THE IMPLEMENTATION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER 46PUU-VIII2010 ON EXTRAMARITAL CHILD

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TENTANG ANAK DI LUAR KAWIN

Kajian Putusan Nomor 329 K/AG/2014

THE IMPLEMENTATION OF CONSTITUTIONAL COURT DECISION NUMBER 46/PUU-VIII/2010 ON EXTRAMARITAL CHILD

Nurhadi

Mahkamah Syar’iyah Sabang Jl. Yos Sudarso No. 101 Kota Sabang 23522 E-mail: nurhadi1980@gmail.com

An Analysis of Court Decision Number 329 K/AG/2014

Naskah diterima: 14 Februari 2017; revisi: 5 Oktober 2017; disetujui 6 Agustus 2018 http://dx.doi.org/10.29123/jy.v11i2.66

PUU-VIII/2010. The decision completely rejected the petitum related to extramarital children viewed from lawsuit considering that the Religious Court was not the theory of justice, protection theory, authority theory, authorized to ratify a marriage that occurred after the progressive legal theory, and mashlahah theory? The enactment of Law Number 1 of 1974, and the request to method used in this research is descriptive-analysis. The legalize the status of an extramarital child was not the results showed that the decision prioritize the juridical authority of the religious court. Of the several problems aspect. Meanwhile, the sociological and philosophical encountered, in this analysis three formulations of the aspects tend to be neglected. The decision does not seem problem were discussed. First, has the Decision Number to implement the Constitutional Court Decision Number 329 K/AG/2014 reflected the juridical, sociological, 46/PUU-VIII/2010. Based on the theory of justice, legal and philosophical aspects? Second, have these legal protection, authority, progressive law and mashlahah, considerations of Decision Number 329 K/AG/2014 petitum regarding extramarital children can be granted. implemented the Constitutional Court Decision Number

Keywords: extramarital children, biological child, 46/PUU-VIII/2010? Third, how is the condition of Constitutional Court Decision, Supreme Court Decision.

I. PENDAHULUAN

hanya mempunyai hubungan nasab dengan

A. Latar Belakang

ibunya dan keluarga ibunya” (Rofiq, 2013: 178). Di Indonesia, kedudukan anak dalam

Anak merupakan hasil dari adanya hukum keluarga dapat dikategorikan menjadi dua hubungan biologis antara laki-laki dan macam, yaitu anak yang sah dan anak yang tidak perempuan, sehingga kedudukan anak sangat sah (Satrio, 2005: 5). Definisi mengenai anak sah tergantung pada keabsahan perkawinan orang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 tuanya. Di Indonesia, sedikitnya terdapat dua Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: model perkawinan yang diakui oleh masyarakat, “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan yaitu perkawinan yang tercatat dan perkawinan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.” tidak tercatat. Perkawinan yang tidak tercatat, di Pasal tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam

masyarakat biasanya disebut dengan nikah siri, nikah di bawah tangan atau nikah liar (Anshary

Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang MK, 2010: 13). Meskipun mayoritas ulama (tokoh

berbunyi: “Anak yang sah adalah: (a) anak yang agama) di Indonesia mengakui tentang keabsahan

dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang perkawinan tersebut, namun menurut hukum

sah; (b) hasil perbuatan suami istri yang sah di yang berlaku di Indonesia perkawinan tersebut

luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.” tidak sah, sehingga status anak dari perkawinan

Definisi mengenai anak tidak sah telah siri tersebut disebut anak di luar nikah/kawin, diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang yang tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya. Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang

Keadaan seperti ini dialami oleh MIR, dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

anak dari AM, hasil perkawinannya dengan M. hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

Permasalahan berawal dari perkawinan M dengan ibunya.” Pasal tersebut dijabarkan lebih lanjut

AM pada tanggal 20 Desember 1993. Pernikahan dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang

tersebut tidak tercatat di Kantor Urusan berbunyi: “Anak yang lahir di luar perkawinan

Agama, kemudian pada tahun 1998 keduanya

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

terima lagi atas putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tersebut, kemudian mengajukan kasasi ke

AM mengajukan permohonan isbat nikah Mahkamah Agung. Melalui Putusan Nomor 329

(pengesahan nikah) ke Pengadilan Agama K/AG/2014, Mahkamah Agung menolak seluruh

Tigaraksa, yang kemudian pada intinya menolak

gugatan penggugat.

permohonan pemohon. Bulan Juli 2010, AM berjuang lewat Mahkamah Konstitusi dengan

B. Rumusan Masalah

mengajukan gugatan uji materiil (judicial review) untuk mendapatkan pengakuan tentang status

Berdasarkan latar belakang dan kronologis hukum anaknya (MIR) sebagai anak yang sah kasus di atas, maka masalah yang perlu dijawab

dari AM dan M. Hasil uji materiil tersebut, hanya dalam kajian ini adalah: diterima sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.

1. Apakah pertimbangan dalam Putusan Hal ini dapat dilihat dalam amar Putusan

Nomor 329 K/AG/2014 sudah tercermin Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menyatakan

aspek yuridis (kepastian hukum), aspek bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

sosiologis (kemanfaatan), dan aspek Tahun 1974, harus dibaca “Anak yang dilahirkan

filosofis (keadilan)?

di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan

2. Apakah pertimbangan hukum dalam laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan

Putusan Nomor 329 K/AG/2014 telah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/

mengimplementasikan Putusan Nomor 46/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai

PUU-VIII/2010? hubungan darah, termasuk hubungan perdata 3. Bagaimana kondisi petitum tentang anak

dengan keluarga ayahnya.” di luar kawin apabila ditinjau menurut Berbekal putusan tersebut, AM mengajukan

teori keadilan, teori perlindungan, teori gugatan pengesahan anak biologis yang terdaftar

kewenangan, teori hukum progresif, dan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta

teori mashlahah?

Selatan dengan Nomor 1241/PDT.G/2012/PA.JS.

