Peranan Vitamin E Dan Selenium Sebagai A

Peranan Vitamin E Dan Selenium Sebagai Antioksidan Dalam
Peningkatan Kualitas Dan Nilai Gizi Telur
Kusnadidi Subekti

ABSTRAK
Pada telur yang sebagian besar kandungan kuning telurnya (egg yolk) adalah asam
lemak tak jenuh rantai panjang (PUFA) terutama sekali asam lemak linoleat (C18:2n-6),
mudah sekali mengalami peroksidasi sehingga membutuhkan antioksidan. Vitamin E dan
selenium memiliki peranan utama dalam sistem antioksidan guna mengatasi peroksidasi
lemak. Vitamin E adalah antioksidan alami yang larut dalam lemak, yang, ketika
dimasukkan ke dalam ransum unggas , cenderung untuk membawa stabilitas oksidatif
pada telur. Selenium merupakan bagian penting dari berbagai selenoproteins, yang paling
dikenal di antaranya adalah glutathione peroksidase (GSH-Px). Secara khusus, GSHPx
terlibat dalam perlindungan antioksidan seluler, dan telah diketahui bahwa GSH-Px
bekerja secara sinergis dengan vitamin E, karena GSH-Px melanjutkan pekerjaan vitamin
E dengan detoksifikasi hidroperoksida. Dalam banyak hal, nutrisi dalam telur adalah
gambaran dari kandungan gizi ransum/pakan, sehingga sangatlah mungkin untuk
meningkatkan kadar vitamin E dan selenium dalam telur dengan memanipulasi
ransum/pakan unggas petelur. Selain itu juga vitamin E dan Selenium dalam jumlah/dosis
yang tepat tidak memiliki efek negatif baik pada kualitas telur maupun konsumennya.
Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan vitamin E dalam ransum

sebesar 40 sampai dengan 200 mg/kg dan selenium sebesar 0.3 sampai dengan 0.5 mg/kg
ransum serta kombinasi keduanya, dapat meningkatkan kandungan vitamin E dan
selenium dalam telur, juga terdapat peningkatan konsentrasi glutathione dalam hati ayam.
Peningkatan kandungan vitamin E dalam telur dapat mencapai 8 mg/100g yolk dibanding
telur biasa yaitu 2 mg/100g yolk, untuk kandungan selenium dalam telur dapat mencapai
30-35µg, dimana jumlah ini sudah memenuhi 50% kebutuhan harian manusia akan
mineral selenium. Investigasi lain menunjukkan bahwa penambahan vitamin E dan
selenium dalam ransum dapat meningkatkan kualitas telur, meningkatkan sistem
antioksidan dan memperbaiki nilai oksidasi lemak. Berdasarkan data dan keterangan
diatas jelaslah bahwa mentransfer vitamin E dan zat-zat lain dari ransum kedalam telur
adalah sangat mungkin dan memberikan jalan atau kesempatan untuk memproduksi
designer egg. Telur-telur yang mengalami pengayaan seperti disebut diatas dapat
dikategorikan sebagai pangan fungsional (functional food) dalam nutrisi manusia.
Key word : Vitamin E, Selenium, Antioksidan, Telur

PENDAHULUAN
Telur merupakan salah satu bahan pangan alami yang mengandung nilai nutrisi
penting yang di butuhkan oleh manusia. Telur menjadi bahan makanan favorit di hampir
seluruh dunia tidak terkecuali di Indonesia, karena kandungan gizinya, harga yang murah
dan kegunaannya yang bervariasi sebagai bahan makanan. Kementerian Pertanian

Republik Indonesia (2013) mencatat rata-rata peningkatan produksi telur dari tahun
ketahun sebesar 7.35 %, dengan tingkat konsumsi telur 87 butir pertahun perkapita.
Kondisi ini menuntut peningkatan dari kualitas dan nilai gizi telur.
Pada telur yang sebagian besar kandungan kuning telurnya (egg yolk)
mengandung asam lemak tak jenuh rantai panjang (Polyunsaturated Fatty Acid) teutama
sekali dan terbanyak adalah asam linoleat (C18:2n-6), mudah sekali mengalami
peroksidasi sehingga membutuhkan antioksidan. Semakin tingginya kandungan
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) didalam kuning telur maka konsekuensi yang
muncul adalah meningkat pula kebutuhan akan antioksidan.
Antioksidan alami yang sering digunakan untuk mengatasi permasalahan
peroksidasi lipid yaitu Vitamin E dan mineral selenium. Vitamin E adalah antioksidan
alami yang larut dalam lemak, yang, ketika dimasukkan ke dalam ransum unggas ,
cenderung untuk membawa stabilitas oksidatif pada telur. Selenium merupakan bagian
penting dari berbagai selenoproteins, yang paling dikenal di antaranya adalah glutathione
peroksidase (GSH-Px). Secara khusus, GSHPx terlibat dalam perlindungan antioksidan
seluler, dan telah diketahui bahwa GSH-Px bekerja secara sinergis dengan vitamin E,
karena GSH-Px melanjutkan pekerjaan vitamin E dengan detoksifikasi hidroperoksida.
Selain itu juga vitamin E dan Selenium dalam jumlah/dosis yang tepat tidak memiliki
efek negatif baik pada kualitas telur maupun konsumennya. Bahkan kandungan vitamin E
dan selenium dalam ransum unggas dapat meningkatkan kandungan Vitamin E dan

