MENUJU PEMILU 2019 DENGAN NEGARA INTEGRA
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
MENUJU PEMILU 2019 DENGAN NEGARA INTEGRALISTIK MILIK SOEPOMO
Tomy Michael
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
[email protected]
Abstrak
Di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 termaktub bahwa Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pasal tersebut menunjukkan sikap demokrasi yang dianut di Indonesia. Permasalahan yang
muncul, ketika Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah bagian dari demokrasi di
Indonesia maka mengapa Pemilu selalu diwarnai gugatan dan kecurangan dalam praktiknya.
Dengan mengurai pemikiran negara integralistik milik Soepomo maka Pasal 22E ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 sesuai karena negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala
paham perseorangan dan menghendaki persatuan. Namun kesesuaian ini hanya sebatas
terpenuhi syarat demokrasi dan tidak dapat menjadikan Indonesia sebagai negara integralistik
murni karena adanya berbagai syarat dalam menjalankan Pemilu. Saran yang diperoleh yaitu
Pemilu 2019 tidak boleh terpaku dengan demokrasi yang berlaku secara umum karena dengan
memasukkan hakikat demokrasi dalam bentuk negara lainnya akan tercipta Pemilu 2019
dengan akhir demokrasi yang berciri khas Indonesia.
Kata kunci: Negara, integralistik, Pemilu 2019, demokrasi
A. Pendahuluan
Di dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) termaktub bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum
sebagai akibat negara yang menganut bentuk pemerintahan demokrasi haruslah betul-betul
dijaga pelaksanaannya. Di Indonesia, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan bersandarkan
pada Pancasila tetap tidak lepas dari konflik. Hal ini terjadi karena Pancasila hanya dipahami
sebagai dasar negara tanpa berusaha melakukan pengkajian secara ilmiah apakah itu dasar
negara.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
B. Hasil Dan Pembahasan
Dengan bersandar pada hakikat Pemilihan Umum (Pemilu) yang berusaha menegakkan
demokrasi maka pemerintah harus memahami apakah itu negara. Demokrasi secara tegas tidak
dapat diartikan dengan baik. Demokrasi selalu menunjukkan keburukan dari bentuk
pemerintahan yang awal. Dalam siklus Socrates, bentuk pemerintahan yang sempurna adalah
aristokrasi dan bukanlah demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah harus memahami bahwa
demokrasi bukanlah hal utama dalam pelaksanaan Pemilu namun bagaimana ia menjalankan
negara tersebut.
Suatu konsep negara, suatu pandangan tentang negara, hakikat dan susunannya
mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan-aturan dasar dalam tata negara. Dalam
gabungan yang merupakan satu jiwa itu, yang dipimpin oleh akal-budi, masing-masing
individu menyerahkan kekuasaan atas dirinya kepada kekuasaan umum yaitu menyerahkan hak
alaminya kepada hak umum atau hak bersama – penyerahan itu dilakukan baik secara sukarela
maupun terpaksa. Gabungan ini, katakanlah masyarakat, atau negara (dalam arti gabungan
yang kekuatannya mengatasi semua yang lainnya, atau dominion seperti istilah Spinoza), lalu
memegang kekuasaan, dan menjadi penguasa tunggal yang tidak bisa diganggu gugat lagi, dan
semua harus patuh sepenuhnya kepadanya – karena hak setiap orang telah diserahkan total
kepadanya.1 Pemahaman demikian akan membawa pelaksanaan Pemilu 2019 seolah-olah
1
Benedict de Sapinoza, A Theologico-Political Treatise A Political Treatise, New York: Dover Publications Inc,
1951, hlm. 205.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
terpusat padahal seharusnya rakyatlah yang berkausa dengan melakukan alienasi2 sepenuhnya
atau sebagian saja.
