Beberapa Buku yang di review

Book Reviews
1. Liem Khiem Yang, Dia Hidup! (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
Buku tipis ini bercerita tentang genesis Kepercayaan Kristen, demikian istilah sang penulis buku.
Pokok buku ini dijelaskan ke dalam empat aspek, yaitu: 1. Sosok Yesus, 2. Kematian Yesus, 3. Kebangkitan
Yesus, dan 4. Kehadiran Yesus di dalam Roh. Di dalam mengurai hal tersebut, Liem terlihat berusaha setia
dengan status ganda yang dia miliki, yaitu: 1. Seseorang yang menganut iman Kristen, dan 2. Seseorang
akademisi ulung di Perjanjian Baru yang memiliki akses membaca kajian-kajian PB dari pelajar-pelajar
Jerman dan Amerika lainnya. Artinya, buku beliau ini memiliki kekhasan, yaitu: 1. Tidak ideologis di
dalam dogmatisme iman Kristen, sehingga kisah Keilahian Yesus di buku ini dihargai proses historisnya,
bukan simsalabim abrakadabra; 2. Tidak ideologis di dalam dogmatis akan historisitas iman Kristen,
sehingga situasi historis yang mengelilingi terbentuknya iman Kristen tidak hanya suatu kumpulan fakta
historis yang berbicara tentang diri-mereka-sendiri tetapi fakta-fakta historis yang menunjuk ke suatu
“fakta inti“, sesuatu yang esensial di luar diri-mereka (baca: fakta-fakta historis tersebut) (h.29). Posisi ini
terlihat dengan jelas ketika penulis buku, misalnya, bercerita tentang Keyahudian Yesus dan Kematian
Yesus yang menurut penulis bahwa memang benar secara historis Yesus adalah seorang Yahudi (dan
penekanan tentang Keyahudian Yesus terasa penekanannya di dalam studi-studi terkini) tetapi Yesus
berdiri di luar kesatuan dan semangat cita-cita bangsa Yahudi (h.32). Dengan kalimat tersebut, penulis
mengakui fakta historis tetapi beliau melihat fakta historis tersebut sebagai “petanda“ yang menunjuk ke
“fakta lainnya“. Artinya: fakta historis tidak berdiri sendiri untuk dirinya-sendiri.
Saya lebih tertarik dengan posisi penulis buku sebagai fokus refleksi. Hal ini disebabkan karena
setiap buku memiliki kekhasan perspektif/bingkai dan sang penulis buku telah mengambil posisi tertentu

di dalam menuliskan bukunya. Posisi Liem menunjukan jejak-jejak akademis tentang kajian-kajian PB
yang beliau tempuh di Universitas Bonn, dan sekaligus jejak-jejak pergumulan teologis yang menggumuli

fakta historis tentang Yesus, dan topik-topik lain di PB. Jejak-jejak ini mengarah ke suatu bentuk watak
keilmuan dari beliau, yaitu: tidak dogmatis di dalam fakta historis, dan tidak dogmatis di dalam fakta
teologis. Artinya, suatu fakta teologis itu lahir dari suatu situasi historis dan fakta historis itu menunjuk ke
sesuatu yang di luar dirinya-sendiri. Sehingga, penulis buku tidak menjadi ekstrimis sejarah yang antiteologi dan tidak menjadi ekstrimis teologi yang alergi uraian sejarah.
Posisi semacam ini menarik bila lebih jauh ditarik ke dalam praktek khotbah. Cukup sering saya
mendengar khotbah yang “ekstrimis teologi“ sehingga fakta-fakta historis dibuang begitu saja. Praktek
semacam ini disebut sebagai usaha pengembangan spiritualitas dan karakter jemaat yang tidak
memerlukan fakta-fakta historis di dalam tafsiran dan khotbah tentang Alkitab. Padahal, bila melihat
sang penulis buku, posisi yang dia miliki memiliki spiritualitas dan karakter juga: yaitu, tidak ekstrim, dan
taat di dalam iman Kristen yang tidak buta sejarah. Sehingga, dengan posisi ini, khotbah-khotbah bukan
untuk menina-bobokan jemaat dengan ulasan teologis yang terasa sejuk di luar tetapi simsalabim
abrakadabra asal-usul pokok khotbah.
2. Liem Khiem Yang, Mendengarkan Perumpamaan Yesus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Empat klasifikasi tentang Perumpaan Yesus, yaitu 1. Similitude, 2. Parabel, 3. Allegori, dan 4.
Exemplum, merupakan fokus dari buku ini. Dari sejumlah klasifikasi jenis Perumpamaan itu, fokus utama
yang menyatukan masing-masing klasifikasi tersebut adalah usaha untuk memahami secara tepat
Perumpamaan Yesus, agar Perumpamaan menjadi bermakna. Dalam usahanya, di satu sisi, ada yang

kembali ke konteks historis, dan di sisi yang lain, ada juga yang tidak hanya kembali ke konteks historis
tetapi juga kontekstualisasi situasi historis, aktor dan pesan dari Perumpamaan tersebut. Sementara itu,
sang penulis buku menyatakan posisinya sebagai seseorang yang ingin benar-benar mendengar
perumpamaan Yesus. Di sini, penulis menegaskan pentingnya historisitas di dalam studi teologi.