selenium dalam telur, sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia akan kedua zat ini
hanya dari mengkonsumsi telur. Perlakuan modifikasi atau pengkayaan pada telur
konsumsi menghasilkan designer/modified/enriched egg melalui manipulasi pemberian
pakan pada ayam betina petelur.

Tujuan dari makalah ini untuk membahas bagaimana proses pencernaan,
penyerapan dan transport dan deposisi vitamin E dan selenium didalam kuning telur (egg
yolk) pada unggas, selain itu juga membahas mekanisme antioksidan dari Vitamin E dan
selenium dalam mengatasi masalah peroksida lipid.
PEMBAHASAN
Vitamin E
Vitamin E adalah istilah umum untuk delapan turunan tocol dan tocotrienol yang
secara alami berbeda secara kualitatif dan menunjukkan aktivitas biologi dari α-tokoferol.
Ditemukan oleh Evans dan Bishop (1922) dan awalnya dianggap sebagai bagian dari
nutrisi hewan terutama untuk reproduksi normal. Kemudian Pappenheimer dan Goettsch
(1931) dalam Aljamal (2011) melaporkan bahwa vitamin E juga dibutuhkan untuk
mencegah enchephalomalacia pada anak ayam. Tahun 1936 di identifikasi dua senyawa
dari vitamin E yaitu α dan ß-tokoferol (Evans et al, 1936 dalam Aljamal, 2011), ditahun
berikutnya dua senyawa lagi diidentifikasi yaitu γ dan δ-tokoferol (Emerson et al, 1937
dalam Aljamal, 2011). Pada tahun 1964, diidentifikasi α, ß, γ, dan δ-tokotrienol (Pennock

et al, 1964 dalam Aljamal, 2011) yang diisolasi dari minyak nabati. Gambar dari struktur
kimia vitamin E dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia Vitamin E
Sumber Vitamin E
Delapan isomer vitamin E terdistribusi secara luas dialam, sumber alami tokoferol
terbanyak adalah kacang-kacangan, minyak nabati seperti biji gandum, bunga matahari
dan lain-lain. α-tokoferol ditemukan umumnya pada kloroplas di sel tumbuhan, sedang
tokoferol lain (ß, γ, dan δ) biasanya terletak diluar kloroplas (Hess,1993). Tokotrienol
tidak ditemukan pada bagian hijau tumbuhan, namun terdistribusi secara luas pada kulit
dan biji dari tumbuhan tertentu dan gandum (White dan Xing, 1997). Tokotrienol paling
banyak terdapat pada biji-bijian gandum dan minyak nabati tertentu seperti minyak sawit
dan minyak dedak padi (Theriault et al, 1999). level kandungan vitamin E dilaporkan

berbeda-beda tergantu
tung lokasi tanaman, pemupukan, kondisii cuaca
c
dan cara panen
(McDowell, 1989).
Penyerapan, Transpo

port dan deposisi Vitamin E pada unggas
Penyerapann vitamin E bersamaan dengan

lemak/lip
/lipid pada usus halus

(duodenum dan jejenum
num) dengan bantuan garam-garam empedu dari
dar hati dan lipase yang
berasal dari pancreas,
s, selanjutnya membentuk micelle dan tersera
erap kedalam usus. Dari
usus vitamin E masuk
suk kedalam sistem porta pembuluh darah dengan
de
pembawa yang
disebut portomicron (cchylomicron pada mamalia). Portomicron pada
pa unggas terdiri dari
trigliserida, kolesterol
ol bebas, ester kolesterol, fosfolipid, apoprot

rotein dan vitamin larut
lemak. Portomicron membawa
me
vitamin E menuju hati.
Dihati vitami
min E ditransfer ke HDL (High density Lip
ippoprotein), dan HDL
mentransfer vitamin E ke LDL (Low Density lipoprotein), dan LDL
DL mentransfer vitamin
E ke VLDL (Very Low
ow Density Lippoprotein). Dalam kondisi produ
duksi telur pada unggas,
konsentrasi VLDL men
eningkat dibawah pengaruh hormon estrogen.
en. Estrogen menstimulir
produksi lipoprotein hati
h dari VLDL biasa menjadi VLDLy (yolk
(yo target), vitamin E
dibawa oleh VLDLyy menuju
m

ovarium dalam proses pembentukan
kan kuning telur (Yu et
al,1976; Walzem, 1996;
199 Walzem et al, 1999). VLDLy yangg membawa vitamin E
memasuki kapilari ov
ovarium dengan mekanisme reseptor mediasi
si endocytosis (receptor
mediated yolk uptake
ake) sehingga vitamin E bisa terdeposisi kedalam
ke
kuning telur.
Mekanisme penyerapan
pan, transport dan metabolism Vitamin E dapa
apat dilihat pada gambar
2.

