KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LI
KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI
KAWASAN KAKI JEMBATAN SURABAYA-MADURA (SURAMADU)
The Characteristic of Street Vendor’s Activities in
Surabaya-Madura (Suramadu) Bridge Foot Zone
Arvian Zanuardi1 dan Satrio Sang Raksono2
1 Balai
Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur
Email : [email protected]
2 Balai
Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur
Email : [email protected]
ABSTRACT
Infrastructure development is always related to the social, economic and environmental impact, like
Suramadu Bridge with the street vendors (PKL) existence in Suramadu Bridge Foot Zone (KKJS). Even though
this is local economic revival, it must be well-managed to avoid visual aesthetics destruction that usually
appears through the dualistic impression of street vendors. Therefore, this study is aimed to identify the
issues concerned to the main problematics. By using statistic description and benefit analysis methods, the
study revealed the street vendor’s characteristic that majority come from local area, with semi-permanent
stalls, and have obtained permission especially from the local government. However, nearly 81% of them are
agreed to be relocated as they have known about the Suramadu rest area development plan by BPWS.
Another more, the existence of street vendors is proved of giving great benefit for local economic conditions
and delivering opportunity to the local employment. Based on that adventages, there should be more
attention from the government to manage this potential sector. The construction of rest area should be
expedited soon, that will legalize and formalize this prospective regional economic source, and avoding the
possibility of negative impacts by the street vendors.
Keywords: street vendor (PKL), Suramadu Bridge, Suramadu Bridge Foot Zone (KKJS), community based
economy, identification of characteristic, benefit-cost analysis.
ABSTRAK
Pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti Jembatan
Suramadu dengan masalah keberadaan PKL (Pedagang Kaki Lima) di wilayah KKJS (Kawasan Kaki
Jembatan Suramadu). Aktivitas ini merupakan bentuk ekonomi kerakyatan yang berkearifan lokal. Namun
demikian, adanya pengelolaan dan pengaturan adalah mutlak diperlukan, agar tidak memunculkan kesan
dualistik yang merusak estetika visual. Kajian identifikasi karakteristik aktivitas PKL dilakukan untuk
menemukenali potensi serta melihat lebih dalam kondisi masalah yang ada. Metode yang digunakan adalah
deskripsi statistik dan analisis manfaat terhadap aktivitas PKL. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa
mayoritas PKL Suramadu berasal dari wilayah setempat dengan model lapak semi permanen dan
menyatakan sudah mendapatkan ijin berdagang, khususnya dari pemerintah kelurahan setempat. Namun
demikian, hampir 81% dari PKL setuju untuk direlokasikan karena mengetahui adanya rencana
pembangunan rest area oleh BPWS. Keberadaan PKL Suramadu terbukti memberikan manfaat yang besar
bagi ekonomi masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi penyerapan tenaga kerja lokal. Oleh
karena itu, pemerintah perlu lebih serius dan memberikan perhatian terhadap potensi ini. Dengan
pengelolaan dan penataan yang baik, misalnya dengan percepatan pembangunan rest area, PKL Suramadu
mampu menjadi potensi ekonomi daerah yang prospektif, legal dan bersifat formal. Selain itu, dampak
negatif yang muncul dari keberadaan PKL dapat dihindari.
Kata Kunci: pedagang kaki lima (PKL), Jembatan Suramadu, Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS),
ekonomi kerakyatan, identifikasi karakteristik, analisis biaya manfaat.
1
umumnya muncul sebagai akibat dari potensi
peluang usaha yang praktis dan fleksibel, serta
adanya tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari hasil kajian Optimalisasi Jembatan
Suramadu (Puslitbang Sosekling, 2010) tercatat
keberadaan PKL Suramadu pada September
2009 berjumlah sekitar 170 buah, dan
bertambah terus sampai sejumlah 841 di bulan
Februari 2010. Menurut data Bappeda
Bangkalan tercatat sudah ada + 891 lapak PKL di
bulan Agustus 2011 ini. Kondisi ini menujukkan
masalah bahwa perlu adanya perhatian
pemerintah
dalam
mengendalikan
dan
mengelola aktivitas informal ini, karena selain
berpotensi merusak estetika wilayah KKJS,
keberadaan PKL Suramadu di rumaja dianggap
dapat mengganggu fungsi/kinerja jalan akses
yang ditempatinya.
Untuk memudahkan pengelolaan dan
pengaturan terhadap aktivitas PKL ini, maka
dilakukanlah kajian identifikasi terhadap
karakteristik
PKL
Suramadu.
Beberapa
pertanyaan yang ingin dijawab dengan kajian ini
adalah :
1) Bagaimana karakteristik dan kondisi PKL
Suramadu ?
2) Apa opini publik PKL Suramadu terhadap
aktivitasnya dan rencana relokasi ?
3) Apa manfaat sosial-ekonomi dan biaya
aktivitas PKL Suramadu ?
Tujuan utama dilakukannya kajian adalah
guna memetakan informasi dan opini publik
dalam komunitas PKL, untuk menemukenali
potensi manfaat dan masalah yang ada secara
lebih mendalam. Selain itu, dengan dilakukannya
analisis biaya manfaat, maka dapat diketahui
besarnya potensi ekonomi yang diperoleh dari
kegiatan dagang PKL Suramadu, sebagai
cerminan bangkitan ekonomi kerakyatan
wilayah setempat.
Dari hasil temuan tersebut, akan
dilakukan analisis situasi seperlunya untuk
dijadikan dasar bagi alternatif solusi masalah
dan penentuan rekomendasi kebijakan yang
lebih baik dan tepat.
PENDAHULUAN
Jembatan Suramadu dikenal sebagai
jembatan terpanjang di Indonesia yang
menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau
Madura. Pembangunan jembatan diresmikan
oleh Presiden Megawati Sukarnoputri sejak 20
Agustus 2003 dan sudah mulai dioperasikan
tahun 2009 yang lalu. Pembangunan jembatan
ini dilatarbelakangi oleh misi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di wilayah Pulau Madura
yang dirasakan masih tertinggal dibandingkan
daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur.
Keberadaan Jembatan Suramadu sebagai
jalur transportasi terpadu di wilayah Indonesia
Timur sangat diharapkan dapat menjadi roda
penggerak dalam perkembangan industri dan
perdagangan di Indonesia. Dan bagi Pulau
Madura sendiri, adanya jalur transportasi cepat
dan efektif ini diupayakan agar dapat melejitkan
pembangunan sektoral wilayah Madura dan
mereduksi ketimpangan sosial yang ada.
Seperti halnya keberadaan infrastruktur
fisik lainnya, Jembatan Sudamadu tidak terlepas
dari masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan
sebagai dampak pembangunannya. Hal ini
disebabkan pembangunan infrastruktur di suatu
wilayah akan berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya,
begitu pula terhadap kondisi lingkungan dimana
infrastruktur itu didirikan.
Badan Pengelola Wilayah Suramadu
(BPWS) adalah stakeholder utama yang ditunjuk
Pemerintah untuk perannya dalam perencanan
dan pengembangan pembangunan di wilayah
Suramadu. Pembangunan tersebut dikemas
dalam konteks ruang kewilayahan yang
kemudian diistilahkan sebagai Kawasan Kaki
Jembatan Suramadu (KKJS). Berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 27
tahun 2008, salah satu tugas BPWS adalah
membangun dan mengelola wilayah kaki
Jembatan Suramadu yang meliputi :
a. wilayah di sisi Surabaya + 600 Ha (enam
ratus hektar); dan
b. wilayah di sisi Madura + 600 Ha (enam ratus
hektar).
Pembangunan infrastruktur di Kawasan
Kaki Jembatan Suramadu ini juga diiringi dengan
munculnya potensi aktivitas sosial-ekonomi
yang berbasis kerakyatan dan berkearifan lokal.
Namun demikian, di lain sisi kondisi tersebut
menjadi masalah. Hal ini terlihat dalam kasus
keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di
sepanjang rumaja jalan akses KKJS. Model
ekonomi kerakyatan yang bersifat informal ini
KAJIAN PUSTAKA
Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima
Gagasan sektor informal dilontarkan
pertama kali oleh seorang antropolog asal
Inggris yaitu Keith Hart, dalam tulisannya yang
diterbitkan tahun 1971, setelah melakukan
penelitian kegiatan penduduk di kota Accra dan
Nima, Ghana. Istilah tersebut digunakan untuk
menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja
yang berada diluar pasar tenaga kerja formal
yang terorganisir. Dikatakan “diluar pasar”
2
karena sektor ini termasuk kelompok yang
tidak permanen atau tidak ada jaminan tentang
keberlangsungan pekerjaan yang dimilikinya.
Kelompok informal menggunakan teknologi
produksi yang sederhana dan padat karya,
tingkat pendidikan dan ketrampilan terbatas
dan dilakukan oleh anggota keluarga (Ari
Sulistyo, 2006).
Menurut Hidayat (dalam Widodo, 2000)
pengertian sektor formal diberikan sebagai
sektor yang terdiri dari unit usaha yang telah
memperoleh berbagai proteksi ekonomi dari
pemerintah. Sektor informal adalah unit-unit
usaha yang tidak memperoleh proteksi
pemerintah
dan
sektor
yang
belum
mempergunakan
bantuan
atau
fasilitas
pemerintah meskipun bantuan itu telah
tersedia. Kriteria adanya aksesibilias terhadap
suatu fasilitas yang disediakan pemerintah
adalah yang dipakai sebagai ukuran untuk
membedakan usaha sektor formal dan informal.
Sektor informal biasanya digunakan untuk
menunjukkan aktivitas ekonomi berskala kecil
dan sering mengalami banyak kesulitan untuk
menjalin hubungan secara resmi. Sektor
informal yang dimaksud di sini adalah suatu
kegiatan berskala kecil yang bertujuan untuk
mendapatkan kesempatan kerja. Elemen yang
umumnya termasuk dalam sektor ini adalah
yang berpendidikan kurang,
ketrampilan
kurang dan umumnya para pendatang.
Pengertian tersebut sebagai gambaran tentang
sektor informal. Hal ini tergantung dari sudut
pandang operasional maupun penelitian
(Manning-Tadjuddin, 1996 dalam Popi Rosita,
2006).
Menurut Wirosardjono (dalam Ari
Sulistyo Budi, 2006:33) ciri-ciri sektor informal
disebutkan antara lain:
1. Pola kegiatannya tidak teratur baik dalam
arti
waktu,
permodalan
maupun
penerimaan.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan
atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah, sehingga kegiatannya
sering dikatakan “liar”.
3. Modal, peralatan dan
perlengkapan
maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4. Tidak mempunyai tempat tetap.
5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani
golongan masyarakat yang berpendapatan
rendah.
6. Tidak
membutuhkan
keahlian
dan
ketrampilan khusus, sehingga dapat
menyerap bermacam-macam tingkatan
tenaga.
7.
8.
Umumnya satuan usaha mempekerjakan
tenaga yang sedikit dan dari lingkungan
hubungan keluarga, kenalan atau berasal
dari daerah yang sama.
Tidak
mengenal
sistem
perbankan,
pembukuan, perkreditan, dan sebagainya.
Salah satu bentuk usaha informal yang
paling banyak muncul di kalangan masyarakat
perkotaan adalah Pedagang kaki Lima (PKL).
Tampaknya jenis usaha ini merupakan yang
paling mudah dilakukan dan berhadapan
langsung dengan transaksi jual-beli secara
praktis
untuk
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat sehari-hari. McGee yang dikutip
Young (1997) mendefinisikan Pedagang Kaki
Lima sebagai “The pople who effer goods or
services for sale from public places, primarily
streets and pavement”. Dari pengertian tersebut,
yang dimaksud dengan pedagang kaki lima
adalah setiap orang yang melakukan kegiatan
usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani
kebutuhan barang-barang atau makanan yang
dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang
dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan
kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam
melakukan usaha
tersebut menggunakan
peralatan sederhana dan memiliki lokasi di
tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar
atau sebagian badan jalan), dengan tidak
mempunyai legalitas formal (Ari Sulistyo Budi,
2006).
Pengertian Pedagang Kaki Lima menurut
Deperindag adalah perorangan yang melakukan
penjualan barang-barang dengan menggunakan
bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk
kepentingan umum lain yang bukan miliknya.
Senada dengan hal diatas, dalam Surat
Keputusan Walikota Surabaya Nomor 17 Tahun
2004 Tentang Pelaksanaan Peraturan Penataan
Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota
Surabaya dikatakan bahwa Pedagang Kaki Lima
adalah pedagang yang menjalankan kegiatan
usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan
mempergunakan sarana atau perlengkapan yang
mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan
mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai
tempat usahanya.