Dalam hubungan dengan masyarakat, maka paham integralistik menggambarkan suatu
masyarakat sebagai suatu kesatuan organis yang integral yang setiap anggota, bagian, lapisan,
kelompok, golongan yang ada di dalamnya, satu sama lain saling berhubungan erat dan
merupakan satu kesatuan yang hidup. Eksistensi setiap unsur hanya berarti dalam hubungannya
dengan keseluruhan, setiap anggota, bagian, lapisan, kelompok dan golongan dalam
masyarakat itu memiliki tempat, fungsi, dan kedudukan masing-masing yang diakui, dihormati
dan dihargai. Paham ini beranggapan bahwa setiap unsur merasa berkewajiban akan
terciptanya keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.3 Ketika seluruh unsur
memiliki kebersamaan untuk mencapai negara yang lebih sempurna maka seluruh unsur
tersebut haruslah dipisahkan dari negara. Unsur-unsur demikian dimaksud adalah suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA). Pemisahan SARA dari negara akan menjadikan masyarakat
dewasa secara berpolitik.
2
Legitimasi hukum norma-norma politik dalam teori kontrak sosial bersifat historis dan konstruktif sekaligus.
Dalam teori kontrak biasanya dirumuskan cerita bagaimana manusia menciptakan konsensus guna merumuskan
aturan-aturan bagi hidup bersama baik dalam komunitas maupun negara. Juga ditunjukkan apakah proses tersebut
baik atau buruk bagi hidup manusia. Teori kontrak sosial juga mengonstruksikan sebuah kondisi di luar tatanan
hukum publik, di mana individu-individu yang setara harus mencapai konsensus tertentu berdasarkan kepentingan
atau pertimbangan yang terdapat pada masing-masing orang, lebih lanjut dalam Otto Gusti Madung, Paradigma
Holisme Hegelian Dan kritik Atas Liberalisme, Jurnal Ilmiah Peuradeun International Multidisciplinary Journal ,
Vol. II, No. 02, May 2014, hlm. 49.
3
Muhammad Noupal dan Erina Pane, Paradigma Integralistik dan Toleransi Umat Beragama di Kota Palembang
Intizar, Volume 23, Nomor 1, 2017, hlm. 76.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
Mengutip pendapat Muller4 bahwa negara bukanlah sesuatu yang didirikan secara
mekanis, yang serta merta bisa segera ditegakkan dalam bentuk tertentu dan seragam, hasil
kehendak manusia begitu saja, melainkan suatu hakikat yang telah ada senantiasa, yang hidup,
yang mewujud dan bertumbuh sendiri, sebagaimana halnya seorang manusia. Pendapat Muller
apabila dikaitkan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah kesalahan didalamnya.
Memperhatikan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Ketika Pemilu diatur lebih lanjut lagi
dengan peraturan perundangan-undangan dibawah UUD NRI Tahun 1945 maka integralistik
itu sendiri telah mengalami pergeseran makna.5 Pergeseran makna yang integralistik ini
4
Gisella von Busse, Die Lehre vom Staat als Organismus: Kritische Untersuchungen zur staatsphilosophie Adam
Mullers, Berlin: Junker und Dunnhaupt Verlag, 1928, hlm. 4-5.
Bandingkan juga dengan
Traditional Christian anthropology viewed man as a type of substance —a created being with a specific nature
that is spiritual, rational, and social. In this view, man has a spiritual nature made in the image of God with an
eternal destiny, a rational nature with intellect and free will as well as an inherited propensity to sin, and a social
nature directed to family and political life that achieves its perfection in charity or love. While retaining many of
these features, Christian personalism adds new dimensions to Christian anthropology—a greater awareness of
man as a “subject” or possessor of subjective consciousness; a new emphasis on self -determination in action; a
greater appreciation of personal identity, the irreplaceable uniqueness of everyone, and the interiority of spiritual
life. Above all, personalism brings a new and heightened awareness of human dignity and human rights.
Formulating these new features into a grand moral principle, Christian perso nalists refer to “the dignity of the
human person” as the new standard for Christian ethics and natural law. From the dignity of the human person,
a new political orientation also follows—an affirmation of the rights of the human person as a basis for supporting
modern liberal democracy, lebih lanjut dalam Robert P. Kraynak, The Influence of Kant on Christian Theology:
A Debate About Human Dignity and Christian Personalism Journal of Markets & Morality Volume 7, Number 2
(Fall 2004): 517–525, hlm. 518-519.