Gambar 2. Penyerapan
an, Transport dan Metabolisme Vitamin E

Mineral Selenium

Selenium ditemukan pada tahun 1817 oleh ahli kimia Swedia yaitu Jons Jakob
Berzelius, ketika dalam investigasi penyakit yang disebabkan oleh tumbuhan yang
mengandung asam sulfur. Selenium diberi nama selene sesuai dengan nama dewa bulan
bangsa Yunani, sebelum dirubah menjadi selenium (Se) (Oldfield,1999). Penelitian
tentang selenium mulai berjalan luas ketika Rotruck et al (1973) berhasil mengisolasi
selenium yang merupakn bagian dari enzim gluthtione peroksidase (GSH-Px), enzim ini
berada di cytosol dan mitokondria dan berperan dalam mekanisme antioksidan pada
tingkatan seluler.
Selenium ada dalam dua bentuk kimia yaitu organic dan inorganic. Dalam
bentuk inorganic yaitu selenite, selenate dan selenide, sedangkan bentuk organic yaitu
selenomethionin dan selenocystein (selenoamino acid). Struktur kimia Se dalam bentuk
organic dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Se dalam bentuk Organic
Secara tradisional Se diberikan pada ransum unggas secara inorganic yaitu
sodium selenite (Na2SeO3), namun penelitian menunjukkan bahwa organic Se
(selenomethionin) lebih efektif dibanding dengan Se inorganic. Payne et al, (2005)
menunjukkan bahwa SM (selenomethionin) memiliki kemampuan deposisi Se didalam
telur yang lebih baik disbanding SS (sodium selenite).
Penyerapan, transport dan deposisi Se pada Unggas

Pada unggas Se diserap pada usus halus, utamanya di duodenum, ada perbedaan
dalam proses penyerapan anatar Se organic dan Se inorganic. Se organic diserap dengan
mekanisme transport active menggunakan pompa sodium (Na+ dan K+), sedangkan Se

inorganic diserap deng
engan mekanisme difusi pasif. Semua Se baik
aik dari organic maupun
inorganic didalam usus
us
dirubah dalam bentuk selenide olehh gluthtione reduktase,
kemudian memasukii ssistem porta pembuluh darah berikatan deng
ngan albumin. Albumin
membawa Se ke hati.
ti. Hampir seluruh transport Se dilakukan oleh
ole Selenoprotein yaitu
SePP yang dibentuk di hati menuju keseluruh jaringan tubuh. Nam
amun untuk ayam yang
sedang produksi telur,
ur, Se di hati dapat berikatan dengan α dan
n ß globulin, LDL dan

VLDL. Diyakini bahw
hwa VLDLy juga sebagai transport dari Se men
enuju Ovarium, dengan
mekanisme yang sama
ma dengan vitamin E. Proses penyerapan, trans
ansport dan metabolisme
SE dapat dilhat pada gambar
ga
4.

Gambar 4. Penyerapan
an, Transport dan Metabolisme Selenium
Gluthatione peroksida
sidase
Glutahione peroksidase
p

(GSH-Px) adalah protein tetra
etrameric dengan empat


subunit yang sama, me
memiliki berat molekul 23 KDa dan setiap mo
molekulnya terdapat satu
atom Se (Sunde,1993
93). GSH-Px ditemukan disemua jaringan
n tubuh dimana proses
oksidatif terjadi/berlang
angsung (Kohrle et al, 2000). GSH-Px mereduk
duksi hidrogrn peroksida
(H2O2)