Pengadilan Agama Jakarta Selatan membacakan C. Tujuan dan Kegunaan

putusan atas gugatan tersebut, yang pada intinya Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui

mengabulkan sebagian gugatan penggugat apakah aspek yuridis (kepastian hukum), aspek

(AM), dengan menyatakan anak yang bernama sosiologis (kemanfaatan), dan aspek filosofis MIR, lahir pada tanggal 5 Februari 1996 adalah (keadilan) sudah tercermin dalam Putusan

anak di luar perkawinan dari penggugat (AM) Nomor 329 K/AG/2014. Selain itu untuk

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

hubungan keperdataan antara MIR sebagai anak luar kawin dengan M sebagai bapak

PUU-VIII/2010, dan bagaimana kondisi petitum biologisnya. Dengan demikian, MIR tidak tentang anak di luar kawin apabila ditinjau

bisa mendapatkan warisan dari almarhum M” (Tobroni, 2015: 100).

menurut teori keadilan, teori perlindungan, teori kewenangan, teori hukum progresif, dan teori

Tulisan ini akan mengkaji Putusan Nomor mashlahah.

329 K/AG/2014 dengan menggunakan teori lain, yakni teori keadilan, teori perlindungan hukum,

Kegunaan penelitian ini diharapkan berguna teori kewenangan, teori hukum progresif, dan

bagi pengembangan ilmu hukum, memperluas

teori mashlahah.

dan menambah wawasan, menambah khazanah pemikiran hukum pada umumnya dan hukum

keluarga pada khususnya, dan memberikan 1. Teori Keadilan

kontribusi dalam upaya mewujudkan keadilan Aquinas dalam Sujana (2015), membedakan

dalam rangka penyelesaian perkara gugatan/ keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan

permohonan anak di luar nikah, serta untuk umum (justitia generalis) dan keadilan khusus

mengantisipasi prolematika hukum yang terus (justitia spesialis). Keadilan umum adalah

berkembang. keadilan menurut kehendak undang-undang,

yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

D. Tinjauan Pustaka

Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus

Kajian Putusan Nomor 329 K/AG/2014 ini dibedakan menjadi: a) keadilan distributif

pernah ditulis dengan judul “Hak Anak Sebagai (iustitia distributive); b) keadilan komutatif

Ahli Waris dalam Perkawinan Siri (Kajian (iustitia commutativa); dan c) keadilan vindikatif

Putusan Nomor 329 K/AG/2014),” yang isi (iustitia vindicativa) (Sujana, 2015: 19).

kesimpulannya adalah sebagai berikut: “Putusan Kasasi Mahkamah Agung

Keadilan distributif adalah keadilan yang memperkuat

putusan pengadilan secara proporsional diterapkan dalam lapangan sebelumnya untuk tidak memberlakukan Putusan Mahkamah Konstitusi kepada hukum publik secara umum. Sebagai contoh, kasus MIR dan AM karena prinsip non negara hanya akan mengangkat seseorang retroactive. Selain itu, putusan juga menjadi hakim, apabila orang itu memiliki menolak untuk menetapkan pengesahan perkawinan siri AM dan M. Alasannya kecakapan menjadi hakim. Keadilan komutatif adalah perkawinan siri mereka adalah keadilan dengan mempersamakan antara dilangsungkan pada 20 Desember 1993

prestasi dan kontraprestasi. Keadilan vindikatif atau setelah berlakunya Undang-Undang

Perkawinan 1974. Meskipun berhukum adalah keadilan dalam tindak pidana. sah menurut hukum Islam namun tidak dicatatkan pada kantor urusan agama,

Seorang dianggap adil apabila ia dipidana pengadilan tetap tidak bisa melakukan badan atau sesuai dengan besarnya hukuman pengesahan perkawinan (isbat nikah) sesuai huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang ayat (2) Undang-Undang Peradilan Agama dilakukannya (Sumaryono, 1995: 124). 2006. Sebagai konsekuensi hukumnya,

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

2. Teori Perlindungan Hukum

4. Teori Hukum Progresif

Hadjon mengatakan ada dua macam Rahardjo menganggap sebagai tipe perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu hukum yang ideal, sebagai tipe hukum yang perlindungan hukum yang preventif dan memperjuangkan keadilan prosedural dan perlindungan hukum yang represif. Segala sarana, keadilan substantif adalah hukum progresif. di antaranya peraturan perundang-undangan, yang Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri memfasilitasi pengajuan keberatan-keberatan oleh adalah mengubah secara cepat, melakukan rakyat sebelum keputusan pemerintah mendapat pembalikan yang mendasar dalam teori dan

bentuk definitif, merupakan perlindungan yang praktik hukum, serta melakukan berbagai preventif. Penanganan perlindungan hukum bagi terobosan. Pembebasan tersebut didasarkan pada

rakyat oleh pengadilan merupakan perlindungan prinsip bahwa hukum adalah untuk manusia hukum yang represif (Hadjon, 2007: 2).

dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu

3. Teori Kewenangan atau Kompetensi

yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan

Kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan manusia (Rahardjo, 2007: 154). termasuk kewenangan atribusi. Dalam praktik hukum acara perdata, kompetensi ada dua

5. Teori Mashlahah

macam, yaitu kompetensi absolut (kewenangan absolut) dan kompetensi relatif (kewenangan

Dalam bahasa Arab, mashlahah (jamaknya relatif) (Sutantio & Oeripkartawinata, 2002: 11). mashalih) merupakan sinonim dari kata manfaat dan lawan dari kata mafsadat (kerusakan).

Kompetensi relatif diartikan sebagai Sedangkan mashlahah secara epistemologi, di

kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu antaranya menurut Al-Khawarizmi dalam Manan

tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan (2007) adalah memelihara tujuan hukum Islam

pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan dengan menolak bencana atau kerusakan yang

lainnya. Atau dengan kata lain bahwa setiap merugikan diri makhluk manusia. Sebagaimana

lembaga peradilan mempunyai wilayah hukum diketahui tujuan hukum Islam adalah untuk

tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota atau memelihara agama, akhlak, jiwa, dan keturunan

satu kabupaten. Sedangkan kompetensi absolut (Manan, 2007: 262). Tidak jauh berbeda dengan

adalah kewenangan suatu badan peradilan untuk pendapat Al-Khawarizmi di atas, Al-Ghazali

memeriksa perkara tertentu yang secara mutlak dalam Manan (2007) merumuskan mashlahah

tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Ini sebagai suatu tindakan memelihara tujuan

artinya kekuasaan peradilan yang berhubungan syara’ atau tujuan hukum Islam. Sedangkan

dengan pembagian kekuasaan kehakiman tujuan hukum Islam menurut Al-Ghazali adalah

antara lingkungan badan-badan peradilan, yakni memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang

apakah suatu perkara itu menjadi kewenangan mengandung tujuan memelihara salah satu dari

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lima hal di atas disebut mashlahah, dan setiap

peradilan militer atau peradilan tata usaha negara hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan

(Harahap, 2013: 180).

