Pengaruh Konsentrat terhadap Performa Re

MAKALAH MANDIRI

PENGARUH KONSENTRAT TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI
SAPI PO DAN SIMPO

Oleh:
Zunaizah Qudwatunnisa, S.K.H
13/358721/KH/7940

KOASISTENSI REPRODUKSI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

HALAMAN PENGESAHAN
MAKALAH MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI

Pengaruh Konsentrat terhadap Performa Reproduksi Sapi PO dan Simpo

Oleh:

Zunaizah Qudwatunnisa, S.K.H.
13/358721/KH/7940

Makalah mandiri ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan Koasistensi
Reproduksi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

Yogyakarta, 22 Oktober 2013

Dosen Pembimbing/ Penguji

drh. Erif Maha Nugraha Setyawan, M.Sc.

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah mandiri ini dengan judul
Pengaruh Konsentrat terhadap Performa Reproduksi Sapi PO dan Simpo.
Makalah ini diajukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
koasistensi reproduksi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.

Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapatkan pengarahan
serta dorongan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. drh. Erif Maha Nugraha Setyawan, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang
senantiasa memberi arahan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan
penulisan makalah ini.
2. Teman-teman kelompok Koasistensi A.13.4
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dalam
isi, penulisan, maupun struktur bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran
dan kritik. Semoga makalah mandiri ini bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Yogyakarta, 22 Oktober 2013

Zunaizah Qudwatunnisa

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
………………………………………………………
iii

DAFTAR ISI
………………………………………………………............
iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….........
v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
vi
I. PENDAHULUAN …………………………………………………………..
1
A. Latar belakang ………………………………………………………..
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan pakan sapi …………………………………………………
3
B. Konsentrat …………………………………………………………….
6
C. Pengaruhnya terhadap reproduksi ……………………………….…….
9
III. PEMBAHASAN ……………………………………………………….…
12

IV. KESIMPULAN …………………………………………………………...
14
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………
15
LAMPIRAN ……………………………………………………………………
17

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole (PO)………………………………………... 2
Gambar 2. Sapi PO-Simmental (Simpo)……………………………………….... 3
6

Gambar 3. Leguminosa…………………………………………………………..

7
Gambar 4. Ampas singkong……………………………………………………... 7
7
Gambar 5. Bungkil kopra………………………………………………………...
7

Gambar 6. Kulit kopi…………………………………………………………….
Gambar 7. Dedak padi…………………………………………………………...

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering, 3
sesuai SNI 2009……………………………………………………...

Tabel 2. Komposisi bahan untuk formulasi pakan konsentrat………………

6

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kebutuhan daging nasional yang setiap tahun semakin meningkat, tahun
ini sebanyak 549,7 ribu ton tidak diimbangi dengan meningkatnya populasi ternak

sebagai penghasil daging (Anonim, 2013). Berdasarkan hasil sensus pertanian
bulan Mei lalu, populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau di Indonesia

menunjukkan penurunan sebanyak 15,5% dari tahun 2011 tercatat 16,7 juta ekor
sedangkan pada tahun 2013 tercatat hanya 14,2 juta ekor (Anonim, 2013). Jika hal
ini terus terjadi dan tidak ada perbaikan atau upaya untuk meningkatkan
produktiftas ternak, maka rencana swasembada daging 2014 (PSDSK 2014) akan
gagal, dan mengalami pengunduran waktu lagi.
Penyebab utama dari turunnya jumlah populasi sapi di Indonesia adalah
sedikitnya

angka

kelahiran

ternak.