dan

peroks
ksida

lain

menjadi

air

dan

alcohol,,

hal

ini

mencegah

terbentuknya/produksi dari reaktif oksigen spesies (ROS). Fungsi penting lain dari GSHPx yaitu menjaga status redoks pada tingkat sel, memiliki peranan dalam proses
diferensiasi, transduksi signal,dan regulasi dari proinflammatory produksi cytokine
(Ursini, 2000).
Ada berepa macam bentuk GSH-Px didalam tubuh berdasarkan lokasi : 1)
fosfolipid GSH-Px, 2) plasma GSH-Px, 3) gastro intestinal GSH-Px, 4) sitosol GSH-Px,
dan 5) nucleus sperma spesifik GSH-Px. Pada umumnya, bentu-bentuk berbeda dari
GSH-Px ini beraksi secara bersamaan untuk menyediakan perlindungan antioksidan di
tempat-tempat berbeda di dalam tubuh (Kohrle et al, 2000). Penelitian Surai (2000)
menunjukkan bahwa aktivitas dari GSH-Px di hati DOC tergantung pada level Se
didalam ransum induk. Kandungan rendah Se berhubungan berasosiasi dengan rendahnya
Se dalam kuning telur, dan konsekuensinya GSH-Px di hati pada DOC secara signifikan
menurun. Proses pembentukan Gluthatione dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Proses pembentukan gluthatione
Peroksidasi Lipid
Membran sel kaya akan sumber poly unsaturated fatty acid (PUFA), yang
mudah dirusak oleh bahan-bahan pengoksidasi; proses tersebut dinamakan peroksidasi

lemak. Hal ini sangat merusak karena merupakan suatu proses berkelanjutan. Pemecahan
hidroperoksida lemak sering melibatkan katalisis ion logam transisi (Droge, 2002).
Menurut Sitorus (2008), Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama, yaitu
inisisasi, propagasi, dan terminasi/degradasi. Pada tahap inisisasi terjadi pembentukan
radikal asam lemak, yaitu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan
sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen . Pada tahap selanjutnya, yaitu
propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi.
Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida
dan radikal asam lemak baru.

Gambar 6. Peroksidasi Lipid
Vitamin E dan SeGSH-Px sebagai Antioksidan
Mekanisme antioksidan dari vitamin E dan SeGSH-Px langsung bereaksi sesaat
setelah radikal asam lemak terbentuk. Pada tingkat seluler mekanisme antioksidan dapat
dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Mekanisme Kerja Antioksidan pada tingkat seluler
Pada saat terjadi peroksida lemak (PUFA + OH*) vitamin E di membrane
menyerang

peroksida

lemak

dengan

menyumbangkan/mendonorkan

satu

atom

oksigennya sehingga terbentuk hidroperoksida asam lemak (PUFA + OOH*), kemudian
di sitosol SeGSH-Px mendetoksifikasi dengan cara merubah hidroperoksida asam lemak
menjadi bentuk alkohol yang tidak berbahaya (PUFA+OH).
Kesimpulan
Vitamin E dan Se merupakan zat yang memiliki kemampuan optimal sebagai
antioksidan dalam melawan peroksidasi lipid, yang mudah terjadi pada telur yang
mengandung banyak PUFA. Vitamin E dan Se dapat dengan mudah diberikan dalam
ransum sehingga deposisinya meningkat didalam kuning telur. Sehingga kualitas dan
nilai gizi telur menjadi meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
Aljamal, A. 2011. The effect of Vitamin E, selenomethionine and sodium selenite
supplementation in laying hens. Thesis and Dissertation in Animal Science.
Digital Common@University of Nebraska-Lincoln. USA
Hess, J. L. 1993. Vitamin E: α-Tocopherol, In: Alscher R. G. and Hess J. L., eds.
Antioxidants in Higher Plants. pp. 111-134, CRC Press, Boca Raton.
McDowell, L. R. 1989. Vitamins in animal nutrition. Comparative aspects to human
nutrition. Academic Press, Inc. San Diego.
Rotruck, J. T., A. L. Pope, H. E. Ganther, A. B. Swanson, and D. G. Hafeman. 1973.
Selenium: Biochemical role as a component of glutathione peroxidase. Sci.
179:588.
Surai, P. F. 2000. Effect of selenium and vitamin E content of the maternal diet on the
antioxidant system of the yolk and the developing chick. Br. Poult. Sci. 41:235243.
Theriault, A., J. T. Chao, Q. Wang, A. Gapor and K. Adeli. 1999. Tocotrienol: a review
of its therapeutic potential. Clin. Biochem. 32:309-319.
Walzem, R. L. 1996. Lipoproteins and the laying hen: Form follows function. Poult.
Avian Biol. Rev. 71:31-64.
Walzem, R. L., R. J. Hansen, D. L. Williams and R. L. Hamilton. 1999. Estrogen
Induction of VLDLy Assembly in Egg-Laying Hens. J. Nutr. 129:467-472
White, P. J. and Y. Xing. 1997. Antioxidants from cereals and legumes. In: Shahidi F.,
ed. Natural antioxidants. Chemistry, health effects and applications., pp. 25-63.
AOCS PRESS Champaign.
Yu, J. Y.-L., L. D. Campbel and R. R. Marquardt. 1976. Immunological and
compositional patterns of lipoproteins in chicken (Gallus domesticus) plasma.
Poult.Sci. 55:1626-1631.