Chapter II Perlindungan Konsumen Perusahaan Gas Negara Dalam Memperoleh Hak Informasi (Studi Pada Pt Pgn (Persero) Tbk Distribusi Wilayah Iii)

BAB II
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian dan Perkembangan Perlindungan Konsumen
1.

Pengertian Perlindungan Konsumen
Setiap manusia dari lahir sampai nanti dia meninggal dunia pada dasarnya

adalah bertindak sebagai konsumen. Sudah semestinya ada Undang-Undang yang
melindunginya. Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsumen, ada baiknya
terlebih dahulu memahami apa itu pengertian dari konsumen dan perlindungan
yang melindungi konsumen tersebut.
Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument atau konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer
adalah lawan dari produsen, berarti setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa itu nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa
Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 13
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, istilah konsumen mempunyai definisi sebagai berikut :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.
Sebelum muncul Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hanya ada
pengertian normatif tentang perlindungan konsumen dalam hukum positif di
13

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
2002, hal.3.

Indonesia. Dalam GBHN melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1993), disebutkan
kata “konsumen” dalam rangka membicarakan tentang sasaran dalam bidang
perdagangan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian konsumen
dalam ketetapan ini.
Diantara ketentuan normatif itu, terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang ini diberlakukan pada tanggal 5 Maret 2000, satu tahun setelah
diundangkan. Di dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, istilah
konsumen mempunyai definisi yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang

lain.
Batasan dari konsumen menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Unsur-unsur dari definisi konsumen adalah : 14
a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan
keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon
atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).

14

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.27-30.

Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha”
dalam Pasal 1 ayat (3), yang secara nyata membedakan kedua pengertian persoon
di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”.
Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada

orang perseorangan saja atau sebatas badan usaha saja. Namun, konsumen
haruslah mencakup kepada orang dan atau badan usaha dengan makna lebih luas
daripada badan hukum.
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, kata "pemakai" menekankan bahwa konsumen adalah
konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah "pemakai" dalam hal ini sekaligus
menunjukkan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari
transaksi jual-beli. Artinya, sebagai konsumen tidak harus selalu memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan atau jasa
itu. Konsumen memang tidak hanya pembeli (buyer atau koper) saja,tetapi semua
orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Jadi yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer
transaction) adalah saat adanya peralihan barang dan/atau jasa, termasuk
peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
c. Barang dan/atau Jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi
barang dan/atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang.


Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai
setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Undang-undang perlindungan konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilahistilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.
Jasa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi
masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya
harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus
(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian “disediakan bagi
masyarakat” tersebut.
Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” harus ditafsirkan sebagai
bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, jika ada seseorang yang menjual
rumahnya kepada orang lain dikarenakan adanya kebutuhan yang mendadak,
perbuatannya itu tidak dapat dikatakan sebagai transaksi konsumen. Si pembeli
dalam hal ini tidak dapat dikatakan sebagai “konsumen” menurut undang-undang
perlindungan konsumen.
d. Yang Tersedia dalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus

tersedia di pasaran. Seperti bunyi dari Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa

ini, syarat itu tidak lagi merupakan suatu syarat yang mutlak yang dituntut oleh
masyarakat

konsumen.

Contohnya,

perusahaan

pengembang

(developer)

perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum
bangunannya jadi.
e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu
mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan itu tidak hanya
ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga diperuntukkan bagi orang
lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk mahkluk hidup lain ,
seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia
adalah bagian dari kepentingannya.
f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam
peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.
Menurut Az. Nasution, batasan mengenai konsumen adalah sebagai
berikut: 15
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa
digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain
atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c. Konsumen-akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk

diperdagangkan kembali (non komersial).

15

Az. Nasution, op.cit, hal.13.