5
Untuk negara Republik Indonesia kini, Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar,
sebagai sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal-pasal yang terdapat pada badan (batang tubuh)
UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. (Sebenarnya
menyebut kedua-keduanya secara berturutan adalah tumpang tindih yang tidak perlu, tetapi rupanya akhir-akhir
ini telah menjadi kelaziman, yang lebih bersifat politis daripada yuridis. Asas-asas Pancasila terkandung dalam
dan merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 sehingga dengan menyebut Pembukaan UUD 1945 saja, asasasas itu akan dengan sendirinya telah tercakup). Penjelasan UUD 1945 sendiri juga telah mengutarakan hal yang
serupa, walaupun tidak menggunakan norma dasar, melainkan dengan menyebutnya sebagai cita-cita hukum yang
terwujud dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 “yang menguasai hukum dasar
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
menjadi permasalahan hukum tersendiri karena akan mencampuradukkan konsep negara
integralistik dengan SARA.
C. Penutup
Sebagai kesimpulan yang diperoleh yaitu negara integralistik seharusnya dianut oleh
Indonesia karena telah tercermin dalam persyaratan terkait Pemilu. Integralistik yang dianut
Indonesia seharusnya tidak menghilangkan SARA namun menjadikan SARA dasar adanya
integralistik. Indonesia tidak boleh menganut integralistik secara murni karena akan
menghilangkan hakikat SARA yang sebenarnya bagi Indonesia.
Hakikat SARA yang sebenarnya bagi Indonesia ini dapat diartikan ketika SARA dalam
suatu negara bukanlah sebagai penghalang kesatuan namun ia adalah simbol pemersatu bangsa.
SARA dapat menjadikan Pemilu yang tertib dan sesuai Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun
1945.
Saran yang dapat diambil yaitu
1. Bagi pemerintah agar selalu bijaksana dalam membela kepentingan negara melalui SARA.
Hakikat SARA bukanlah alat pemecah bangsa namun pemersatu bangsa. Pemerintah harus
tetap melakukan penegakan hukum terhadap yang berusaha memisahkan SARA dalam
negara integralistik khas Indonesia.
2. Bagi masyarakat agar menjadi masyarakat yang cerdas ketika ada pihak-pihak yang
mengatasnamakan SARA untuk menggagalkan Pemilu 2019. Isu-isu SARA harus dapat
negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar), maupun hukum yang tidak tertulis”, lebih lanjut dalam
Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, hlm. 28.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
diatasi dengan kesadaran diri sendiri melalui partisipasi aktif dalam Pemilu 2019.
Masyarakat tidak boleh menggerakkan golongan putih karena hal tersebut akan membawa
kehancuran bagi suatu bangsa.
D. Daftar Pustaka
Benedict de Sapinoza, A Theologico-Political Treatise A Political Treatise, New York: Dover
Publications Inc, 1951.
Gisella von Busse, Die Lehre vom Staat als Organismus: Kritische Untersuchungen zur
staatsphilosophie Adam Mullers, Berlin: Junker und Dunnhaupt Verlag, 1928,
Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1994.
Muhammad Noupal dan Erina Pane, Paradigma Integralistik dan Toleransi Umat Beragama di
Kota Palembang Intizar, Volume 23, Nomor 1, 2017.
Otto Gusti Madung, Paradigma Holisme Hegelian Dan kritik Atas Liberalisme, Jurnal Ilmiah
Peuradeun International Multidisciplinary Journal, Vol. II, No. 02, May 2014.
Robert P. Kraynak, The Influence of Kant on Christian Theology: A Debate About Human
Dignity and Christian Personalism Journal of Markets & Morality Volume 7, Number
2 (Fall 2004): 517–525.