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

tujuan sebagai suatu usaha untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia yang berlandaskan

II. METODE

Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan yang akan dilakukan mempunyai kekuatan atau

Penelitian ini adalah bersifat deskriptif hubungan yang sangat erat dengan agama dan analitis. Jenis penelitian ini adalah penelitian kerohanian. Hal ini disebabkan karena suatu hukum normatif, yaitu penelitian dilakukan perkawinan bukan hanya hubungan jasmaniahnya dengan cara menganalisis hukum yang tertulis saja, tetapi hubungan batiniah (agama dan dari bahan pustaka atau data sekunder belaka, kerohanian) mempunyai peran yang sangat yang lebih dikenal dengan nama bahan hukum penting dalam perkawinan (Rasyidi, 1991: 5). sekunder dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Data yang

Disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan

bahan kepustakaan antara lain meliputi bahan dalam Pasal 2 dan 3. Pasal 2 menyatakan, hukum primer seperti peraturan perundang- perkawinan menurut hukum Islam adalah undangan dan putusan pengadilan.

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliza untuk mentaati perintah Allah

Bahan hukum sekunder yaitu bahan- dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 bahan yang bersumber dari pendapat ilmiah menyebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk para sarjana dan buku-buku literatur yang ada mewujudkan kehidupan rumah tangga yang kaitannya dengan fokus dengan penelitian ini. sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bahan hukum tersier seperti kamus hukum, ensiklopedia, majalah, surat kabar, internet,

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun dan jurnal-jurnal. Untuk analisis data, penulis 1974, mengenai keabsahan suatu perkawinan menggunakan metode analisis kualitatif.

terdapat dalam Pasal 2, yaitu perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (ayat (1)), serta

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

dicatatkan di instansi pemerintah yang menangani

A. Keabsahan Perkawinan di Indonesia

bidang tersebut (ayat (2)).

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun Masalah sah atau tidaknya suatu

1974 menyebutkan, bahwa perkawinan adalah perkawinan ditentukan oleh agamanya masing-

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan masing. Bagi yang beragama Islam harus

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan terpenuhi syarat dan rukun suatu perkawinannya.

membentuk keluarga (berumah tangga) yang Sehingga apabila syarat dan rukun nikah sudah

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang terpenuhi, maka perkawinan tersebut sudah

Maha Esa. sah secara agama. Namun perkawinan tersebut

Perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi belum dianggap sah oleh negara apabila tidak kebutuhan biologis dan kehendak kemanusiaan, dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sehingga yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir batin perkawinan tersebut harus dicatatkan dahulu,

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

perkawinan, hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan tersebut dapat dilindungi oleh

Nikah siri artinya nikah secara rahasia, negara. Oleh karena pentingnya fungsi pencatatan

lazim juga disebut dengan nikah di bawah tangan tersebut, maka Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam

atau nikah liar. Nikah siri dapat dibedakan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan

menjadi dua jenis. Pertama, akad nikah yang di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak

dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang mempunyai kekuatan hukum.

perempuan tanpa hadirnya orang tua/wali si perempuan, biasanya wali nikahnya seorang

B. Kedudukan Hukum Anak Menurut

ulama tanpa pendelegasian dari wali nikah yang

Hukum Indonesia

berhak. Kedua, akad nikah yang dilakukan yang telah memenuhi syarat dan rukun suatu

Anak merupakan hasil dari adanya hubungan perkawinan sesuai hukum Islam, namun tidak biologis antara laki-laki dan perempuan. Apabila

dicatatkan menurut Undang-Undang Perkawinan. anak tersebut lahir dari perkawinan yang sah menurut hukum Islam, maka anak tersebut juga

Istilah perkawinan di bawah tangan menjadi anak sah. Demikian juga sebaliknya

muncul setelah diberlakukannya secara efektif apabila anak tersebut lahir dari perkawinan yang

Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974. tidak sah, maka anak tersebut juga berkedudukan

Perkawinan di bawah tangan yang disebut juga sebagi anak tidak sah, sehingga hanya mempunyai

sebagai perkawinan liar karena perkawinannya hubungan perdata dengan ibunya.

dilaksanakan di luar pengawasan pemerintah atau perkawinan yang dilakukan di luar ketentuan

Dalam pandangan hukum Islam, anak hasil hukum perkawinan yang berlaku secara positif hubungan di luar nikah disebut dengan istilah

di Indonesia. Meskipun demikian, tidak semua anak zina (walad al-zina), anak syubhat atau perkawinan yang dilakukan secara siri/di bawah anak li’an, dan dianggap sebagai anak yang tidak tangan merupakan perkawinan yang tidak sah sah (Manan, 2014: 83). Sebagaimana tertera (Anshary MK, 2010: 27).

dalam beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang pada intinya menerangkan bahwa anak

Sahnya perkawinan adalah terpenuhinya hasil zina dinasabkan kepada pemilik kasur/

syarat dan rukun yang ditentukan oleh agama suami dari perempuan yang melahirkan (

sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang- firasy)

atau dinasabkan kepada ibunya saja. Undang Perkawinan. Namun demikian, Pasal 2

ayat (1) tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Di Indonesia, perkawinan yang diakui adalah Pasal 2 ayat (2), yaitu kewajiban administratif perkawinan yang dilakukan menurut hukum

untuk mencatatkan perkawinan. Kewajiban masing-masing agama dan kepercayaannya, dan administratif tersebut berfungsi untuk melindungi dicatatkan di instansi pemerintah yang menangani

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

pada tanggal 20 Desember 1993 adalah perkawinan yang sah menurut hukum Islam, namun perkawinan

Akibat perkawinan yang tidak tercatat, tersebut tidak dapat dicatatkan.

perkawinan tersebut tidak mendapat pengakuan, Tuntutan tersebut tidak termasuk perlindungan, dan kepastian hukum dari negara.

kewenangan pengadilan agama karena angka 22 Penjelasan Pasal 49

Sehingga anak yang lahir dari perkawinan ayat (2) hanya memberi kewenangan tersebut berkedudukan sebagai anak yang

untuk menyatakan sahnya perkawinan tidak sah, dan hanya mempunyai hubungan

yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perdata dengan ibunya saja (Pasal 43). Namun Perkawinan dan dijalankan menurut apabila dapat dibuktikan di depan pengadilan

peraturan yang lain. bahwa anak tersebut adalah anak biologis dari

3. Bahwa dengan demikian putusan ayah yang menghamili ibunya (vide Putusan

judex facti Pengadilan Tinggi Agama Nomor 46/PUU-VIII/2010), maka anak tersebut

Jakarta yang menguatkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan

berkedudukan sebagai anak biologis dari laki- dalam hal menolak gugatan tentang laki tersebut dan mempunyai hubungan perdata

pengesahan perkawinan ini casu sudah tepat dan benar.

dengan ayah biologisnya tersebut.