Bambang Budiman (2010) berpendapat
bahwa pertumbuhan PKL merupakan bentuk
elastisitas
masyarakat
dalam
upaya
mendapatkan penghasilan dan menafkahi
keluarga. Namun, jika perkembangannya tidak
direncanakan atau ditempatkan pada lokasi
yang
tepat,
maka
akan
menimbulkan
permasalahan seperti ketidakteraturan wajah
3
kota, kemacetan lalu lintas, penumpunakn
sampah dan masalah-masalah lainnya.
Adanya sektor informal dan formal di
perkotaan menyebabkan munculnya kondisi
dualistik pada kota-kota di Indonesia oleh
karena
adanya
perbedaan
aspek-aspek
kehidupan kota. Dualistik merupakan kondisi
dimana terjadi pertemuan antara dua kondisi
atau sifat yang berbeda. Pada aspek fisik kota,
dualistik tersebut terjadi pada pembauran pola
dan struktur rancang kota. Karakter dualistik
tercermin dalam pola dan struktur kota-kota di
Indonesia. Perkembangan kondisi dualistik
harus diimbangi dengan kebijakan yang
mengatur dan mengendalikan perkembangan
tersebut, sehingga diharapkan nantinya tidak
terjadi penurunan estetika kota (Widjajanti
2000).
Ditinjau dari sisi positifnya, sektor
informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan
sabuk penyelamat yang menampung kelebihan
tenaga kerja yang tidak tertampung dalam
sektor formal (Usman, 2006:50), sehingga dapat
mengurangi angka pengangguran. Selain itu,
keberadaan PKL mampu memberikan pelayanan
yang mudah dan cepat bagi masyarakat yang
beraktivitas di sekitarnya. Kehadiran PKL di
ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas
bagi kawasan yang ditempatinya serta berperan
sebagai penghubung kegiatan antara fungsi
pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya.
Mc Gee dan Yeung (1977) menyatakan
bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan
terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat
sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan
PKL didasarkan pula atau sesuai dengan
perilaku kegiatan formal.
Selain itu, menurut Wirosardjono (dalam
Umboh, 1990) pedagang kaki lima memiliki ciriciri sebagai berikut :
1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal
waktu,
permodalan
maupun
penerimaannya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan
atau ketentuan-ketentuan pemerintah.
3. Modal,
perlengkapan
dan
omsetnya
biasanya kecil.
4. Pendapatan rendah dan tidak menentu.
5. Tidak memiliki tempat yang tetap.
6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani
masyarakat
golongan
berpenghasilan
rendah.
7. Tidak membutuhkan keahlian ataupun
ketrampilan khusus.
8. Umumnya
tiap
satuan
usaha
mempekerjakan tenaga yang sedikit dan
dari daerah yang sama.
9. Tidak
mengenal
sistem
perbankan,
pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Ari Sulistyo Budi (2006) menyatakan
bahwa aktivitas PKL akan muncul mendekati
lokasi-lokasi strategis, dimana terdapat tingkat
kunjungan tinggi. Hal ini berkaitan dengan salah
satu fungsi dari pemasaran, yaitu mendekatkan
komoditi pada konsumen (place utility). Oleh
karena aktivitas kegiatan perdagangan sektor
informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian
seperti
pada
kawasan
perdagangan,
perkantoran, pendidikan, perumahan, dan
lokasi-lokasi strategis lainnya.
Karakteristik Pedagang Kaki Lima
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis
dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas
yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang
tersebut beraktivitas. Adapun jenis dagangan
yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan
menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu:
1. Makanan yang tidak dan belum diproses,
termasuk didalamnya makanan mentah,
seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.
2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan
lauk pauknya dan juga minuman.
3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil
hingga obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas,
misalnya tukang potong rambut dan lain
sebagainya.
Adapun bentuk sarana perdagangan yang
digunakan oleh PKL menurut Waworoentoe
(dalam Widjajanti, 2000) adalah sebagai berikut:
1. Gerobak/kereta dorong,
2. Pikulan/keranjang,
3. Warung semi permanen,
4. Kios,
5. Gelaran/alas.
METODE PENELITIAN
Ruang lingkup kajian ini adalah pada
identifikasi karakter Pedagang Kaki Lima (PKL)
yang beraktivitas di Kawasan Kaki Jembatan
Suramadu (KKJS), yang berada di sepanjang
Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) jalan akses KKJS.
Pendekatan dan Metode
Pendekatan kajian yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif yang didukung dengan
kualitatif. Metode yang dipilih adalah deskriptif
(descriptive),
yang
dimaksudkan
untuk
mengumpulkan informasi mengenai status suatu
gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut
apa adanya. Ruang lingkup penelitian meliputi
identifikasi karakteristik dan opini publik PKL,
4
serta analisis terhadap manfaat sosial-ekonomi
usaha PKL.
Untuk proses identifikasi karakteristik
dan opini publik PKL digunakan model
deskriptif statistik, yakni dengan melakukan
pengumpulan data untuk diolah secara statistik
terhadap beberapa variabel pemetaan sebagai
berikut :
Kesempatan kerja mencerminkan potensi
peluang penyerapan tenaga kerja dengan
adanya PKL Suramadu. Besarnya manfaat
ini diukur melalui pendekatan jumlah lapak
yang ada di wilayah Suramadu. Berdasarkan
hadil pengamatan, diambil asumsi bahwa
sebanyak 75% lapak berisi 1 orang
pedagang, dan 25% sisanya mempekerjakan
pekerja tambahan sehingga ditentukan
menjadi 2 orang pedagang/lapak. Selain itu,
juga dengan penambahan jumlah pedagang
gerobak keliling dan asongan dengan
memperhitungkan prosentase jumlah model
lapak tersebut.
Tabel 1. Variabel karakteristik dan opini PKL
Variabel
Asal daerah PKL
Jenis kelamin
Pendidikan terakhir
Karakteristik
Komoditas dagangan
Lama berjualan
Waktu operasional
Model lapak
Modal dagang
Keuntungan Bersih
Opini Publik PKL
Besar pungutan
Perijinan berdagang
Sumber perijinan
Penertiban PKL
Respon terhadap
relokasi
Penolakan relokasi
Keterangan
Setempat atau dari luar
Bangkalan
Laki-laki / Perempuan
Jenjang pendidikan dari
tidak tamat SD sampai
Sarjana
Makan dan minuman /
Barang / Keduanya
Rentang waktu dalam
tahun
Pagi/malam atau
keduanya
Bangunan / Gerobak /
Asongan
Jumlah modal dalam
Rupiah dan sumbernya
Keuntungan bersih harian
dalam rupiah
Keberadaan pungutan per
minggu untuk berdagang
Keberadaan ijin berdagang
di Suramadu
Instansi yang memberikan
perijinan
Keberadaan usaha
penertiban/penataan
Kesediaan untuk
dipindahkan atau
direlokasikan
Alasan menolak adanya
relokasi
2.
100
NI ( P x Q ) C
i
i
Dimana,
NI
= Net Income/Pendapatan bersih(Rp)
P
= Harga barang (Rp)
Q
= Jumlah barang (unit)
C
= Biaya oleh pedagang (Rp)
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
3.
Dalam proses analisis manfaat sosialekonomi dan biaya kegiatan PKL Suramadu,
maka ditentukan beberapa variabel pengukuran
sebagai berikut :
Output sektor riil
Output sektor siil dihitung melalui
pendekatan omzet yang diterima oleh
pelaku PKL. Omzet penjualan berarti jumlah
penghasilan kotor yang didapat dari jumlah
penjualan barang dikalikan dengan harga
tiap unit dan belum dikurangi oleh beban
yang ditanggung. Satuan yang digunakan
adalah satuan rupiah. Secara matematis
dapat ditulis sebagai berikut:
100
TR P x Q
Tabel 2. Variabel analisis manfaat
Manfaat
i
i 1
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
Variabel
Kesempatan kerja
Pendapatan
masyarakat
Output sektor riil
Penerimaan daerah
Pendapatan masyarakat
Pendapatan masyarakat dihitung melalui
pendekatan pendapatan bersih yang
diterima oleh masyarakat. Penjualan barang
yang diperoleh pedagang dikurangi dengan
beban biaya seperti beban listrik, air,
retribusi untuk kebersihan, dan bebanbeban yang lain. Satuan yang digunakan
adalah satuan rupiah. Secara sederhana,
dapat dilihat pada persamaan berikut:
i
i
i 1
Keterangan
Jumlah tenaga kerja
Dimana,
TR = Total Revenue/Pendapatan (Rp)
P
= Harga barang per unit (Rp)
Q
= Jumlah barang (unit)
Pendapatan bersih
Omzet
Pungutan resmi
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
4.
Pengukuran Variabel Manfaat Sosial-Ekonomi
1. Kesempatan kerja
5
Penerimaan daerah
Penerimaan daerah dihitung melalui
pungutan resmi oleh pemerintah lokal yang
diterima dari pelaku PKL dan masuk dalam
kas daerah. Pungutan ini bisa terdiri dari
pungutan
untuk
keamanan,
lokasi,
kebersihan, dan sebagainya. Satuan yang
digunakan adalah satuan rupiah. Secara
matematis hal tersebut dapat ditulis sebagai
berikut:
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan untuk
identifikasi karakter dan opini publik PKL
Suramadu adalah dengan analisis statistik
berupa analisis distribusi frekuensi, crosstab,
dan deskriptif kualitatif sebagai penjelasan yang
lebih mendalam. Data yang dibutuhkan berupa
data primer dari hasil olah kuesioner. Dengan
tabulasi crosstab, dapat dijelaskan hubungan
keterkaitan
antara
beberapa
variabel
karakteristik PKL yang diukur. Untuk analisis
manfaat sosial-ekonomi, digunakan pendekatan
analisis kuantitatif dan deskriptif, dimana
setelah diketahui nilai dari indikator manfaat
sosial-ekonomi, aspek-aspek yang terkait
dijelaskan lebih lanjut secara naratif. Sedangkan
aspek biaya aktivitas PKL Suramadu akan
dianalisis secara kualitatif.
100
PAD R
i
x fi
i 1
Dimana,
PAD = Pendapatan Asli Daerah (Rp)
R
= Retribusi/pungutan (Rp)
f
= Frekuensi/periode
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
Selain daripada manfaat sosial-ekonomi,
aktivitas PKL Suramadu juga dikaji dari aspek
biaya. Biaya tersebut didefinisikan sebagai nilai
tukar, prasyarat, atau pengorbanan yang
dilakukan guna mendapatkan manfaat. Metode
yang digunakan adalah analisis kualitatif, serta
pengumpulan data dengan observasi lapangan
dan wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Karakteristik PKL Suramadu
Dari hasil identifikasi karakteritik dan
opini publik PKL Suramadu, didapatkan
gambaran seperti apa sebenarnya persebaran
PKL di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu serta
dapat ditelusuri faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi keberadaan PKL KKJS tersebut
dan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan
lingkungan mereka saat ini.
Analisis tabulasi silang dalam variabel asal
PKL dibedakan menjadi 2 (dua), yakni dari
Bangkalan (setempat) dan dari luar bangkalan
(sebagai
pendatang).
Karakteristik
PKL
sebelumnya, diharapkan akan dapat ditemukan
faktor-faktor kunci (utama) yang ada di masalah
keberadaan PKL KKJS dan untuk menentukan
pendekatan penjelasan yang logis. Hasil analisis
tabulasi silang tersebut adalah sebagai berikut :
Adanya peluang untuk memulai usaha
informal di KKJS ini ditanggapi oleh sebagian
penduduk lokal untuk memulai usaha sebagai
PKL. Relatif sedikitnya jumlah pedagang yang
berasal dari luar Kabupaten Bangkalan
menggambarkan bahwa peluang usaha ini
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
terutama mereka yang berpendidikan relatif
Tahap Penarikan Sampel
Sampel yang digunakan dalam identifikasi
karakter dan opini publik PKL adalah sebanyak
100 PKL, yang dipilih secara systematic sampling
sederhana. Langkah pertama adalah dengan
menentukan 100 responden (lebih kurang 22%
dari populasi yang tercatat atau sekitar 40%
dari PKL yang aktif berjualan terutama pada hari
libur).
Penentuan lokasi PKL terpilih adalah : 1)
sisi barat dan timur ruas jalan akses menuju
jembatan suramadu, 2) lokasi yang berdekatan
(sisi selatan) maupun berjauhan (sisi utara)
dengan pintu tol jembatan Suramadu. Pemilihan
sampel responden PKL yang akan diwawancarai
dilakukan dengan mengambil jarak atau sela 4
hingga 5 lapak untuk setiap responden.