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
MENUJU PEMILU 2019 DENGAN NEGARA INTEGRALISTIK MILIK SOEPOMO
Tomy Michael
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
[email protected]
Abstrak
Di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 termaktub bahwa Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pasal tersebut menunjukkan sikap demokrasi yang dianut di Indonesia. Permasalahan yang
muncul, ketika Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah bagian dari demokrasi di
Indonesia maka mengapa Pemilu selalu diwarnai gugatan dan kecurangan dalam praktiknya.
Dengan mengurai pemikiran negara integralistik milik Soepomo maka Pasal 22E ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945 sesuai karena negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala
paham perseorangan dan menghendaki persatuan. Namun kesesuaian ini hanya sebatas
terpenuhi syarat demokrasi dan tidak dapat menjadikan Indonesia sebagai negara integralistik
murni karena adanya berbagai syarat dalam menjalankan Pemilu. Saran yang diperoleh yaitu
Pemilu 2019 tidak boleh terpaku dengan demokrasi yang berlaku secara umum karena dengan
memasukkan hakikat demokrasi dalam bentuk negara lainnya akan tercipta Pemilu 2019
dengan akhir demokrasi yang berciri khas Indonesia.
Kata kunci: Negara, integralistik, Pemilu 2019, demokrasi
A. Pendahuluan
Di dalam Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI Tahun 1945) termaktub bahwa Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum
sebagai akibat negara yang menganut bentuk pemerintahan demokrasi haruslah betul-betul
dijaga pelaksanaannya. Di Indonesia, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan bersandarkan
pada Pancasila tetap tidak lepas dari konflik. Hal ini terjadi karena Pancasila hanya dipahami
sebagai dasar negara tanpa berusaha melakukan pengkajian secara ilmiah apakah itu dasar
negara.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
B. Hasil Dan Pembahasan
Dengan bersandar pada hakikat Pemilihan Umum (Pemilu) yang berusaha menegakkan
demokrasi maka pemerintah harus memahami apakah itu negara. Demokrasi secara tegas tidak
dapat diartikan dengan baik. Demokrasi selalu menunjukkan keburukan dari bentuk
pemerintahan yang awal. Dalam siklus Socrates, bentuk pemerintahan yang sempurna adalah
aristokrasi dan bukanlah demokrasi. Oleh karena itu, pemerintah harus memahami bahwa
demokrasi bukanlah hal utama dalam pelaksanaan Pemilu namun bagaimana ia menjalankan
negara tersebut.
Suatu konsep negara, suatu pandangan tentang negara, hakikat dan susunannya
mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan-aturan dasar dalam tata negara. Dalam
gabungan yang merupakan satu jiwa itu, yang dipimpin oleh akal-budi, masing-masing
individu menyerahkan kekuasaan atas dirinya kepada kekuasaan umum yaitu menyerahkan hak
alaminya kepada hak umum atau hak bersama – penyerahan itu dilakukan baik secara sukarela
maupun terpaksa. Gabungan ini, katakanlah masyarakat, atau negara (dalam arti gabungan
yang kekuatannya mengatasi semua yang lainnya, atau dominion seperti istilah Spinoza), lalu
memegang kekuasaan, dan menjadi penguasa tunggal yang tidak bisa diganggu gugat lagi, dan
semua harus patuh sepenuhnya kepadanya – karena hak setiap orang telah diserahkan total
kepadanya.1 Pemahaman demikian akan membawa pelaksanaan Pemilu 2019 seolah-olah
1
Benedict de Sapinoza, A Theologico-Political Treatise A Political Treatise, New York: Dover Publications Inc,
1951, hlm. 205.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
terpusat padahal seharusnya rakyatlah yang berkausa dengan melakukan alienasi2 sepenuhnya
atau sebagian saja.
