KESIAPAN APARATUR BIROKRASI PEMERINTAHAN. pdf

LAPORAN AKHIR

Penelitin Unggulan Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2015

Judul: KESIAPAN APARATUR BIROKRASI PEMERINTAHAN DESA DALAM MENGHADAPI POTENSI PENYIMPANGAN DAN KORUPSI DALAM PENGELOLAAN DANA ALOKASI DESA

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun

Oleh:

Novri Susan, MA, Ph.D. (NIDN: 0008117701) Dr. Tuti Budirahayu, MSi. (NIDN: 0012056804)

Dibiayai oleh DIPA DITLITABMAS Tahun Anggaran 2015 sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Universitas Airlanggaa Tentang Pelaksanaan Hibah Kegiatan

Penelelitian dan Program Pengabdian kepada Masyarakat Baru dan Lanjutan Dana DIPA Ditlabmas Tahun Anggaran 2015 Nomor: 519/UN3/2015, Tanggal 26 Maret 2015

UNIVERSITAS AIRLANGGA Oktober, 2015

RINGKASAN

Tujuan utama, sekaligus juga menjadi tujuan jangka panjang dari studi ini adalah memparkuat institusi desa, dalam hal ini adalah mengetahuai kesiapan aparatur birokrasi pemerintah desa dalam upaya mengelola dana alokasi desa, seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang otonomi pemerintahan desa. Penting bagi kepala desa beserta aparatnya untuk mampu menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) khususnya dalam hal pelayanan publik dan upaya pertanggungjawaban kinerja mereka. Melalui upaya memperkuat institusi desa diharapkan para aparatur birokrasi pemerintahan desa mampu menjalankan tugas dan kewenangannya secara adil, transparan, berintegritas, dan terbebas dari segala macam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Agar tujuan utama dari studi ini tercapai, maka strategi dan metode yang digunakan, pertam-tama adalah terlebih dahulu memetekan: (1) pemahaman dan pengetahuan kepala desa beserta aparaturnya tentang hakikat Undang-Undang No.6 tahun 2014; (2) pemahaman dan pengetahuan mereka tentang: (a) tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); (b) pengetahuan tentang tindak dan perilaku yang tergolong korupsi; (c) pengetahuan tentang peraturan, UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi serta, (3) pemahaman tentang kesadaran antikorupsi. Kegiatan pemetaan ini dlakukan pada tahun pertama pengajuan proposal penelitian.

Setelah diperoleh peta pemahaman dan pengetahuan dari para aparatur birokrasi pemerintahan desa tentang ketiga hal di atas, maka strategi kedua, sekaligus menjadi usulan kegiatan pada tahun kedua, adalah menguatkan capacity building aparatur birokrasi pemerintahan desa, melalui berbagai studi kasus yang secara empiris dapat ditelusuri ketika mereka menyelenggarakan pelayanan publik dan menjalankan pemerintahan desa.

PRAKATA

Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang otonomi pemerintahan desa adalah salah satu upaya administratif legal yang dapat mendorong perubahan yang bermakna bagi desa, yaitu meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat dan aparatur desa. Seiring dengan implementasi UU No.6 tahun 2014 itu seluruh desa di Indonesia dianggarkan untuk mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat, di mana dana yang diperoleh jumlahnya bervariasi tergantung pengajuan rencana anggaran tiap desa dan besarnya dana yang dikelola pemerintah desa dimungkinkan hingga miliaran rupiah.

Pengelolaan dana oleh pemerintah desa sebagai upaya untuk mewujudkan otonomi atau kemandiriannya dapat menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya korupsi yang dilakukan oleh aparatur birokrasi pemerintahan desa. Jika aparat desa tidak mempersiapkan diri dengan baik dan belum mampu mereformasi birokrasinya, maka dana desa yang dikucurkan pemerintah berpotensi menjadi ajang korupsi seperti yang dilakukan oleh aparat birokrasi di tingkat pusat atau provinsi.

Studi ini bertujuan untuk mengetahuai kesiapan aparatur birokrasi pemerintah desa dalam mengimplementasikan UU no.6 tahun 2014 serta sejauh mana mereka memiliki visi pengelolaan dana desa berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Melalui upaya memperkuat institusi desa diharapkan para aparatur birokrasi pemerintahan desa mampu menjalankan tugas dan kewenangannya secara adil, transparan, berintegritas, dan terbebas dari segala macam praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

Studi ini dapat terlaksana dengan baik atas dukungan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih kepada: (1) Rektor dan Ketua LPPM Universitas Airlangga yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini, (2) Dekan FISIP Unair atas dukungan yang telah diberikan, (3) Pemerintahan Desa beserta aparatur birokrasinya di wilayah penelitian yang menjadi subyek dalam penelitian ini. Kami berharap hasil studi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam membina dan mengarahkan kinerja pemerintahan desa dalam rangka penerapan UU No.6 tahun 2014.

Surabaya, 16 Oktober 2015

Tim peneliti

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul Halaman Pengesahan

2 Ringkasan

3 Prakata

4 Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

2. Keutamaan Penelitian

3. Rumusan Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a. Korupsi Sebagai Habitus dan Budaya Masyaakat

b. Membangun Sistem dan Struktur Sosial Antikorupsi

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

2. Manfaat Penelitian

3. Ruang Lingkup

Bab IV METODE PENELITIAN

1. Tipe dan Metode Penelitian

2. Lokasi Penelitian

3. Subyek Penelitian

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Bab V HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Paparan Hasil Penelitian

A. Karakteristik Responden

B. Pemahaman Aparatur Birokrasi Desa terhadap UU Desa

28 Governance )

C. Implementasi Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good

D. Pemahaman Aparat Desa terhadap Tindak Koruptif dan UU 39 yang Berkaitan dengan Tindak Koruptif

E. Pemahaman tentang Sikap dan Tindakan yang Sesuai dengan 49 Prinsip-Prinsip Antikorupsi

BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

- Instrumen - Personalia Tenaga Peneliti Beserta Kualifikasinya - HKI atau Publikasi

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kesadaran antikorupsi penting ditumbuhkan kepada segenap agen penyelenggara negara maupun aparatur birokrasi pemerintahan di Indonesia, karena telah banyak pejabat atau birokrat melakukan tindak koruptif. Korupsi yang dilakukan oleh aparatur birokrasi terbukti telah merugikan masyarakat, dan jumlah kerugian yang ditimbulkannya bisa mencapai triliunan rupiah (Budi 2013). Sesungguhnya nilai kerugian yang diakibatkan oleh para koruptor itu tidak saja dalam bentuk uang, tetapi juga hilangnya hak dan kesempatan masyarakat sipil untuk mendapatkan akses kesejahteraan hidup yang lebih baik. Oleh karena kerugian yang ditimbulkannya sangat besar dan berdampak sistemik, maka korupsi dikategorikan juga sebagai kejahatan ‘luar biasa’ (extraordinary crime).