Pemilihan ini tentu saja dengan memperhatikan
kondisi lapangan dimana tidak semua lokasi
tertentu terdapat PKL aktif.
Tabel 3. Pedagang Berdasarkan Asal Daerah, Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan (%)
Pendidikan Terakhir
Asal Daerah
Bangkalan
Luar Bangkalan
Total Prosentase
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Tidak
Tamat SD
7
11
2
0
20
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
6
SD
SMP
SMA
Sarjana
15
20
4
0
39
5
9
3
2
19
6
5
9
0
20
0
1
1
0
2
Total
33
46
19
2
100
Tabel 4. Pedagang Berdasarkan Asal Daerah, Jenis Produk dan Lama Berjualan
Asal Daerah
Bangkalan
Luar Bangkalan
Jenis Produk
< 1 tahun
3
2
10
6
0
1
22
Makanan & Minuman
Souvenir
Mamin & Souvenir
Makanan & Minuman
Souvenir
Mamin & Souvenir
Total
Lama Berjualan
1-2 tahun
>2 tahun
5
15
3
9
11
21
3
6
2
0
1
2
25
53
Total
23
14
42
15
2
4
100
79
21
100
Sumber : Balai Sosekling Jatan,2011 (Diolah)
pelancong dalam penyediaan makanan dan
minuman, khususnya saat beristirahat di lokasi
wisata tersebut. Hal ini yang melatarbelakangi
jenis produk makanan dan minuman lebih awal
muncul dan jumlah pedagangnya lebih banyak
daripada produk souvenir.
Produk
souvenir
lebih
didominasi
pedagang yang berasal dari daerah setempat
(Bangkalan). Hal ini disebabkan souvenir
merupakan produk yang bersifat kearifan lokal.
Pedagang lokal lebih mudah dalam mendapatkan
akses terhadap pusat-pusat produksi souvenir,
dibandingkan masyarakat dari luar Bangkalan.
Sehubungan dengan hal itu, pedagang dari luar
Bangkalan lebih memilih makanan dan minuman
sebagai komoditas utama karena lebih bersifat
umum.
Melihat pada waktu operasional dagang,
PKL Suramadu umumnya berdagang baik pada
pagi hari maupun malam hari. Hal ini disebabkan
karena mayoritas pedagang adalah berasal dari
wilayah setempat sehingga animo berdagang
lebih besar. Selain itu, dengan didukung lokasi
tempat tinggal yang dekat dan masih berada di
wilayah sekitar Suramadu, menjadikan waktu
untuk PKL berdagang menjadi lebih luang.
Waktu operasional dagang PKL Suramadu
yang cenderung berlangsung dari pagi hari dan
malam hari ini juga menjadi dasar pedagang
rendah. Hal ini tercermin dari jumlah pedagang
yang sebagian besar adalah lulusan Sekolah
Dasar dan tidak tamat SD (59 persen). Sebagian
lagi adalah berpendidikan menengah yakni SMP
dan SMA (39 persen). Sedikit saja diantara PKL
yang berpendidikan sarjana yakni hanya 2 persen
saja.
Beberapa pedagang mengaku bahwa
mereka seakan menerima nasib mereka sebagai
lulusan SD tanpa memiliki keinginan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Namun, sebagian pedagang yang sudah
menikah dan memiliki anak mengatakan bahwa
anak mereka ternyata memiliki tingkat
pendidikan yang relatif lebih tinggi dari orang
tuanya walaupun sebagian ada yang miskin
sehingga anaknya tidak mampu untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.Berdasarkan jenis produk yang dijual,
peneliti membagi ke dalam tiga golongan.
Pertama, pedagang yang menjual produk
makanan dan minuman. Kedua, pedagang yang
menjual souvenir. Ketiga, pedagang yang menjual
kedua jenis produk, baik itu makanan dan
minuman maupun souvenir.
Berawal dari keberadaan hegemoni
berwisata di Jembatan Suramadu, muncul
pemikiran
masyarakat
setempat
untuk
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan para
Tabel 5. Pedagang Berdasarkan Waktu Operasional dan Tempat Berjualan
Waktu Operasional
Pagi Hari
Malam Hari
Pagi & Malam
Tempat Berjualan
Bangunan Semi-Permanen
Gerobak/ Kendaraan Keliling
Asongan
Bangunan Semi-Permanen
Gerobak/ Kendaraan Keliling
Asongan
Bangunan Semi-Permanen
Gerobak/ Kendaraan Keliling
Asongan
Total
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
7
Total
30
7
1
0
0
1
52
7
2
100
38
1
61
100
Tabel 6. Pedagang Berdasarkan Kebutuhan Modal dan Sumber Modal
Kebutuhan Modal
(Rp 000)
< Rp. 1,000
Rp. 1,000 - Rp. 2,000
Rp. 2,000 - Rp. 3,000
Rp. 3,000 - Rp. 4,000
Rp. 4,000 - Rp. 5,000
Rp. 5,000 - Rp. 6,000
> Rp. 6,000
Total
Modal
Sendiri
(%)
9.52
11.90
7.14
14.29
9.52
2.38
5.95
60.71
Sumber Modal
Pinjaman dr
Bank/ lembaga
keuangan (%)
1.19
0
0
3.57
0
0
0
4.76
Pinjaman
dari Teman/
Saudara (%)
4.76
5.95
2.38
7.14
5.95
1.19
2.38
29.76
Modal
Bersama
(%)
0
0
1.19
0
1.19
0
0
2.38
Lainnya
(%)
1.19
1.19
0
0
0
0
0
2.38
Total
(%)
16.67
19.05
10.71
25.00
16.67
3.57
8.33
100
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
dalam memilih model lapak. Pedagang secara
dominan lebih memilih untuk mendirikan
bangunan lapak yang bersifat semi-permanen,
dimana model tersebut sudah memeiliki
konstruksi yang cukup kuat dengan peratapan
yang mantap. Model bangunan semi permanen ini
umumnya dibuat dengan lantai yang sudah
dibetonisasi, konstruksi dinding dan atap rangka
kayu, serta bahan peratapan dari seng atau bahan
polycarbonat. Dengan model lapak seperti ini,
pedagang tidak akan bermasalah untuk
berdagang seharian penuh atau berhadapan
dengan kondisi cuaca dan lingkungan yang buruk.
dengan lebih dari Rp. 6,000,000. Namun
demikian, hasil temuan lapangan menunjukkan
bahwa kebutuhan modal PKL Suramadu secara
umum nilainya masih cukup rendah karena
sebagian besar masih berada dalam kisaran di
bawah Rp. 4.000.000. Hal inilah yang mendasari
sebagian besar pedagang memilih menggunakan
kepemilikan sendiri sebagai sumber modalnya.
Beberapa pedagang memang ada yang
masih memakai modal dari pinjaman teman atau
saudara. Modal pinjaman ini jumlahnya cukup
merata karena umumnya dipakai akibat dari
faktor keterbatasan modal pribadi sehingga
membutuhkan dukungan modal dari sumber
lainnya. Sebagian lain menggunakan modal
pinjaman karena alasan ingin usaha dagang
dengan skala yang lebih besar.
Terdapat pula sumber modal lain yang
melalui lembaga keuangan informal. Namun, hasil
temuan di lapangan menunjukkan bahwa
pedagang lebih memilih pinjaman
dari
teman/saudara dari pada lembaga keuangan
dikarenakan tidak dikenakan bunga pinjaman,
dan pedagang dapat menentukan waktu
pengembalian uang pinjaman sesuai dengan
kemampuannya.
Model berjualan yang juga cukup banyak
ditemukan adalah dengan gerobak/kendaraan
keliling. Model lapak seperti ini juga beroperasi
baik di pagi hari maupun malam hari. Dengan
model lapak ini, PKL menjadi lebih mudah untuk
bermobilisasi secara bebas, karena mampu
bergerak mendekati lokasi-lokasi yang banyak
dikunjungi
wisatawan
sebagai
calon
pembeli.Modal menjadi hal wajib bagi seseorang
dalam memulai usahanya, tidak terkecuali pada
pedagang di kawasan jembatan Suramadu. Modal
yang dipakai oleh para pedagang cukup
bervariasi mulai dari kisaran Rp. 100,000 sampai
Tabel 7. Pedagang Berdasarkan Jenis Produk, Keuntungan Bersih dan Besar Pungutan Tiap Minggu
Jenis Produk
Makanan &
Minuman
Souvenir / barang
Keduanya
Keuntungan Bersih
per Hari (Rp)
< 50,000
50,000 - 100,000
> 100,000
< 50,000
50,000 - 100,000
> 100,000
< 50,000
50,000 - 100,000
> 100,000
Total
Besar Pungutan/Minggu (Rp)
< 7,000
7,000 - 14,000
> 14,000
4
17
2
6
3
1
0
4
1
4
2
2
0
2
0
1
2
3
4
12
4
3
5
4
3
5
6
25
52
23
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
8
Total
23
10
5
8
2
6
20
12
14
100
Gambar 1. Opini PKL terhadap ijin berdagang
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
mendapatkan ijin (78%), meskipun ijin tersebut
bersifat tidak tertulis (72%). Umumnya PKL
KKJS mengajukan ijin untuk berdagang kepada
tokoh-tokoh masyarakat di desa/kelurahan atau
ketua komunitas PKL yang sudah terbentuk.
Meski demikian, dari hasil observasi ditemukan
ada instansi lain yang memberikan perijinan
berdagang di rumaja KKJS.Berdasarkan hasil
temuan di lapangan, responden mengaku pernah
mendapat tindakan penertiban dari petugas
meskipun jumlahnya sangat sedikit. Jika
ditelusuri lebih lanjut, para responden ini adalah
pedagang yang melanggar ketentuan melewati
batas tertentu di kawasan jembatan, yang
kemudian ditertibkan bulan Februari 2011 lalu.
Sementara itu sebagian besar responden
menyatakan setuju jika ada kemungkinan
relokasi oleh instansi terkait. Beberapa
responden mengaku sadar bahwa tanah yang
mereka tempati untuk kegiatan usaha bukanlah
milik mereka sehingga mereka setuju jika ada
relokasi.
Gambar 2. Opini PKL terhadap sumber ijin berdagang
Sistem permodalan bersama juga kurang
berkembang dalam komunitas PKL Suramadu
karena belum adanya pengetahuan atau
pengarahan tentang perkoperasian.
Berdasarkan
pada
hasil
observasi
terhadap keuntungan bersih pedagang yang
dikaitkan dengan komoditas yang dijualnya,
terlihat bahwa pedagang yang menjual makanan
dan minuman mendapatkan keuntungan bersih
harian lebih besar daripada pedagang souvenir.
Namun demikian, keuntungan bersih yang
didapatkan mayoritas masih relatif kecil, di
bawah kisaran Rp. 50.000,-/hari.
Berdasarkan data tabel-7, tampak bahwa
besarnya pungutan yang diberlakukan kepada
PKL Suramadu tidak dipengaruhi oleh jumlah
keuntungan bersih harian yang didapatkan
pedagang. Besarnya pungutan dipengaruhi oleh
besar-kecilnya lapak dan usaha dagang, yakni
dengan menggunakan dasar perhitungan blok
lapak (satuan ruang).
Responden yang menolak untuk direlokasi
memiliki berbagai alasan, responden takut
kehilangan pelanggan yang sudah sering
mengunjungi tempatnya, kekhawatiran akan
lokasi baru yang kurang ramai pengunjung,
tidak mendapat jatah kios, biaya sewa yang
mahal dan lain-lain. Secara keseluruhan,
sebagian besar responden memilih alasan
kekhawatiran ”ramai pengunjung” sebagai
alasan utama mereka menolak relokasi.
Analisis Manfaat dan Biaya Aktivitas PKL
Kondisi jalan akses KKJS sisi Madura yang
belum sepenuhnya dibangun dan menyebabkan
tersedianya ruang bebas yang cukup lebar di sisi
kanan-kiri jalan memunculkan kesempatan bagi
para PKL untuk menjamur di sepanjang ruang
Identifikasi Opini Publik PKL Suramadu
Berdasarkan pada pendapat dari PKL
Suramadu sendiri, meskipun keberadaan PKL di
rumaja dapat dikatakan ilegal, tetapi sebagian
besar PKL KKJS mengaku bahwa mereka telah
9
manfaat jalan (rumaja) jalan akses KKJS sisi
Madura. Terlebih lagi, pada awal-awal
pembukaannya, muncul euphoria yang besar di
masyarakat Indonesia untuk berwisata ke
jembatan Suramadu, sehingga membuka lapak
di sepanjang jalan akses KKJS menjadi peluang
ekonomi yang cukup mudah dan menjanjikan.
dimungkinkan karena perhitungan penyerapan
tenaga kerja tidak dipengaruhi oleh faktor
keaktifan pedagang. Oleh karena itu, angka
tersebut tidak dapat diartikan sebagai jumlah
pedagang yang bekerja aktif berdagang di
wilayah Suramadu dalam waktu yang
bersamaan.