Yang pasti, Perumpamaan sebagai suatu bagian dari Sastra dipahami sebagai Petanda yang tidak
menunjuk ke dirinya-sendiri melainkan ke sesuatu yang di luar dirinya yang disampaikan melalui
rangkaian kata yang membentuk Perumpamaan. Oleh karena itu, satu perumpamaan ada yang memiliki
kesamaan format dengan perumpamaan yang lain, walaupun editorial susunan kata berbeda. Hal ini bisa
ditemukan di Perumpamaan Domba yang hilang (h.14-25). Kesaaman tersebut, di buku ini hal itu disebut
similitude, memberi rambu tentang “format asli“ yang dijadikan sumber Perumpamaan Domba. Dengan
adanya hasrat mencari “format asli“, muncul juga pandangan tentang pasti ada “ur-parable“,
perumpamaan yang langsung dan asli dari Yesus.
Aktivitas Menafsir, entah itu Perumpamaan atau narasi lainnya di Alkitab, tidak hanya soal
mencari-temukan makna yang ada di dalam teks tetapi juga mencipta makna. Yang pertama meyakini
bahwa makna itu sudah ada di dalam teks, dan yang kedua melihat makna muncul setelah ada interaksi
antara teks, dan konteks-dari-teks, dengan pembaca dan konteks-dari-pembaca. Oleh karena itu,
klasifikasi atas Perumpamaan, seperti keempat kategori di atas, sebenarnya menyertakan “pendekatan
fungsionalisme“/penggunaan dari Perumpamaan tersebut. Tidak semata murni teks dan konteks-dariteks; sebab, setiap Perumpamaan yang disoroti telah, dan bahkan hidup di tengah komunitas (para
pemakai). Sehingga, aktivitas mencipta makna muncul, dan karena itu satu Perumpamaan bisa menjadi

sangat dahsyat kekuatannya bila ia berbicara juga tentang komunitas, di samping komunitas mendengar
dari perumpamaan.
3. Robert S. Kreider & Rachel Waltner Goossen, Ketika Orang Beriman Bertengkar (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2012)
Membangun dan merawat Persekutuan bukan hal yang mudah. Seringkali, ketika pertentangan
dan kemudian konflik datang menghadang, tafsir yang menyentuh atas ayat-ayat Kitab Suci, ataupun
khotbah yang menggetarkan sekalipun, tidak otomatis memiliki kuasa dan pengaruh di dalam

meredakan pertentangan ataupun konflik. Bahkan, situasi post-konflik juga tidak terjangkau oleh
khotbah dan tafsir ayat-ayat Kitab Suci. Situasi ini memerlukan skil tersendiri, dan skil tersebut bisa
dipelajari melalui buku Robert S. Kreider dan Rachel Waltner Goossen ini. Buku ini bisa disebut Buku
Panduan untuk Resolusi Konflik di jemaat, dengan mengambil basis ayat-ayat Alkitab dan kasus-kasus
yang terjadi di jemaat.
Isu-isu sensitif sering menjadi sumber perpecahan, dan buku ini memberikan bentuk konkret
dari resolusi konflik, yaitu: coba belajar membicarakan hal-hal sensitif tanpa perpecahan (h.79). Situasi
Perbedaan-dan-Konflik yang ada di jemaat memiliki beragam bentuknya, dan tidak jarang kompleksitas
semakin bertambah seiring semakin tidak tepat tahap penyelesaian atau semakin terbengkalai
penyelesaiannya. Oleh karena itu, skil menyelesaikan konflik sungguh diperlukan.
Mengetahui bagaimana menyelesaikan konflik merupakan suatu pengetahuan dan skil yang
sangat baik. Itu sangat membantu pertumbuhan dan perawatan persekutuan jemaat. Di samping itu, hal

yang tidak kalah penting dan baik adalah usaha untuk terus menerus membangun dan merawat sisi
internal dari masing-masing individu di jemaat, baik itu aspek kognitif ataupun afektif. Sehingga, masingmasing anggota jemaat dapat bertumbuh dari dalam, dan pertumbuhan itu membangun dan merawat
persekutuan. Konflik ada tidak hanya sekedar “karena kita berbeda“ tetapi juga karena “tidak ada
pertumbuhan internal“ dari masing-masing anggota persekutuan; sehingga, ada jemaat yang sangat
mudah tersinggung, ada jemaat yang sangat mudah merendahkan orang lain, ada jemaat yang sangat
mudah membanggakan diri-sendiri, dan seterusnya.
Faktor “tidak ada pertumbuhan internal“ ini yang harus diperhatikan. Pertumbuhan internal
yang dimaksudkan di sini adalah pertumbuhan yang lebih fokus ke persoalan kognitif dan afektif, sisi
intelejensi dan sisi spiritualitas emosi. Oleh karena itu, sungguh baik membaca buku ini, tetapi akan jauh
lebih baik lagi ada pendamping untuk buku ini, yaitu suatu kegiatan terjadwal untuk membangun