Tindak dan perilaku koruptif di Indonesia, tidak saja dilakukan oleh para aparatur birokrasi di tingkat pusat, tetapi juga oleh aparatur birokrasi di pedesaan. Dana yang mereka selewengkan jumlahnya bervariasi, namun dana yang dikorupsi cenderung tidak sebesar yang dikuasai oleh para pejabat atau aparatur birokrasi di tingkat kota, provinsi atau pusat. Meskipun dana yang dikorupsi oleh aparat desa jumlahnya relatif lebih kecil, tetapi dampak dari korupsi di pedesaan lebih terasa dibandingkan dengan yang terjadi di kota atau provinsi. Dikatakan demikian karena dana tersebut seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, di mana tingkat kesejahteraan masyarakat desa jauh lebih memprihatinkan dibandingkan dengan masyarakat kota. Desa juga menjadi garda terdepan pelaksanaan program-program pemerintah yang berhubungan langsung dengan rakyat. Tingkat kesejahteraan dan pendidikan masyarakat desa yang masih rendah, menjadi salah satu penyebab para aparatur birokrasi di desa rawan menyalahgunakan kewenangannya.

Dana yang dikorupsi oleh aparatur birokrasi di pedesaan umumnya berkaitan dengan program-program bantuan dari pemerintah pusat, entah itu berupa Bantuan Langsung (uang) Tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (Raskin) maupun bantuan sosial (bansos) lainnya. Annuria (2013) juga menyebutkan beberapa bentuk korupsi di Dana yang dikorupsi oleh aparatur birokrasi di pedesaan umumnya berkaitan dengan program-program bantuan dari pemerintah pusat, entah itu berupa Bantuan Langsung (uang) Tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (Raskin) maupun bantuan sosial (bansos) lainnya. Annuria (2013) juga menyebutkan beberapa bentuk korupsi di

Kekhawatiran terhadap korupsi yang dilakukan oleh aparatur birokrasi di pedesaan semakin menguat ketika Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang otonomi desa akan segera diterapkan di seluruh desa di Indonesia. Jika aparat desa tidak mempersiapkan diri dengan baik dan belum mampu mereformasi birokrasinya, maka dana desa yang akan dikucurkan pemerintah mungkin berpotensi menjadi ajang korupsi seperti yang dilakukan oleh aparat birokrasi di tingkat pusat atau provinsi. UU No.6 tahun 2014 diharapkan dapat mendorong perubahan yang bermakna bagi desa, yaitu meningkatnya kualitas kesejahteraan masyarakat dan aparatur desa (Yanto 2014).

Studi yang dilakukan Rahman (2011) menunjukkan bahwa ada empat hal yang mendorong kepala desa atau aparatur birokrasi di desa melakukan korupsi. Pertama, kepala desa memiliki peran ganda, yaitu sebagai pemimpin formal (aparatur birokrasi pemerintahan) dan tokoh masyarakat (sebagai tetua atau sesepuh adat/desa). Dengan peran gandanya itu maka kepala desa agak sulit memisahkan kepentingan formal- birokrasi dengan kepentingan warga yang mungkin tidak ada hubungannya dengan tugas sebagai aparatur birokrasi. Akibatnya, kepala desa cenderung mencampuradukkan anggaran dan penggunaan dana yang dikelolanya untuk berbagai kepentingan tersebut. Apalagi dengan kondisi gaji kepala desa yang relative kecil, dan sering mengandalkan sumbangan dari warga berupa hasil bumi: padi, kelapa, atau tanah bengkok gersang.

Kedua, oleh karena pemilihan kepala desa dilakukan berdasakan pemilihan umum atau dukungan masyarakat, maka tak jarang dalam proses pemilihan itu menggunakan cara-cara curang, seperti money politic. Melalui mekanisme seperti itulah cukup banyak kepala desa yang berupaya mengembalikan modalnya dengan jalan menyalahgunakan jabatannya.

Ketiga, dalam demokrasi perwakilan, kepala desa memiliki posisi strategis bagi partai politik. Demi memenangkan suara di akar rumuput, banyak partai politik Ketiga, dalam demokrasi perwakilan, kepala desa memiliki posisi strategis bagi partai politik. Demi memenangkan suara di akar rumuput, banyak partai politik

Keempat, Rendahnya kemampuan aparatur birokrasi pemerintahan desa untuk menumbuhkan iklim keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk keterbukaan dalam pertanggungjawaban keuangan. Selain kemampuan atau pengetahuan yang minim tentang tata kelola pemerintahan yang baik, masyarakat desa pun cenderung pasrah atau apatis terhadap urusan pemerintahan.

Gerakan antikorupsi di tingkat terbawah, yaitu di desa, sesungguhnya sudah dimulai melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Sejak diluncurkan tahun 2007, PNPM Mandiri mencoba mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya tindak atau perilaku koruptif yang seringkali dilakukan oleh aparatur birokrasi di pedesaan (Yasin 2014). Sebagai program pemberdayaan masyarakat pedesaan, korupsi menjadi ancaman serius ketika program pemberiaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) diluncurkan pada masa-masa krisis. PNPM Mandiri Perdesaan menyadari bahwa titik kritis korupsi selain pada kesadaran pelaku, juga rendahnya pengawasan terhadap para aparat birokrasi desa. Melalui kesadaran para aparat birokrat untuk membantu mengawasi penyaluran dana BLM, disertai dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengelola dana BLM, maka potensi korupsi di sebagian birokrasi lebih terkendali. Meskipun Program PNPM di pedesaan sudah menjadi agen gerakan antikorupsi dan telah mengedukasi para aparat birokrasi pedesaan tentang akuntabilitas dan integritas, namun sikap dan kesadaran antikorupsi tetap harus terus ditumbuhkan, agar berbagai program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan di pedesaan dapat berjalan efektif dan efisien.

