatkannya pada
KSBB.
Peranan dari nilai peringkat ketiga atribut dimensi sosial diperoleh bahwa KSB dan
KDB bernilai keunggulan relatif positif, tapi negative pada KSBB. Karenanya, fokus utama
kawasan dalam penerapan strategi pengelolaan P2GPK adalah KSBB dengan skenario
penambahan jumlah tenaga kerja (pelaku budidaya), pembuatan dan penguatan fungsi
kelompok pengguna.
Peranan nilai peringkat atribut dimensi ekonomi adalah KSB & KSBB bernilai
keunggulan relatif positif, tapi negative pada KDB. Karenanya, fokus utama kawasan dalam
penerapan strategi pengelolaan P2GPK adalah KDB dengan skenario pemberian jaminan
akses modal dan perbaikan struktur input budidaya serta insentif harga bagi mutu produk
yang baik. Demikian pula dengan KSB dan KSBB
Persepsi manfaat dari keseluruhan dimensi dapat dinyatakan bahwa manfaat yang
diterima pengguna KSB 23% lebih baik dibanding pengguna kawasan lainnya. Ketika
dibandingkan dengan nilai kompetisi biaya, diperoleh bahwa pengguna menganggap biaya
yang dikeluarkan untuk penggunaan KSB 0.56% lebih rendah dibanding penggunaan
kawasan lainnya. Ini diketahui dari, atribut penggunaan bibit, fasilitas produksi dan
operasional yang lebih rendah serta tenaga kerja lebih yang tinggi. Akhirnya, KSB dan
KSBB masih mampu memberikan kepuasan terhadap penggunanya, sedangkan KDB perlu
mendapat peninjauan tentang keputusan penggunaan bibit, fasilitas produksi, operasional dan
tenaga kerja yang lebih tinggi masing-masing sebesar 0.69, 0.70, 1.28 dan 0.28%.
Berdasarkan rerata ukuran pemanfaatan kawasan (0.3 ha/kk), maka pelaku
budidaya berada pada posisi sulit untuk mendapatkan legalitas usaha ketika
pengajuannya dalam skala perorangan atau keluarga. Ketentuan untuk mendapatkan
legalitas ini dinyatakan dalam Kepmen Kelautan & Perikanan (Kep.02/Men/2004) bahwa
usaha budidaya yang dibebaskan tanpa izin usaha adalah metode long line dengan jumlah ≤
2 unit (1 ha/unit). Karenanya, legalisasi pemanfaatan dimungkinkan melalui kelompok
pengguna yang membentuk luasan > 2 ha/kelompok yang berarti standar minimum 8
kk/kelompok.
Hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) diberikan dalam bentuk sertifikat dan dapat
dijadikan agunan kawasan. Landasan ini membuka harapan bagi pelaku budidaya untuk
mendapatkan akses modal usaha. Skenario pengajuan, mengikuti standar perjanjian bank dan
fitur perjanjian grameen (Kusmuljono 2009). Mekanisme skenario: 8 kk dalam satu sertifikat
HP-3 mengajukan pinjaman untuk 2 kk anggota pertama, kemudian 2 kk anggota berikutnya
hingga 2 kk anggota terakhir. Sepanjang pinjaman dapat dikembalikan, siklus berlanjut,
namun aturan grameen, bila anggota gagal membayar utang, siklus dihentikan. Akhirnya,
merangsang nasabah untuk membayar tepat waktu, memonitor tetangga, dan memilih rekan
yang bertanggung jawab bila membentuk kelompok.
Kontrol tetangga dalam satu kelompok adalah titik impas usaha sebesar 243 kg bibit
dan 366 kg komoditas kering bila harga penjualan Rp 7.100 dan 4.700/kg (harga dasar) bagi
keduanya. Kondisi ini, pelaku budidaya tidak akan mampu mengembalikan pinjaman dalam
periode pemanfaatan tersebut, akibat penerimaan hanya menutupi biaya pemanfaatan
kawasan.

10

Prediksi dari terwujudnya pelayanan akses modal adalah memberikan peningkatan
terhadap jumlah pengguna kawasan sebesar 95, 117 dan 1% pada KSB, KSBB dan KDB.
Diikuti oleh perubahan struktur biaya pemanfaatan (negatif pada KSB dan KDB,
sedangkan KSBB positif) sebagai mana dapat dilihat pada Gambar 4. Perubahan positif
disebabkan oleh adanya tingkat pemanfaatan KSBB yang tergolong belum padat serta
adanya jarak lokasi yang relatif jauh dibanding kawasan lainnya.

Ket: Kondisi existing (sebelum akses modal direalisasikan); Kondisi optimal (merupakan harapan ketika akses modal
direalisasikan); KSB (kawasan stabil baik); KDB (kawasan dominan baik); KSBB (kawasan stabil belum baik)