Kurang

mahirnya

peternak


dalam

melaksanakan manajemen peternakan menjadi salah satu sebab sedikitnya angka
kelahiran pedet. Manajemen kesehatan, pakan dan kandang yang tidak sesuai
dengan kondisi ideal sapi, akan menurunkan performa ternak, terutama performa
reproduksi yang berkaitan dengan angka kelahiran pedet. Hal yang paling
mendasar terjadi di hampir seluruh kawasan Indonesia adalah buruknya
manajemen pakan, yang mengakibatkan rendahnya nutrisi yang diterima oleh
ternak terutama untuk mengoptimalkan reproduksi ternak. Perbaikan produktivitas
induk sapi harus segera dilakukan, karena sebanyak 99% penghasil pedet di
Indonesia berasal dari peternakan rakyat, dan peternakan rakyat menggantungkan
asupan pakan ternak dari alam sekitar bahkan limbah pertanian yang berkualitas
rendah (Mariyono dkk., 2004). Hijauan berkualitas rendah serta kurang
mampunya peternak untuk mencukupi kebutuhan konsentrat sapi yang berkualitas
menjadi masalah klasik di negeri ini.
Maraknya sapi crossbreed sebagai pemenuh kekurangan pasokan sapi
lokal, menjadi bertambahnya masalah yang dihadapi oleh peternak. Kebutuhan

konsentrat dan hijauan yang berkualitas tinggi menjadi hal yang sulit untuk
dipenuhi oleh peternak lokal. Sapi crossbreed seperti peranakan Simmental

(Simpo), peranakan Limousin (Limpo), peranakan Brahman dan Angus (BrangusPO) terpaksa harus diadaptasikan dengan lingkungan yang memberikan mereka
pakan seadanya, tidak sesuai dengan kebutuhan pokok dari sapi crossbreed. Sapi
Simental-Peranakan Ongole (Simpo) merupakan sapi hasil backcrossing antara
sapi Simental termasuk exotic breed dengan sapi Peranakan Ongole merupakan
salah satu sapi potong yang banyak digemukkan oleh peternak Indonesia dengan
sistem feedlot (Riyanto, 2009). Sapi lokal (sapi PO) telah adaptif dengan
lingkungan di kawasan Indonesia dengan pakan hijauan dan konsentrat yang
kualitasnya tidak terlalu tinggi.

Gambar 1. Sapi Peranakan Ongole (PO)

Gambar 2. Sapi PO-Simmental (Simpo)

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebutuhan pakan sapi
Kebutuhan pakan sapi terdiri dari hijauan, leguminosa dan pakan tambahan
berupa konsentrat. Hijauan dan leguminosa berfungsi sebagai sumber serat dan
vitamin, dapat berupa rumput, daun-daunan, jerami, tebon, kulit kedelai,limbah

kacang tanah. Pakan tambahan berupa konsentrat merupakan salah satu sumber

gizi tinggi, mineral dan protein (Nuschati, 2008).
Tabel 1. Persyaratan mutu konsentrat sapi potong berdasarkan bahan kering,
sesuai SNI 2009.
No.

Jenis pakan

Kadar

Abu

PK

Lemak

air

Ca

P


Aflatoksin

TDN

%

%

Maks

Min %

kasar

Maks

Maks

Min


%

%

%

Maks %

ug/kg

1

Penggemuka

14

12

13

7

0,8-1,0

0,6-0,8

200

70

2
3

n
Induk
Pejantan

14
14

12
12

14
12

6
6

0,8-1,0
0,5-0,7

0,6-0,8
0,3-0,5

200
200

65
65

Sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi crossbreed memiliki kebutuhan
pakan yang berbeda. Sapi PO memiliki konsumsi pakan yang kurang dari sapi
crossbreed, misalnya Simpo. Kebutuhan pakan sapi PO maupun Simpo dihitung
secara ringkas dari berat badannya, yaitu hijauan 10% dari berat badan, konsentrat
1-2% dari berat badan. Kebutuhan protein (PK) untuk sapi yang baik adalah
>14% serta, total digestible nutrient (TDN) 70%. Ukuran tersebut merupakan
standar optimal untuk sapi dapat berproduksi (Nuschati, 2008).
Peternak memiliki berbagai cara untuk memberikan pakan pada sapi yang
bertujuan agar sapi mereka gemuk dan berproduksi maksimal. Nugraha (2012)
menyatakan bahwa cara penggemukan sapi secara modern dilakukan dengan
menggunakan prinsip feedlot, yaitu:
1. Sistem dry lot fattening
Sistem

dry

memperbanyak

lot

fattening

pemberian

yaitu

penggemukan

sapi

dengan

pakan konsentrat. Jumlah pemberian hijauan

hanya relatif sedikit sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih

tinggi.