pertumbuhan internal, baik melalui kontemplasi pribadi, dan jemaat, ataupun diskusi-diskusi yang
bermartabat.
4. Eka Darmaputera, Jalan Kematian, Jalan Kehidupan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Buku ini merupakan kumpulan khotbah-khotbah Pra Paskah dan Paskah dari sang penulis buku.
Di samping kesohoran nama penulis yang menarik minat atas buku ini, isi dari buku ini juga menarik.
Gaya penulisan yang digunakan penulis sangat mudah diikuti. Lalu, beliau juga mengetengahkan suatu
bentuk telaah atas teks yang mampu masuk menuju kedalaman tetapi mudah dicerna. Contoh, di saat
berbicara tentang Tomas, sosok Tomas dimasukan ke dalam kategori “orang sulit“, yang sejajar dengan
orang yang pesimis, skeptis, berpikiran negatif, dan punya kecenderungan apatis yang cukup besar

(h.107-108), dan sosok Tomas ini mewakili banyak orang yang juga memiliki karakter yang sama.
Bagi kebanyakan orang menjalin relasi dengan orang-orang yang satu tipe dan gaya seperti
Tomas bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tidak jarang, orang seperti Tomas tidak dianggap penting
untuk dijadikan teman. Langsung tereliminasi sosok Tomas. Untuk sikap seperti itu, Eka mengangkat
kisah Tomas ini, dan mengatakan bahwa sosok seperti Tomas tidak perlu dijauhi apalagi dimusuhi. Sangat
perlu merangkul orang-orang yang setipe seperti Tomas; sebab, Yesus melakukan hal itu (h.109). Ia tidak
membuang Tomas. Yudas yang mengkhianatinya tetap bersamanya. Petrus yang peragu tetap di
sampingnya. Yesus merangkul orang-orang yang berbeda tipe, dan memperlakukan mereka sesuai
dengan tipe karakter mereka.
Di samping menawarkan perspektif yang tidak umum, beliau juga menegaskan pentingnya hidup
di dalam nilai-nilai dasar Kristiani, seperti ketaatan sebagai murid-murid Yesus. Pada bagian ini, Eka
menunjukan bahwa ketaatan menjadi murid Yesus itu sungguh tidak mudah namun harus
dihadapi/dijalani. Bahkan Petrus saja tidak berani menanggung resiko sebagai murid Yesus di saat Kaisar
Nero memburunya (h.52). Banyak yang menghindari jalan-jalan sulit sebagai murid Yesus. Melarikan diri

atau menyangkali identitas diri sebagai murid Yesus adalah dua pilihan yang umum. Untuk mereka yang
bersikap seperti ini, beliau menegaskan pentingnya untuk taat bahkan sampai mati bila ingin sungguh
meneladani Yesus (imitatio Christi). Sebab, Yesus telah memberi contoh kepada murid-murid.
Merenungkan khotbah-khotbah Eka sungguh menyegarkan. Tidak hanya diajak melakukan
afirmasi terhadap nilai-nilai Kristiani, tetapi juga disuguhkan suatu perspektif yang tidak umum.

Kemampuan semacam ini tentu didapatkan melalui aktivitas disiplin, misalnya disiplin membaca, disiplin
berkontemplasi secara individu, disiplin menganalisa, dan seterusnya. Oleh karena itu, suatu kewajaran
mendapati kesegaran-kesegaran di khotbah-khotbah beliau.
Kemampuan untuk berdisiplin itu juga semacam khotbah dari beliau di buku ini. Semacam
unspoken preaching. Oleh karena itu, para pembaca budiman, entah itu pendeta, majelis ataupun
mahasiswa/i, seharusnya tidak mencomot khotbah beliau, lalu langsung dijadikan khotbah sendiri.
Seolah-olah apa yang dikhotbahkan berasal dari pergumulan dan kontemplasi atas teks-teks Alkitab,
padahal khotbah tersebut berasal dari khotbah di buku ini. Justru, pembaca budiman merasa terangsang
untuk melakukan pendisiplinan diri di dalam membaca, berkontemplasi, menganalisa teks, dan
seterusnya.
5. Liem Khiem Yang, Bertumbuh Bersama dalam Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)
Buku ini merupakan kompilasi dari empat buku yang dipublikasi secara terpisah. Materi-materi
yang menyusun buku ini terambil dari bahan-bahan Pembinaan Warga Gereja. Empat pokok yang
dijadikan fokus pembahasan buku ini adalah: 1. Jemaat Hidup Beriman, 2. Jemaat Beribadah, 3. Jemaat
Berdoa, dan 4. Jemaat Mendengarkan Firman Allah. Keempat pokok ini sangat relevan untuk Pembinaan
Warga Gereja. Bisa dikatakan bahwa keempat pokok tersebut merupakan hal fundamental di dalam
kehidupan beriman.

