PENDIDIKAN BUDI PEKERTI UNTUK MENANAMKAN

PENDIDIKAN BUDI PEKERTI UNTUK MENANAMKAN RASA
TANGGUNG JAWAB DAN MORAL ANAK SEKOLAH DASAR
Oleh
Gede Metta Adnyana
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar,FIP
Universitan Pendidikan Ganesha
Abstrac .Till now Indonesian nation is being given on to various of social problem and nation morals.
Relate to that problems, education of ethic kindness in school becomes important to continue
developed and implemented. For that, various of alternative of education implementation strategies
ethic kindness in school also continues must dug and assessed its effectivity. Technically, applying of
ethic kindness education in school at least can be gone through pass by four strategy alternatives,
that is, (1) integration curriculum content of ethic kindness education into all relevant subjects, (2)
integration of ethic kindness education in everyday activity, pass by; modeling, off the cuff activity,
exhortation, environmental conditioning, and routine activity; (3) integration of ethic kindness
education in activity programmed, like integration in social devote activity, visit activity to social
pondation (non profit institution), orphan foundation (non profit institution), and also visit to foundation
(non profit institution) of handicap child; and (4) pass by communication and cooperation between
school and pupil old fellow.
Key word: moral education, implementation, strategy
Abstrak. Sampai saat ini bangsa Indonesia masih terus dihadapkan pada berbagai persoalan sosial
dan moral bangsa. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, pendidikan moral/budi pekerti di

sekolah menjadi penting untuk terus dikembangkan dan diimplementasikan. Untuk itu, berbagai
alternatif strategi implementasi pendidikan budi pekerti di sekolah juga terus perlu digali dan dikaji
efektivitasnya. Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti di sekolah setidaknya dapat
ditempuh melalui empat alternatif strategi, yaitu, (1) pengintegrasian konten kurikulum pendidikan
budi pekerti ke dalam seluruh mata pelajaran yang relevan, (2) pengintegrasian pendidikan budi
pekerti dalam kegiatan sehari-hari, melalui; keteladanan, kegiatan spontan, teguran, pengkondisian
lingkungan, dan kegiatan rutin; (3) pengintegrasian pendidikan budi pekerti dalam kegiatan yang
diprogramkan, seperti pengintegrasian dalam kegiatan bakti sosial, kegiatan kunjungan ke panti
jompo, panti sosial yayasan yatim piatu, maupun kunjungan ke yayasan anak cacat; dan (4) melalui
komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orang tua murid.
Kata Kunci: implementasi, pendidikan moral, strategi.

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di
luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat mempermainkan
peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa yang akan datang (Edgar Dalle
dalam anonim, 2013).
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar
manusia tersebut mampu bersaing di era globalisasi seperti sekarang ini.Peningkatan kualitas

sumber daya manusia dimulai dari pendidikan tingkat dasar, yaitu dijenjang sekolah dasar. Guru
memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)
melalui proses pendidikan di sekolah dasar tersebut. Suatu hasil pendidikan dapat dibilang tinggi
mutunya apabila kemampuan, pengetahuan, sikap dan pendidikan yang sedang digelutinya dimiliki
secara utuh.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan tak terlepas dari peran sekolah, sekolah sebagai
lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab yang besar untuk meningkatkan sumber daya
manusia (SDM). Berhubungan dengan hal tersebut dibutuhkan fasilitas yang memadai, yang dapat
menunjang kinerja dan kualitas sekolah untuk menghasilkan sumber daya manusia yang nantinya
mampu bersaing di era globalisasi seperti sekarang ini. Selain fasilitas penunjang yang memadai
dibutuhkan juga moral atau budi pekerti dalam proses belajar mengajar di sekolah.