2) Pendapatan Masyarakat PKL
Manfaat ekonomi berupa pendapatan
masyarakat dimaksud adalah jumlah seluruh
pendapatan PKL Suramadu dalam kurun waktu
1 (satu) tahun. Perhitungan tersebut didasarkan
pada perkalian total keuntungan bersih harian
terhadap jumlah hari dalam satu tahun yang
didefinisikan sebagai 12 bulan x 30 hari, dengan
asumsi pedagang memperoleh keuntungan
dalam jumlah sama setiap harinya.
Keuntungan bersih harian yang diperoleh
PKL Suramadu rata-rata adalah Rp. 497.875,(hasil olah data dari kuesioner). Oleh karena itu,
jumlah total pendapatan masyarakat PKL
Suramadu dalam satu tahun adalah sejumlah :
= bulan x hari x keuntungan bersih harian
= 12 x 30 x Rp. 497.875,= Rp. 179.235.000,-
Gambar 3. Opini PKL terhadap alasan penolakan
relokasi
Beberapa manfaat dari keberadaan
aktivitas PKL Suramadu ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1) Kesempatan Kerja
Seperti yang telah dijelaskan dalam teori,
bahwasanya kehadiran Pedagang Kaki Lima
merupakan salah satu peluang penyerapan
tenaga kerja yang cukup potensial. Hal ini
dikarenakan sifat usahanya yang cepat, mudah
dan tidak membutuhkan modal besar. Besarnya
kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh
keberadaan PKL Suramadu dapat diukur dengan
pendekatan jumlah lapak yang terbangun.
3) Output Sektor Riil
Perhitungan output sektor riil dimaksud
adalah terlepas dari sifat Pedagang Kaki Lima
yang masin informal, sehingga besarnya output
sektor riil dicerminkan dengan omzet yang
didapatkan seluruh PKL Suramadu dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun.
Total omzet bulanan dari 100 (seratus)
PKL yang disurvai adalah Rp. 767.760.000,-.
Secara kasar dapat ditunjukkan bahwa setiap
pedagang rata-rata memiliki omzet per bulan
sebesar Rp. 76,776,000. Jumlah yang cukup
besar untuk ukuran pekerja di sektor informal.
Tabel 8. Jumlah PKL Suramadu
Tabel 9. Jumlah PKL Suramadu aktif
Perhitungan jumlah kesempatan kerja :
- Lapak dengan asumsi 1 pedagang/lapak :
= 75% x 891 = 668 pedagang (dibulatkan)
- Lapak dengan asumsi 2 pedagang/lapak :
= 25% x 891 x 2 = 445 pedagang (dibulatkan)
- Pedagang gerobak & asongan :
= 18% x 891 = 160 pedagang (dibulatkan)
Sehingga
keberadaan
PKL
Suramadu
menyumbang penyerapan kesempatan kerja
sebanyak 1.273 orang.
Jumlah kesempatan kerja yang muncul
memang
cukup
besar.
Hal
tersebut
Sumber : Balai Litbang Sosekling, 2011
Dengan dasar jumlah lapak yang aktif
rata-rata adalah 360 lapak (tabel 9), maka
perhitungan output sektor riil menjadi :
= 12 x omzet bulanan x jumlah lapak aktif
= 12 x Rp. 767.760.000,- x 360
= Rp. 3.316.723.200,4) Penerimaan Daerah
10
Penerimaan daerah dari PKL Suramadu
dari hasil observasi adalah berupa pungutan
yang diberlakukan kepada lapak PKL yang aktif
setiap harinya, yang dibuktikan dengan karcis
retribusi dari Pemda Bangkalan. Oleh itu,
besarnya Penerimaan Daerah (PAD) dari sektor
PKL Suramadu adalah total pungutan retribusi
yang didapatkan dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun.
Dari besarnya pungutan yang diambil,
pemerintah setempat memperoleh sekitar Rp.
539,000,- tiap hari. Jumlah tersebut hanya
diperoleh dari seratus pedagang yang disurvai.
Dengan jumlah PKL yang aktif rata-rata per
harinya adalah 360 lapak, penerimaan harian
retribusi diasumsikan tetap setiap harinya, dan
satu bulan adalah 30 hari, maka besar pungutan
yang didapatkan oleh pemerintah daerah :
= bulan x hari x total retribusi harian
= 12 x 30 x Rp. 539.000,= Rp. 194.040.000,Apabila jumlah tersebut termasuk ke
dalam pendapatan asli daerah pemerintah
setempat, maka adanya PKL merupakan sumber
pendapatan daerah yang prospektif dan
potensial.
Gambar 4. Deretan lapak PKL dan parkir mobil
pengunjung
Adanya PKL Suramadu juga meningkatkan
jumlah sampah, mengingat banyaknya pedagang
yang menjual makanan ringan. Sampah yang
dihasilkan didominasi oleh sampah plastik.
Sistem pengolahan sampah yang digunakan
adalah dengan membakar sampah, yang
dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
PKL, atau kolektif dari beberapa PKL yang
berkelompok.
Namun, pembakaran sampah tidak selalu
dilakukan. Dalam seminggu umumnya dilakukan
3 (tiga) kali pembakaran atau hanya sekali
pembakaran. Pedagang melakukan pembakaran
apabila merasa sampah tersebut sudah terlalu
banyak. Lokasi pembakaran sampah sering
terjadi di bahu jalan sehingga terkadang hasil
pembakaran yang tidak dibersihkan dapat
mengotori jalan. PKL Suramadu juga cenderung
membersihkan sampah yang berada di sekitar
lapaknya sendiri, sehingga tidak semua sampahsampah yang dibuang pengunjung dapat terurus.
Akibatnya, muncul pemandangan yang cukup
mengganggu karena kesan kotor dan kumuh di
area ruang manfaat jalan akses KKJS.
Namun demikian, di lain sisi terdapat
aspek biaya sebagai pengorbanan yang harus
diterima dari keberadaan dan aktivitas PKL
Suramadu. Sesuai dengan peraturan tentang
jalan (PP No. 34/2006), keberadaan PKL di
rumaja jalan akses KKJS adalah salah karena
rumaja tidak boleh digunakan/dimanfaatkan
untuk kepentingan selain dari fungsi pelengkap
dan bangunan pendukung jalan. Akibatnya,
keberadaan PKL dapat mempengaruhi aspek
keselamatan, keamanan dan kenyamanan
penggunaan jalan. Hal ini dibuktikan dengan
cukup banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas
yang terjadi. Jalan akses KKJS memang didesain
sebagai jalan jalur cepat, yang tidak boleh
menerima hambatan atau gangguan mobilitas,
apalagi yang sifatnya mendadak/spontan seperti
orang yang menyeberang jalan atau manuver
parkir mobil di tepi jalan.
Keberadaan PKL KKJS secara kasat mata
juga menyebabkan semrawutnya pemandangan
karena lapak-lapak yang heterogen dan kurang
terkoordinir dengan baik. Meskipun sebagian
PKL sudah diberikan tenda seragam oleh Dinas
Koperasi dan UMKM setempat, sebagian besar
PKL tetap lebih memilih model lapak yang
mereka bangun sendiri karena konstruksi yang
lebih kuat dan ruang yang lebih luas.
Gambar 5. Sampah berserakan di rumaja jalan akses
KKJS
11
Kawasan Banjaran Kabupaten Tegal.
Semarang : Tesis Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Lingkungan, Universitas
Diponegoro.
Mc Gee, T.G. and Y.M. Yeoung. 1977. Hawkers in
Southest Asian Cities : Planning for the
Bazaar Economy. Ottawa : International
Development Research Centre.
[Pusosekling]
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Sosial Ekonomi dan
Lingkungan. 2011. Laporan Akhir :
Penelitian Sosial Ekonomi Lingkungan
Optimalisasi
Pemanfaatan
Jembatan
Suramadu. Surabaya : Balai Litbang
Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan.
[Pusosekling]
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Sosial Ekonomi dan
Lingkungan. 2011. Laporan Akhir :
Penelitian Pengkajian Dampak SosialEkonomi Akibat Pembangunan Jembatan
Suramadu. Surabaya : Balai Litbang
Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan.
Sulistyo Budi, Ari. 2006. Kajian Lokasi Pedagang
Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL
Serta Persepsi Masyarakat Sekitar di Kota
Pemalang. Semarang : Tesis Program
Pasca Sarjana Magister Pembangunan
Wilayah
dan
Kota,
Universitas
Diponegoro.
Rosita, Popy. 2006. Kajian Karakteristik
Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam
Beraktivitas
dan
Memilih
Lokasi
Berdagang di Kawasan Perkantoran Kota
Semarang. Semarang : Tugas Akhir
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Umboh, Allan G.G.S. 1990. Peluang Kerja
Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota
Administratif Bitung. Manado : Fakultas
Pascasarjana KPK IPB-UNSRAT.
Usman, Sunyoto. 2006. Malioboro. Yogyakarta :
PT Mitra Tata Persada.
Widjajanti. 2000. Penataan Fisik Kegiatan PKL
pada Kawasan Komersial di Pusat Kota
(Studi Kasus : Simpang Lima Semarang).
Bandung : Tesis Program Magister
Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut
Teknologi Bandung (ITB).
Widodo, Ahmadi. 2000. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Usaha
PKL (Studi Kasus : Kota Semarang).
Semarang : Tesis Program Pascasarjana,
Magister Teknik Pembangunan Kota,
Universitas Diponegoro.
Surat Keputusan Walikota Surabaya Nomor 17
Tahun
2004
tentang
Pelaksanaan
KESIMPULAN
Dari hasil identifikasi karakteristik dan
opini publik PKL Suramadu didapatkan
beberapa fakta bahwa mayoritas PKL adalah
berasal dari wilayah Kabupaten Bangkalan, yang
berarti bahwa keberadaan Jembatan Suramadu
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, dan
mampu menjadi penyerap tenaga kerja lokal.
Lapak dagang PKL yang sebagian besar
menggunakan lapak berjenis bangunan semipermanen akan menyebabkan sulit dan lamanya
waktu yang dibutuhkan apabila proses relokasi
dilakukan. PKL Suramadu mendapatkan ijin
dagang meskipun tidak formal dan tertulis, yang
berarti ada oknum tertentu yang memanfaatkan
kondisi pemanfaatan rumaja secara ilegal ini.
Kurangnya tindakan penertiban maupun
pembinaan menunjukkan belum adanya pihak
yang memperhatikan masalah PKL Suramadu
dengan serius. PKL Suramadu setuju/siap untuk
direlokasikan karena menyadari keberadaannya
adalah salah serta mengetahui adanya rencana
pembangunan rest area dan rencana relokasi
atas lapak mereka.
Dilihat dari kacamata sosial-ekonomi, dan
didasarkan pada hasil analisis manfaat di atas,
maka keberadaan PKL Suramadu dinilai telah
memberikan manfaat praktis, baik kepada
masyarakat maupun pemerintah daerah
setempat. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
keberadaan PKL Suramadu ini harus didukung
begitu saja. Aktivitas Pedagang Kaki Lima masih
bersifat informal dan ilegal, karena menempati
rumaja yang menurut peraturan tidak boleh
digunakan. Keberadaannya di rumaja dapat
mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan
pengguna jalan akses. Selain itu, munculnya
sampah-sampah yang tidak
Oleh karena itu, dalam penanganan PKL
Suramadu, potensi manfaat dan biaya tersebut
perlu ditanggapi pemerintah secara bijak.
Dengan percepatan pembangunan rest area
Suramadu, selain dapat dihindarkan munculnya
kesan kumuh dan kotor akibat aktivitas PKL,
manfaat PKL Suramadu dapat dijadikan sektor
potensi sosial-ekonomi yang bersifat legal dan
formal.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Bangkalan. 2011. Data Jumlah
Pedagang Kaki Lima di Kaki Jembatan
Suramadu per Agustus 2011 (tidak
dipublikasikan).
Budiman, Bambang. 2010. Kajian Lingkungan
Keberadaan Pedagang Kaki Lima di
12
Peraturan Penataan Dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
27
Tahun
2008
tentang
Badan
Pengembangan
Wilayah
SurabayaMadura.