Perbandingan hijauan dan konsentrat berkisar antara 40:60 sampai
20:80. Perbandingan ini didasarkan pada bobot bahan kering (BK).
Penggemukan sistem ini dilakukan di dalam kandang. Pakan hijauan
dan

konsentrat

diberikan kepada sapi di dalam kandang. Sistem yang

dilakukan adalah pakan harus disediakan sesuai porsi waktu yang tepat.
2. Sistem pasture fattening
Sistem penggemukan pasture fattening, yaitu sapi yang digembalakan
di padang penggembalaan sepanjang hari. Dengan sistem ini, ada ternak yang
tidak dikandangkan dan ada juga yang dikandangkan setelah malam hari atau
pada saat matahari bersinar terik. Padang penggembalaan yang baik adalah
padang tersebut ditumbuhi hijauan berupa rumput dan leguminosa.
Sementara padang penggembalaan yang hanya ditumbuhi rumput saja
berdampak kurang baik bagi laju pertumbuhan sapi.
mempunyai kemampuan

untuk

menangkap

nitrogen

Leguminosa

sehingga

tanah

dibawahnya menjadi lebih subur dan baik untuk pertumbuhan rumput.
Leguminosajuga memiliki kandungan protein yang tinggi.
3. Sistem kombinasi dry lot dan pasture fattening
Sistem ini merupakan perpaduan dry lot fattening. Pada sistem ini, bila
musim hujan berlimpah maka sapi digembalakan di padang gembalaan dan
tidak harus dikandangkan. Sementara pada musim

kemarau,

sapi

dikandangkan dan diberi pakan penuh. Pada siang hari digembalakan di
padang penggembalaan, sedangkan pada malam hari sapi dikandangkan dan
diberi konsentrat. Sistem penggemukan ini membutuhkan waktu yang lebih

lama daripada sistem dry lot fattening, tetapi lebih singkat daripada sistem
pasture fattening.
4. Sistem kereman
Sistem ini sebenarnya hampir sama dengan dry lot fattening, yaitu
ternak sapi diberi pakan hijauan dan konsentrat serta sapi dikandangkan
selama pemeliharaan. Bedanya, sistem kereman lebih banyak dilakukan
oleh peternak tradisional dan pemberian pakannya masih tergantung
dengan kondisi. Bila musim hujan, sapi diberi banyak pakan hijauan,
tetapi bila musim kering sapi lebih banyak diberi pakan konsentrat.

Gambar 3. Leguminosa

B. Konsentrat
Menurut SNI 3148.2:2009 konsentrat merupakan pakan yang kaya akan
sumber protein dan atau sumber energi serta dapat mengandung pelengkap pakan
dan/atau imbuhan pakan.
Berikut contoh komposisi bahan pembuat konsentrat menurut Nuschati, 2008:

Gambar 4. Ampas singkong

Gambar 5. Bungkil kopra

Gambar 6. Kulit kopi

Gambar 7. Dedak padi
Riyanto (2009) menyatakan bahwa salah satu bentuk konsentrat yang baik
untuk memacu pertumbuhan terdiri dari 70% hijauan (jerami padi fermentasi) dan
30% (konsentrat). Konsentrat diberi nama Konsentrat Pemacu Petumbuhan
(GPC=Growth Promoted Concentrate) diberikan sebagai konsentrat suplementasi
pakan penguat berupa onggok 70%, bekatul 25% dan molases 5%. Komposisi