4. Bahwa pemohon kasasi di dalam petitum angka 3 mengajukan tuntutan

C. Analisis Putusan Nomor 329 K/AG/2014

agar pengadilan menyatakan sebagai hukum bahwa anak laki-laki yang

Mahkamah Agung dalam putusan kasasi bernama MIR yang lahir di Jakarta, tersebut memberikan pertimbangan sebagai

pada hari Senin, tanggal 5 Februari 1996 adalah anak yang dilahirkan

berikut: dari perkawinan yang sah menurut

Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi hukum Islam, sedangkan petitum Agama Jakarta yang menguatkan Putusan

angka 4 menuntut untuk dinyatakan Pengadilan Agama Jakarta Selatan keliru

sebagai anak di luar perkawinan dalam mempertimbangkan dan memutus

yang mempunyai hubungan perdata perkara in casu, dengan pertimbangan

dengan alm. Drs. M sebagai sebagai berikut:

ayahnya. Antara petitum angka 3 dengan petitum angka 4 tersebut

1. Bahwa kewenangan mengadili terjadi kontradiksi, di satu sisi agar pengadilan agama di bidang

dinyatakan sebagai anak sah, dan di perkawinan sebagaimana dijelaskan

sisi lain agar dinyatakan sebagai anak di dalam penjelasan Pasal 49 ayat

di luar nikah.

(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang

5. Bahwa tuntutan pemohon kasasi telah diubah dengan Undang-Undang

tentang sah atau tidaknya seorang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan

anak sebagaimana bunyi penjelasan kedua dengan Undang-Undang

Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 ada 22 poin

Nomor 7 Tahun 1989 angka 14: yang dimaksud dengan bidang

“Putusan tentang sah atau tidaknya perkawinan.

seorang anak.” Dalam hal pengesahan status anak, Pasal 99 Kompilasi

2. Bahwa pemohon kasasi di dalam Hukum Islam jo. Pasal 42 Undang- petitum angka 2 mengajukan tuntutan

Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara agar pengadilan menyatakan bahwa

tegas menyatakan: “Anak yang sah perkawinan antara penggugat (AM)

adalah anak yang dilahirkan dalam

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

pada angka 1, 2, dan 3, yang pada pokoknya

6. Bahwa dengan ditolaknya tuntutan menyatakan bahwa pengadilan agama tidak pemohon kasasi/penggugat berwenang mengadili perkara isbat nikah mengenai pengesahan perkawinan pada petitum angka 2 di atas, maka

yang dilakukan setelah berlakunya Undang- tuntutan pemohon kasasi/penggugat

Undang Perkawinan pada tahun 1974, agar MIR dinyatakan sebagai anak

maka petitum angka 2 harus ditolak. Untuk yang sah, juga harus ditolak.

mengalisis pertimbangan tersebut penulis

7. Bahwa tuntutan untuk dinyatakan menggunakan teori kewenangan atau teori

sebagai anak di luar perkawinan tidak termasuk kewenangan pengadilan

kompetensi. Petitum ini mengajukan isbat agama mengadilinya sebagaimana

nikah, dan dinyatakan ditolak, karena telah disebutkan di atas, bahwa

perkawinan yang bersangkutan terjadi kewenangan pengadilan agama

sesuai Pasal 49 ayat (2) Undang- pada tahun 1993 dan Undang-Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Perkawinan sudah berlaku secara efektif Peradilan Agama, yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 sejak tahun 1974, sehingga pengadilan Tahun 2006 dan perubahan kedua

agama tidak berwenang mengadili perkara dengan Undang-Undang Nomor 50

tersebut.

Tahun 2009 berikut penjelasan Pasal

49 ayat (2) tersebut, kewenangan Menurut penulis pertimbangan yang ada dalam perkara in casu

untuk menyatakan apakah anak sah hukum tersebut terasa aneh, karena atau tidak sah menurut hukum yang

dalam hukum acara perdata, perkara berlaku.

yang ditolak biasanya karena apa yang Oleh karenanya judex facti (Pengadilan

digugat tidak terbukti. Sedangkan dalam Tinggi Agama Jakarta dan Pengadilan

perkara tersebut telah terbukti adanya Agama Jakarta Selatan) yang mengabulkan

tuntutan penggugat tentang status anak perkawinan berdasarkan bukti-bukti yang di luar kawin adalah putusan yang telah

diajukan penggugat AM. Seharusnya menyimpang dari tugas dan wewenang

hakim pada peradilan agama yang wajib kalau petitum tersebut ingin ditolak, maka memutus berdasarkan hukum Islam,

pertimbangannya adalah karena tergugat sebagaimana hasil kesepakatan ulama dan

(M) pada saat melangsungkan perkawinan cendekiawan Muslim Indonesia yang telah

dituangkan di dalam hukum perkawinan dengan AM tidak ada izin poligami dari Kompilasi Hukum Islam.

pengadilan agama. Sehingga dalam perkawinan yang bersangkutan terdapat

Dalam menganalisis pertimbangan hukum halangan hukum sebagaimana ketentuan tersebut, penulis menggunakan teori keadilan Pasal 9 jis. Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 sebagai teori utama (grand theory) dalam kajian Undang-Undang Perkawinan, Pasal 40 dan ini, ditambah teori hukum progresif dan teori Pasal 56 ayat (1) dan (3) Kompilasi Hukum mashlahah sebagai teori menengah (middle Islam. Jika pertimbangannya seperti itu, range theory), sedangkan untuk teori terapannya maka cukup mengambil alih pertimbangan (applied theory) digunakan teori kewenangan dan hukum judex facti (Pengadilan Agama teori perlindungan hukum, dengan penjabaran Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi sebagai berikut:

