Konsep Desentralisasi dalam Penyelenggar docx

Konsep Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
oleh:
Rizal Bagus Rahman
NPM. 170410130084

Kendati desentralisasi telah menjadi perbincangan utama dalam diskursus
kepemerintahan daerah di Indonesia, sejatinya perdebatan mengenai konsep desentralisasi
belum pernah berakhir. Salah satu pemikir konsep desentralisasi, Conyer (1983)
menyebutkan bahwa desentralisasi memiliki banyak kelemahan-kelemahan tertentu sebagai
bukti bahwa konsep devolution of power yang menjadi inti konsep desentralisasi terus
menerus menyempurnakan diri sejalan perkembangan zaman.
Argumentasi Conyer tersebut pada akhirnya membuka banyak perbedaan pemahaman
terhadap konsep desentralisasi, meskipun tidak sedikit pula yang memberi perspektif
optimistik terhadap penyempurnaannya. Setidaknya ada dua perspektif penting dalam
memahami konsep desentralisasi, yaitu perspektif desentralisasi politik (political
decentralisation perspective) dan perspektif desentralisasi administrasi (adminitrative
decentralisation perspective). Perspektif desentralisasi politik menggambarkan desentralisasi
sebagai sebuah bentuk devolusi1 kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah. Berbeda dengan perspektif desentralisasi administrasi yang lebih
menekankan definisi desentralisasi sebagai delegasi wewenang administratif dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah. Kedua perspektif ini memulai landasan yang berbeda,

sehingga tampak memiliki tujuan yang tidak sama pula. Perspektif desentralisasi politik
cenderung bertujuan politis: meningkatkan keterampilan dan kapasitas politik para
penyelenggara pemerintah dan masyarakat guna mempertahankan kesatuan negara. Pada sisi
lain, perspektif desentralisasi administrasi hanya berhenti pada ‘ruang sempit’pelimpahan
wewenang administrasi pemerintah pusat.
Desentralisasi terus berkembang dalam tataran negara-bangsa di era ini. Desentralisasi
dipandang pula sebagai implementasi nyata dari ruh demokrasi yang selama ini dipromosikan
sebagai salah satu alternatif penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung partisipasi dan
keadilan. Hal tersebut dapat dipahami melalui tujuan-tujuan desentralisasi (goals of
1 Devolusi seringkali dipadankan dengan istilah ‘desentralisasi politik’. Namun, pendapat Rondinelli yang
mewakili aliran Anglo-Saxon mendefinisikan devolusi sebagai bentuk penyerahan sebagian kekuasaan
pemerintahan, baik politis maupun administratif, kepada badan-badan politik di daerah yang diikuti dengan
penyerahan kekuasaan sepenuhnya untuk mengambil keputusan baik secara politis maupun administratif.

decentralisation) sebagaimana diungkapkan Hidayat (2008) yang mengutip pernyataan
Smith, diantaranya: Pertama, desentralisasi adalah sarana pendidikan politik, yang bermaksud
bahwa melalui penerapan desentralisasi diharapkan masyarakat memahami permasalahan
sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi sendiri; serta belajar kritis terhadap pelbagai
kebijakan pemerintah.
Tujuan kedua, desentralisasi dari sisi pemerintah pusat adalah sarana latihan

kepemimpinan. Asumsi yang mendasarinya bahwa pemerintahan daerah menjadi ‘kawah
candradimuka’ bagi politisi maupun birokrat sebelum memasuki arena kepemimpinan
nasional. Tujuan ketiga dari desentralisasi yaitu terciptanya stabilitas politik. Para pendukung
konsep desentralisasi memiliki keyakinan bahwa desentralisasi mendorong terbentuknya
stabilitas politik—dan kehidupan sosial—melalui penerapan demokrasi lokal (local
democracy) yang terbina melalui akuntabilitas pemerintahan, kesetaraan bagi masyarakat,
dan kesempatan partisipasi yang luas.
Konsep desentralisasi tidak lagi hanya bertumpu pada rumpun ilmu politik atau pun
administrasi saja, tetapi banyak ahli yang menawarkan ‘warna’ lain yang lebih multidisipliner dalam memahami konsep desentraliasi. Misalnya, pandangan sosiologi, ekonomi,
dan hukum. Istilah yang terakhir dikemukakan, menjadi bahasan penting dalam
penyelenggaraan desentralisasi mengingat bahwa keputusan-keputusan politik maupun
administratif yang dilimpahkan dari pusat ke daerah diperlukan sebuah kerangka hukum yang
baik. Baik disini memiliki artian bahwa setiap kebijakan yang dibuat dan diputuskan mesti
dilandasi oleh kekuatan absah agar tidak muncul penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) di tataran pemerintah daerah. Indikasi penyimpangan tersebut cukup masuk akal jika
cakupan wewenang yang dilimpahkan terlalu luas dan kontrol pemerintah pusat berangsurangsur berkurang.
Maka, perlu adanya kerangka besar dalam penerapan desentralisasi terutama
menyangkut relasi antara pusat-daerah sebagai bentuk representasi hubungan negaramasyarakat; dimana relasi tersebut harus dijabarkan secara terperinci tak terkecuali
pengawasan yang optimal dalam aspek pelaksanaan di lapangan kepemerintahan daerah.


Sumber Referensi:

Karim, Abdul Gaffar, dkk. (2006). Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Hidayat, Syarif. (2008). Desentralisasi dan Otonomi Daerah dalam Perspektif State-Society
Relation. Jurnal POELITIK Vol.1 No.1.