Tak lepas dari persoalan tersebut, persoalan pendidikan moral atau budi pekerti atau akhlak
sampai saat ini masih menjadi fokus pembicaraan yang menarik untuk selalu dikaji dan dicarikan
solusinya. Hal ini dikarenakan sampai saat ini bangsa Indonesia masih senantiasa dihadapkan pada
berbagai permasalahan sosial dan moral yang muncul seperti: (1) masih tingginya kasus tindakan
kekerasan, baik yang terjadi antar rekan pelajar atau mahasiswa, antar masyarakat, dalam keluarga,
maupun kekerasan yang dilakukan oleh preman atau juga oknum penguasa, (2) perampokan secara
sadis yang disertai pemerkosaan atau pembunuhan, (3) meningkatnya dekandensi moral, etika/sopan
santun para pelajar, (4) meningkatnya ketidakjujuran pelajar, seperti menyontek, suka bolos, suka

mengambil barang milik orang lain, (5) berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan
terhadap figur-figur yang seharusnya dihormati, (6) timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri
sendiri seperti perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku bunuh diri, (7) semakin
lunturnya sikap saling hormat-menghormati dan rasa kasih sayang diantara manusia, serta semakin
meningkatnya sifat kejam dan bengis terhadap sesama, (8) maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme
serta berbagai persoalan lainnya yang mengarah pada terjadinya dekadensi moral bangsa.
Berdasarkan hal tersebut, bahwa orientasi pembangunan nasional ke arah terbentuknya jati
diri bangsa yang disiplin, jujur, bertanggung jawab, serta berakhlak mulia belum dapat diwujudkan
bahkan cenderung menurun. Mencermati persoalan demikian, orang kemudian berpaling pada
pendidikan. Pendidikan nasional dianggap telah gagal dalam menyemai moral serta karakter bangsa
yang berbudi pekerti luhur. Terkadang, demi status sosial, gengsi dan ego maka sebagian
orang mencari jalan pintas untuk lebih memilih berbohong daripada mengungkapkan
sebuah kejujuran. Jujur sangat identik dengan kebenaran. Mengungkapkan kejujuran
sama halnya mengungkapkan kebenaran. Ketika dihadapkan pilihan antara jujur atau
prestasi, secara pragmatis pilihannya adalah prestasi. Mengapa ? karena dengan prestasi
seseorang mempunyai status sosial, pujian sebagai siswa terbaik walau harus nyontek,
punya rumah mewah dari hasil ngemplang pajak, seakan keluarga bahagia walau hidup
dengan selingkuh, gelar doktor hingga professor dengan cara plagiat. Semua itu seakan
prestasi. Prestasi yang diperoleh dengan cara mengabaikan kejujuran.
Berangkat dari berbagai permasalahan di atas, maka banyak pihak mulai memikirkan kembali

tentang perlunya pendidikan moral, pendidikan watak atau pendidikan budi pekerti diajarkan di
sekolah-sekolah. Oleh karena itu, baik kurikulum berbasis kompetensi maupun kurikulum tingkat
satuan pendidikan yang saat ini berlaku, tetap menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai
pendidikan yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Namun demikian,
sebagaimana dinyatakan dalam asumsi kegagalan pendidikan budi pekerti di depan bahwa
mengintegrasikan suatu muatan pembelajaran ternyata bukan pekerjaan mudah bagi sebagian besar
guru. Karenanya diperlukan strategi tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti efektif.
Makna Pendidikan
Ada berbagai ragam makna rumusan pendidikan yang telah dikemukakan oleh para pakar sesuai
dengan sudut pandang dan konteks penggunaan masing-masing rumusan tersebut. Pendidikan
(education) dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Latin “educare”berarti memasukkan sesuatu
(Hasan Langgulung, 1988: 4). Dalam konsteks ini, istilah pendidikan dapat dimaknai sebagai proses
menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam kepribadian anak didik Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pendidikan dimaknai sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam suatu usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran itu sendiri".
Dalam konteks formal, makna pendidikan sebagaimana tertulis dalam Undang-undang RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal I adalah:
"Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara".
Dalam konteks filsafat, Driyarkoro (Madya Ekosusilo & Kasihadi, 1989) mengemukakan bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk “memanusiawikan manusia”. Dalam konteks tersebut
pendidikan tidak dapat dimaknai sekedar membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga
keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan manusia yang memiliki
peradaban. Pendidikan di tinjau dari sudut pandang masyarakat menurut Hasan Langgulung (1988:
3) berarti :
Pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat tetap
berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan
dari generasi ke genarasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan
sekolah pada dasarnya merupakan salah satu harapan masyarakat (sebagai wakil orang tua) untuk
mewariskan atau menanamkan nilai-nilai moral/budi pekerti yang bersumber pada norma, etika,
tradisi budaya yang dianutnya kepada generasi mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat, lembaga
pendidikan disamping diharapkan mampu mengembangkan kemampuan berfikir dan ketrampilan
hidup, juga diharapkan mampu mewariskan nilai-nilai budaya luhur kepada anak didiknya.