Agar korupsi tidak semakin merebak di desa, maka dibutuhkan kepala desa dan aparatur birokrasi tingkat desa yang benar-benar mampu memahami rambu-rambu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta memiliki kemampuan yang memadai dalam mengambil keputusan terutama dalam mengelola program-program dan APBD tingkat desa.

2. Keutamaan Penelitian

Studi ini penting dan mendesak untuk dilakukan karena bebeapa alasan berikut ini:

1. Menyambut Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 5 Januari 2014, maka kepala desa beserta aparatur 1. Menyambut Undang-Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa yang telah disahkan pada tanggal 5 Januari 2014, maka kepala desa beserta aparatur

2. Agar kepala desa dan aparatur birokrasi desa mampu bekerja dengan baik, termasuk memahami prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) maka diperlukan upaya pemetaan pemahaman atau pengetahuan mereka tentang: (a) tata kelola pemerintahan yang baik; (b) tindak dan perilaku yang tergolong korupsi; (c) peraturan, UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi serta, (d) kesadaran antikorupsi.

3. Pengetahuan dan kemampuan yang memadai dari para aparatur birokrasi tentang proses dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik akan membantu mereka untuk menguatkan institusi desa termasuk menggalang keterlibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam penyusunan dana alokasi desa, dan diharapkan mereka juga mampu mengembangkan model capacity building untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam menjalankan perannya sebagai pelayan publik.

3. Rumusan Masalah

Memperhatikan keutamaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan utama permasalahan penelitian ini adalah: “Sejauh mana kesiapan para kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam mengimplementasikan Undang- Undang No.6 tahun 2014?”

Adapun rincian permasalahan yang diajukan untuk mengetahui sejauh mana kesiapan para kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam mengimplementasikan Undang-Undang No.6 tahun 2014, adalah:

1. Apakah kepala desa dengan aparatur birokrasinya memahami prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan upaya-upaya apa yang telah dilakukan untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut?

2. Apakah kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa memahami perilaku/tindak koruptif, serta peraturan/UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi?

3. Apakah kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa telah berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip antikurpsi dalam melayani kepentingan publik/masyarakat dan jika telah melakukannya, bagaimana bentuk-bentuk gerakan atau kesadaran anti korupsi yang pernah dilakukan?

(*)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

a. Korupsi sebagai Habitus dan Budaya Masyarakat

Meskipun korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa dan pemberitaan pengungkapan kasus korupsi di media massa telah gencar dilakukan, namun masih tersirat keraguan bahwa korupsi sulit untuk dihentikan. Sebagian masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa tindakan semacam suap, pemberian hadiah (gratifikasi) atau permintaan imbalan dari dan untuk aparat birokrasi bukanlah tindakan koruptif, karena secara kultural tindakan semacam itu sudah menjadi budaya atau kebiasaan yang tertanam kuat dalam benak masyarakat (Budirahayu, Pryhantoro & Susan 2009)

Keraguan masyarakat tentang efektivitas gerakan antikorupsi juga semakin menguat manakala sistem dan struktur birokrasi pemerintahan di Indonesia sudah sedemikian korupnya, diperkuat dengan jejaring yang terbentuk antara pemerintah, politisi, pengusaha dan aparat penegak hukum (Aditjondro 2004), sehingga norma-norma yang ada di dalamnya membenarkan perilaku koruptif dan menyalahkan sikap individu yang memegang teguh nilai-nilai integritas dan kejujuran.

Gerakan antikorupsi menjadi antitetis dari korupsi yang dilakukan oleh aparat birokrasi atau penyelenggara Negara. Gerakan antikorupsi dapat berjalan efektif ketika masyarakat menyadari dampak atau akibat terburuk yang ditimbulkan dari tindakan tersebut. Gerakan antikorupsi juga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat manakala masyarakat mampu merubah kebiasaan yang mendukung tindak/perilaku koruptif. Kesadaran antikorupsi dapat dimulai dengan membongkar habitus korupsi yang telah tertanam kuat dalam pikiran, kesadaran, dan tindakan atau perilaku yang sehari-hari dialami oleh individu.

Korupsi dikatan sebagai habitus, cara bertindak, berperilaku atau kebiasaan anggota masyarakat, ketika tindakan dan perilaku tersebut telah dilakukan secara turun- temurun (generatif) yang didapatkan dan disesuaikan secara obyektif dengan kondisi khas di mana dia (korupsi) dibangun dan dipersepsikan (Jenkins, 2004: 107). Ini artinya, korupsi telah menjadi bagian dar keseharian masyarakat, atau praksis dari para aktor karena interaksi di antara mereka menumbuhkan suatu situasi dan kondisi yang Korupsi dikatan sebagai habitus, cara bertindak, berperilaku atau kebiasaan anggota masyarakat, ketika tindakan dan perilaku tersebut telah dilakukan secara turun- temurun (generatif) yang didapatkan dan disesuaikan secara obyektif dengan kondisi khas di mana dia (korupsi) dibangun dan dipersepsikan (Jenkins, 2004: 107). Ini artinya, korupsi telah menjadi bagian dar keseharian masyarakat, atau praksis dari para aktor karena interaksi di antara mereka menumbuhkan suatu situasi dan kondisi yang

27 persen, di Jawa Timur, anak muda di pedesaan mencapai 30 persen). Habitus korupsi di Indonesia bukannya tanpa sebab. Itu adalah akibat dari perilaku dan kebiasaan yang dicontohkan oleh keluarga, orangtua, guru, pejabat, atau orang-orang yang ada di lingkungan sekitar. Praktik menolong teman atau kerabat untuk mendapatkan pekerjaan, memberi upeti atau hadiah kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan atau otoritas, membuat jaringan sosial atau koneksi untuk kepentingan bisnis yang melibatkan pejabat publik atau pegawai pemerintah, atau kepemimpinan patrimonialisme yang lebih memilih bekerja sama dengan kerabat, atau orang-orang terdekat yang memiliki loyalitas pribadi pada pemimpin tersebut (kasus Ratu Atut Chosiyah, yang menjabat sebagai Gubernur Banten), adalah beberapa contoh habitus masyarakat yang melanggengkan korupsi.