Ajaran-ajaran yang disampaikan di dalam setiap pokok tentu memberi suatu pedoman dasar dan
praktis untuk warga gereja menjalani, dan merawat pertumbuhan kehidupan bersama. Contoh, di saat

berbicara iman dan perbuatan, buku ini menangkis kesan bahwa perbuatan itu inferior dari iman, dan
iman itu sejajar dengan aktivitas “meminta-minta“ dari Tuhan melalui doa. Kedua kesan itu dapat
disebut sebagai masalah yang ada di tengah kehidupan beriman. Dua kesan tersebut tidak benar. Penulis
buku menegaskan bahwa Perbuatan juga hal yang penting di dalam kehidupan beriman. Bahkan,
perbuatan adalah buah-buah iman (h.7-13). Yang tidak boleh di dalam kehidupan beriman adalah
“Perbuatan untuk memegahkan diri“; sebab, kehidupan beriman itu bermula/berakar pada Kasih Kristus
(2 Kor 5:14) di saat kita menerima baptisan.
Lalu, dengan mengetahui bahwa Kasih Kristus adalah awalan kehidupan beriman, maka inti-sari
iman adalah menjalani kehidupan yang terarah keluar dirinya sendiri (h.6). Oleh karena itu, kehidupan
beriman tidak identik dengan “aktivitas meminta-minta“, melainkan aktivitas memberi-diri untuk orang
lain. Di samping itu, ada aktivitas mengucap syukur sebagai sikap dasar kehidupan beriman. Sikap ini
selaras dengan aktivitas memberi-diri; sebab, dengan mengucap syukur, warga gereja tidak berfokus ke
dirinya, seperti merasa cemas, khawatir, resah dan seterusnya, melainkan memberi-diri melalui
pengucapan syukur (h.14-16).
Aktivitas memberi-diri ini juga menempatkan kehidupan beriman bukan sebagai urusan individu
tetapi urusan persekutuan (Filemon 6). Kisah Onesimus yang melarikan diri ke Paulus, karena memiliki
masalah dengan Filemon sebab Onesimus membuat kerugian atas Filemon, justru Onesimus menjadi
orang percaya yang berguna bagi pemberitaan Injil yang dilakukan Paulus (h.17). Dan berdasarkan
pengalaman itu, Paulus meminta Filemon melihat hal itu dengan “mata yang lain“. Mengalami rasa tidak
suka terhadap anggota persekutuan, dan berbagai pengalaman tidak baik lainnya, sering menjadi

ganjalan untuk bertumbuh bersama di dalam iman, dan kisah Onesimus-Filemon ini memberi dasar

untuk “memberi-diri/terarah keluar“ di dalam melihat orang yang menjengkelkan di dalam Persekutuan.
Gunakan mata yang lain, demikian saran Paulus untuk Filemon di dalam memandang Onesimus.
“Melihat dengan mata yang lain“, terlihat mewarnai buku ini sehingga di saat ada jemaat yang
resah dengan konferensi-konferensi teologi yang isinya membahas lingkungan hidup (h.96), atau di saat
jemaat menempatkan Pendeta sebagai tempat Tuhan menyuarakan suaranya, dan contoh lainnya,
penulis buku menggunakan mata yang lain di dalam melihat hal-hal tersebut. Sehingga, dengan mata
yang lain, penulis buku menyarankan untuk “kritis“ sebagai mata yang lain itu di dalam melihat Pendeta
sebagai tempat Tuhan menyuarakan suaranya (h.81-83); sebab, dengan mengacu ke Matius 4:1-11, Iblis
pun dapat mengutip ayat-ayat, maka kritis sangat penting untuk melihat apakah Pendeta yang sedang
berkata-kata tentang Tuhan bukanlah seorang Iblis. Tentang konferensi tersebut, “mata yang lain“ bisa
memerlihatkan bahwa melalui konferensi tersebut Tuhan sedang menyuarakan suaranya tentang
kerusakan alam, dan perawatan alam.
Buku tipis ini sungguh berisikan perspektif yang terasa berbeda. “Gunakan mata yang lain“
merupakan contoh perspektif tersebut. Termasuk di dalamnya adalah tentang “sikap Kritis“ yang
diperlukan di dalam menganalisa dan menyaring pandangan-pandangan yang mengatakan ini suara
Tuhan.
6. John Barton, Umat Berkitab: Wibawa Alkitab dalam Kekristenan (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2008)

Buku ini mengetengahkan bagaimana Alkitab digunakan di dalam denominasi-denominasi yang
ada di dalam Kristianitas. Kalangan liberalis dan kalangan konservatif memiliki cara yang berbeda di
dalam memahami Alkitab dan menggunakannya. Contoh, Marcion menolak gambaran-gambaran
tentang Allah yang penuh kekerasan di dalam Perjanjian Lama. Tidak hanya itu, Barton juga
menyebutkan beberapa nama seperti Adolf Harnack, Von Campenhaussen, dan lain-lain, untuk memberi