Pengertian Pendidikan
Terdapat bebrbagai pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, yang dilihat dari

sudut pandang mereka masing-masing. Menurut H. Horne (dalam anonim, 2013) pendidikan adalah
proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang
telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti
termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Senada
dengan pendapat tersebut, John Dewey (dalam anonim, 2013) mengemukakan bahwa pendidikan
adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam
pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara
sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan sosial. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, 1991:232, tentang Pengertian Pendidikan , yang berasal dari kata “didik”, Lalu kata ini
mendapat awalan kata “me” sehingga menjadi “mendidik” artinya memelihara dan memberi latihan.
Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran.
Pengertian Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang di
namakan hak.Tanggung jawab merupakan perbuatan yang sangat penting dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari,karena tanpa tanggung jawab,maka semuanya akan menjadi kacau (anita,
2010).Contohnya saja adalah jika seorang ayah tidak melakukan tanggung jawabnya mencari
nafkah,maka keluarganya akan sengsara. Bagaimanapun juga tanggung jawab menjadi nomor satu
di dalam kehidupan seseorang.Dengan kita bertanggung jawab,kita akan dipercaya orang lain,selalu
tepat melaksanakan sesuatu,mendapatkan hak dengan wajarnya. Seringkali orang tidak melakukan

tanggung jawabnya,mungkin di sebabkan oleh hal hal yang membuat orang itu lebih memilih
melakukan hal di luar tanggung jawabnya.Sebagai contohnya,seorang pelajar mempunyai tanggung
jawab belajar,sekolah,tapi karena ada game/ajakan teman yang tidak baik untuk bolos sekolah,maka
seorang anak itu bisa saja melalaikan tanggung jawabnya untuk bermain/bolos sekolah. Jika kita
melalaikan tanggung jawab,maka kualitas dari diri kita mungkin akan rendah.Maka itu,tanggung
jawab adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan,karena tanggung jawab menyangkut
orang lain dan terlebih diri kita.
Makna Budi Pekerti
Secara etimologis, istilah budi pekerti, atau dalam bahasa Jawa disebut budi pakerti,
dimaknai sebagai budi berarti pikir, dan pakerti berarti perbuatan. Berangkat dari kedua makna
kata budi dan pakerti tersebut, Ki Sugeng Subagya (Februari 2010) mengartikan istilah budi
pakerti sebagai perbuatan yang dibimbing oleh pikiran; perbuatan yang merupakan realisasi dari isi
pikiran; atau perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran. Menurut Ensiklopedia Pendidikan, budi pekerti
diartikan sebagai kesusilaan yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia; sedangkan
manusia susila adalah manusia yang sikap lahiriyah dan batiniyahnya sesuai dengan norma etik dan
moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam sonny Irawan, 2013) istilah budi pekerti
diartikan sebagai tingkah laku, perangai, akhlak dan watak. Budi pekerti dalam bahasa Arab disebut
dengan akhlak, dalam kosa kata latin dikenal dengan istilah etika dan dalam bahasa Inggris
disebtu ethics. Senada dengan itu Balitbang Dikbud (dalam sonny Irawan, 2013) menjelaskan bahwa
budi pekerti secara konsepsional adalah budi yang dipekertikan (dioperasionalkan, diaktualisasikan