13
KAWASAN KAKI JEMBATAN SURABAYA-MADURA (SURAMADU)
The Characteristic of Street Vendor’s Activities in
Surabaya-Madura (Suramadu) Bridge Foot Zone
Arvian Zanuardi1 dan Satrio Sang Raksono2
1 Balai
Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur
Email : [email protected]
2 Balai
Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur
Email : [email protected]
ABSTRACT
Infrastructure development is always related to the social, economic and environmental impact, like
Suramadu Bridge with the street vendors (PKL) existence in Suramadu Bridge Foot Zone (KKJS). Even though
this is local economic revival, it must be well-managed to avoid visual aesthetics destruction that usually
appears through the dualistic impression of street vendors. Therefore, this study is aimed to identify the
issues concerned to the main problematics. By using statistic description and benefit analysis methods, the
study revealed the street vendor’s characteristic that majority come from local area, with semi-permanent
stalls, and have obtained permission especially from the local government. However, nearly 81% of them are
agreed to be relocated as they have known about the Suramadu rest area development plan by BPWS.
Another more, the existence of street vendors is proved of giving great benefit for local economic conditions
and delivering opportunity to the local employment. Based on that adventages, there should be more
attention from the government to manage this potential sector. The construction of rest area should be
expedited soon, that will legalize and formalize this prospective regional economic source, and avoding the
possibility of negative impacts by the street vendors.
Keywords: street vendor (PKL), Suramadu Bridge, Suramadu Bridge Foot Zone (KKJS), community based
economy, identification of characteristic, benefit-cost analysis.
ABSTRAK
Pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti Jembatan
Suramadu dengan masalah keberadaan PKL (Pedagang Kaki Lima) di wilayah KKJS (Kawasan Kaki
Jembatan Suramadu). Aktivitas ini merupakan bentuk ekonomi kerakyatan yang berkearifan lokal. Namun
demikian, adanya pengelolaan dan pengaturan adalah mutlak diperlukan, agar tidak memunculkan kesan
dualistik yang merusak estetika visual. Kajian identifikasi karakteristik aktivitas PKL dilakukan untuk
menemukenali potensi serta melihat lebih dalam kondisi masalah yang ada. Metode yang digunakan adalah
deskripsi statistik dan analisis manfaat terhadap aktivitas PKL. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa
mayoritas PKL Suramadu berasal dari wilayah setempat dengan model lapak semi permanen dan
menyatakan sudah mendapatkan ijin berdagang, khususnya dari pemerintah kelurahan setempat. Namun
demikian, hampir 81% dari PKL setuju untuk direlokasikan karena mengetahui adanya rencana
pembangunan rest area oleh BPWS. Keberadaan PKL Suramadu terbukti memberikan manfaat yang besar
bagi ekonomi masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi penyerapan tenaga kerja lokal. Oleh
karena itu, pemerintah perlu lebih serius dan memberikan perhatian terhadap potensi ini. Dengan
pengelolaan dan penataan yang baik, misalnya dengan percepatan pembangunan rest area, PKL Suramadu
mampu menjadi potensi ekonomi daerah yang prospektif, legal dan bersifat formal. Selain itu, dampak
negatif yang muncul dari keberadaan PKL dapat dihindari.
Kata Kunci: pedagang kaki lima (PKL), Jembatan Suramadu, Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS),
ekonomi kerakyatan, identifikasi karakteristik, analisis biaya manfaat.
1
umumnya muncul sebagai akibat dari potensi
peluang usaha yang praktis dan fleksibel, serta
adanya tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari hasil kajian Optimalisasi Jembatan
Suramadu (Puslitbang Sosekling, 2010) tercatat
keberadaan PKL Suramadu pada September
2009 berjumlah sekitar 170 buah, dan
bertambah terus sampai sejumlah 841 di bulan
Februari 2010. Menurut data Bappeda
Bangkalan tercatat sudah ada + 891 lapak PKL di
bulan Agustus 2011 ini. Kondisi ini menujukkan
masalah bahwa perlu adanya perhatian
pemerintah
dalam
mengendalikan
dan
mengelola aktivitas informal ini, karena selain
berpotensi merusak estetika wilayah KKJS,
keberadaan PKL Suramadu di rumaja dianggap
dapat mengganggu fungsi/kinerja jalan akses
yang ditempatinya.
Untuk memudahkan pengelolaan dan
pengaturan terhadap aktivitas PKL ini, maka
dilakukanlah kajian identifikasi terhadap
karakteristik
PKL
Suramadu.
Beberapa
pertanyaan yang ingin dijawab dengan kajian ini
adalah :
1) Bagaimana karakteristik dan kondisi PKL
Suramadu ?
2) Apa opini publik PKL Suramadu terhadap
aktivitasnya dan rencana relokasi ?
3) Apa manfaat sosial-ekonomi dan biaya
aktivitas PKL Suramadu ?
Tujuan utama dilakukannya kajian adalah
guna memetakan informasi dan opini publik
dalam komunitas PKL, untuk menemukenali
potensi manfaat dan masalah yang ada secara
lebih mendalam. Selain itu, dengan dilakukannya
analisis biaya manfaat, maka dapat diketahui
besarnya potensi ekonomi yang diperoleh dari
kegiatan dagang PKL Suramadu, sebagai
cerminan bangkitan ekonomi kerakyatan
wilayah setempat.
Dari hasil temuan tersebut, akan
dilakukan analisis situasi seperlunya untuk
dijadikan dasar bagi alternatif solusi masalah
dan penentuan rekomendasi kebijakan yang
lebih baik dan tepat.
PENDAHULUAN
Jembatan Suramadu dikenal sebagai
jembatan terpanjang di Indonesia yang
menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau
Madura. Pembangunan jembatan diresmikan
oleh Presiden Megawati Sukarnoputri sejak 20
Agustus 2003 dan sudah mulai dioperasikan
tahun 2009 yang lalu. Pembangunan jembatan
ini dilatarbelakangi oleh misi untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi di wilayah Pulau Madura
yang dirasakan masih tertinggal dibandingkan
daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur.
Keberadaan Jembatan Suramadu sebagai
jalur transportasi terpadu di wilayah Indonesia
Timur sangat diharapkan dapat menjadi roda
penggerak dalam perkembangan industri dan
perdagangan di Indonesia. Dan bagi Pulau
Madura sendiri, adanya jalur transportasi cepat
dan efektif ini diupayakan agar dapat melejitkan
pembangunan sektoral wilayah Madura dan
mereduksi ketimpangan sosial yang ada.
Seperti halnya keberadaan infrastruktur
fisik lainnya, Jembatan Sudamadu tidak terlepas
dari masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan
sebagai dampak pembangunannya. Hal ini
disebabkan pembangunan infrastruktur di suatu
wilayah akan berpengaruh secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan
sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya,
begitu pula terhadap kondisi lingkungan dimana
infrastruktur itu didirikan.
Badan Pengelola Wilayah Suramadu
(BPWS) adalah stakeholder utama yang ditunjuk
Pemerintah untuk perannya dalam perencanan
dan pengembangan pembangunan di wilayah
Suramadu. Pembangunan tersebut dikemas
dalam konteks ruang kewilayahan yang
kemudian diistilahkan sebagai Kawasan Kaki
Jembatan Suramadu (KKJS). Berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No 27
tahun 2008, salah satu tugas BPWS adalah
membangun dan mengelola wilayah kaki
Jembatan Suramadu yang meliputi :
a. wilayah di sisi Surabaya + 600 Ha (enam
ratus hektar); dan
b. wilayah di sisi Madura + 600 Ha (enam ratus
hektar).
Pembangunan infrastruktur di Kawasan
Kaki Jembatan Suramadu ini juga diiringi dengan
munculnya potensi aktivitas sosial-ekonomi
yang berbasis kerakyatan dan berkearifan lokal.
Namun demikian, di lain sisi kondisi tersebut
menjadi masalah. Hal ini terlihat dalam kasus
keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di
sepanjang rumaja jalan akses KKJS. Model
ekonomi kerakyatan yang bersifat informal ini
KAJIAN PUSTAKA
Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima
Gagasan sektor informal dilontarkan
pertama kali oleh seorang antropolog asal
Inggris yaitu Keith Hart, dalam tulisannya yang
diterbitkan tahun 1971, setelah melakukan
penelitian kegiatan penduduk di kota Accra dan
Nima, Ghana. Istilah tersebut digunakan untuk
menjelaskan sejumlah aktivitas tenaga kerja
yang berada diluar pasar tenaga kerja formal
yang terorganisir. Dikatakan “diluar pasar”
2
karena sektor ini termasuk kelompok yang
tidak permanen atau tidak ada jaminan tentang
keberlangsungan pekerjaan yang dimilikinya.
Kelompok informal menggunakan teknologi
produksi yang sederhana dan padat karya,
tingkat pendidikan dan ketrampilan terbatas
dan dilakukan oleh anggota keluarga (Ari
Sulistyo, 2006).
Menurut Hidayat (dalam Widodo, 2000)
pengertian sektor formal diberikan sebagai
sektor yang terdiri dari unit usaha yang telah
memperoleh berbagai proteksi ekonomi dari
pemerintah. Sektor informal adalah unit-unit
usaha yang tidak memperoleh proteksi
pemerintah
dan
sektor
yang
belum
mempergunakan
bantuan
atau
fasilitas
pemerintah meskipun bantuan itu telah
tersedia. Kriteria adanya aksesibilias terhadap
suatu fasilitas yang disediakan pemerintah
adalah yang dipakai sebagai ukuran untuk
membedakan usaha sektor formal dan informal.
Sektor informal biasanya digunakan untuk
menunjukkan aktivitas ekonomi berskala kecil
dan sering mengalami banyak kesulitan untuk
menjalin hubungan secara resmi. Sektor
informal yang dimaksud di sini adalah suatu
kegiatan berskala kecil yang bertujuan untuk
mendapatkan kesempatan kerja. Elemen yang
umumnya termasuk dalam sektor ini adalah
yang berpendidikan kurang,
ketrampilan
kurang dan umumnya para pendatang.
Pengertian tersebut sebagai gambaran tentang
sektor informal. Hal ini tergantung dari sudut
pandang operasional maupun penelitian
(Manning-Tadjuddin, 1996 dalam Popi Rosita,
2006).
Menurut Wirosardjono (dalam Ari
Sulistyo Budi, 2006:33) ciri-ciri sektor informal
disebutkan antara lain:
1. Pola kegiatannya tidak teratur baik dalam
arti
waktu,
permodalan
maupun
penerimaan.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan
atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah, sehingga kegiatannya
sering dikatakan “liar”.
3. Modal, peralatan dan
perlengkapan
maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4. Tidak mempunyai tempat tetap.
5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani
golongan masyarakat yang berpendapatan
rendah.
6. Tidak
membutuhkan
keahlian
dan
ketrampilan khusus, sehingga dapat
menyerap bermacam-macam tingkatan
tenaga.
7.
8.
Umumnya satuan usaha mempekerjakan
tenaga yang sedikit dan dari lingkungan
hubungan keluarga, kenalan atau berasal
dari daerah yang sama.
Tidak
mengenal
sistem
perbankan,
pembukuan, perkreditan, dan sebagainya.
Salah satu bentuk usaha informal yang
paling banyak muncul di kalangan masyarakat
perkotaan adalah Pedagang kaki Lima (PKL).
Tampaknya jenis usaha ini merupakan yang
paling mudah dilakukan dan berhadapan
langsung dengan transaksi jual-beli secara
praktis
untuk
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat sehari-hari. McGee yang dikutip
Young (1997) mendefinisikan Pedagang Kaki
Lima sebagai “The pople who effer goods or
services for sale from public places, primarily
streets and pavement”. Dari pengertian tersebut,
yang dimaksud dengan pedagang kaki lima
adalah setiap orang yang melakukan kegiatan
usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani
kebutuhan barang-barang atau makanan yang
dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang
dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan
kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam
melakukan usaha
tersebut menggunakan
peralatan sederhana dan memiliki lokasi di
tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar
atau sebagian badan jalan), dengan tidak
mempunyai legalitas formal (Ari Sulistyo Budi,
2006).
Pengertian Pedagang Kaki Lima menurut
Deperindag adalah perorangan yang melakukan
penjualan barang-barang dengan menggunakan
bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk
kepentingan umum lain yang bukan miliknya.
Senada dengan hal diatas, dalam Surat
Keputusan Walikota Surabaya Nomor 17 Tahun
2004 Tentang Pelaksanaan Peraturan Penataan
Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota
Surabaya dikatakan bahwa Pedagang Kaki Lima
adalah pedagang yang menjalankan kegiatan
usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan
mempergunakan sarana atau perlengkapan yang
mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan
mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai
tempat usahanya.