Habitus korupsi akan semakin menguat apabila masyarakat memiliki keyakinan bahwa perilaku koruptif dapat dibenarkan dalam situasi tertentu, apalagi ketika

mekanisme penegakanan hukum serba ‘abu-abu’ (Pope, 2003:30-31). Beberapa ilmuwan meyakini, bahwa titik tolak bagi semua upaya yang sungguh untuk mengendalikan korupsi ada pada keyakinan dan persepsi pribadi dari orang-orang yang menduduki jabatan (Budirahayu, dkk. 2008:3.39). Ini artinya, bila seorang pejabat atau pimpinan memiliki pengetahuan, kesadaran, dan tindakan yang mengharamkan korupsi, dan itu semua diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan kerja maupun keluarganya, maka habitus korupsi yang sudah tertanam dibenak masyarakat Indonesia, perlahan-lahan akan tergantikan menjadi habitus antikorupsi. Namun, apakah mekanisme penegakanan hukum serba ‘abu-abu’ (Pope, 2003:30-31). Beberapa ilmuwan meyakini, bahwa titik tolak bagi semua upaya yang sungguh untuk mengendalikan korupsi ada pada keyakinan dan persepsi pribadi dari orang-orang yang menduduki jabatan (Budirahayu, dkk. 2008:3.39). Ini artinya, bila seorang pejabat atau pimpinan memiliki pengetahuan, kesadaran, dan tindakan yang mengharamkan korupsi, dan itu semua diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan kerja maupun keluarganya, maka habitus korupsi yang sudah tertanam dibenak masyarakat Indonesia, perlahan-lahan akan tergantikan menjadi habitus antikorupsi. Namun, apakah

b. Membangun Sistem dan Struktur Sosial Antikorupsi

Jika mengubah habitus korupsi pada diri individu membutuhkan kemauan dan kesadaran yang cukup kuat, mungkin juga perlu upaya meresosialisasi nilai-nilai dan norma-norma yang mendukung perilaku antikorupsi, dan itu dapat diajarkan melalui lembaga keluarga, pendidikan/sekolah atau masyarakat. Nmun, apakah membangun sistem dan struktur sosial anti korupsi merupakan keniscayaan seperti membangun habitus antikorupsi? Pandangan pesimis akan mengatakan bahwa bila menelusuri kejadian korupsi di berbagai lembaga politik dan pemerintahan di Indonesia, nampaknya sulit untuk melakukan pemberantasani korupsi, karena korupsi terus direproduksi di berbagai lembaga, seperti: lembaga peradilan, partai politik, lembaga legislatif, kepolisian, lembaga pelayanan publik dan perizinan, lembaga perpajakan, juga lembaga pendidikan dan keagamaan (Widoyoko, 2013:24, 41-43). Korupsi terus direproduksi di dalam sistem dan struktur birokrasi atau lembaga-lembaga tersebut, karena memang norma atau aturan dan praktik korupsi yang dibangun di dalamnya ditujukan untuk berbagai kepentingan, di antaranya untuk: membiayai kegiatan-kegiatan non-budgeter, seperti menjamu dan melayani pimpinan atau pejabat pusat yang berkunjung ke daerah, mengurus promosi kenaikan jabatan, membiayai kegiatan operasional (seperti operasi/razia kendaraan oleh polisi, kegiatan penangan perkara di kejaksaan, sidang-sidang di kantor pengadilan), atau kegiatan-kegiatan lain yang dibutuhkan untuk kelancaran aktivitas rutin maupun insidentil di lembaga-lembaga tersebut, di mana dana resmi untuk kegiatan semacam itu tidak tersedia, kalaupun ada mungkin anggarannya sangat kecil. Di dalam sistem dan birokrasi yang korup seperti itu, maka sebagian besar agen atau individu yang di dalamnya, tidak mampu mengelak Jika mengubah habitus korupsi pada diri individu membutuhkan kemauan dan kesadaran yang cukup kuat, mungkin juga perlu upaya meresosialisasi nilai-nilai dan norma-norma yang mendukung perilaku antikorupsi, dan itu dapat diajarkan melalui lembaga keluarga, pendidikan/sekolah atau masyarakat. Nmun, apakah membangun sistem dan struktur sosial anti korupsi merupakan keniscayaan seperti membangun habitus antikorupsi? Pandangan pesimis akan mengatakan bahwa bila menelusuri kejadian korupsi di berbagai lembaga politik dan pemerintahan di Indonesia, nampaknya sulit untuk melakukan pemberantasani korupsi, karena korupsi terus direproduksi di berbagai lembaga, seperti: lembaga peradilan, partai politik, lembaga legislatif, kepolisian, lembaga pelayanan publik dan perizinan, lembaga perpajakan, juga lembaga pendidikan dan keagamaan (Widoyoko, 2013:24, 41-43). Korupsi terus direproduksi di dalam sistem dan struktur birokrasi atau lembaga-lembaga tersebut, karena memang norma atau aturan dan praktik korupsi yang dibangun di dalamnya ditujukan untuk berbagai kepentingan, di antaranya untuk: membiayai kegiatan-kegiatan non-budgeter, seperti menjamu dan melayani pimpinan atau pejabat pusat yang berkunjung ke daerah, mengurus promosi kenaikan jabatan, membiayai kegiatan operasional (seperti operasi/razia kendaraan oleh polisi, kegiatan penangan perkara di kejaksaan, sidang-sidang di kantor pengadilan), atau kegiatan-kegiatan lain yang dibutuhkan untuk kelancaran aktivitas rutin maupun insidentil di lembaga-lembaga tersebut, di mana dana resmi untuk kegiatan semacam itu tidak tersedia, kalaupun ada mungkin anggarannya sangat kecil. Di dalam sistem dan birokrasi yang korup seperti itu, maka sebagian besar agen atau individu yang di dalamnya, tidak mampu mengelak

Jika demikian keadaannya, apakah mungkin membangun sistem dan struktur sosial antikorupsi, dan apakah sistem antikorupsi bisa dikembangkan di lembaga-lembaga yang terkenal korup itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, barangkali pemikiran Anthony Giddens tentang teori strukturasi dapat menjelaskannya. Teori ini dirumuskan oleh Giddens untuk menjembatani analisis di level makro (struktur) dan mikro (agen/individu/aktor yang bekerja untuk struktur). Melalui teori strukturasi ini, Gidden mencoba melihat bagaiamana suatu praktik sosial bisa terbentuk (praktik sosial di sini bisa dianalogikan sebagai tindakan koropsi atau sebaliknya, sikap dan perilaku antikorupsi). Hubungan antara struktur dan agen sifatnya saling mengandaikan (dualitas), artinya, struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium) bagi praktik sosial (Widoyoko, 2013:32). Struktur merupakan aturan dan sumber daya yang dipergunakan oleh aktor untuk berinteraksi. Struktur juga dibentuk oleh aktor melalui interaksi tersebut. Struktur juga merupakan aturan (rules) dan sumber daya (resource) yang terbentuk oleh, dan membentuk perulangan praktik sosial. Sebagai aturan, struktur membatasi perilaku agen (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan agen), tetapi struktur sekaligus juga sebagai sumber daya yang memberdayakan, karena agen bisa melakukan sesuatu. Struktur juga dibentuk dan membentuk praktik sosial yang berulang.