atau dilaksanakan) dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan pribadi, sekolah, masyarakat,
bangsa dan negara. Dalam konteks yang lebih luas, Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
(1997) mengartikan istilah budi pekerti sebagai sikap dan prilaku sehari-hari, baik individu, keluarga,
masyarakat, maupun bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati
diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan masa depan dalam suatu sistem
moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara dengan bersumber pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya
Indonesia.
Budi pekerti secara operasional merupakan suatu prilaku positif yang dilakukan melalui
kebiasaan. Artinya seseorang diajarkan sesuatu yang baik mulai dari masa kecil sampai dewasa
melalui latihan-latihan, misalnya cara berpakaian, cara berbicara, cara menyapa dan menghormati
orang lain, cara bersikap menghadapi tamu, cara makan dan minum, cara masuk dan keluar rumah
dan sebagainya. Pendidikan budi pekerti sering juga diasosiasikan dengan tata krama yang berisikan
kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia. Tata krama
terdiri atas kata tata dan krama. Tata berarti adat, norma, aturan. Krama sopan santun, kelakukan,
tindakan perbuatan. Dengan demikian tata krama berarti adat sopan santun menjadi bagian dari
kehidupan manusia.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa budi pekerti pada
dasarnya merupakan sikap dan prilaku seseorang, keluarga, maupun masyarakat yang berkaitan

dengan norma dan etika. Oleh karena itu, berbicara tentang budi pekerti berarti berbicara tentang
nilai-nilai perilaku manusia yang akan diukur menurut kebaikan dan keburukannya melalui ukuran
norma agama, norma hukum, tata krama dan sopan santun, atau norma budaya/adat istiadat suatu
masyarakat atau suatu bangsa.
Makna Pendidikan Budi Pekerti
Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Haidar (dalam anonim, 2013) mengemukakan bahwa
pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar yang dilakukan dalam rangka menanamkan atau
menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam pembentukan, pengembangan, peningkatan,
pemeliharaan dan perbaikan perilaku peserta didik agar mau dan mampu melaksanakan tugas-tugas
hidupnya secara selaras, serasi, seimbang antara lahir-batin, jasmani-rohani, material-spiritual, dan
individu-sosial. (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Sedang secara operasional, pendidikan budi
pekerti dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi
seutuhnya yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya
berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan
bimbingan, pelatihan dan pengajaran. Tujuannya agar mereka memiliki hati nurani yang bersih,
berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan
terhadap sesama makhluk (Balitbang Puskur, Depdiknas, 2001). Tujuan pendidikan Budi Pekerti
adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi
pekerti luhur (Haidar dalam anonym, 2013). Hal ini mengandung arti bahwa dalam pendidikan Budi

Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai
akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa hakekat dari tujuan pendidikan budi pekerti adalah
membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara
yang baik. Indikator manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum didasarkan atas nilai-nilai sosial tertentu yang banyak
dipengaruhi oleh budaya masyarakat atau bangsa tersebut. Oleh karena itu, hakikat pendidikan budi
pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Berkaitan
dengan hal tersebut, Pusbangkurandik (1997) mengkategorikan pendidikan budi pekerti menjadi tiga
komponen yaitu: 1. Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan Tuhan,
(b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e) pembalasan atas
perbuatan baik dan buruk. 2. Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos
kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), (d) rasa
tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, (g) pengendalian diri. 3. Kesusilaan,
terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolongmenolong, (e) tenggang rasa, (f) hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatutan), (h) rasa malu, (i)
kejujuran dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri). Adapun aspek-aspek
yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) dapat dibagi ke dalam 3
ranah, yaitu: Pertama ranah kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan
pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsikan

akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, ranah afektif, yang berkenaan dengan perasaan,
emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati,
antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai
kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan tindakan, perbuatan, prilaku,
dan seterusnya. Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek