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

| 251

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

Agama Jakarta), dan pertimbangan ini juga yang dijadikan alasan dalam penolakan isbat nikah ketika di Pengadilan Agama Tigaraksa, yaitu:

“Menimbang, bahwa perkawinan antara AM dan M yang dilangsungkan pada tanggal 20 Desember 1993, berdasarkan pengakuan penggugat dan keterangan saksi-saksi terdapat halangan perkawinan, yaitu tidak memenuhi ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan, yaitu M tidak mendapat izin poligami dari pengadilan di daerah tempat tinggalnya, memang M tidak pernah meminta izin poligami dari pengadilan di daerah tempat tinggalnya karena pada saat itu M sebagai pejabat negara. Oleh karena itu, perkawinan tersebut tidak dapat dicatatkan maka petitum tersebut harus ditolak.”

Masih menurut penulis, majelis kasasi tidak perlu menyinggung masalah pengadilan agama tidak berwenang mengadili perkara isbat nikah yang dilakukan setelah berlakunya Undang- Undang Perkawinan pada tahun 1974. Karena hal itu akan mempersempit kewenangan pengadilan agama dan sangat kontraproduktif dengan program justice for all yang digelontorkan Mahkamah Agung. Salah satunya melalui isbat nikah massal yang dilakukan di luar negeri, sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 084/KMA/ SK/V/2011 tentang Izin Sidang Pengesahan Perkawinan (Isbat Nikah), tertanggal 25 Mei 2011 yang menunjuk Pengadilan Agama Jakarta Pusat sebagai pelaksananya, yang sudah dilaksanakan di negara Malaysia.

Logikanya, mana mungkin ada warga negara Indonesia yang menjadi

tenaga kerja Indonesia menikah sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan? Sudah dapat dipastikan warga negara Indonesia tersebut menikah setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Di dalam negeri, Mahkamah Agung juga meluncurkan program sidang keliling isbat nikah terpadu, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Isbat Nikah dalam Pelayanan Terpadu, yang telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran.

Menurut penulis, kalau pertimbangannya seperti tertera pada angka 1, 2, dan 3 putusan kasasi tersebut, maka petitum angka 2 tersebut lebih baik dinyatakan tidak dapat diterima (bukan ditolak), dengan pertimbangan/alasan hukum sebagai berikut:

a. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal

49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 pada poin 22 Pengadilan Agama hanya diberikan kewenangan untuk mengisbatkan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang Perkawinan tahun 1974 (Anshary MK, 2010: 34-35).

b. Bahwa masalah isbat nikah AM sudah pernah diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Tanggal 18 Juni 2008 Pengadilan Agama Tigaraksa membacakan penetapan permohonan b. Bahwa masalah isbat nikah AM sudah pernah diajukan ke Pengadilan Agama Tigaraksa. Tanggal 18 Juni 2008 Pengadilan Agama Tigaraksa membacakan penetapan permohonan

angka 3 juga harus ditolak. hukum acara perdata dikenal istilah

fakta-fakta yang sudah diketahui Menurut penulis pertimbangan oleh masyarakat umum dan tidak

perlu dibuktikan lagi (notoir feiten) hukum angka 4 sepertinya premis mayor, (Harahap, 2013: 510). Menurut

dan pertimbangan hukum angka 5 penulis

putusan pengadilan

merupakan produk lembaga publik, sepertinya premis minor, dan pertimbangan dan ketika pembacaan putusan juga

hukum angka 6 sepertinya konklusi. Namun dinyatakan terbuka untuk umum,

antara pertimbangan hukum angka 4 dan berarti putusan pengadilan termasuk

suatu fakta yang sudah diketahui pertimbangan hukum angka 5 tidak ada oleh masyarakat umum. Dalam

relevansinya, karena pada pertimbangan perkara ini, bahkan penggugat (AM)

hukum angka 4 majelis hakim menyoroti mengajukan penetapan Pengadilan

Agama Tigaraksa tersebut sebagai dari segi hukum formal (hukum acara salah satu bukti surat yang diberi

perdata). Sedangkan pada pertimbangan tanda P.7. Dengan demikian

hukum angka 5 majelis hakim menyoroti majelis hakim sudah mengetahui

perkawinan tersebut dilangsungkan dari segi hukum materiil, dan konklusinya setelah berlakunya Undang-Undang

diambil dari pertimbangan hukum angka 5, Perkawinan, sehingga petitum

angka 2 masalah isbat nikah harus

yaitu ditolak.

dinyatakan tidak dapat diterima. Karena berdasarkan Pasal 132

Apabila majelis hakim menekankan Rv yang menyatakan “dalam hal

pada hukum formal dengan alasan terdapat hakim tidak berwenang karena

kontradiktif antara petitum angka 3 dengan jenis pokok perkaranya, maka ia

meskipun tidak diajukan tangkisan petitum angka 4, maka gugatan tersebut tentang ketidakwenangannya, menjadi kabur (obscuur libel). Sehingga

karena jabatannya wajib menyatakan petitum tersebut harus dinyatakan tidak dirinya tidak berwenang.” Poin yang

dimaksud dalam pasal ini adalah dapat diterima. Sebagaimana diterapkan hakim secara ex-officio, wajib

dalam Putusan Nomor 582 K/Sip/1973, menyatakan diri tidak berwenang

mengadili perkara yang diperiksanya, tanggal 18 Desember 1975, di mana kaidah apabila perkara diajukan secara

hukumnya menyatakan “karena petitum absolut berada di luar yurisdiksinya,

gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus atau termasuk dalam kewenangan

lingkungan peradilan lain. Kewajiban dinyatakan tidak dapat diterima.” Namun tersebut mesti dilakukan secara

dalam perkara ini konklusinya ditolak, ex-officio meskipun tergugat tidak

yang berarti majelis hakim menekankan mengajukan eksepsi tentang itu

(Mertokusumo, 2006: 86).

pada hukum materiilnya.