contoh bagaimana Alkitab dibaca oleh “banyak mata dan perspektif“. Oleh karena itu, topik-topik
tertentu atau ayat-ayat tertenu di dalam Alkitab berbeda pemahamannya antara satu sudut pandang
dengan sudut pandang yang lainnya. Dari sekian banyak pendekatan tersebut, Barton mengetengahkan
kategori “Kewibawaan Alkitab“, bukan kategori liberalis atau konservatif seperti yang berkembang di
tengah-tengah umat Kristen.
Dengan kategori “Kewibawaan Alkitab“, penulis buku berusaha melampaui sekat dan pertikaian
dari segala perbedaan yang muncul dari kategori liberalis atau konservatif itu. Bagi Barton, kedua
kategori itu sebenarnya memiliki kelemahan, dan kelemahan tersebut dapat diatasi dengan merujuk
kepada kewibawaan Alkitab bagi umat Kristen. Dengan demikian, kategori yang diajukan Barton lebih
memusatkan perhatian kepada pertanyaan “bagaimana teks-teks atau topik-topik di Alkitab dapat
menunjukkan wibawanya kepada para pembaca?“ Ini tidak berarti jawaban: “karena Alkitab berkata
demikian“ (h.74) adalah jawaban yang baik dan bermanfaat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
“mengapa“. Sebaliknya, kewibawaan Alkitab juga tidak menghilangkan pendekatan historis-kritis tetapi
pendekatan itu juga tidak harus menghilangkan kewibawaan Alkitab, seperti yang banyak diasumsikan

orang bahwa pendekatan itu menempatkan Alkitab sebatas “teks kuno“.
Buku ini memberi alternatif yang ingin melampaui sekat-sekat atau perbedaan pendekatan yang
selama ini “bertikai“ memerebutkan Alkitab. Dengan menekankan Kewibawaan Alkitab, penulis buku
tidak berarti menghilangkan pendekatan historis kritis atau menyetujui pendekatan konservatif.
Sebaliknya, pendekatan historis-kritis diterima dengan catatan pendekatan tersebut tidak mereduksi
Alkitab hingga ke titik “teks kuno“. Di sini, pendekatan Kewibawaan Alkitab ditegaskan, dan sekaligus
merangkul hasil-hasil yang didapatkan oleh pendekatan historis kritis. Dan, untuk pendekatan
konservatif, Kewibawaan Alkitab ditekankan agar tidak ada “subyektivisme“ –yang menekankan

pentingnya nama-nama tertentu-- di dalam memahami Alkitab. Dengan pendekatan kewibawaan ini,
maka penulis berharap aspek akademis, dan spiritualitas dapat berjalan saling menguatkan.
Dengan pemahaman semacam ini, buku ini sangat menolong pembaca. Argumentasiargumentasi yang diberikan juga dirasakan penalarannya. Oleh karena itu, tidak salah, bila buku ini perlu
dijadikan bacaan bagi banyak orang Kristen. Tentu saja, bukan berarti buku ini sudah memadai, tetapi
justru di saat membaca buku ini, buku-buku yang lain juga perlu dibaca. Terutama, referensi-referensi
yang relevan dengan topik ini.
7. Xavier Quentin Pranata, Faith is Powerful: Menghayati Iman dalam Setiap Tindakan (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011)
Buku ini berisikan 33 renungan. Penulis buku merangkum isi buku ini dengan judul buku “Faith is
Powerful“. Kisah sepasang lansia yang pasangannya menderita Alzheimer (h.73), William Addis (h.53),
Gordon Bethune (h.21), Mata Iman (h.81), Mengunjungi Orang Kaya (h.97), Pemakan Waktu (h.105),

Pilih Penjara atau Kantor (h.109), adalah renungan-renungan yang ketika membacanya saya merasakan
mendapatkan getaran-getaran. Topik renungan yang lain tidak menghasilkan getaran yang sama.
Kemampuan menghasilkan getaran-getaran bagi pembaca diperlukan di dalam menuliskan suatu
renungan. Di samping kemampuan menulis, ada kemampuan yang perlu diperhatikan, yaitu kemampuan
menangkap dan memenangkan pembaca renungan. Kemampuan yang terakhir ini lebih berhubungan
kepada kepekaan dan kekuatan cerita/tulisan, bukan karena kekuatan rangkaian kata-kata. Oleh karena
itu, dengan adanya kemampuan seperti ini, suatu tulisan atau cerita dapat menjadi tempat perjumpaan
dengan Tuhan. Hal ini bisa dilihat ke berita mengenai Paus Fransiskus I yang menelpon seorang
perempuan Brasil yang hamil di luar nikah, gay Katolik di Perancis, tukang pembuat sepatu Kepausan,
(Kompas, 7 September 2013), yang semua berita yang disampaikan memberi getaran getaran. Tidak