Peran agen di dalam struktur ditentukan oleh perilakunya yang didasarkan atas kesadaran yang dimiliknya. Dalam pemikiran Giddens, terdapat tiga dimensi perilaku agen berdasarkan tingkat kesadarannya, yaitu: (1) motivasi tak sadar: yaitu berupa keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri; (2) kesadaran praktis: merujuk pada pengetahuan praktis yang seringkali tidak bisa dijelaskan, karena pengetahuan itu sudah teertanam lama di benak individu, dan sudah menjadi kebiasaan yang seolah-olah mekanistis karena hasil dari proses pembiasaan; (3) kesadaran diskursif: merujuk pada tindakan yang bukan hanya disadari tetapi juga mampu dijelaskan oleh pelaku. Kesadaran praktis merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial lambat laun menjadi struktur dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan atau praktik sosial kita. Reproduksi sosial berlangsung melalui keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan lagi (Herry-Priyono, dalam Widoyoko, 2013:33). Melalu kesadaran Peran agen di dalam struktur ditentukan oleh perilakunya yang didasarkan atas kesadaran yang dimiliknya. Dalam pemikiran Giddens, terdapat tiga dimensi perilaku agen berdasarkan tingkat kesadarannya, yaitu: (1) motivasi tak sadar: yaitu berupa keinginan yang berpotensi mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri; (2) kesadaran praktis: merujuk pada pengetahuan praktis yang seringkali tidak bisa dijelaskan, karena pengetahuan itu sudah teertanam lama di benak individu, dan sudah menjadi kebiasaan yang seolah-olah mekanistis karena hasil dari proses pembiasaan; (3) kesadaran diskursif: merujuk pada tindakan yang bukan hanya disadari tetapi juga mampu dijelaskan oleh pelaku. Kesadaran praktis merupakan kunci untuk memahami proses bagaimana berbagai tindakan dan praktik sosial lambat laun menjadi struktur dan bagaimana struktur itu mengekang serta memampukan tindakan atau praktik sosial kita. Reproduksi sosial berlangsung melalui keterulangan praktik sosial yang jarang dipertanyakan lagi (Herry-Priyono, dalam Widoyoko, 2013:33). Melalu kesadaran

Melalui teori Giddens maka korupsi sebagai praktik sosial, bisa dilihat sebagai sebuah kesadaran praktis yang terbentuk dari praktis sosial yang berulang-ulang dilakukan. Karena sudah menjadi kesadaran praktis, maka agen tidak menyadari lagi kalau sesungguhnya ia sedang melakukan praktik korupsi yang melanggar hukum. Kesadaran praktis memberikan perangkat bagi manusia untuk melakukan tindakan sehari-hari. Dalam konteks korupsi, maka tindakan yang dipandu oleh kesadaran praktis ini berupa praktik korupsi sehingga agen bukan hanya tidak menyadari, tetapi sudah menganggapnya sebagai tindakan yang benar. Pemberantasan korupsi, dapat dilakukan ketika agen memiliki kemampuan melakukan introspeksi dan mawas diri untuk berhenti melakukan korupsi dengan cara membenahi kesadaran diskursifnya, agar kesadaran diskursif yang dimiliknya itu mampu menjadi kesadaran praktis antikorupsi. Melalui pemikian Giddens ini maka harapan untuk menciptakan Indonesia bebas korupsi mendapatkan titik terangnya. Artinya, dengan cara menegosiasi habitus antikorupsi ke dalam kesadaraan diskursif agen, dengan harapan habitus antikorupsi dan kesadaran diskursif secara gradual dapat menjadi kesadaran praktis antikorupsi yang berkembang di ranah publik, maka gerakan pemberantasan korupsi akan semakin menguat.

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalah penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui seberapa jauh pemahaman dan kesiapan para kepala desa beserta aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam menerapkan Undang-Undang No.6 tahun 2014.

2) Mengetahui pemahaman atau pengetahuan kepala desa dan aparatur birokrasinya tentang prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) serta upaya-upaya yang telah mereka lakukan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut.

3) Memetakan pengetahuan kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa tentang perilaku/tindak koruptif, serta peraturan/UU dan hukum yang berkaitan dengan tindak korupsi.

4) Memetakan dan mengidentifikasi tindakan yang pernah dilakukan oleh kepala desa dan aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam menerapkan prinsip- prinsip antikurpsi dalam melayani kepentingan publik/masyarakat.

2. Manfaat Penelitian

Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau rekomendasi kebijakan Gubernur Jawa Timur tentang praktik pelaksanaan UU No.6 tahun 2014, khususnya berkaitan dengan prinsip-prinsip penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governace ) di tingkat desa. Selain itu, melalui kajian ini, dapat dirumuskan upaya-upaya untuk mengantisipasi atau mencegah berbagai tindakan korupsi berkaitan dengan diberikannya otonomi dan kewenangan aparatur birokasi pemerintah desa dalam mengelola asset dan dana desa. Studi ini juga akan merekomendasikan model atau stragegi pengembangan gerakan antikorupsi, khususnya dalam kegiatan pelayanan masyarakat dan pengelolaan asset desa. Melalui upaya-upaya tersebut diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan desa yang efektif, mandiri serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian tentang pemetaan kesadaran antikorupsi pada aparatur birokrasi pemerintahan pedesaan di Jawa Timur ini dibatasi pada pemerintahan desa yang telah menerapkan UU no.6 tahun 2014, dan mendapatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) yang sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kasus-kasus yang akan diangkat dalam pemetaan kesadaran antikorupsi melliputi kegiatan pelayanan publik/masyarakat serta penggunaan dana APBD untuk program-program yang berkaitan dengan peningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(*)

BAB IV METODE PENELITIAN

1. Tipe dan Metode Penelitian

Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengetahuan dan kesiapan para aparatur birokrasi pemerintahan desa tentang pelaksanaan UU No.6 tahun 2014, juga memetakan pengetahuan dan kesadaran mereka tentang korupsi, maka tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode survei. Survei dilakukan kepada aparatur pemerintahan desa di mana pertanyaan yang ditujukan tentang praktik pelaksanaan pemerintahan desa, khususnya dalam upayan mengimplementasikan UU No.6 tahun 2014.