Pengertian

perlindungan

konsumen

menurut

Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 adalah:
“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen.”
Dari pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Perlindungan Konsumen di atas, telah memberikan cukup
kejelasan bahwa pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap
konsumen sehingga dapat merugikan pihak konsumen.
Selain itu dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai perlindungan
konsumen, hal ini membuat posisi konsumen dan pelaku usaha seimbang dan
saling menghargai akan hak dan kewajibannya.
Menurut Az. Nasution, “hukum perlindungan konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan
penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen. Sedangkan
hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang dan/jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan
bermasyarakat”. 16
2.

Perkembangan Perlindungan Konsumen

Sebelum membahas mengenai masalah perlindungan kosumen, kita perlu

memahami mengenai sejarah gerakan perlindungan konsumen dari awal mula
adanya perlindungan konsumen hingga perkembangannya sampai saat ini.

16

Ibid

Dengan melihat sejarah ini, kita bisa mencermati bagaimana dengan
pergulatan sosial, ekonomi, dan politik pada saat itu mendesak masalah
perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.
Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun lalu di berbagai Negara dan sampai saat ini sudah puluhan Negara memiliki
undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada
konsumen

termasuk

penyediaan


sarana

peradilannya.

Sejalan

dengan

perkembangan itu, berbagai Negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen
yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di
samping itu, telah berdiri pula organisasi konsumen internasional, yaitu
International Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula
berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (selanjutnya disebut YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain do
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. 17
Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan
perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya
gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Ada tiga fase atau
gelombang gerakan perlindungan konsumen.

Gelombang pertamaterjadi pada tahun 1891. Pada tahun ini, di New York
terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia. Baru pada tahun 1898, di
tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The
National Concumer’s League). Organisasi ini kemudian semakin tumbuh pesat
17

Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang
Perlindungan Konsumen Dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Hukum
Perlidungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.12.

dan pada tahun 1903, telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20
negara. 18
Dalam perjalanannya, gerakan perlindungan konsumen ini bukannya tidak
mendapat hambatan dan rintangan. Untuk menghasilkan Undang-Undang The
Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act yang lahir pada tahun 1906
telah mengalami berbagai hambatan. 19
Perjuangannya dimulai pada tahun 1892, namun parlemen di sana gagal
menghasilkan Undang-Undang ini. Kemudian dicoba lagi pada tahun 1902 yang
mendapat dukungan bersama-sama oleh Liga Konsumen Nasional, The General
Federation of Women’s Club dan State Food and Dairy Chemist, namun ini juga
gagal. Akhirnya pada tahun 1906 lahirlah The Food anf Drugs Act dan The Meat
Inspection Act. 20
Selanjutnya disebut gelombang kedua, yaitu terjadi pada tahun 1914,
dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam
bidang perlindungan konsumen, yaitu apa yang disebut dengan FTC (Federal
Trade Comission), dengan The Federal Trade Comission Art, tahun 1914. 21
Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari pendidik.
Mulailah era penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen
yang disertai dengan riset-riset yang mendukungnya. Tragedi Elixir Sulfanilamide
pada tahun 1937 yang menyebabkan 93 konsumen di Amerika Serikat meninggal

18

Happy Susanto, op.cit., hal.6.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal. 13.
20
Ibid
21
Ibid, hal.13-14.

19

dunia telah mendorong terbentuknya The Food, Drug and Cosmetics Act, tahun
1938 yang merupakan amandemen dari The Food and Drugs Act, tahun 1906. 22
Era gelombang ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun
1960-an yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya
satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumer law). Pada tahun
1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumer
message ini dicantumkan formulasi pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang
terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer bill of rights). Presiden Jimmy
Carter juga dapat dikenang sebagai pendekar perlindungan konsumen karena
perhatian dan apresiasinya yang besar sekali.
Di negara-negara lain selain Amerika Serikat setelah era ketiga ini
terjadilah kebangkitan yang berarti bagi perlindungan konsumen. Inggris telah
memberlakukan Hops (Preventions of Frauds) Act dalam tahun 1866, The Sale of
Goods Act, tahun 1893, Fabrics (Misdescription) Act, tahun 1955, The Restictive
Trade Protection Act, tahun 1956. The Consumer Protect Act baru ada pada tahun
1961 dan diamendir pada tahun 1971. 23
Era ketiga ini menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk UndangUndang Perlindungan Konsumen. Beberapa Undang-undang Perlindungan
Konsumen negara lain adalah sebagai berikut : 24
a.