karena rangkaian kata-kata, tetapi tulisan tersebut berhasil menyentuh sisi peka dari pembaca, dan
memenangkan pembaca.
8. John C. Maxwell, Running with the Giants (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002)
Buku ini mengetengahkan beberapa tokoh di dalam Alkitab yang memiliki Iman tangguh, dan
ketangguhan tersebut menghasilkan daya kepemimpinan yang membuahkan hasil. Tokoh-tokoh iman
yang diambil bersifat inklusif, dan peka-jender; karena terdapat beberapa tokoh perempuan yang diambil
sebagai contoh. Kepekaan jender ini sangat baik sebab itu memberi pesan bahwa penulis buku adalah
seseorang yang berkepribadian post-patriarchy. Artinya, penulis memiliki sudut-pandang yang tidak
dibayang-bayangi oleh pengagungan tokoh-tokoh pria. Dari masing-masing tokoh yang ditampilkan,
penulis mengarahkan “kisah teologis” ke “pembentukan karakter. Pergeseran ini penting agar isi Alkitab
tidak melulu dilihat dalam perspektif “Pengagungan Allah” lewat kalimat-kalimat metafisis yang hambar,
tetapi “Pengagungan Allah” lewat “Pengangkatan Karakter-karakter manusiawi”, sehingga Tuhan dikenal
lewat karya-karya manusia, bukan lewat kalimat-kalimat metafisis.
9. Flora Slosson Wuellner, Gembalakanlah Gembala-gembalaku (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2011)
Buku ini mengangkat topik-topik klasik namun aktual tentang Pembaruan Spiritualitas dan
Kepemimpinan Kristen, misalnya, kekeringan spiritual dalam kepemimpinan Kristiani, Penyalahgunaan
Spiritual, Kelelahan Spiritual dan Pembaruan yang mendalam, Disiplin Spiritual atau Respons Spiritual,
Menjaga Spiritualitas dalam hubungan yang tidak sehat, Menyembuhkan memori yang terluka, dan
lainnya. Tiap topik yang diangkat sangat menarik, dan semua itu menegaskan kembali korelasi antara
spiritualitas dan kepemimpinan sangat dekat dan saling memberi pengaruh. Tidak hanya itu, merawat
dan melindungi spiritualitas itu penting untuk kepemimpinan. Oleh karena itu, disiplin spiritual sangat

diperlukan. Perlu penjadwalan agar dapat melakukan hal tersebut. Salah satu bentuk dari perawatan
spiritual itu adalah menjalani psikoterapi secara rutin (p.88).
Isi dari buku ini sangat relevan untuk para pendeta; sebab, pada umumnya di saat seseorang
menjadi pendeta, terdapat perasaan batin yang mengatakan “tujuan telah sampai”, dan karena sudah
sampai maka “tinggal bekerja sebagai karyawan gereja”. Tidak hanya itu, posisi struktural di organisasi
gereja dan posisi teologis di dalam sakramen atau peribadahan membawa para pendeta kepada posisi
tertinggi. Suasana batin dari hal-hal tersebut berbaur di dalam banyak sosok pendeta. Dampak dari
suasana batin tersebut adalah “melayani sebagai karyawan”, sehingga kehilangan greget dan pergumulan
teologis. Lalu, “mendaku diri berada pada posisi puncak”, sehingga presbiter dianggap rendahan karena
tidak mengikuti jenjang pendidikan formal teologi dan tidak ikut vikariat. Hal-hal tersebut akhirnya
mengurangi waktu bagi para pendeta untuk merawat dan melindungi spiritualitasnya masing-masing.
Bahkan, tindakan semacam itu dirasa tidak perlu karena sudah pendeta dan berada di puncak.
Para pendeta yang membaca buku ini akan diajak kembali untuk disegarkan dan dilengkapi.
Tentu saja, agar ajakan ini berhasil, perlu ada keterbukaan dan kesediaan diri untuk merasa kurang, dan
merasa perlu dilengkapi.
10. John Sung, Obor Allah di Asia. (Jakarta: Yakoma Bina Kasih, 2011).
Buku kecil ini disusun dengan bingkai “Biografi Iman”, sehinggga setiap butir pembahasan
memperlihatkan Perjalanan Iman dari John Sung, bukan sekedar informasi perjalanan ataupun
kehidupan beliau. Kuatnya pengalaman Rohani tentang “Sapaan dan Kehadiran Allah” membuat
kehidupan John Sung tidak lepas dari dunia Rohani. Diawali oleh pergumulan eksistensial tentang
kehampaan dan kesia-sia-an hidup di saat ia menjadi mahasiswa teologi di UTS, NY, khususnya kehidupan
intelektual-teologi yang terasa jauh dari Tuhan, John Sung akhirnya, melalui mimpi-mimpi, berjumpa
dengan Allah, Sang Pemberi Makna. Perjumpaan itu membawa dirinya masuk ke dalam Pekabaran Injil