pendidikan budi pekerti dicapai mulai dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki
sikap tentang hal tersebut, dan selanjutnya berperilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan
apa yang disikapinya.
Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti mengetahui
apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik
dan buruk, dimana seseorang sampai ke tingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. Pada
tingkat berikutnya bertindak, berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah
akhlak atau budi pekerti mulia. Sebagaimamana dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantoro (1977), bahwa
supaya nilai yang ditanamkan dalam pendidikan tidak tinggal sebagai pengetahuan saja, tetapi
sungguh menjadi tindakan seseorang, maka produk pendidikan mestinya memperhatikan tiga unsur
berikut
secara
terpadu,
yaitu “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (mengetahui/memahami,
memiliki/menghayati dan melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa agar pendidikan
budi pekerti dapat mencapai tujuan yang diinginkan maka hendaknya bentuk pendidikan dan
pengajaran budi pekerti mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara terpadu. Hal senada
disampaikan oleh Lickona (Anonim, 2013), bahwa dalam proses pendidikan moral/budi pekerti,
hendaknya guru tidak semata-mata terfokus pada pemberian materi tentang konsep-konsep
pendidikan moral/budi pekerti kepada peserta didik, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya
karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan atau
perilaku moral. Pernyataan tersebut semakin memperkokoh bahwa pendidikan moral hendaknya tidak
hanya terfokus pada aspek kognitif saja, tetapi juga harus menyentuh pada aspek afektif dan
psikomotorik.

Dunia pendidikan sebagai tempat mencetak generasi intelektual tentu sangat sadar
betul eksistensi dan perannya untuk semakin mencerdaskan anak bangsa agar menjadi
generasi berkualitas dan mampu membangun bangsa ini lebih maju, mampu bersaing dan
bertahan di masa mendatang. Di media pemberitaan juga sering kita dengar adanya
berbagai kasus korupsi yang berasal dari kaum intelektual, terpelajar, bahkan juga dari para
pemimpin/birokrat, aparat hukum yang tersandung korupsi. Kondisi mental korup ini
diarahkan pada gagalnya pembinaan budi pekerti secara individu maupun kolektivitas
sehingga upaya pemberantasan korupsi yang sedang getol diperjuangkan pemerintah selalu
menghadapi tantangan yang tidak mudah.
Dunia pendidikan sedang dilanda cobaan untuk menguji seberapa jauh efektifitasnya
dalam mendidik anak bangsa ini hingga tidak sekedar cerdas secara intelektual namun juga
cerdas secara emosional, memiliki nurani dan budi pekerti dalam menerapkan ilmu dan
pengetahuannya secara benar dan tidak menyimpang. Keberpihakan pada konsep
kebenaran dapat mengacu pada konsep hukum positip yang berlaku, kebenaran agama
karena negeri ini negeri yang berKetuhanan, serta norma luhur warisan para pendahulu
bangsa baik berupa adat tata krama, norma sopan santun dan penghormatan pada asas
universal terhadap hak asasi manusia.
Krisis budi pekerti memang tidak dapat diselesaikan hanya di lingkup pendidikan
karena para pelajar hidup secara nyata di lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Namun
demikian lembaga pendidikan dibentuk dan dibuat memang dipersiapkan tidak sekedar
mengasah otak, namun juga secara disadari maupun tidak, secara langsung atau tak
langsung juga memiliki kewajiban mengasah kepribadian dan karakter anak didiknya.