GPC tersusun dari 5 % urea, 20 % molases, 30 % bungkil kedelai, 5 % bungkil
sawit, polar 39 % dan mineral 1 %.
Daerah yang memiliki lahan kering misalnya di Blora, Grobogan, Gunung
Kidul, lebih cenderung memberikan pakan pada ternak yang berkualitas rendah.
Apabila musim penghujan, hijauan melimpah sehingga asupan mineral, serat dan
vitamin cukup untuk ternak. Lain halnya jika musim kemarau terjadi, hijauan
akan sulit ditemukan, sehingga peternak kesulitan untuk memberikan pakan pada
ternaknya. Salah satu cara peternak memanfaatkan melimpahnya hijauan ketika
musim penghujan adalah dengan pengeringan rumput untuk menyimpannya
sebagai persediaan saat tidak ditemui limbah pertanian. Saat hijauan sulit
ditemukan, maka konsentrat adalah pilihan selanjutnya sebagai pakan. Konsentrat
yang ada di pasaran terlalu mahal untuk dibeli, sehingga sebagian peternak
memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan konsentrat buatan (Soeharsono
dkk., 2005; Nuschati, 2008). Upaya mengoptimalkan pemanfaatan limbah
pertanian dilakukan dengan berbagai cara, seperti perebusan pada dedak padi,
gaplek, onggok, maupun dengan pencincangan pada jerami jagung dan pucuk
tebu. Perlakuan fisik dengan penggilingan menghasilkan ukuran partikel yang
lebih kecil, berakibat meningkatkan bahan terkonsumsi (Soeharsono, 2005).
C. Pengaruhnya pada reproduksi
Produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performansnya,
seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh, dan kondisi ternak.
Reproduksi baru dapat berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas dan
diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkan.

Reproduktivitas ternak yang tinggi merupakan kunci keberhasilan produksi
ternak, terutama mengenai jumlah anak yang dapat dilahirkan selama hidup induk.
Empat hal yang menjadi kendala reproduksi sapi potong, yaitu lama bunting yang
panjang, panjangnya interval dari lahir hingga estrus pertama, tingkat konsepsi
yang rendah dan kematian anak sampai umur sapih yang tinggi.
Nuryadi dkk (2011) menyatakan bahwa performa reproduksi dapat dilihat dari
service per conception (S/C), calving interval (CI), days open (DO) dan
conception rate (CR). Service per conception yang baik adalah 1,6-2,0, calving
interval yang ideal adalah 9 bulan bunting ditambah waktu menyusui 3 bulan
yaitu 12 bulan, days open yang baik adalah 80-85 hari, dan conception rate 65%.
Hal tersebut dapat diatasi dengan cara perbaikan pakan pada sapi saat menjelang
kelahiran dan setelah kelahiran, saat menyusui dan saat akan kawin (Winarti dkk.,
2010). Sapi persilangan cenderung memiliki performa reproduksi yang lebih
buruk dari pada sapi PO. Faktornya adalah kesalahan manajemen pakan, deteksi
estrus yang tidak tepat, perkawinan IB yang tidak tepat dan legeartis, sehingga
dapat berdampak pada performa reproduksi secara langsung (Nuryadi dkk., 2011
dan Winarti dkk., 2010).
Performa reproduksi sapi PO akan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain yaitu faktor genetik (bangsa), makanan dan lingkungan (Iskandar, 2011),
selain itu factor kesehatan juga berpengaruh pada produktivits (Rasyid dkk.,
2009). Pola pengelolaan yang baik pada sapi dara selama fase pertumbuhan akan
memberikan pertambahan bobot badan maksimal sehingga masa pubertas dan
dewasa tubuh akan dicapai lebih cepat. Namun, pertimbangannya bahwa sapi dara

yang akan memasuki masa reproduksi membutuhkan bobot badan dan kondisi
tubuh yang optimal. Kekurangan gizi dalam waktu yang lama akan menyebabkan
kekurusan dan diikuti tidak aktifnya fungsi ovarium, sebaliknya akan mengalami
gangguan reproduksi yaitu kegagalan kebuntingan dan kemajiran bila bobot badan
meningkat drastis. Pemberian pakan yang tidak memadai akan berpengaruh pada
conception rate yang rendah. Apabila kebutuhan pakan tambahan tidak terpenuhi
dengan baik, maka akan terjadi defisiensi mineral dan berdampak pada
reproduksi. Kegagalan reproduksi dapat disebabkan karena kurang gizi, defisiensi
mineral, teknik inseminasi dan faktor internal ternak itu sendiri (Rasyid dkk.,
2009).
Pemberian pakan yang kurang dari peternak rakyat, biasanya hanya diberi
berupa rumput lapang dan juga rumput kering di saat musim kemarau, di
mana kandungan gizi kedua bahan pakan tersebut seperti protein dan mineral
rendah, tentu kebutuhan hidup pokok sapi PO tidak terpenuhi akibatnya proses
produksi dan reproduksi terganggu, seperti pencapaian umur pubertas menjadi
lama (panjang). Rumput kering yang jelek selalu memberikan defisiensi protein
dan biasanya berhubungan dengan rendahnya kadar mineral di