Dalam hubungan dengan masyarakat, maka paham integralistik menggambarkan suatu
masyarakat sebagai suatu kesatuan organis yang integral yang setiap anggota, bagian, lapisan,
kelompok, golongan yang ada di dalamnya, satu sama lain saling berhubungan erat dan
merupakan satu kesatuan yang hidup. Eksistensi setiap unsur hanya berarti dalam hubungannya
dengan keseluruhan, setiap anggota, bagian, lapisan, kelompok dan golongan dalam
masyarakat itu memiliki tempat, fungsi, dan kedudukan masing-masing yang diakui, dihormati
dan dihargai. Paham ini beranggapan bahwa setiap unsur merasa berkewajiban akan
terciptanya keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.3 Ketika seluruh unsur
memiliki kebersamaan untuk mencapai negara yang lebih sempurna maka seluruh unsur
tersebut haruslah dipisahkan dari negara. Unsur-unsur demikian dimaksud adalah suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA). Pemisahan SARA dari negara akan menjadikan masyarakat
dewasa secara berpolitik.
2
Legitimasi hukum norma-norma politik dalam teori kontrak sosial bersifat historis dan konstruktif sekaligus.
Dalam teori kontrak biasanya dirumuskan cerita bagaimana manusia menciptakan konsensus guna merumuskan
aturan-aturan bagi hidup bersama baik dalam komunitas maupun negara. Juga ditunjukkan apakah proses tersebut
baik atau buruk bagi hidup manusia. Teori kontrak sosial juga mengonstruksikan sebuah kondisi di luar tatanan
hukum publik, di mana individu-individu yang setara harus mencapai konsensus tertentu berdasarkan kepentingan
atau pertimbangan yang terdapat pada masing-masing orang, lebih lanjut dalam Otto Gusti Madung, Paradigma
Holisme Hegelian Dan kritik Atas Liberalisme, Jurnal Ilmiah Peuradeun International Multidisciplinary Journal ,
Vol. II, No. 02, May 2014, hlm. 49.
3
Muhammad Noupal dan Erina Pane, Paradigma Integralistik dan Toleransi Umat Beragama di Kota Palembang
Intizar, Volume 23, Nomor 1, 2017, hlm. 76.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
Mengutip pendapat Muller4 bahwa negara bukanlah sesuatu yang didirikan secara
mekanis, yang serta merta bisa segera ditegakkan dalam bentuk tertentu dan seragam, hasil
kehendak manusia begitu saja, melainkan suatu hakikat yang telah ada senantiasa, yang hidup,
yang mewujud dan bertumbuh sendiri, sebagaimana halnya seorang manusia. Pendapat Muller
apabila dikaitkan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah kesalahan didalamnya.
Memperhatikan Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 bahwa Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Ketika Pemilu diatur lebih lanjut lagi
dengan peraturan perundangan-undangan dibawah UUD NRI Tahun 1945 maka integralistik
itu sendiri telah mengalami pergeseran makna.5 Pergeseran makna yang integralistik ini
4
Gisella von Busse, Die Lehre vom Staat als Organismus: Kritische Untersuchungen zur staatsphilosophie Adam
Mullers, Berlin: Junker und Dunnhaupt Verlag, 1928, hlm. 4-5.
Bandingkan juga dengan
Traditional Christian anthropology viewed man as a type of substance —a created being with a specific nature
that is spiritual, rational, and social. In this view, man has a spiritual nature made in the image of God with an
eternal destiny, a rational nature with intellect and free will as well as an inherited propensity to sin, and a social
nature directed to family and political life that achieves its perfection in charity or love. While retaining many of
these features, Christian personalism adds new dimensions to Christian anthropology—a greater awareness of
man as a “subject” or possessor of subjective consciousness; a new emphasis on self -determination in action; a
greater appreciation of personal identity, the irreplaceable uniqueness of everyone, and the interiority of spiritual
life. Above all, personalism brings a new and heightened awareness of human dignity and human rights.
Formulating these new features into a grand moral principle, Christian perso nalists refer to “the dignity of the
human person” as the new standard for Christian ethics and natural law. From the dignity of the human person,
a new political orientation also follows—an affirmation of the rights of the human person as a basis for supporting
modern liberal democracy, lebih lanjut dalam Robert P. Kraynak, The Influence of Kant on Christian Theology:
A Debate About Human Dignity and Christian Personalism Journal of Markets & Morality Volume 7, Number 2
(Fall 2004): 517–525, hlm. 518-519.