yang dimulai dari kampung halamannya, lalu ke penjuru Cina, dan berlanjut ke daerah Jawa Tengah,
Timur, dan Makassar.
Pengalaman Rohani tersebut sangat kuat, mengalahkan derita sakit-penyakit yang dideranya,
dan mengalahkan kekurangan-kekurangan yang ia hadapi. Kekuatan pengalaman itu membuat John Sung
tegar laksana Batu Karang Yang Teguh menghadapi terpaan gelombang ombak kehidupannya.
Refleksi atas Buku John Sung
Pengalaman hidup Sung, khususnya pengalaman kehampaan dia, pengalaman berjumpa dengan
Allah, dan ketegaran hidupnya menghadapi kesulitan-kesulitan merupakan kekuatan-hidup Sung. Tidak
mudah melewati semua pengalaman itu. Bahkan, pengalaman ber-temu dengan Tuhan merupakan suatu
pengalman yang tidak mudah bagi dia, secara khusus pengalaman itu mendorong dia untuk membuang
ijazah, dan menghadapi orangtuanya yang menginginkan dia bekerja agar punya penghasilan tetap yang
bisa membiayai adik-adiknya.
Memiliki Relasi dengan Tuhan, apalagi bisa bertemu dengan Tuhan, merupakan suatu hal yang
tidak selalu ber-isi kemanisan. Acapkali, pertemuan dan relasi itu mengarahkan hidup ke titik-yang-jauh
dari rencana yang sudah kita susun. Saat membaca buku Sung dan menuliskan refleksi ini saya seperti
membaca “tanda Tuhan” bagi diri-saya yang saat ini sedang menjalani vikariat di Makassar. Ditempatkan
di Makassar sungguh suatu kesulitan tersendiri yang menuntut ketegaran-diri. Walau secara territorial
tempat vikariat saya terletak di Ibu Kota Provinsi –yang artinya fasilitas kota ada di kota ini, dibanding
dengan situasi pedesaan-, tempat saya bertugas yaitu STT Intim sungguh jauh dari bayangan Institusi
Pendidikan yang bisa mewakili bobot mutu pendidikan dari Ibu Kota Provinsi (cf. UKDW di Yogyakarta,
dan STT Jakarta di Jakarta). Inkompetensi pemimpin yang menghasilkan kepemimpinan yang tidak efektif
ineffective leadership dan kepempinan yang tidak berbuah/unfruitful leadership (indikatornya:
ketidakmampuan kampus membiayai diri-sendiri, ketidakmampuan kampus membuat kegiatan

pencarian-dana yang fruitful, ketidakmampuan kampus membayar Dosen Bahasa Inggris, dan banyak
ketidakmampuan lainnya) merupakan hasil-nyata dari pemimpin dan kepemimpinan yang telah lama
berlangsung seperti itu. Masih bisa lagi menambah hal-hal lain yang membuat Institusi Pendidikan ini
masuk dalam kategori “sekolah-gagal”. Memang, terlampau keras kategori itu, dan itu mungkin harus
diperdebatkan kebenarannya. Tidak ada masalah untuk mendebat hal itu. Justru, statemen keras ini
membuktikan diri berhasil membuka mata, dan telinga yang sudah lama acuh terhadap suara kritis.
Suara kritis ini tidak usah dimusuhi apalagi diacuhkan karena bahkan di era para Nabi di Alkitab Orang
Yahudi suara kritis identik datang dari para Nabi yang diutus Tuhan menegur para penguasa yang lalim,
dan jauh dari Tuhan.
Dengan statemen di atas saya tidak bermaksud menyatakan diri saya sebagai orang yang
memonopoli Tuhan ke dalam relasi individual saya, dan itu kemudian mengabaikan relasi orang lain
dengan Tuhan. Yang ingin saya sampaikan dengan statemen itu adalah “suara kritis” harus di-dengar
karena ia punya dasar historis di dalam Alkitab, dan orang-orang yang menutup telinga dan mata dari isi
suara kritis itu sesungguhnya sedang mengulang kisah para Raja lalim di Alkitab.
Situasi-situasi sulit di atas laksana gelombang ombak yang tidak mudah dihadapi. Sejauh ini, saya
memahami itu sebagai “tempaan” yang mendewasakan emosi sekaligus mengasah mental dan
komitmen untuk bisa sungguh-sungguh menjadi “Kabar Baik” di Institusi Pendidikan tersebut. Dengan
harapan dan doa semacam itu, saya merasa pengalaman hidup Sung memberi inspirasi buat saya untuk
menjadi “Kabar Baik”.
11. Ebenhaizer I. Nuban Timo, Aku Memahami yang Aku Imani, (Jakarta: BPK, 2009)
Buku ini membahas aspek-aspek dasar dari Iman Kristen, seperti Trinitas, Roh Kudus, Baptisan,
dan isu aktual yaitu Kelompok Doa. Membaca buku ini akan membantu menguatkan pemahaman
tentang aspek-aspek dasar Iman Kristen. Pembahasan atas aspek-aspek tersebut terlihat menggenapi