2) Untuk menganalisis pertimbangan hukum Apabila majelis hakim menekankan pada angka 4, 5, dan 6, yang pada pokoknya

pada hukum materiilnya, maka menyatakan bahwa antara petitum angka

pertimbangan tersebut sudah sesuai dengan

3 dengan petitum angka 4 kontradiktif, ketentuan Pasal 42 Undang-Undang bahwa anak yang sah lahir dari perkawinan

Perkawinan jo. Pasal 99 Kompilasi yang sah, karena petitum angka 2 tentang

Hukum Islam. Karena sebagaimana sudah

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

tuntutan penggugat tentang status anak sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-

di luar kawin adalah putusan yang telah Undang Perkawinan. Karena petitum angka

menyimpang dari tugas dan wewenang

2 tentang isbat nikah sudah ditolak, berarti hakim pada peradilan agama yang wajib perkawinan antara AM dengan M hanya sah

memutus berdasarkan hukum Islam, secara agama dan tidak sah menurut hukum

sebagaimana hasil kesepakatan ulama dan negara. Maka kedudukan anak tersebut

cendekiawan Muslim Indonesia yang telah tidak dapat dinyatakan sebagai anak sah

dituangkan di dalam hukum perkawinan AM dan M, melainkan hanya sebagai anak

Kompilasi Hukum Islam, maka petitum AM saja dan hanya mempunyai hubungan

angka 4 harus ditolak.

perdata dengan AM dan keluarga AM, Penulis akan menganalisis

sehingga sudah tepat petitum angka 3 pertimbangan hukum tersebut dari segi

tersebut ditolak. hukum acara perdata (hukum formal), lebih

Meskipun hasil akhirnya sudah spesifik lagi dengan menggunakan teori tepat yaitu ditolak, namun sebenarnya

kewenangan. Untuk menjawab pertanyaan, majelis kasasi cukup dengan mengambil

apakah kewenangan pengadilan agama di alih pertimbangan hukum judex facti

bidang perkawinan hanya terbatas pada 22 (Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan

poin saja, sebagaimana telah disebutkan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta) karena

dalam pertimbangan hukum Putusan pertimbangan hukum majelis kasasi

Nomor 329 K/AG/2014.

hanya mengulang-ulang pertimbangan

hukum judex facti tersebut. Meskipun 1. Kewenangan Pengadilan Agama di Luar

ditambahkan sedikit pertimbangan, namun

Undang-Undang Peradilan Agama

pertimbangan tambahan tersebut tidak mempunyai konklusi sehingga penambahan

Pada pertimbangan hukum Pengadilan pertimbangan tersebut menjadi mubazir.

Agama Jakarta Selatan tidak disebutkan dasar hukum pengadilan agama berwenang mengadili

3) Untuk menganalisis pertimbangan hukum gugatan anak di luar kawin. Majelis hakim hanya

pada angka 7, yang pada pokoknya menyandarkan kewenangan tersebut pada Pasal menyatakan bahwa pengadilan agama 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun tidak berwenang mengadili perkara anak 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 7 di luar kawin karena tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor Perlindungan Anak, yang intisarinya bahwa

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas hak anak untuk mengetahui orang tuanya (ayah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan ibunya) adalah hak dasar anak yang harus tentang Peradilan Agama, dan perubahan dipenuhi, dalam hal ini melalui pengadilan. kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, dan judex facti (Pengadilan

Pembiaran terhadap anak yang ingin

Tinggi Agama Jakarta dan Pengadilan mendapatkan kepastian tentang siapa orang tuanya

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

Hakim, yang telah diganti dengan Pasal 2 tidak mendasarkan kewenangannya pada Putusan

ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan alasan dalam

Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim putusan tersebut tidak terdapat klausul yang dapat

jo. Pasal 19 ayat (8) Peraturan Menteri dimaknai berlaku surut (retroaktif), sehingga

Agama Nomor 477 Tahun 2004 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak

Pencatatan Nikah, yang telah diganti berlaku bagi perkara ini.

dengan Pasal 18 ayat (5) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Menurut penulis, pertimbangan Pencatatan Nikah. Kewenangan tersebut

kewenangan tersebut menjadi tidak berdasar diakui oleh Mahkamah Agung sebagaimana

karena pasal-pasal yang disetir oleh majelis dicontohkan dalam Putusan Nomor 301 K/

hakim bukan berbicara masalah kewenangan

AG/2012.

peradilan, namun berbicara masalah hak anak. Sehingga menjadi kurang tepat apabila dengan

2) Permohonan perubahan biodata pada alasan tidak terdapat klausul yang dapat dimaknai

akta nikah, yaitu permohonan perubahan berlaku surut (retroaktif), menyebabkan Putusan

identitas/biodata suami, istri atau wali. Mahkamah Konstitusi tersebut tidak berlaku

Baik karena salah tulis/ketik, atau tidak bagi perkara ini. Masalah eksistensi Putusan

sesuai dengan identitas yang sudah ada Mahkamah Konstitusi akan dibahas pada bagian

sebelumnya, seperti KTP, SIM, KK, tersendiri.

ijazah, dan SK bagi PNS/pegawai BUMN. Kewenangan tersebut diberikan Pasal

Menurut penulis, terdapat beberapa

34 ayat (2) Peraturan Menteri Agama kewenangan yang diberikan oleh peraturan

Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan perundang-undangan lain di luar Pasal 49

Nikah. Kewenangan tersebut diakui oleh Undang-Undang Peradilan Agama tersebut, dan

Mahkamah Agung seperti dicontohkan kewenangan tersebut diakui eksistensinya oleh

dalam Putusan Nomor 290 K/AG/2011. Mahkamah Agung in casu kamar agama, antara

lain:

3) Gugatan mahar, yaitu gugatan diajukan oleh istri atau mantan istri karena suami

1) Permohonan wali adhal, yaitu permohonan atau mantan suami belum melunasi mahar agar wali nasab yang mempunyai kekuasaan terhutang yang dijanjikan pada saat akad untuk menikahkan mempelai wanita yang nikah, atau apabila terjadi selisih pendapat berada di bawah perwaliannya, tetapi mengenai jenis dan nilai mahar yang ia enggan atau tidak mau menikahkan ditetapkan. Kewenangan ini diberikan sebagaimana layaknya seorang wali yang oleh Pasal 30, 33, dan 37 Kompilasi baik. Sehingga oleh pengadilan agama Hukum Islam. Dalam praktik biasanya wali nasab tersebut dinyatakan adhal. gugatan mahar diakumulasikan dengan Kewenangan tersebut diberikan oleh Pasal gugatan cerai, sehingga ia menjadi assesoir