5
Untuk negara Republik Indonesia kini, Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar,
sebagai sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal-pasal yang terdapat pada badan (batang tubuh)
UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. (Sebenarnya
menyebut kedua-keduanya secara berturutan adalah tumpang tindih yang tidak perlu, tetapi rupanya akhir-akhir
ini telah menjadi kelaziman, yang lebih bersifat politis daripada yuridis. Asas-asas Pancasila terkandung dalam
dan merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 sehingga dengan menyebut Pembukaan UUD 1945 saja, asasasas itu akan dengan sendirinya telah tercakup). Penjelasan UUD 1945 sendiri juga telah mengutarakan hal yang
serupa, walaupun tidak menggunakan norma dasar, melainkan dengan menyebutnya sebagai cita-cita hukum yang
terwujud dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 “yang menguasai hukum dasar
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
menjadi permasalahan hukum tersendiri karena akan mencampuradukkan konsep negara
integralistik dengan SARA.
C. Penutup
Sebagai kesimpulan yang diperoleh yaitu negara integralistik seharusnya dianut oleh
Indonesia karena telah tercermin dalam persyaratan terkait Pemilu. Integralistik yang dianut
Indonesia seharusnya tidak menghilangkan SARA namun menjadikan SARA dasar adanya
integralistik. Indonesia tidak boleh menganut integralistik secara murni karena akan
menghilangkan hakikat SARA yang sebenarnya bagi Indonesia.
Hakikat SARA yang sebenarnya bagi Indonesia ini dapat diartikan ketika SARA dalam
suatu negara bukanlah sebagai penghalang kesatuan namun ia adalah simbol pemersatu bangsa.
SARA dapat menjadikan Pemilu yang tertib dan sesuai Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun
1945.
Saran yang dapat diambil yaitu
1. Bagi pemerintah agar selalu bijaksana dalam membela kepentingan negara melalui SARA.
Hakikat SARA bukanlah alat pemecah bangsa namun pemersatu bangsa. Pemerintah harus
tetap melakukan penegakan hukum terhadap yang berusaha memisahkan SARA dalam
negara integralistik khas Indonesia.
2. Bagi masyarakat agar menjadi masyarakat yang cerdas ketika ada pihak-pihak yang
mengatasnamakan SARA untuk menggagalkan Pemilu 2019. Isu-isu SARA harus dapat
negara, baik hukum yang tertulis (undang-undang dasar), maupun hukum yang tidak tertulis”, lebih lanjut dalam
Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994, hlm. 28.
Telah dipaparkan
pada Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
Menuju Pemilu
2019
Dengan
Negara
Integralistik
Milik Soepomo
Seminar Nasional dan Call
for Papers “Pemilu 2019
Momentum Penguatan
Demokratisasi Indonesia
Yang Berintegritas”
Aula lantai 4
Gedung
Rektorat
Universitas
Muhammadiyah
Ponorogo
31 Maret 2018
diatasi dengan kesadaran diri sendiri melalui partisipasi aktif dalam Pemilu 2019.
Masyarakat tidak boleh menggerakkan golongan putih karena hal tersebut akan membawa
kehancuran bagi suatu bangsa.
D. Daftar Pustaka
Benedict de Sapinoza, A Theologico-Political Treatise A Political Treatise, New York: Dover
Publications Inc, 1951.
Gisella von Busse, Die Lehre vom Staat als Organismus: Kritische Untersuchungen zur
staatsphilosophie Adam Mullers, Berlin: Junker und Dunnhaupt Verlag, 1928,
Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1994.
Muhammad Noupal dan Erina Pane, Paradigma Integralistik dan Toleransi Umat Beragama di
Kota Palembang Intizar, Volume 23, Nomor 1, 2017.
Otto Gusti Madung, Paradigma Holisme Hegelian Dan kritik Atas Liberalisme, Jurnal Ilmiah
Peuradeun International Multidisciplinary Journal, Vol. II, No. 02, May 2014.
Robert P. Kraynak, The Influence of Kant on Christian Theology: A Debate About Human
Dignity and Christian Personalism Journal of Markets & Morality Volume 7, Number
2 (Fall 2004): 517–525.