Bambang Budiman (2010) berpendapat
bahwa pertumbuhan PKL merupakan bentuk
elastisitas
masyarakat
dalam
upaya
mendapatkan penghasilan dan menafkahi
keluarga. Namun, jika perkembangannya tidak
direncanakan atau ditempatkan pada lokasi
yang
tepat,
maka
akan
menimbulkan
permasalahan seperti ketidakteraturan wajah
3
kota, kemacetan lalu lintas, penumpunakn
sampah dan masalah-masalah lainnya.
Adanya sektor informal dan formal di
perkotaan menyebabkan munculnya kondisi
dualistik pada kota-kota di Indonesia oleh
karena
adanya
perbedaan
aspek-aspek
kehidupan kota. Dualistik merupakan kondisi
dimana terjadi pertemuan antara dua kondisi
atau sifat yang berbeda. Pada aspek fisik kota,
dualistik tersebut terjadi pada pembauran pola
dan struktur rancang kota. Karakter dualistik
tercermin dalam pola dan struktur kota-kota di
Indonesia. Perkembangan kondisi dualistik
harus diimbangi dengan kebijakan yang
mengatur dan mengendalikan perkembangan
tersebut, sehingga diharapkan nantinya tidak
terjadi penurunan estetika kota (Widjajanti
2000).
Ditinjau dari sisi positifnya, sektor
informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan
sabuk penyelamat yang menampung kelebihan
tenaga kerja yang tidak tertampung dalam
sektor formal (Usman, 2006:50), sehingga dapat
mengurangi angka pengangguran. Selain itu,
keberadaan PKL mampu memberikan pelayanan
yang mudah dan cepat bagi masyarakat yang
beraktivitas di sekitarnya. Kehadiran PKL di
ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas
bagi kawasan yang ditempatinya serta berperan
sebagai penghubung kegiatan antara fungsi
pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya.
Mc Gee dan Yeung (1977) menyatakan
bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan
terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat
sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan
PKL didasarkan pula atau sesuai dengan
perilaku kegiatan formal.
Selain itu, menurut Wirosardjono (dalam
Umboh, 1990) pedagang kaki lima memiliki ciriciri sebagai berikut :
1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal
waktu,
permodalan
maupun
penerimaannya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan
atau ketentuan-ketentuan pemerintah.
3. Modal,
perlengkapan
dan
omsetnya
biasanya kecil.
4. Pendapatan rendah dan tidak menentu.
5. Tidak memiliki tempat yang tetap.
6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani
masyarakat
golongan
berpenghasilan
rendah.
7. Tidak membutuhkan keahlian ataupun
ketrampilan khusus.
8. Umumnya
tiap
satuan
usaha
mempekerjakan tenaga yang sedikit dan
dari daerah yang sama.
9. Tidak
mengenal
sistem
perbankan,
pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Ari Sulistyo Budi (2006) menyatakan
bahwa aktivitas PKL akan muncul mendekati
lokasi-lokasi strategis, dimana terdapat tingkat
kunjungan tinggi. Hal ini berkaitan dengan salah
satu fungsi dari pemasaran, yaitu mendekatkan
komoditi pada konsumen (place utility). Oleh
karena aktivitas kegiatan perdagangan sektor
informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian
seperti
pada
kawasan
perdagangan,
perkantoran, pendidikan, perumahan, dan
lokasi-lokasi strategis lainnya.
Karakteristik Pedagang Kaki Lima
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis
dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas
yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang
tersebut beraktivitas. Adapun jenis dagangan
yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan
menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu:
1. Makanan yang tidak dan belum diproses,
termasuk didalamnya makanan mentah,
seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.
2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan
lauk pauknya dan juga minuman.
3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil
hingga obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas,
misalnya tukang potong rambut dan lain
sebagainya.
Adapun bentuk sarana perdagangan yang
digunakan oleh PKL menurut Waworoentoe
(dalam Widjajanti, 2000) adalah sebagai berikut:
1. Gerobak/kereta dorong,
2. Pikulan/keranjang,
3. Warung semi permanen,
4. Kios,
5. Gelaran/alas.
METODE PENELITIAN
Ruang lingkup kajian ini adalah pada
identifikasi karakter Pedagang Kaki Lima (PKL)
yang beraktivitas di Kawasan Kaki Jembatan
Suramadu (KKJS), yang berada di sepanjang
Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) jalan akses KKJS.
Pendekatan dan Metode
Pendekatan kajian yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif yang didukung dengan
kualitatif. Metode yang dipilih adalah deskriptif
(descriptive),
yang
dimaksudkan
untuk
mengumpulkan informasi mengenai status suatu
gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut
apa adanya. Ruang lingkup penelitian meliputi
identifikasi karakteristik dan opini publik PKL,
4
serta analisis terhadap manfaat sosial-ekonomi
usaha PKL.
Untuk proses identifikasi karakteristik
dan opini publik PKL digunakan model
deskriptif statistik, yakni dengan melakukan
pengumpulan data untuk diolah secara statistik
terhadap beberapa variabel pemetaan sebagai
berikut :
Kesempatan kerja mencerminkan potensi
peluang penyerapan tenaga kerja dengan
adanya PKL Suramadu. Besarnya manfaat
ini diukur melalui pendekatan jumlah lapak
yang ada di wilayah Suramadu. Berdasarkan
hadil pengamatan, diambil asumsi bahwa
sebanyak 75% lapak berisi 1 orang
pedagang, dan 25% sisanya mempekerjakan
pekerja tambahan sehingga ditentukan
menjadi 2 orang pedagang/lapak. Selain itu,
juga dengan penambahan jumlah pedagang
gerobak keliling dan asongan dengan
memperhitungkan prosentase jumlah model
lapak tersebut.
Tabel 1. Variabel karakteristik dan opini PKL
Variabel
Asal daerah PKL
Jenis kelamin
Pendidikan terakhir
Karakteristik
Komoditas dagangan
Lama berjualan
Waktu operasional
Model lapak
Modal dagang
Keuntungan Bersih
Opini Publik PKL
Besar pungutan
Perijinan berdagang
Sumber perijinan
Penertiban PKL
Respon terhadap
relokasi
Penolakan relokasi
Keterangan
Setempat atau dari luar
Bangkalan
Laki-laki / Perempuan
Jenjang pendidikan dari
tidak tamat SD sampai
Sarjana
Makan dan minuman /
Barang / Keduanya
Rentang waktu dalam
tahun
Pagi/malam atau
keduanya
Bangunan / Gerobak /
Asongan
Jumlah modal dalam
Rupiah dan sumbernya
Keuntungan bersih harian
dalam rupiah
Keberadaan pungutan per
minggu untuk berdagang
Keberadaan ijin berdagang
di Suramadu
Instansi yang memberikan
perijinan
Keberadaan usaha
penertiban/penataan
Kesediaan untuk
dipindahkan atau
direlokasikan
Alasan menolak adanya
relokasi
2.
100
NI ( P x Q ) C
i
i
Dimana,
NI
= Net Income/Pendapatan bersih(Rp)
P
= Harga barang (Rp)
Q
= Jumlah barang (unit)
C
= Biaya oleh pedagang (Rp)
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
3.
Dalam proses analisis manfaat sosialekonomi dan biaya kegiatan PKL Suramadu,
maka ditentukan beberapa variabel pengukuran
sebagai berikut :
Output sektor riil
Output sektor siil dihitung melalui
pendekatan omzet yang diterima oleh
pelaku PKL. Omzet penjualan berarti jumlah
penghasilan kotor yang didapat dari jumlah
penjualan barang dikalikan dengan harga
tiap unit dan belum dikurangi oleh beban
yang ditanggung. Satuan yang digunakan
adalah satuan rupiah. Secara matematis
dapat ditulis sebagai berikut:
100
TR P x Q
Tabel 2. Variabel analisis manfaat
Manfaat
i
i 1
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
Variabel
Kesempatan kerja
Pendapatan
masyarakat
Output sektor riil
Penerimaan daerah
Pendapatan masyarakat
Pendapatan masyarakat dihitung melalui
pendekatan pendapatan bersih yang
diterima oleh masyarakat. Penjualan barang
yang diperoleh pedagang dikurangi dengan
beban biaya seperti beban listrik, air,
retribusi untuk kebersihan, dan bebanbeban yang lain. Satuan yang digunakan
adalah satuan rupiah. Secara sederhana,
dapat dilihat pada persamaan berikut:
i
i
i 1
Keterangan
Jumlah tenaga kerja
Dimana,
TR = Total Revenue/Pendapatan (Rp)
P
= Harga barang per unit (Rp)
Q
= Jumlah barang (unit)
Pendapatan bersih
Omzet
Pungutan resmi
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
4.
Pengukuran Variabel Manfaat Sosial-Ekonomi
1. Kesempatan kerja
5
Penerimaan daerah
Penerimaan daerah dihitung melalui
pungutan resmi oleh pemerintah lokal yang
diterima dari pelaku PKL dan masuk dalam
kas daerah. Pungutan ini bisa terdiri dari
pungutan
untuk
keamanan,
lokasi,
kebersihan, dan sebagainya. Satuan yang
digunakan adalah satuan rupiah. Secara
matematis hal tersebut dapat ditulis sebagai
berikut:
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan untuk
identifikasi karakter dan opini publik PKL
Suramadu adalah dengan analisis statistik
berupa analisis distribusi frekuensi, crosstab,
dan deskriptif kualitatif sebagai penjelasan yang
lebih mendalam. Data yang dibutuhkan berupa
data primer dari hasil olah kuesioner. Dengan
tabulasi crosstab, dapat dijelaskan hubungan
keterkaitan
antara
beberapa
variabel
karakteristik PKL yang diukur. Untuk analisis
manfaat sosial-ekonomi, digunakan pendekatan
analisis kuantitatif dan deskriptif, dimana
setelah diketahui nilai dari indikator manfaat
sosial-ekonomi, aspek-aspek yang terkait
dijelaskan lebih lanjut secara naratif. Sedangkan
aspek biaya aktivitas PKL Suramadu akan
dianalisis secara kualitatif.
100
PAD R
i
x fi
i 1
Dimana,
PAD = Pendapatan Asli Daerah (Rp)
R
= Retribusi/pungutan (Rp)
f
= Frekuensi/periode
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
Selain daripada manfaat sosial-ekonomi,
aktivitas PKL Suramadu juga dikaji dari aspek
biaya. Biaya tersebut didefinisikan sebagai nilai
tukar, prasyarat, atau pengorbanan yang
dilakukan guna mendapatkan manfaat. Metode
yang digunakan adalah analisis kualitatif, serta
pengumpulan data dengan observasi lapangan
dan wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Karakteristik PKL Suramadu
Dari hasil identifikasi karakteritik dan
opini publik PKL Suramadu, didapatkan
gambaran seperti apa sebenarnya persebaran
PKL di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu serta
dapat ditelusuri faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi keberadaan PKL KKJS tersebut
dan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan
lingkungan mereka saat ini.
Analisis tabulasi silang dalam variabel asal
PKL dibedakan menjadi 2 (dua), yakni dari
Bangkalan (setempat) dan dari luar bangkalan
(sebagai
pendatang).
Karakteristik
PKL
sebelumnya, diharapkan akan dapat ditemukan
faktor-faktor kunci (utama) yang ada di masalah
keberadaan PKL KKJS dan untuk menentukan
pendekatan penjelasan yang logis. Hasil analisis
tabulasi silang tersebut adalah sebagai berikut :
Adanya peluang untuk memulai usaha
informal di KKJS ini ditanggapi oleh sebagian
penduduk lokal untuk memulai usaha sebagai
PKL. Relatif sedikitnya jumlah pedagang yang
berasal dari luar Kabupaten Bangkalan
menggambarkan bahwa peluang usaha ini
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat
terutama mereka yang berpendidikan relatif
Tahap Penarikan Sampel
Sampel yang digunakan dalam identifikasi
karakter dan opini publik PKL adalah sebanyak
100 PKL, yang dipilih secara systematic sampling
sederhana. Langkah pertama adalah dengan
menentukan 100 responden (lebih kurang 22%
dari populasi yang tercatat atau sekitar 40%
dari PKL yang aktif berjualan terutama pada hari
libur).
Penentuan lokasi PKL terpilih adalah : 1)
sisi barat dan timur ruas jalan akses menuju
jembatan suramadu, 2) lokasi yang berdekatan
(sisi selatan) maupun berjauhan (sisi utara)
dengan pintu tol jembatan Suramadu. Pemilihan
sampel responden PKL yang akan diwawancarai
dilakukan dengan mengambil jarak atau sela 4
hingga 5 lapak untuk setiap responden.