23 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum dalam perkara cerai gugat, atau diajukan Islam jo. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri dalam gugatan rekonvensi dalam perkara

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

hukum dengan segala akibat hukumnya, dalam Putusan Nomor 23 K/AG/2012.

dengan persyaratan tertentu. Dalam praktik Bahkan tidak tertutup kemungkinan

di pengadilan agama biasanya permohonan gugatan mahar diajukan secara tersendiri

tersebut dikumulasikan dengan penetapan sebelum atau sesudah perceraian terjadi.

ahli waris, namun tidak tertutup Kewenangan ini diakui oleh Mahkamah

kemungkinan diajukan secara tersendiri Agung seperti dicontohkan dalam Putusan

sesuai kebutuhan yang berkepentingan. Nomor 19 K/AG/2007 jo. Putusan Nomor

Kewenangan ini diberikan oleh Pasal 96

71 PK/AG/2008. ayat (2) dan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam.

4) Gugatan nusyuz, yaitu gugatan yang diajukan oleh suami karena istri dianggap 7)

Permohonan suami tidak mau membacakan telah telah melakukan perbuatan nusyuz

dan menandatangani sighat taklik, yaitu (tidak setia) kepadanya. Kewenangan ini

permohonan yang diajukan oleh istri diberikan oleh Pasal 84 ayat (4) jo. Pasal

karena suami tidak mau membacakan dan

80 Kompilasi Hukum Islam. Kewenangan menandatangani sighat taklik pada kutipan ini diakui oleh Mahkamah Agung seperti

akta nikah. Kewenangan ini diberikan oleh dicontohkan dalam Putusan Nomor 793 K/

Pasal 24 Peraturan Menteri Agama Nomor AG/2016.

11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah.

5) Permohonan sita harta besama tanpa Berdasarkan pemaparan tersebut, perceraian, yaitu permohonan sita terhadap Mahkamah Agung in casu kamar agama mengakui harta besama tanpa adanya perceraian adanya kewenangan pengadilan agama yang dalam hal salah satu dari suami istri diberikan oleh peraturan perundang-undangan melakukan perbuatan yang merugikan lain di luar Pasal 49 Undang-Undang Peradilan dan membahayakan harta bersama, seperti Agama tersebut. Tetapi, mengapa majelis hakim judi, mabuk, boros, dan sebagainya. dalam Putusan Nomor 329 K/AG/2014 tidak Kewenangan ini diberikan oleh Pasal mengakui adanya kewenangan lain sebagai imbas

95 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. dari Putusan Mahkamah Konstitusi? Apakah Kewenangan ini sudah dipraktikkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi lebih rendah dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat seperti Peraturan Menteri Agama atau Instruksi Presiden dicontohkan dalam Putusan Nomor 549/ (Kompilasi Hukum Islam)? PDT.G/2007/PA.JP.

6) Permohonan agar seseorang dinyatakan 2. Eksistensi Putusan Mahkamah

dalam keadaan mafqud (hilang), yaitu

Konstitusi

permohonan yang diakukan oleh ahli Mahkamah Konstitusi mempunyai

waris agar seseorang yang tidak diketahui beberapa kewenangan, di antaranya yang paling kabar beritanya, tidak diketahui tempat banyak mendapat perhatian adalah kewenangan tinggalnya, dan tidak diketahui pula hidup, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265 Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

Putusan lain yang langsung dapat 46/PUU-VIII/2010 merupakan hasil dari judicial

dilaksanakan adalah Putusan Mahkamah review.

Konstitusi yang membatalkan pasal-pasal Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor tentang penghinaan presiden dalam KUHP,

8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- yaitu Pasal 134, 136 bis, dan 137. Sejak Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah putusan ini diucapkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, tidak seorang pun dapat dipidana Konstitusi) menegaskan bahwa Putusan berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak Mahkamah Konstitusi bersifat final. Putusan dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak penuntutan oleh kejaksaan. Putusan Mahkamah ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Konstitusi berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP.

Sifat final dalam Putusan Mahkamah Konstitusi mencakup pula kekuatan hukum

Terdapat pula putusan yang untuk mengikat ( final and binding). Karena Putusan pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak- lanjut, yaitu putusan membatalkan suatu norma pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan yang memengaruhi norma-norma lain, atau undang-undang yang telah diputus Mahkamah untuk melaksanakannya diperlukan aturan yang Konstitusi harus melaksanakan putusan itu. lebih operasional. Putusan Mahkamah Konstitusi Namun demikian, mengingat norma dalam mengenai calon perseorangan dalam pemilukada undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada dan putusan mengenai suara terbanyak adalah pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan- contoh jenis putusan ini. Namun demikian, tahapan tertentu, bergantung pada substansi belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengurangi langsung tanpa harus dibuat peraturan baru kekuatan mengikat yang telah melekat sejak atau perubahan, ada pula yang memerlukan dibacakan. Setiap pihak yang terkait harus pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.

melaksanakan putusan itu. Apabila ada peraturan yang dilaksanakan ternyata bertentangan dengan

Putusan yang langsung dapat dilaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka yang adalah putusan membatalkan norma tertentu menjadi dasar hukum adalah Putusan Mahkamah yang tidak mengganggu sistem norma yang ada

Konstitusi.

dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Misalnya, putusan yang mengembalikan hak

Terdapat beberapa Putusan Mahkamah pilih mantan anggota PKI dengan membatalkan Konstitusi yang diakui eksistensinya oleh ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Mahkamah Agung in casu kamar agama, di Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. antaranya kewenangan mutlak perkara ekonomi Sejak putusan itu diucapkan, yaitu tanggal 24 syariah, yakni gugatan perdata yang timbul

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

22 poin.”