2. Lokasi Penelitian

Desa yang dijadikan lokasi penelitian ini dipilih berdasarkan karakteristik wilayah dan matapencarian dari sebagian besar penduduknya. Di Indonesia dikenal tiga karakteristik desa, yaitu: desa agraris, di mana mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang pertanian dan perkebunanan; desa industri, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang industri kecil rumah tangga; dan desa nelayan, di mana mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang perikanan dan pertambakan.

Studi ini dilakukan di Jawa Timur, tepatnya di empat kabupaten, yaitu Kabupaten: Malang, Sidoarjo, Lamongan dan Tuban. Kabupaten Malang dipilih sebagai lokasi penelitian karena wilayah ini dikenal sebagai daerah pertanian dan agrowisata. Dua desa dipilih untuk mewakili karakteristik wilayah tersebut, yaitu Desa Madiredo, dikenal sebagai salah satu pusat penghasil Apel Malang, dan Desa Tawangsari, sebagai daerah pertanian dan penghasil sayur-mayur.

Kabupaten Sidoarjo dipilih sebagai salah satu daerah yang cukup pesat perkembangan industrinya. Dua desa yang dianggap berdekatan atau menjadi bagian dari kawasan industri di Kabupaten Sidoarjo dan dipilih menjadi lokasi penelitian ini adalah Desa Berbek (salah satu desa yang berdekatan dan bahkan menjadi bagian dari kawasan industri di Kabupaten Sidoarjo) dan Desa Wedoro yang dikenal juga sebagai daerah home industry alas kaki (sandal dan sepatu).

Selain dua kabupaten di atas, dua kabupaten berikutnya, yaitu Kabupaten Lamongan dan Tuban, dipilih menjadi lokasi penelitian karena kekhasan wilayahnya, yaitu daerah pantai atau pesisir. Di Kabupaten Lamongan satu desa yang dapat dianggap mewakili daerah nelayan adalah Desa Kranji, sedangkan di Kabupaten Tuban, dipilih dua desa yang berada di wilayah pesisir dan sekaligus juga menjadi daerah industri baru di Kabupaten Tuban, yaitu Desa Glondonggede dan Desa Tambakboyo.

3. Subyek Penelitian Sebagai penelitian deskriptif maka subyek penelitian adalah kepala desa,

perangkat atau aparatur birokrasi desa di masing-masing wilayah penelitian. Jumlah responden yang dijadikan sebagai subyek penelitian ini ditentukan berdasarkan data awal tentang aparatur birokrasi desa beserta tugas, pokok dan fungsi masing-masing bagian di pemerintahan desa.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa strategi, antara lain: (1)

melalui wawancara terstruktur mengenai berbagai informasi yang berkaitan dengan pengetahuan dan pengetahuan tentang isi dari Undang-Undang Desa, makna korupsi serta kesadaran antikorupsi menurut masing-masing individu subyek penelitian; (2) Focus Group Discussion (FGD), digunakan untuk menjaring pendapat dan pemikiran kepala desa dan para aparatur birokrasi pemerintah desa, khususnya berkaitan dengan upaya pemerintahan desa dalam menjalankan pemerintahannya, termasuk program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dananya diambil dari APBD; (3) observasi, khususnya dalam kegiatan pelayanan masyarakat yang diselenggarakan oleh aparatur birokrasi pemerintahan desa; (4) dokumen- dokumen pendukung yang berkaitan dengan program-program pemerintah desa dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan penerapan akuntabilitas dan pertanggungjawaban pemerintah desa kepada lembaga pengawas pemerintah desa.

Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan cara mengkategorikan atau mengelompokkannya sesuai dengan tema atau fokus studi ini, yaitu mengidentifikasi dan memetakan: pengetahuan kepala desa dan aparatur birokrasi Setelah data terkumpul, data dianalisis dengan cara mengkategorikan atau mengelompokkannya sesuai dengan tema atau fokus studi ini, yaitu mengidentifikasi dan memetakan: pengetahuan kepala desa dan aparatur birokrasi

(*)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Paparan Hasil Penelitian

A. Karakteristik Responden

Oleh karena studi ini ditujukan untuk Mengetahui seberapa jauh pemahaman dan kesiapan para kepala desa beserta aparatur birokrasi pemerintahan desa dalam menerapkan Undang-Undang No.6 tahun 2014, serta untuk mengatahuai pengetahuan mereka tentang prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), termasuk pemahaman mereka tentang perilaku/tindak koruptif, makak responden penelitian ini adalah para aparat atau perangkat desa yang menjalankan tugas-tugas administratif pemerintahan desa. Berikut jumlah responden di masing-masing desa.

Tabel 1: Nama Desa dan Jumlah Responden di Masing Desa Jumlah Responden

8 12,3 % Wedoro (Kab. Sidoarjo)

Berbek (Kab. Sidoarjo)

8 12,3 % Madiredo (Kab. Malang)

10 15,4 % Tawangsari (Kab. Malang)

10 15,4 % Glondonggede (Kab. Tuban)

10 15,4 % Tambakboyo (Kab. Tuban)

9 13,8 % Kranji (Kab. Lamongan)

Berdasarakan data pada tabel 1 di atas, terlihat bahwa jumlah respoden di masing-masing desa berkisar antara 8 hingga 9 orang. Hal ini karena struktur birokrasi atau organisasi penyelenggaraan pemerintah desa tidak terlalu rumit, sehingga jabatan di dalam struktur tersebut jumlahnya tidak banyak.

Berikut jenis jabatan pada struktur birokrasi pemerintahan desa yang ada di berbagai desa di Jawa Timur, khususnya di empat kabupaten tersebut.