Pemilihan ini tentu saja dengan memperhatikan
kondisi lapangan dimana tidak semua lokasi
tertentu terdapat PKL aktif.
Tabel 3. Pedagang Berdasarkan Asal Daerah, Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan (%)
Pendidikan Terakhir
Asal Daerah
Bangkalan
Luar Bangkalan
Total Prosentase
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
Tidak
Tamat SD
7
11
2
0
20
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
6
SD
SMP
SMA
Sarjana
15
20
4
0
39
5
9
3
2
19
6
5
9
0
20
0
1
1
0
2
Total
33
46
19
2
100
Tabel 4. Pedagang Berdasarkan Asal Daerah, Jenis Produk dan Lama Berjualan
Asal Daerah
Bangkalan
Luar Bangkalan
Jenis Produk
< 1 tahun
3
2
10
6
0
1
22
Makanan & Minuman
Souvenir
Mamin & Souvenir
Makanan & Minuman
Souvenir
Mamin & Souvenir
Total
Lama Berjualan
1-2 tahun
>2 tahun
5
15
3
9
11
21
3
6
2
0
1
2
25
53
Total
23
14
42
15
2
4
100
79
21
100
Sumber : Balai Sosekling Jatan,2011 (Diolah)
pelancong dalam penyediaan makanan dan
minuman, khususnya saat beristirahat di lokasi
wisata tersebut. Hal ini yang melatarbelakangi
jenis produk makanan dan minuman lebih awal
muncul dan jumlah pedagangnya lebih banyak
daripada produk souvenir.
Produk
souvenir
lebih
didominasi
pedagang yang berasal dari daerah setempat
(Bangkalan). Hal ini disebabkan souvenir
merupakan produk yang bersifat kearifan lokal.
Pedagang lokal lebih mudah dalam mendapatkan
akses terhadap pusat-pusat produksi souvenir,
dibandingkan masyarakat dari luar Bangkalan.
Sehubungan dengan hal itu, pedagang dari luar
Bangkalan lebih memilih makanan dan minuman
sebagai komoditas utama karena lebih bersifat
umum.
Melihat pada waktu operasional dagang,
PKL Suramadu umumnya berdagang baik pada
pagi hari maupun malam hari. Hal ini disebabkan
karena mayoritas pedagang adalah berasal dari
wilayah setempat sehingga animo berdagang
lebih besar. Selain itu, dengan didukung lokasi
tempat tinggal yang dekat dan masih berada di
wilayah sekitar Suramadu, menjadikan waktu
untuk PKL berdagang menjadi lebih luang.
Waktu operasional dagang PKL Suramadu
yang cenderung berlangsung dari pagi hari dan
malam hari ini juga menjadi dasar pedagang
rendah. Hal ini tercermin dari jumlah pedagang
yang sebagian besar adalah lulusan Sekolah
Dasar dan tidak tamat SD (59 persen). Sebagian
lagi adalah berpendidikan menengah yakni SMP
dan SMA (39 persen). Sedikit saja diantara PKL
yang berpendidikan sarjana yakni hanya 2 persen
saja.
Beberapa pedagang mengaku bahwa
mereka seakan menerima nasib mereka sebagai
lulusan SD tanpa memiliki keinginan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi. Namun, sebagian pedagang yang sudah
menikah dan memiliki anak mengatakan bahwa
anak mereka ternyata memiliki tingkat
pendidikan yang relatif lebih tinggi dari orang
tuanya walaupun sebagian ada yang miskin
sehingga anaknya tidak mampu untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.Berdasarkan jenis produk yang dijual,
peneliti membagi ke dalam tiga golongan.
Pertama, pedagang yang menjual produk
makanan dan minuman. Kedua, pedagang yang
menjual souvenir. Ketiga, pedagang yang menjual
kedua jenis produk, baik itu makanan dan
minuman maupun souvenir.
Berawal dari keberadaan hegemoni
berwisata di Jembatan Suramadu, muncul
pemikiran
masyarakat
setempat
untuk
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan para
Tabel 5. Pedagang Berdasarkan Waktu Operasional dan Tempat Berjualan
Waktu Operasional
Pagi Hari
Malam Hari
Pagi & Malam
Tempat Berjualan
Bangunan Semi-Permanen
Gerobak/ Kendaraan Keliling
Asongan
Bangunan Semi-Permanen
Gerobak/ Kendaraan Keliling
Asongan
Bangunan Semi-Permanen
Gerobak/ Kendaraan Keliling
Asongan
Total
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
7
Total
30
7
1
0
0
1
52
7
2
100
38
1
61
100
Tabel 6. Pedagang Berdasarkan Kebutuhan Modal dan Sumber Modal
Kebutuhan Modal
(Rp 000)
< Rp. 1,000
Rp. 1,000 - Rp. 2,000
Rp. 2,000 - Rp. 3,000
Rp. 3,000 - Rp. 4,000
Rp. 4,000 - Rp. 5,000
Rp. 5,000 - Rp. 6,000
> Rp. 6,000
Total
Modal
Sendiri
(%)
9.52
11.90
7.14
14.29
9.52
2.38
5.95
60.71
Sumber Modal
Pinjaman dr
Bank/ lembaga
keuangan (%)
1.19
0
0
3.57
0
0
0
4.76
Pinjaman
dari Teman/
Saudara (%)
4.76
5.95
2.38
7.14
5.95
1.19
2.38
29.76
Modal
Bersama
(%)
0
0
1.19
0
1.19
0
0
2.38
Lainnya
(%)
1.19
1.19
0
0
0
0
0
2.38
Total
(%)
16.67
19.05
10.71
25.00
16.67
3.57
8.33
100
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
dalam memilih model lapak. Pedagang secara
dominan lebih memilih untuk mendirikan
bangunan lapak yang bersifat semi-permanen,
dimana model tersebut sudah memeiliki
konstruksi yang cukup kuat dengan peratapan
yang mantap. Model bangunan semi permanen ini
umumnya dibuat dengan lantai yang sudah
dibetonisasi, konstruksi dinding dan atap rangka
kayu, serta bahan peratapan dari seng atau bahan
polycarbonat. Dengan model lapak seperti ini,
pedagang tidak akan bermasalah untuk
berdagang seharian penuh atau berhadapan
dengan kondisi cuaca dan lingkungan yang buruk.
dengan lebih dari Rp. 6,000,000. Namun
demikian, hasil temuan lapangan menunjukkan
bahwa kebutuhan modal PKL Suramadu secara
umum nilainya masih cukup rendah karena
sebagian besar masih berada dalam kisaran di
bawah Rp. 4.000.000. Hal inilah yang mendasari
sebagian besar pedagang memilih menggunakan
kepemilikan sendiri sebagai sumber modalnya.
Beberapa pedagang memang ada yang
masih memakai modal dari pinjaman teman atau
saudara. Modal pinjaman ini jumlahnya cukup
merata karena umumnya dipakai akibat dari
faktor keterbatasan modal pribadi sehingga
membutuhkan dukungan modal dari sumber
lainnya. Sebagian lain menggunakan modal
pinjaman karena alasan ingin usaha dagang
dengan skala yang lebih besar.
Terdapat pula sumber modal lain yang
melalui lembaga keuangan informal. Namun, hasil
temuan di lapangan menunjukkan bahwa
pedagang lebih memilih pinjaman
dari
teman/saudara dari pada lembaga keuangan
dikarenakan tidak dikenakan bunga pinjaman,
dan pedagang dapat menentukan waktu
pengembalian uang pinjaman sesuai dengan
kemampuannya.
Model berjualan yang juga cukup banyak
ditemukan adalah dengan gerobak/kendaraan
keliling. Model lapak seperti ini juga beroperasi
baik di pagi hari maupun malam hari. Dengan
model lapak ini, PKL menjadi lebih mudah untuk
bermobilisasi secara bebas, karena mampu
bergerak mendekati lokasi-lokasi yang banyak
dikunjungi
wisatawan
sebagai
calon
pembeli.Modal menjadi hal wajib bagi seseorang
dalam memulai usahanya, tidak terkecuali pada
pedagang di kawasan jembatan Suramadu. Modal
yang dipakai oleh para pedagang cukup
bervariasi mulai dari kisaran Rp. 100,000 sampai
Tabel 7. Pedagang Berdasarkan Jenis Produk, Keuntungan Bersih dan Besar Pungutan Tiap Minggu
Jenis Produk
Makanan &
Minuman
Souvenir / barang
Keduanya
Keuntungan Bersih
per Hari (Rp)
< 50,000
50,000 - 100,000
> 100,000
< 50,000
50,000 - 100,000
> 100,000
< 50,000
50,000 - 100,000
> 100,000
Total
Besar Pungutan/Minggu (Rp)
< 7,000
7,000 - 14,000
> 14,000
4
17
2
6
3
1
0
4
1
4
2
2
0
2
0
1
2
3
4
12
4
3
5
4
3
5
6
25
52
23
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
8
Total
23
10
5
8
2
6
20
12
14
100
Gambar 1. Opini PKL terhadap ijin berdagang
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
mendapatkan ijin (78%), meskipun ijin tersebut
bersifat tidak tertulis (72%). Umumnya PKL
KKJS mengajukan ijin untuk berdagang kepada
tokoh-tokoh masyarakat di desa/kelurahan atau
ketua komunitas PKL yang sudah terbentuk.
Meski demikian, dari hasil observasi ditemukan
ada instansi lain yang memberikan perijinan
berdagang di rumaja KKJS.Berdasarkan hasil
temuan di lapangan, responden mengaku pernah
mendapat tindakan penertiban dari petugas
meskipun jumlahnya sangat sedikit. Jika
ditelusuri lebih lanjut, para responden ini adalah
pedagang yang melanggar ketentuan melewati
batas tertentu di kawasan jembatan, yang
kemudian ditertibkan bulan Februari 2011 lalu.
Sementara itu sebagian besar responden
menyatakan setuju jika ada kemungkinan
relokasi oleh instansi terkait. Beberapa
responden mengaku sadar bahwa tanah yang
mereka tempati untuk kegiatan usaha bukanlah
milik mereka sehingga mereka setuju jika ada
relokasi.
Gambar 2. Opini PKL terhadap sumber ijin berdagang
Sistem permodalan bersama juga kurang
berkembang dalam komunitas PKL Suramadu
karena belum adanya pengetahuan atau
pengarahan tentang perkoperasian.
Berdasarkan
pada
hasil
observasi
terhadap keuntungan bersih pedagang yang
dikaitkan dengan komoditas yang dijualnya,
terlihat bahwa pedagang yang menjual makanan
dan minuman mendapatkan keuntungan bersih
harian lebih besar daripada pedagang souvenir.
Namun demikian, keuntungan bersih yang
didapatkan mayoritas masih relatif kecil, di
bawah kisaran Rp. 50.000,-/hari.
Berdasarkan data tabel-7, tampak bahwa
besarnya pungutan yang diberlakukan kepada
PKL Suramadu tidak dipengaruhi oleh jumlah
keuntungan bersih harian yang didapatkan
pedagang. Besarnya pungutan dipengaruhi oleh
besar-kecilnya lapak dan usaha dagang, yakni
dengan menggunakan dasar perhitungan blok
lapak (satuan ruang).
Responden yang menolak untuk direlokasi
memiliki berbagai alasan, responden takut
kehilangan pelanggan yang sudah sering
mengunjungi tempatnya, kekhawatiran akan
lokasi baru yang kurang ramai pengunjung,
tidak mendapat jatah kios, biaya sewa yang
mahal dan lain-lain. Secara keseluruhan,
sebagian besar responden memilih alasan
kekhawatiran ”ramai pengunjung” sebagai
alasan utama mereka menolak relokasi.
Analisis Manfaat dan Biaya Aktivitas PKL
Kondisi jalan akses KKJS sisi Madura yang
belum sepenuhnya dibangun dan menyebabkan
tersedianya ruang bebas yang cukup lebar di sisi
kanan-kiri jalan memunculkan kesempatan bagi
para PKL untuk menjamur di sepanjang ruang
Identifikasi Opini Publik PKL Suramadu
Berdasarkan pada pendapat dari PKL
Suramadu sendiri, meskipun keberadaan PKL di
rumaja dapat dikatakan ilegal, tetapi sebagian
besar PKL KKJS mengaku bahwa mereka telah
9
manfaat jalan (rumaja) jalan akses KKJS sisi
Madura. Terlebih lagi, pada awal-awal
pembukaannya, muncul euphoria yang besar di
masyarakat Indonesia untuk berwisata ke
jembatan Suramadu, sehingga membuka lapak
di sepanjang jalan akses KKJS menjadi peluang
ekonomi yang cukup mudah dan menjanjikan.
dimungkinkan karena perhitungan penyerapan
tenaga kerja tidak dipengaruhi oleh faktor
keaktifan pedagang. Oleh karena itu, angka
tersebut tidak dapat diartikan sebagai jumlah
pedagang yang bekerja aktif berdagang di
wilayah Suramadu dalam waktu yang
bersamaan.