Konstitusi menyatakan bahwa Penjelasan Pasal Penggunaan kata “antara lain”

55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun menunjukkan maksud bahwa jenis dan bentuk

2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan sengketa dalam bidang perkawinan pada pasal

dengan UUD NRI 1945, sehingga tidak tersebut bersifat enumeratif (penyebutan bersifat

mempunyai kekuatan hukum mengikat. Norma terbuka, yang memungkinkan ada jenis lain

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah selain dari yang telah disebutkan). Sehingga

diterapkan dalam Pengadilan Negeri Cilacap kewenangan pengadilan agama untuk mengadili

Nomor 64/PDT.G/2013/PN.CLP. sengketa dalam bidang perkawinan tidak hanya

Berdasarkan Pasal 59 ayat (2) Undang- dan tidak terbatas pada jenis dan bentuk perkara Undang Mahkamah Konstitusi menegaskan “jika yang disebutkan pada penjelasan pasal tersebut, diperlukan perubahan terhadap undang-undang namun juga terbuka bagi jenis dan bentuk yang telah diuji, DPR atau presiden segera sengketa lain sepanjang ruang lingkupnya masih menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan perkawinan yang dilangsungkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” antara orang-orang yang tunduk pada hukum Maksudnya, apabila hasil dari judicial review Islam. belum ditindaklanjuti oleh DPR atau presiden,

Menurut penulis meskipun perkara gugatan maka hasil dari judicial review menjadi dasar

anak di luar kawin tidak disebutkan secara jelas untuk diterapkan dalam perkara yang berkaitan

dalam ketentuan baik dalam Pasal 49 Undang- dengan norma tersebut. Selama ini pengadilan

Undang Nomor 3 Tahun 2006 maupun dalam agama juga berwenang mengadili perkara

penjelasannya, namun hanya ditegaskan dalam permohonan/gugatan anak di luar kawin, dalam

Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Maka bentuk pengingkaran anak maupun pengakuan

secara yuridis formal perkara tersebut harus anak seperti dicontohkan dalam Putusan Nomor

tetap dipandang sebagai kewenangan absolut 163 K/AG/2011. Maka menurut penulis dengan

pengadilan agama, karena terkait erat dengan penafsiran argumentum a contrario (mafhum

sengketa rumah tangga yang perkawinannya mukhalafah), berarti pengadilan agama juga

dilangsungkan menurut hukum Islam, oleh berwenang mengadili gugatan pengakuan anak

karenanya gugatan anak di luar kawin merupakan di luar kawin.

kewenangan absolut pengadilan agama. Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor

Berdasarkan argumentasi-argumentasi

3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang- tersebut, maka Mahkamah Agung in casu Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan kamar agama telah mengakui eksistensi Putusan Agama dan perubahan kedua dengan Undang- Mahkamah Konstitusi, dan seharusnya juga Undang Nomor 50 Tahun 2009, dalam penjelasan mengakui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. huruf (a) tersebut dinyatakan bahwa “Yang

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

Sehingga menurut penulis, pengadilan agama biologisnya, sehingga ibunya dapat diringankan berwenang mengadili perkara permohonan dari segi harta. maupun gugatan anak di luar kawin (anak

Keadilan bagi anak tersebut banyak sekali. biologis), yang mana kewenangan tersebut

Namun karena pertimbangan hukum pada Putusan diberikan oleh Putusan Nomor 46/PUU-

Nomor 329 K/AG/2014 sangat terpaku pada VIII/2010, dan berarti putusan tersebut dapat

hukum formal (hukum acara perdata), terutama dijadikan dasar untuk mengadili Putusan Nomor

berkaitan dengan kewenangan pengadilan agama 329 K/AG/2014.

yang pada akhirnya hanya menciptakan kepastian Apabila pengadilan agama sudah hukum saja, tapi tidak menciptakan keadilan. dinyatakan berwenang mengadili perkara Kepastiannya adalah anak tersebut telah nyata tersebut, maka untuk mengabulkan gugatan sebagai anak dari orang tua tunggal, yaitu ibunya tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yakni (AM), dan hanya mempunyai hubungan perdata formalistis dan cara penggabungan antara dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Sedangkan formalistis dan materiil. Cara formalistis cukup ketidakadilannya adalah laki-laki yang dengan mendasarkan pertimbangan pada Putusan menghamilinya (M) tidak bertanggung jawab Nomor 46/PUU-VIII/2010. Sedangkan cara segalanya dan tanpa dikenakan sanksi apapun. penggabungan antara formalistis dan materiil,

Ibunya harus bertanggung jawab segalanya, selain mendasarkan pertimbangan hukum pada

terlebih lagi anaknya akan menanggung derita Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut, juga

seumur hidupnya dengan menyandang gelar anak harus memberikan pertimbangan dari segi teori

di luar kawin. Padahal idealnya dalam setiap hukum. Dalam hal ini penulis menggunakan teori

putusan hakim terdapat kepastian, keadilan, keadilan, teori perlindungan hukum, teori hukum

dan kemanfaatan hukum. Putusan Nomor 46/ progresif, dan teori mashlahah.

PUU-VIII/2010 telah berusaha menciptakan keadilan antara anak sah dan anak di luar kawin.

1) Teori Keadilan Karena menciptakan keadilan merupakan suatu

Petitum tersebut dapat dikabulkan dengan kebajikan, sebagaimana pandangan Aristoteles mempertimbangkan dari segi keadilan. Keadilan yang mengungkapkan bahwa keadilan adalah dapat diterapkan pada dua sisi. Pertama dari sisi kebajikan yang utama. ibu anak tersebut, dan yang kedua dari sisi anak itu

Berpijak pada prinsip keadilan tersebut, sendiri. Wujud keadilan bagi ibunya dapat berupa

maka akan sangat adil dan bijak bila majelis ayah biologis anak tersebut harus bertanggung

hakim pada Putusan Nomor 329 K/AG/2014 jawab dalam memberikan nafkah dan biaya

mengabulkan gugatan tentang petitum angka pendidikannya, sehingga dapat meringankan

4 mengenai anak di luar kawin (anak biologis), beban ibunya.

yang berarti majelis hakim telah memberikan Pengakuan ayah biologis terhadap anak perlakuan yang sama terhadap anak di luar

tersebut, sehingga oleh masyarakat ia tidak kawin tersebut di dalam hal memperoleh hak-hak dianggap berbuat zina dengan ayah biologisnya. keperdataan dari ayah biologisnya. Meskipun Diberikan wasiat dari sebagian harta milik ayah tidak sama persis dengan hak-hak keperdataan

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 (Nurhadi)

| 259

260 |

Jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus 2018: 243 - 265

anak yang sah, artinya hanya pemberian hak keperdataan terbatas.