Dalam tulisan Parji yang berjudul "Model Strategi Pembelajaran Budi Pekerti Dengan
Pendekatan Konstruktivistik Di Sekolah Menengah Pertama" diulas berbagai dasar teori
pembelajaran budi pekerti yang kiranya cukup sebagai dasar pemikiran kearah mana
pendidikan budi pekerti dalam dunia pendidikan seharusnya dilaksanakan dan bagaimana
wujud pendidikan budi pekerti dapat diaplikasikan dengan mudah dalam dunia pendidikan.
Karena ternyata terdapat berbagai permasalahan pelik yang perlu mendapatkan
penyelesaian. Dibawah ini disajikan cuplikan dasar teori pendidikan budi pekerti dalam
tulisan Parji yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Nomor 2, 2 Juni 2008, hal 82-84.
Pendidikan budi pekerti bertujuan agar siswa mampu memahami, menghayati, dan
menerapkan nilai-nilai budi pekerti luhur yang terdapat dalam kehidupan bermasyarakat
(Depdiknas, 2003a). Artinya pendidikan budi pekerti diharapkan mampu menjadi sarana
untuk mengembangkan karakter bangsa (nation character building) yang lebih beradab.
Melihat pentingnya peran pendidikan budi pekerti yang strategis dalam pembentukan
bangsa yarng beradab maka dalam kurikulum diputuskan bahwa pendidikan budi pekerti
merupakan bagian integral dari semua mata pelajaran pada semua jenjang pendidikan di
sekolah, termasuk dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) (Depdiknas,
2003b).
Namun dalam perjalanan bangsa sampai saat ini, kondisi tersebut belum terwujud.
Menurut Parji (2002) Pendidikan budi pekerti yang berjalan sampai saat ini ditengarai
berbagai pihak belum berhasil dalam mewujudkan fungsinya, yaitu pembentukan karakter
bangsa yang beradab. Hal ini tampak pada maraknya peristiwa kerusuhan, terorisme,
pembunuhan, perampokan dan peristiwa asusila lainnya.
Berbagai pihak juga menengarai bahwa kegagalan pendidikan budi pekerti yang
terjadi sampai saat ini dikarenakan pendidikan budi pekerti hanya menekankan pada aspek
kognitif saja. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan budi pekerti belum relevan dengan
dinamika psikologis perilaku normal. Bandura menjelaskan bahwa perilaku moral pada
dasarnya merupakan hasil dari interaksi menurut Piaget, resiprokalitas dari aspek kognitif,
afektif, dan pengaruh sosial. Di awal perkembangannya individu belajar norma dan nilai-nilai
moral dari masyarakat melalui berbagal proses interaksi dengan orang lain. Individu belajar
norma dan nilai moral dari proses pengasuhan orang tuanya, bermain dengan teman
sebayanya, bergaul dengan keluarga dan saudaranya dan lain-lain. Berdasarkan interaksi
tersebut secara berkesinambungan individu mengembangkan penilaian moral.
Penilain moral terkait dengan dua hal, yakni a) alasan bagi individu untuk mengikuti aturan
moral tertentu, dan b) dasar bagi individu untuk mengevaluasi tindakannya sendiri atau

tindakan orang lain berdasarkan kriteria baik dan buruk. Ketika seseorang membuat
penilaian moral bahwa jujur adalah tindakan yang baik, maka pada dasarnya dia memiliki
alasan mengapa jujur merupakan tindakan yang baik dan berdasarkan nilai kejujuran yang
dikembangkannya dia mampu unuk menilai perilaku dirinya sendiri maupun orang lain dari
segi kejujuran. Khusus mengenai alasan individu mengikuti aturan moral tertentu, ini
berkaitan dengan penalaran moral (moral reasoning).
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, individu yang telah mengembangkan moral
tertentu tidak secara otomatis akan menerapkan penilaian moral. Hal ini dikarenakan bahwa
penerapan penilai moral dalam tindakan mengikuti pola mekanisme regulasi diri . Penilaian
moral dalam proses regulasi diri merupakan standar moral (moral standard) bagi individu.
Proses regulasi diri dalam menerapkan standar moral dilakukan dengan diawali dari
pemantauan kondisi dimana standar moral tersebut dapat diterapkan, kemudian diikuti
proses regulasi untuk menerapkan standar moral tersebut dalam bentuk runtutan tindakan
yang dilakukannya. Penerapan standar moral ini memberikan individu peranan berharga
(selfworth), tetapi apabila melanggar standar moral yang dikembangkannya maka dia akan
mengembangkan sanksi bagi dirinya (self sanction). Sanksi pribadi (selfsanction)
berkembang selaras dengan perkembangan standar moral. Regulasi diri dalam moralitas
bukan serta merta ditentukan oleh faktor dalam diri (self) saja, melainkan hasil resiprokalitas
antara faktor kognitif, afektif dan pengaruh sosial. Proses regulasi diri moralitas itu sendiri
tidak terjadi apabila tidak diaktivasi oleh individu, sehingga dalam kondisi tersebut individu
melanggar standar moral yang dikembangkannya.
Terdapat banyak manuver sosial psikologis yang memungkinkan individu rnelanggar
standar moral yang telah dikembangkan. Berbagai manuver sosial psikologis tersebut
meliputi justiflkasi moral (moral justification), pembandingan dengan sesuatu yang lebih
rendah (palliative camparison), pelabelan eupimistik (euphemistic labeling) dan berbagai
manuver yang lainnya.
Pemahaman mengenai dinamika psikologis dari perilaku moral memberikan
pedoman bagi pembinaan dan pendidikan budi pekerti. Parji (2002) menggariskan bahwa
pendidikan budi pekerti semestinya berusaha untuk menggunakan pengetahuan moral
secara bermakna, menghargai pandangan dan keyakinan peserta didik, dan melakukan
aktivitas belajar dalam konteks nyata dalam mempelajari nilai budi pekerti, tidak sekedar
bersifat normatif dan indoktrinisasi. Pendidikan budi pekerti sangat terkait dengan
pengembangan kecakapan personal dan sosial. Oleh karena itu, pendidikan budi pekerti
perlu disusun guna memberikan bekal kepada siswa untuk menguasai kecakapan personal