ujaran Anselmus yang berkata: “fides quarens intellectum” (iman mencari pemahaman). Namun
demikian, di sana-sini, penulis buku tidak sekedar mencari pemahaman atas Iman tetapi juga melakukan
pencarian perwujudan-setara yang sejalan dengan penjelasan akan Iman itu. Hal itu bisa dilihat pada
pembahasan tentang Trinitas misalnya (23-40). Oleh karena itu, buku ini sebenarnya tidak hanya fides
quarens intellectum, tetapi juga fides quarens manifestum. Buku ini mencari manifestasi-manifestasi
sejajar dari Iman. Hal itu semacam terlihat lebih konkret di saat mengurai kelompok doa, yang latarbelakangnya adalah menjamurnya kelompok doa yang “mengepung“ GMIT. Dengan latar kelompok doa
yang mengepung GMIT, walau menuliskan hal-hal positif dari kelompok doa (ini agar penulis dipandang
obyektif), penulis buku sangat terlihat reaksioner atas kelompok doa dan “membela-diri“/ber-apologia
dengan uraian-uraiannya yang menguraikan “Bahaya-bahaya Kelompok Doa“, yang salah satunya abai
dengan tata-tertib organisasi (158).
Refleksi atas Buku Ebenhaizer Nuban Timo
Ulasan penulis buku membantu memperlengkapi saya dengan pemahaman-pemahaman yang
sewaktu-waktu dibutuhkan untuk memberikan wawasan teologis tentang aspek-aspek dasar Iman
Kristen. Meskipun demikian, saya merasa ulasan penulis tentang Trinitas belum terlihat sepenuhnya
melakukan dialog dengan pemikiran-pemikiran yang menyanggah doktrin Trinitas yang berasal dari
sejumlah pemikir Muslim seperti Ibn Hazm dari abad ke-11 (Aasi, 2007), dan al-Maturidi, dan lainnya
(David Thomas, 2008). Padahal, pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh ini yang diwarisi oleh mayoritas
Muslim tentang Trinitas, Ketuhanan Yesus, dan seterusnya. Singkat kata, penulis buku menuliskan
bukunya terlepas dari konteks keislaman, padahal penulis buku di pembahasan tentang Trinitas
mengambil Trinitas sebagai model ideal untuk Kemajemukan masyarakat. Artinya, dengan contoh itu,
penulis buku berusaha ber-dialog dengan konteks tetapi sayangnya konteks keislaman tidak disinggung,

hanya konteks sosial keragaman dari masyarakat. Dengan ungkapan yang berbeda, penulis buku tidak
masuk ke konteks keislaman dari masyarakat.
12. Andar Ismail, Selamat Melayani Tuhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012)
Seperti buku-buku Selamat lainnya, Buku Selamat Melayani Tuhan berisikan kumpulan artikelartikel reflektif tentang “aspek dan seluk beluk pelayanan“, misalnya konsep Pelayan, Pengutusan/Diutus,
Posisi Warga gereja, Keletihan Jiwa, dan lain sebagainya.“ Dengan mengangkat aspek dan seluk-beluk
pelayanan, penulis buku berharap setiap Orang Kristen memahami dirinya sendiri sebagai Pelayan Tuhan,
melawan stigma bahwa Pelayan Tuhan adalah Pendeta, atau Majelis gereja, dan karena itu setiap orang
dipanggil dan diutus untuk berpikir, dan bertindak sebagai Pelayan Tuhan di mana pun Orang Kristen itu
berada, dan apapun pekerjaannya. Bertolak dengan pemahaman seperti ini, penulis buku mengajak
Orang Kristen untuk masuk ke dalam Kedalaman Laut (dari Dunia Pelayanan), agar ditemukan mutiaramutiara dari dasar laut itu. Tentu, di saat menyelam, masuk ke kedalaman laut, keletihan akan muncul,
namun kesukacitaan yang muncul saat mendapatkan mutiara-mutiara menutupi keletihan tersebut.
Ilustrasi menyelam dan mendapatkan mutiara juga sebenarnya merujuk kepada kegiatan
Pelayanan tersebut, yang seringkali membuat letih jiwa dan tubuh, karena tidak jarang salah-paham,
perbedaan visi-misi, dan berbagai soal lainnya yang muncul di dalam Pelayanan. Namun, keletihan
tersebut tertutupi oleh sukacita di saat melakukan pelayanan sesuai tugas dan panggilan.
Refleksi atas Buku Andar Ismail
Buku Andar Ismail ini merupakan bagian dari Serial Selamat beliau yang mana seluruh Proyek
Serial Selamat itu berhasil menghadirkan “Buku Panduan“ bagi banyak orang Kristen untuk memperluas
wawasan dan memperdalam refleksi teologis tentang Dunia Kristianitas dan Kompleksitasnya, baik itu di

dalam gereja ataupun di dalam relasinya dengan masyarakat. Oleh karena itu, Buku ini bisa dipandang
sebagai “Buku Panduan”. Kebaikan semacam ini yang diberikan oleh Buku Populer dari Andar Ismail.
Kebaikan yang mudah didapatkan bisa menina-bobokan orang Kristen untuk merasa cukup
membaca Buku Panduan dari beliau, dan karena itu mereka malas membaca buku yang bahasanya lebih
kompleks, dan ketebalannya melebihi buku beliau. Ini “Pesan Yang Tak Terkatakan“ dari buku beliau ini,
dan Refleksi penulis berusaha membuat eksplisit Pesan tersebut. Dengan kata lain, “populerisme“ ada di
belakang penulisan buku ini: “populerisme“ dijadikan “media“ untuk menyampaikan Refleksi Teologis
oleh penulis buku, dan sebagai media, populerisme itu bisa berubah menjadi “berita“.