Tabel 2: Responden dengan Jabatan/Posisi dalam Pemerintahan Desa

Jabatan

Frekuensi Persentase

Kepala Desa

5 7,7 % Kepala Dusun

19 29,2 % Kepala Seksi (Kasi) Ekonomi, Keuangan dan

2 3% Pembangunan Kasi/Kepala Urusan (Kaur) Kesejahteraan

9 13,8 % Rakyat (Kesra) Kasi Nelayan & Perikanan

2 3% Kasi Pelayanan Umum

2 3,1 % Kasi/Kaur Pemerintahan

10 15,4 % Kasi Pertanian dan Pengairan

1 1,5 % Kasi Tanah dan Air

1 1,5 % Kasi Ketentraman dan Ketertiban

4 6,1 % Kaur Bangunan

1 1,5 % Kaur Pemberdayaan Masyarakat

1 1,5 % Sekretaris Desa (Sekdes)

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa cukup banyak responden bertindak sebagai kepala dusun (29, 2 persen), disusul kemudian berposisi sebagai kasi/kaur pemerintahan (15,4 persen), dan yang menjabat sebagai kasi/kaur kesejahteraan rakyat sebanyak 13,8 persen, serta yang menduduki posisi sebagai kepala desa sebanyak 7,7 persen.

Jika dikategorikan berdasarkan usia, maka usia para aparat pemerintahan desa yang menjadi sampel dalam studi ini terbanyak berada di usia 39-52 tahun (60 persen). Aparat desa yang terkategori berusia muda jumlahnya sama denan aparat desa yang berusia 35 tahun ke atas (masing-masing 20 persen). Ini artinya perangkat yang bekerja pada birokrasi pemerintahan desa telah bekerja relatif cukup lama, dan usia mereka dapat digolongkan sebagai usia yang cukup mapan.

Tabel 3: Usia Responden

Aparat pemerintah desa menempati posisi atau jabatannya sesuai dengan masa kerjanya di birokrasi pemerintahan desa. Dari 65 responden dalam penelitian ini, Aparat pemerintah desa menempati posisi atau jabatannya sesuai dengan masa kerjanya di birokrasi pemerintahan desa. Dari 65 responden dalam penelitian ini,

Tabel 4: Tahun Mulai Menjabat Sebagai Perangkat Tahun Mulai Menjabat

Frekuensi

Persentase

Sebelum tahun 2000

Aparat birokrasi pemerintahan desa nampaknya masih didominasi oleh pria dibandingkan perempuan, hal ini dapat dilihat pada table di bawah ini, di mana Jumlah aparat birokrasi desa laki-laki sebanyak 92 persen, sedangkan perempuan jumlahnya hanya sekitar 8 persen.

Tabel 5: Jenis Kelamin Responden

Persentase Laki-Laki

Jenis Kelamin

Jenjang pendidikan responden dalam studi ini masih banyak yang hanya sampai di tingkat menengah atau setara SMA (57 persen) dan dasar atau setara SD dan SMP (25 persen). Sedangkan yang terkategori berpendidikan tinggi (diploma, S1, S2/S3) jumlahnya hanya sekitar 18 persen.

Tabel 6: Pendidikan Responden

Jenjang Pendidikan

9 13,8 % S2/S3

Berdasarkan data pada tabel-tabel di atas maka dapat disimpulkan bahwa aparat birokrasi pemerintah desa yang terambil sebagai sampel penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) jabatan yang cukup banyak disandang para responden adalah sebagai kepala dusun, kasi/kaur pemerintahan & kesejahteraan rakyat serta kepala desa, di mana jabatan atau posisi tersebut dapat dianggap strategis dalam birokrasi pemerintah desa; (2) usia responden sebagian besar di atas

38 tahun ke atas, di mana rentang usia tersebut dapat dianggap sebagai usia yang cukup mapan dari segi pengalaman dan pengetahuan dalam tugas-tugas kepemerintahan; (3) sebagian besar respoden menduduki jabatannya sejak lebih dari 10 tahun yang lalu; (4) sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki; dan (5) tingkat pendidikan responden sebagian besar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

B. Pemahaman Aparatur Birokrasi Desa terhadap UU Desa No. 6/2014

Uraian berikut ini ingin mendapatkan gambaran tentang tingkat pengetahuan dan pemahaman responden tentang UU Desa No.6 tahun 2014. Adapun unsur-unsur yang termuat di dalam UU Desa No.6 Tahun 2014 antara lain adalah: (1) pemerintah desa dan perangkatnya; (2) Badan Permusyawarahan Desa (BPD) dan perangkatnya; (3) Mekanisme Musyawarah Desa; (4) Badan Usaha Milik Desa (BUMDES); (5) peraturan yang dibuat oleh pemerintahan desa; (6) mekanisme pembangunan desa; (7) prosedur dan mekanisme keuangan desa; (8) asset desa; dan (9) pemberdayaan masyarakat desa.

1. Pengetahuan Tentang Unsur-Unsur dalam UU Desa Berdasarkan data yang terkumpul, diketahui bahwa dari kedelapan unsur tersebut, hampir keseluruhan responden (98-100 persen) memiliki pengetahuan tentang: (1) pemerintah desa beserta perangkatnya; (2) musyawarah desa; (3) BPD dan perangkatnya; dan (4) pembangunan desa. Unsur berikutnya yang juga hampir diketahui oleh sebagian besar responden (90-97 persen) adalah: (1) asset desa; (2) peraturan desa; (3) pemberdayaan masyarakat desa; dan (4) keuangan desa. Sedangkan hal yang nampaknya masih belum banyak diketahui oleh beberapa responden adalah tentang BUMDES (17 persen).

Tabel 7: Pengetahuan Tentang Unsur-Unsur yang ada pada UU Desa Unsur dalam UU Desa

Frekuensi Jumlah Persentase Jumlah

Ya Tidak

Ya

Tidak

Pemerintah Desa dan Perangkatnya 65 0 65 100 % 0% 100 % BPD dan Perangkatnya

64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Musyawarah Desa

65 0 65 100 % 0% 100 % BUMDES

54 11 65 83,1% 17% 100 % Peraturan Desa

61 4 65 93,8% 6,2% 100 % Pembangunan Desa

64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Keuangan Desa

60 5 65 92,3% 7,7% 100 % Aset Desa

63 2 65 96,9% 3,1% 100 % Pemberdayaan Masyarakat Desa

2. Tingkat Pemahaman Unsur-Unsur di dalan UU Desa Meskipun hampir seluruh responden mengetahui unsur-unsur di dalam UU Desa, namun ketika diukur tingkat pemahaman mereka tentang unsur-unsur tersebut nampak bahwa pemahaman mereka cukup bervariasi.