dalam pakan

terutama P (Posfor) dan Co (cobalt). Apabila sapi mengalami defisiensi Co
dapat

menyebabkan menurunnya

nafsu

makan,

pubertas terlambat dan

kegagalan estrus pada sapi betina. Sedangkan defisiensi P dapat menyebabkan
pubertas terlambat pada sapi dara dan pada induk terjadinya kegagalan estrus
(Iskandar, 2011).

Sapi persilangan memiliki kebutuhan pakan yang lebih tinggi dibanding
dengan sapi lokal, misalnya Simpo (Simmental-PO). Performa reproduksi sapi
Simpo akan menurun jika cara pemeliharaannya sama dengan pemeliharaan sapi
PO. Jika nutrisi tidak terpenuhi, maka sapi crossbreed akan lebih sering
mengalami gangguan reproduksi yang diawali dengan silent heat-anestrus, karena
bobot tubuh mereka tidak optimal untuk mencapai kemampuannya dalam
berovulasi atau beraktivitas luteal. Kurangnya pakan penguat yang mengandung
banyak mineral dan energi secara garis besar dapat berdampak negatif pada
performa reproduksi baik sapi PO maupun Simpo (Rasyid dkk., 2009).
Salah satu nutrisi yang terkandung dalam pakan tambahan konsentrat adalah
karbohidrat,

bentuk

paling

sederhana

bisa

berupa

aldehid

(disebut

polihidroksialdehid atau aldosa) atau berupa keton (disebut polihidroksiketon atau
ketosa). Rendahnya kadar glukosa dalam serum pada sapi, selain dapat
menghambat sintesis atau pelepasan gonadothropin releasing hormone (GnRH)
juga menghambat pelepasan follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing
hormone (LH), menyebabkan terhambatnya perkembangan folikel, ovum,
estrogen,dan progesteron. Glukosa adalah salah satu substrat metabolisme paling
utama yang diperlukan untuk fungsi yang sesuai dengan proses reproduktif pada
sapi. Rendahnya kadar serum glukosa selain dapat menyebabkan tingginya
konsentrasi non esterified fatty acids (NEFA) yang mempunyai efek toksik
terhadap folikel, oosit,embrio, dan fetus. Kekurangan nutrisi juga berdampak pada
kematian ovum, embrio, dan fetus karena tidak cukupnya hormon steroid ovarium
(Arthur, 2001).

III. PEMBAHASAN
Kebutuhan pakan sapi lokal dan crossbreed misalnya PO dan Simpo tidak
dapat disamakan secara kuantitas maupun kualitas. Sapi PO cenderung lebih
adaptif untuk pakan yang ada di wilayah Indonesia, sedangkan sapi Simpo
memiliki kecenderungan pakan yang lebih banyak dan berkualitas tinggi hal itu
tidak diimbangi dengan kemampuan peternak rakyat untuk membeli pakan yang
berkualitas tinggi, baik berupa hijauan yang bagus ataupun konsentrat yang
bernutrisi tinggi.
Konsumsi pakan hijauan yang rendah menyebabkan terjadinya defisiensi
mineral, vitamin dan serat sehingga hijauan tidak dapat diserap dengan sempurna,
begitupun dengan kekurangan pakan tambahan atau penguat dapat berakibat
defisiensi protein dan mineral serta energi. Kekurangan pakan yang drastis dapat
berakibat rendahnya skor kondisi tubuh, bobot tubuh yang seharusnya cukup
untuk proses reproduksi sapi dara maupun indukan tidak cukup, dan akhirnya
banyak sekali kasus reproduksi yang sumber utamanya adalah defisiensi pakan
bernutrisi. Hijauan, leguminosa dan konsentrat sebaiknya diatur sedemikian rupa
agar seimbang, sebagai contoh yang diterapkan oleh Nuschati (2008) pemberian
pakan hijauan dan leguminosa sebanyak 10% dari bobot tubuh, dan pakan
tambahan berupa konsentrat sebanyak 1-2% dari bobot tubuh. Beberapa kasus
reproduksi yang sering dihadapi peternak jika terjadi defisiensi nutrisi berupa
protein, energi, mineral dan vitamin adalah late estrus, silent heat hingga
anestrus. Kekurangan protein menyebabkan timbulnya berahi yang lemah, berahi