dan sosial. Individu yang memiliki kecakapan personal dan sosial diharapkan mampu
mengaktualisasikan nilai-nilai budi pekerti luhur yang berlaku di masyarakat dan menjadi
sumber daya manusia yang mampu bersaing di era global saat ini.
Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan
segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan
moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat
3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : 1).
Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang
meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran,
empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja
dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat
yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar.
3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral.
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat
di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis.
Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi
(ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu
aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan
peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia
lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ
(intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ
(Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang
tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu
SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan
moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.
Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya
menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalahmasalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja
atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka
bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat
terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya
kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang
memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika

kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung
jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri
seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku
bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan
moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak
menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri
atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah.
Penutup
Pentingnya nilai akhlak, moral serta budi luhur bagi semua warga negara kiranya tidak perlu
diingkari. Negara atau suatu bangsa bisa runtuh karena pejabat dan sebagian rakyatnya berperilaku
tidak bermoral. Perilaku amoral akan memunculkan kerusuhan, keonaran, penyimpangan dan lainlain yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa. Mereka tidak memiliki pegangan dalam kehidupan
bernegara dan berbangsa. Oleh karena itu, nilai perlu diajarkan agar generasi sekarang dan yang
akan datang mampu berperilaku sesuai dengan moral yang diharapkan. Terwujudnya manusia
Indonesia yang bermoral, berkarakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur merupakan tujuan
dari pembangunan manusia Indonesia yang kemudian diimplementasikan ke dalam tujuan pendidikan
nasional. Pada tataran demikian, maka pendidikan yang berorientasikan pada nilai moral, akhlak dan
budi pekerti menjadi penting dan sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem pendidikan di
Indonesia.
Daftar Pustaka
Anonim.
2013. Pengertian
pendidikan.
Tersedia
padahttp://www.artikelbagus.com/2012/11/pengertian-pendidikan.html. diakses tanggal 25 mei 2013.
Anita. 2010. Penertian tanggung jawab, pengabdian dan tanggung jawab. Tersedia
pada:http://anitapurwati.wordpress.com/2010/10/31/pengertian-tanggung-jawab-dan-pengabdian-danpengorbanana/ diakses tanggal 25 mei 2013.
Dirjen Dikti, Depdikbud. (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara
Ki Hajar Dewantara, (1977). Pengajaran Budi Pekerti. Yogyakarta: Taman Siswa, Bag.I.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, edisi kedua.
Irawan,
sonny.
2013. Pengertian
budi
pekerti. Tersedia
padahttp://anthemdot.blogspot.com/2012/02/hakikat-pendidikan-budi-pekerti.html. diakses tanggal 28
mei 2013.
Parji. 2008."Model Strategi Pembelajaran Budi Pekerti Dengan Pendekatan Konstruktivistik Di
Sekolah Menengah Pertama". Jurnal Ilmu Pendidikan Nomor 2, 2 Juni 2008, hal 82-92. Tersedia
pada: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/152088292.pdf. diakses tanggal 25 mei 2013.

Google Facebook Twitter