Tingkat pemahaman yang paling tinggi (sangat paham dan paham) menurut pendapat para responden ada pada: (1) Pemerintah Desa; (2) BPD; (3) Pembangunan Desa; dan (4) peraturan desa. Tingkat pemahaman yang terkategori rendah (kurang paham dan tidak paham) ada pada: (1) BUMDES (16,2 persen); (2) Pemberdayaan Masyarakat Desa (12,3 persen); (3) asset desa (7,8 persen); dan (4) keuangan desa (7,8 persen).

Tabel 8: Tingkat Pemahaman Unsur-Unsur Di Dalam Undang-Undang Desa

Persentase Unsur dalam

Pemahaman

Jml

Jmlh UU Desa

Pemerintah Desa

Perangkatnya BPD dan

% % Peraturan Desa

Keuangan Desa

% Aset Desa

10,8 1,5 100 % Masyarakat Desa

SP= Sangat Paham P= Paham CP= Cukup Paham KP= Kurang Paham TP= Tidak Paham

3. Unsur-Unsur dalam UU Desa Yang Sudah Dijalankan oleh Pemerintah Desa

Meskipun UU Desa baru diluncurkan pada tahun 2014, tetapi sebagian unsur di dalam UU tersebut sudah dikenal dan bahkan telah dilaksanakan oleh aparat pemerintah desa. Dari Sembilan unsur yang ada di dalam UU Desa, nampaknya yang sudah cukup dipahami dan diterapkan oleh pemerintah desa dalam menjalankan roda pemerintahannya adalah pada unsur-unsur: (1) pembentukan pemerintahan desa, (2) pembentukan BPD, (3) menyelenggarakan musyawarah desa, (4) menyelenggarakan pembangunan desa, (5) mengatur dan membukukan keuangan desa, serta (6) mendata dan memelihara asset desa. Sedangkan unsur-unsur yang nampaknya masih baru dan belum dilaksanakan oleh aparat pemerintah desa adalah: (1) mendirikan BUMDES; dan (2) menjalankan program pemberdayaan masyarakat desa.

Tabel 9: Unsur-Unsur Dalam UU Desa Yang Sudah Dijalankan

Persentase Unsur dalam UU Desa

Sudah Belum

Sudah Belum

Pembentukan pemerintah

64 1 98,5% 1,5% Desa dan Perangkatnya

65 0 65 100% 0% 100 % Perangkatnya Menyelenggarakan

Pembentukan BPD dan

65 0 65 100% 0% 100 % Musyawarah Desa Memiliki BUMDES

27 38 65 41,54% 58,46% 100 % Menetapkan dan melaKurang

61 4 65 93,8% 6,2% 100 % Setujuanakan Peraturan Desa Menyelenggarakan

65 0 65 100% 0% 100 % Pembangunan Desa Mengatur dan Membukukan

64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Keuangan Desa Mendata dan Memelihara

64 1 65 98,5% 1,5% 100 % Aset Desa Menjalankan Program

60 5 65 90,3% 9,7% 100 % Pemberdayaan Masyarakat Desa

4. Simpulan Bila memperhatikan uraian yang berkaitan dengan Pemahaman Aparatur

Birokrasi Desa terhadap UU Desa No. 6 Tahun 2014, maka dapat disimpulkan bahwa para responden pada umumnya sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang unsur-unsur yang tercantum di dalam UU Desa tersebut, di mana unsur-unsur yang sudah diketahui dan dipahami tersebut adalah mengenai: (1) pemerintah desa beserta perangkatnya; (2) musyawarah desa; (3) BPD dan perangkatnya; dan (4) pembangunan desa serta (5) peratauran desa. Sedangkan unsur yang nampaknya masih belum banyak diketahui oleh responden dan tingkat pemahamannya juga masih rendah adalah tentang: (1) Badan Usaha Milik Desa (BUMDES); (2) Pemberdayaan Masyarakat Desa; (3) asset desa; dan (4) keuangan desa.

Adapun unsur-unsur dalam UU Desa yang sudah dijalankan oleh pemerintahan desa meliputi: (1) pembentukan pemerintahan desa, (2) pembentukan BPD, (3) menyelenggarakan musyawarah desa, (4) menyelenggarakan pembangunan desa, (5) mengatur dan membukukan keuangan desa, serta (6) mendata dan memelihara asset desa. Memperhatikan pengetahuan, tingkat pemahaman dan implementasi unsur-unsur dalam UU Desa maka terlihat bahwa dua hal yang menurut para responden dianggap Adapun unsur-unsur dalam UU Desa yang sudah dijalankan oleh pemerintahan desa meliputi: (1) pembentukan pemerintahan desa, (2) pembentukan BPD, (3) menyelenggarakan musyawarah desa, (4) menyelenggarakan pembangunan desa, (5) mengatur dan membukukan keuangan desa, serta (6) mendata dan memelihara asset desa. Memperhatikan pengetahuan, tingkat pemahaman dan implementasi unsur-unsur dalam UU Desa maka terlihat bahwa dua hal yang menurut para responden dianggap

C. Implementasi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance )

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) antara lain adalah: (1) memberikan pelayanan terbaik untuk public dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat; (2) melibatkan partisipasi masyarakat; (3) menjalankan prinsip-prinsip transparansi dalam melayani kebutuhan masyarakat; (4) mempertangungjawabkan tugas dan kewenangannya kepada masyarakat; (5) menjalankan pemerintahan desa dengan adil dan menaati aturan hukum yang berlaku.

Berikut ini pengalaman para responden dalam upaya mereka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik berdasarkan unsur-unsur kegiatan yang terdapat di dalam UU Desa.

1. Upaya Memberikan Pelayan Terbaik untuk Kepentingan Publik/Masyarakat

Aktivitas pemerintah desa berdasarkan UU Desa meliputi kesembilan unsur yang telah disebutkan pada subbab di atas. Berikut ini dapat dilihat pendapat responden tentang kinerja pemerintahan desa dalam memberikan pelayanannya kepada masyarakat.