tenang, anestrus, kawin berulang (repeat breeding), kematian embrio dini,
absorbsi embrio yang mati oleh dinding uterus, kelahiran anak yang lemah atau
kelahiran prematur. Selain pengaruh nutrisi, defisiensi dan ketidakseimbangan
mineral juga berpengaruh terhadap kawin berulang, aktivitas ovarium, dan
rendahnya efisiensi reproduksi (Bearden, 1980).
Kebutuhan nutrisi yang seimbang sangat penting untuk kelangsungan
reproduksi sapi, jika kebutuhan nutrisi pokok seperti energi, protein rendah maka
akan terjadi gangguan reproduksi yang berpengaruh pada performa reproduksi.
Sapi membutuhkan pakan penguat atau konsentrat apabila jumlah energi dan
protein yang diterima kurang. Kebutuhan energi dan protein yang kurang untuk
perkembangan reproduksi kurang, maka S/C, CI dan DO akan tinggi (S/C >2,0;
CI > 12 bulan, DO > 85 hari) sedangkan CR semakin rendah (CR < 65%) baik
pada sapi PO dan Simpo, karena kurangnya kebutuhan energi menyebabkan
adanya negative energy balance sehingga menyebabkan nilai kondisi tubuh
rendah berdampak pada gangguan reproduksi dan performa reproduksi yang
buruk.

IV. KESIMPULAN
1. Performa reproduksi sapi PO dan Simpo akan menjadi buruk apabila
manajemen pakan tidak disesuaikan dengan individunya. Service per
conception, calving interval, days open akan menjadi tinggi dan conception

rate akan semakin rendah. Hal itu dapat menurunkan nilai fertilitas sapi
potong.
2. Performa reproduksi (S/C, CI, CR, DO) sapi PO dan persilangan dipengaruhi
oleh nutrisi pada pakan, deteksi estrus, dan perkawinan IB.
3. Kebutuhan energi dan protein akan berpengaruh langsung terhadap performa
reproduksi sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Pakan Konsentrat-Bagian 2: Sapi Potong. Standar Nasional
Indonesia. Badan Standardisasi Nasional.
Anonim.

2013.
Sapi Lokal Penuhi 85% Kebutuhan Daging.
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/05/090465177/Sapi-LokalPenuhi-85-Persen-Kebutuhan-Daging. 18 September 2013.

Anonim. 2013. Hasil Sensus Pertanian 2013 (angka sementara). Badan Pusat
Statistik.
Arthur, G.H. 2001. Veterinary Reproduction and Obstetrics. W.B. Saunders:
England.