2) Pendapatan Masyarakat PKL
Manfaat ekonomi berupa pendapatan
masyarakat dimaksud adalah jumlah seluruh
pendapatan PKL Suramadu dalam kurun waktu
1 (satu) tahun. Perhitungan tersebut didasarkan
pada perkalian total keuntungan bersih harian
terhadap jumlah hari dalam satu tahun yang
didefinisikan sebagai 12 bulan x 30 hari, dengan
asumsi pedagang memperoleh keuntungan
dalam jumlah sama setiap harinya.
Keuntungan bersih harian yang diperoleh
PKL Suramadu rata-rata adalah Rp. 497.875,(hasil olah data dari kuesioner). Oleh karena itu,
jumlah total pendapatan masyarakat PKL
Suramadu dalam satu tahun adalah sejumlah :
= bulan x hari x keuntungan bersih harian
= 12 x 30 x Rp. 497.875,= Rp. 179.235.000,-
Gambar 3. Opini PKL terhadap alasan penolakan
relokasi
Beberapa manfaat dari keberadaan
aktivitas PKL Suramadu ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1) Kesempatan Kerja
Seperti yang telah dijelaskan dalam teori,
bahwasanya kehadiran Pedagang Kaki Lima
merupakan salah satu peluang penyerapan
tenaga kerja yang cukup potensial. Hal ini
dikarenakan sifat usahanya yang cepat, mudah
dan tidak membutuhkan modal besar. Besarnya
kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh
keberadaan PKL Suramadu dapat diukur dengan
pendekatan jumlah lapak yang terbangun.
3) Output Sektor Riil
Perhitungan output sektor riil dimaksud
adalah terlepas dari sifat Pedagang Kaki Lima
yang masin informal, sehingga besarnya output
sektor riil dicerminkan dengan omzet yang
didapatkan seluruh PKL Suramadu dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun.
Total omzet bulanan dari 100 (seratus)
PKL yang disurvai adalah Rp. 767.760.000,-.
Secara kasar dapat ditunjukkan bahwa setiap
pedagang rata-rata memiliki omzet per bulan
sebesar Rp. 76,776,000. Jumlah yang cukup
besar untuk ukuran pekerja di sektor informal.
Tabel 8. Jumlah PKL Suramadu
Tabel 9. Jumlah PKL Suramadu aktif
Perhitungan jumlah kesempatan kerja :
- Lapak dengan asumsi 1 pedagang/lapak :
= 75% x 891 = 668 pedagang (dibulatkan)
- Lapak dengan asumsi 2 pedagang/lapak :
= 25% x 891 x 2 = 445 pedagang (dibulatkan)
- Pedagang gerobak & asongan :
= 18% x 891 = 160 pedagang (dibulatkan)
Sehingga
keberadaan
PKL
Suramadu
menyumbang penyerapan kesempatan kerja
sebanyak 1.273 orang.
Jumlah kesempatan kerja yang muncul
memang
cukup
besar.
Hal
tersebut
Sumber : Balai Litbang Sosekling, 2011
Dengan dasar jumlah lapak yang aktif
rata-rata adalah 360 lapak (tabel 9), maka
perhitungan output sektor riil menjadi :
= 12 x omzet bulanan x jumlah lapak aktif
= 12 x Rp. 767.760.000,- x 360
= Rp. 3.316.723.200,4) Penerimaan Daerah
10
Penerimaan daerah dari PKL Suramadu
dari hasil observasi adalah berupa pungutan
yang diberlakukan kepada lapak PKL yang aktif
setiap harinya, yang dibuktikan dengan karcis
retribusi dari Pemda Bangkalan. Oleh itu,
besarnya Penerimaan Daerah (PAD) dari sektor
PKL Suramadu adalah total pungutan retribusi
yang didapatkan dalam kurun waktu 1 (satu)
tahun.
Dari besarnya pungutan yang diambil,
pemerintah setempat memperoleh sekitar Rp.
539,000,- tiap hari. Jumlah tersebut hanya
diperoleh dari seratus pedagang yang disurvai.
Dengan jumlah PKL yang aktif rata-rata per
harinya adalah 360 lapak, penerimaan harian
retribusi diasumsikan tetap setiap harinya, dan
satu bulan adalah 30 hari, maka besar pungutan
yang didapatkan oleh pemerintah daerah :
= bulan x hari x total retribusi harian
= 12 x 30 x Rp. 539.000,= Rp. 194.040.000,Apabila jumlah tersebut termasuk ke
dalam pendapatan asli daerah pemerintah
setempat, maka adanya PKL merupakan sumber
pendapatan daerah yang prospektif dan
potensial.
Gambar 4. Deretan lapak PKL dan parkir mobil
pengunjung
Adanya PKL Suramadu juga meningkatkan
jumlah sampah, mengingat banyaknya pedagang
yang menjual makanan ringan. Sampah yang
dihasilkan didominasi oleh sampah plastik.
Sistem pengolahan sampah yang digunakan
adalah dengan membakar sampah, yang
dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
PKL, atau kolektif dari beberapa PKL yang
berkelompok.
Namun, pembakaran sampah tidak selalu
dilakukan. Dalam seminggu umumnya dilakukan
3 (tiga) kali pembakaran atau hanya sekali
pembakaran. Pedagang melakukan pembakaran
apabila merasa sampah tersebut sudah terlalu
banyak. Lokasi pembakaran sampah sering
terjadi di bahu jalan sehingga terkadang hasil
pembakaran yang tidak dibersihkan dapat
mengotori jalan. PKL Suramadu juga cenderung
membersihkan sampah yang berada di sekitar
lapaknya sendiri, sehingga tidak semua sampahsampah yang dibuang pengunjung dapat terurus.
Akibatnya, muncul pemandangan yang cukup
mengganggu karena kesan kotor dan kumuh di
area ruang manfaat jalan akses KKJS.
Namun demikian, di lain sisi terdapat
aspek biaya sebagai pengorbanan yang harus
diterima dari keberadaan dan aktivitas PKL
Suramadu. Sesuai dengan peraturan tentang
jalan (PP No. 34/2006), keberadaan PKL di
rumaja jalan akses KKJS adalah salah karena
rumaja tidak boleh digunakan/dimanfaatkan
untuk kepentingan selain dari fungsi pelengkap
dan bangunan pendukung jalan. Akibatnya,
keberadaan PKL dapat mempengaruhi aspek
keselamatan, keamanan dan kenyamanan
penggunaan jalan. Hal ini dibuktikan dengan
cukup banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas
yang terjadi. Jalan akses KKJS memang didesain
sebagai jalan jalur cepat, yang tidak boleh
menerima hambatan atau gangguan mobilitas,
apalagi yang sifatnya mendadak/spontan seperti
orang yang menyeberang jalan atau manuver
parkir mobil di tepi jalan.
Keberadaan PKL KKJS secara kasat mata
juga menyebabkan semrawutnya pemandangan
karena lapak-lapak yang heterogen dan kurang
terkoordinir dengan baik. Meskipun sebagian
PKL sudah diberikan tenda seragam oleh Dinas
Koperasi dan UMKM setempat, sebagian besar
PKL tetap lebih memilih model lapak yang
mereka bangun sendiri karena konstruksi yang
lebih kuat dan ruang yang lebih luas.
Gambar 5. Sampah berserakan di rumaja jalan akses
KKJS
11
Kawasan Banjaran Kabupaten Tegal.
Semarang : Tesis Program Pasca Sarjana
Magister Ilmu Lingkungan, Universitas
Diponegoro.
Mc Gee, T.G. and Y.M. Yeoung. 1977. Hawkers in
Southest Asian Cities : Planning for the
Bazaar Economy. Ottawa : International
Development Research Centre.
[Pusosekling]
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Sosial Ekonomi dan
Lingkungan. 2011. Laporan Akhir :
Penelitian Sosial Ekonomi Lingkungan
Optimalisasi
Pemanfaatan
Jembatan
Suramadu. Surabaya : Balai Litbang
Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan.
[Pusosekling]
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Sosial Ekonomi dan
Lingkungan. 2011. Laporan Akhir :
Penelitian Pengkajian Dampak SosialEkonomi Akibat Pembangunan Jembatan
Suramadu. Surabaya : Balai Litbang
Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan.
Sulistyo Budi, Ari. 2006. Kajian Lokasi Pedagang
Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL
Serta Persepsi Masyarakat Sekitar di Kota
Pemalang. Semarang : Tesis Program
Pasca Sarjana Magister Pembangunan
Wilayah
dan
Kota,
Universitas
Diponegoro.
Rosita, Popy. 2006. Kajian Karakteristik
Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam
Beraktivitas
dan
Memilih
Lokasi
Berdagang di Kawasan Perkantoran Kota
Semarang. Semarang : Tugas Akhir
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Umboh, Allan G.G.S. 1990. Peluang Kerja
Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota
Administratif Bitung. Manado : Fakultas
Pascasarjana KPK IPB-UNSRAT.
Usman, Sunyoto. 2006. Malioboro. Yogyakarta :
PT Mitra Tata Persada.
Widjajanti. 2000. Penataan Fisik Kegiatan PKL
pada Kawasan Komersial di Pusat Kota
(Studi Kasus : Simpang Lima Semarang).
Bandung : Tesis Program Magister
Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut
Teknologi Bandung (ITB).
Widodo, Ahmadi. 2000. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Usaha
PKL (Studi Kasus : Kota Semarang).
Semarang : Tesis Program Pascasarjana,
Magister Teknik Pembangunan Kota,
Universitas Diponegoro.
Surat Keputusan Walikota Surabaya Nomor 17
Tahun
2004
tentang
Pelaksanaan
KESIMPULAN
Dari hasil identifikasi karakteristik dan
opini publik PKL Suramadu didapatkan
beberapa fakta bahwa mayoritas PKL adalah
berasal dari wilayah Kabupaten Bangkalan, yang
berarti bahwa keberadaan Jembatan Suramadu
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, dan
mampu menjadi penyerap tenaga kerja lokal.
Lapak dagang PKL yang sebagian besar
menggunakan lapak berjenis bangunan semipermanen akan menyebabkan sulit dan lamanya
waktu yang dibutuhkan apabila proses relokasi
dilakukan. PKL Suramadu mendapatkan ijin
dagang meskipun tidak formal dan tertulis, yang
berarti ada oknum tertentu yang memanfaatkan
kondisi pemanfaatan rumaja secara ilegal ini.
Kurangnya tindakan penertiban maupun
pembinaan menunjukkan belum adanya pihak
yang memperhatikan masalah PKL Suramadu
dengan serius. PKL Suramadu setuju/siap untuk
direlokasikan karena menyadari keberadaannya
adalah salah serta mengetahui adanya rencana
pembangunan rest area dan rencana relokasi
atas lapak mereka.
Dilihat dari kacamata sosial-ekonomi, dan
didasarkan pada hasil analisis manfaat di atas,
maka keberadaan PKL Suramadu dinilai telah
memberikan manfaat praktis, baik kepada
masyarakat maupun pemerintah daerah
setempat. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
keberadaan PKL Suramadu ini harus didukung
begitu saja. Aktivitas Pedagang Kaki Lima masih
bersifat informal dan ilegal, karena menempati
rumaja yang menurut peraturan tidak boleh
digunakan. Keberadaannya di rumaja dapat
mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan
pengguna jalan akses. Selain itu, munculnya
sampah-sampah yang tidak
Oleh karena itu, dalam penanganan PKL
Suramadu, potensi manfaat dan biaya tersebut
perlu ditanggapi pemerintah secara bijak.
Dengan percepatan pembangunan rest area
Suramadu, selain dapat dihindarkan munculnya
kesan kumuh dan kotor akibat aktivitas PKL,
manfaat PKL Suramadu dapat dijadikan sektor
potensi sosial-ekonomi yang bersifat legal dan
formal.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Bangkalan. 2011. Data Jumlah
Pedagang Kaki Lima di Kaki Jembatan
Suramadu per Agustus 2011 (tidak
dipublikasikan).
Budiman, Bambang. 2010. Kajian Lingkungan
Keberadaan Pedagang Kaki Lima di
12
Peraturan Penataan Dan Pemberdayaan
Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
27
Tahun
2008
tentang
Badan
Pengembangan
Wilayah
SurabayaMadura.
13