Gambar 4 Perubahan pengguna dan struktur biaya pemanfaatan kawasan ketika akses
modal direalisasikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perairan pesisir gugus Pulau Kaledupa (P2GPK) untuk usaha budidaya rumput laut dapat
dikategorikan menjadi tiga kawasan, yaitu kawasan stabil baik, dominan baik dan stabil
belum baik. Pemanfaatan kawasan tersebut menunjukkan over limited berdasarkan jumlah
unit metode budidaya yang dikembangkan.
2. Nilai ekonomi kawasan ini berkisar antara Rp 12.980.608 hingga 7.246.573 per ha per
tahun dan Rp 627.612 hingga 5.785.656 per ha per musim bagi kepentingan kontrak atau
sewa.
3. Strategi pengelolaan P2GPK untuk peningkatan kepuasan masyarakat dalam pemanfaatan
kawasan bagi usaha budidaya E. cottonii dapat dioptimalkan melalui skenario: perbaikan
struktur metode dan periode waktu produksi budidaya, penambahan jumlah pengguna,
penyusunan dan penguatan fungsi kelompok, pemberian jaminan akses modal melalui
gabungan fitur perjanjian bank dan grameen, perbaikan struktur input budidaya.
Saran
KSB sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan unggulan untuk menjamin kualitas produk
rumput laut GPK dan KSBB sebagai penunjang ketersediaan bibit, dilakukan pendistribusian
pelaku budidaya pada KSB, KDB dan KSBB secara simbang berdasarkan fungsi masingmasing kawasan. Kegiatan budidaya diberikan sertifikat HP-3 secara kolektif (minimal 8
(kk/kelompok)/sertifikat). Pemerintah memberikan insentifikasi dan ketetapan harga dasar &
atap bagi produk budidaya untuk mendukung iklim usaha yang kondusif. Penelitian
selanjutnya perlu mempertimbangkan dimensi ruang dalam menentukan nilai ekonomi
kawasan.
DAFTAR PUSTAKA

11

Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya: Jakarta.
Arifin J. 2006. Aplikasi Exsel dalam Statistika dan Riset Terapan. PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia: Jakarta.
BPS. 2014. Wakatobi Dalam Angka. BPS Wakatobi.
[Ditjenkanbud] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut Indonesia.
Direktorat Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan: Jakarta.
Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Fox A. 2005. Collaboration between seaweed farmers and fishermen within the Wakatobi marine
national park, Indonesia. [thesis]. Germany: Marine Resource Management, Universitas
Aberdeen.
Gomes KA, Gomes AA. 2007. Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian. UI Press: Jakarta.
Kamlasi Y. 2008. Kajian ekologis dan biologi untuk pengembangan budidaya rumput laut
(Eucheuma cottonii) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa
Tenggara Timur. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kusmuljono BS. 2009. Menciptakan Kesempatan Rakyat Berusaha. Hybrid Microfinancing.
IPB Press: Bogor.
Manafi R, 2003. Pendekatan penataan ruang dalam pengelolaan pulau-pulau kecil; studi kasus
Pulau Kaledupa Taman Nasional Laut Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.: Jakarta.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. IPB
Bogor.
Saefulhakim S. 2008. Model Pemetaan Potensi Ekonomi untuk Perumusan Kebijakan
Pembangunan Daerah. Konsep, Metode Aplikasi dan Teknik Komputasi. Community and
Regional Development Institute of Aqwati (CORDIA): Bogor.
Sedana IGNR, Detaq JS, Pontjoparwiro S, Aji N. 1985. Uji coba budidaya rumput laut di
pilot farm. WBL/85/WP–37. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/
AB882E37.htm. [20 Juni 2009].
Smart OH. 2005. A feasibility study of phycoculture as a sustainable livelihood in Kaledupa,
Indonesia. BSc Undergraduate Dissertation in Geography. 11th March 2005. University of
Newcastle upon Tyne.
Sulistidjo. 1985. Budidaya Rumput Laut. LON-LIPI: Jakarta.
Sulistijo, Syafri NDM. 1991. The Harvest quality of Eucheuma alvarezii culture by floating
method in Pari island, North Jakarta. Proceedings Seminar on Coastal Oceanography:
Environmental Cahracteristics and Resources. JSPS-ORI-LIPI-UNDIP Semarang, 21-24
January: 219-229.
Woodwell JC. 1998. A simulation model to illustrate feedbacks among resource consumption,
production, and factor of production in ecological-economic systems. Ecological
Modeling 112: 227-247.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

EVALUASI PENERAPAN AUDIT OPERASIONAL PENGELOLAAN PERSEDIAAN BARANG DAGANGAN PADA CV. MAMUR JAYA MALANG

1 27 1

POLA PENGELOLAAN ISU PT. KPC (KALTIM PRIMA COAL) Studi pada Public Relations PT. KPC Sangatta, Kalimantan Timur

2 50 43

ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PERJANJIAN BANGUN GUNA SERAH (BUILD OPERATE AND TRANSFER) OLEH PEMERINTAH DAERAH SERTA AKIBAT HUKUM BAGI INVESTOR YANG MENGALIHKAN HAK PENGELOLAAN KEPADA INVESTOR LAIN

3 64 161

EVALUASI PENGELOLAAN LIMBAH PADAT MELALUI ANALISIS SWOT (Studi Pengelolaan Limbah Padat Di Kabupaten Jember) An Evaluation on Management of Solid Waste, Based on the Results of SWOT analysis ( A Study on the Management of Solid Waste at Jember Regency)

4 28 1

Pelaksanaan bauran pemasaran dan pengaruhnya terhadap ekuitas merek serta implikasinya terhadap loyalitas pelanggan pada perusahaan bakery PT.Jesslyn K Cakes Indonesia cabang Bandung

0 19 1

TEMA 8 UNTUK KELAS 2 K 13

18 286 4

PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA BANDAR LAMPUNG TERHADAP PENGELOLAAN LIMBAH HASIL PEMBAKARAN BATUBARA BAGI INDUSTRI (Studi di Kawasan Industri Panjang)

7 72 52

TEMA 8 UNTUK KELAS 2 K 13

0 17 4

PENGARUH ACTIVE LEARNING TERHADAP PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA PADA MATERI PENGELOLAAN LINGKUNGAN (Kuasi Eksperimental pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Bandar Mataram Semester Genap Tahun Pelajaran 2014/2015)

1 27 50