Bearden, H. J. and John W. Fuquay. 1980. Applied Animal Reproduction
Reston Publishing Company. Inc. A. Printice Hall Company Reston,
Virginia.
Iskandar. 2011. Performa Reproduksi Sapi PO pada Dataran Rendah dan
Dataran Tinggi di Provinsi Jambi. Fakultas Peternakan Universitas
Jambi: Jambi.
Nugraha, RI. 2012. Mengenal Manajemen Pakan Sistem Penggemukan Sapi.
Nuryadi. Wahjuningsih, S. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Peranakan
Ongole dan Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya: Malang.
Nuschati, U. 2008. Teknologi Formulasi Ransum untuk Penggemukan Sapi pada
Wilayah Marjinal.
Rasyid, A. Krishna, NH. 2009. Produktivitas Sapi Potong Dara Hasil Persilangan
F1 (PO x Limousin dan PO x Simmental) di Peternakan Rakyat. Loka
Penelitian Sapi Potong: Pasuruan, Jawa Timur.
Riyanto, J. 2009. Usaha Penggemukan Sistem Feed/of Sapi Simental Berbasis
Pakan Jerami Padi Fermentasi (Straw Fermented Block=SFB) dan
Suplementasi Konsentrat Pemacu Pertumbuhan (Growth Promoting
Concentrate=GPC) Pola Integrated Sustainabality Farming System
Berwawasan Zero Waste-LEISA (Low External Input Sustainable
Agriculture) Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Peternak Kelompok
Tani Ternak “Sambi Mulyo” Desa Jagoan, Kecamatan Sambi,
Kabupaten Boyolali. LPPM. Universitas Negeri Surakarta (UNS)
Penelitian, KNRT, Insentif Peningkatan Kapasitas IPTEK Sistem
Produksi: Surakarta.
Soeharsono. Supriadi. Hanafi, H. 2005. Pengaruh Pemberian Pakan Konsentrat
yang disusun dari Limbah Pertanian Terhadap Produktivitas Ternak
Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian: Yogyakarta.
Winarti, W. Supriyadi. 2010. Penampilan Reproduksi Ternak Sapi Potong Betina
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Balai Pengakajian Teknologi
Pertanian: Yogyakarta.

LAMPIRAN
1. Sistem feedlot mana yang baik dilakukan untuk mendapatkan sapi yang
baik?
Jawab: tergantung tujuan dari beternak. Jika penggemukan, maka pilihan
yang lebih cepat mendapatkan hasil adalah sistem dry lot fattening atau
dengan cara kereman yang biasa dilakukan oleh peternak tradisional.
Karena sistem tersebut membatasi gerak sapi (sapi dikandang terus) dan
suplai makanan terus diberikan, terutama untuk sistem dry lot fattening,
peternak memberikan 60-80% konsentrat yang merupakan sumber energi,
sehingga sapi akan cepat gemuk.

2. Jelaskan mengenai pemberian pakan yang disesuaikan dengan kondisi
lingkungan setempat!
Jawab: Maksudnya adalah pemberian diberikan berdasrkan kondisi iklim
setempat. Misalnya daerah Grobogan, Gunung kidul, Blora yang memiliki
lahan kering, mereka memanfaatkan melimpahnya hijauan disaat musim
hujan sehingga sapi hanya diberikan hijauan. Sedangkan pada musim
kemarau karena stok hijauan sangat minim, peternak lebih banyak
memberikan konsentrat atau bahkan full konsentrat tanpa hijauan.
Konsentrat biasanya juga terbuat dari limbah pertanian.
3. Apa hubungannya negative energy balance (NEB) dengan performa
reproduksi?
Jawab: apabila terjadi NEB maka asupan glukosa untuk energi tidak ada,
sehingga yang terjadi adalah menurunnya fungsi GnRH sebagai
penstimulus anterior pituitary. Jika GnRH terganggu, maka gangguan
reproduksipun akan terjadi. Hal itu dapat menebabkan late estrus, calving
interval yang tinggi, repeat breeding (menyebabkn S/C tinggi), serta
conception rate yang rendah.
4. Penting atau tidak konsentrat untuk sapi?
Jawab: Penting jika asupan energi kurang, jika asupan hijauan sangat
terpenuhi tanpa diberikan pakan penguat maka asupan energy untuk
kebutuhan reproduksi akan berjalan lancar. Lain halnya jika asupan
hijauan

hanya

terbatas

(rata-rata

di

Indonesia)

maka

pakan

tambahan/penguat (konsentrat) baik dari limbah pertanian atau dari
pabrikan, dapat diberikan secukupnya, antara 1-2% dari BB sapi.