Australia: Consumer Affairs Act, tahun 1978,

b.

Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978,

c.

Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978, 25
22

Ibid
Ibid
24
Ibid, hal. 15.
23

Selain di dunia, perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia
memiliki sejarahnya sendiri.
Praktis sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal
istilah konsumen. Kendatipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen.
Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu
kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian
tentang hak-hak konsumen. 26
Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada
tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya
Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk
memperlancar barang-barang dalam negeri. 27
Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus
diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan
dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk
melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk
memikirkan sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan
mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.
Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara
dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian, DPR, dan tokoh-

25

Ibid
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2013, hal. 13.
27
Abdul Halim Barkatulah, op.cit., hal.16.
26

tokoh masyarakat lainnya. Puncaknya lahirlah YLKI dengan motto yang telah
menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen,
menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah. 28
Untuk mencapai tujuan tersebut, YLKI melakukan kegiatan di beberapa
bidang, yaitu: 29
1. Bidang pendidikan,
2. Bidang penelitian,
3. Bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan,
4. Bidang pengaduan,
5. Bidang umum dan keuangan.
Setelah itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar,
baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan
di media massa.
Sebagai

salah

satu

Lembaga

Perlindungan

Konsumen

Swadaya

Masyarakat (LPKSM), YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap
menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Pihak konsumen yang
menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya sebagai
konsumen bisa meminta bantuan YLKI untuk melakukan upaya pendampingan
dan pembelaan hukum. 30
YLKI pada awalnya hanyalah sekelompok kecil anggota masyarakat yang
pada mulanya bertujuan untuk mempromosikan hasil-hasil produksi dalam negeri.

28

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal.15-16.
Happy Susanto, op.cit, hal. 10.
30
Ibid
29

Ajang promosi ini dinamakan Pekan Swakarya. Dengan adanya ajang
promosi ini, menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan suatu tempat atau
wadah yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Yayasan ini sejak awal tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen
(pelaku usaha) apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan yakni dengan
menyelenggrakan Pekan Swakarya II dan Pekan Swakarya III yang benar-benar
dimanfaatkan produsen dalam negeri. 31
Sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dilakukan selama bertahuntahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
tidak memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkannya. Hal ini terbukti
pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen (RUUPK)
selalu ditunda. 32
Puncaknya adalah pada era reformasi yaitu pada masa pemerintahan
Presiden BJ Habibie tepatnya tanggal 20 April 1999 lahirnya Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selain adanya YLKI yang berperan sebagai lembaga perlindungan
konsumen di Indonesia, ada juga muncul beberapa organisasi serupa, antara lain
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang
berdiri sejak bulan Februari tahun 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai
anggota Consumers International (CI). Di luar itu, saat ini cukup banyak lembaga
swadaya masyarakat serupa berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen,
31

Cellina Tri Siwi Kristiyanti,op.cit., hal.15.
32
Happy Susanto, op.cit., hal.11.

seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan
perwakilan YLKI di berbagai provinsi di Tanah Air. 33
Jika dibandingkan dengan perjalanan panjang gerakan konsumen di luar
negeri khususnya di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak harus
memulai usaha untuk melindungi konsumen dari nol sama sekali. YLKI dapat
mempelajari bagaimana negara-negara maju yang lebih dahulu memiliki lembaga
perlindungan konsumen dalam menangani kasus-kasus yang merugikan
konsumen di negaranya. Hal ini dapat dijadikan pelajaran yang bermanfaat
sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sama. 34
Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang
atau jasa dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan YLKI ini
belum mempunyai kekuatan untuk memberlakukan atau mencabut suatu
peraturan. YLKI juga tidak sepenuhnya dapat mandiri. Hal ini tentu dikarenakan
YLKI sendiri bukan badan pemerintah dan tidak memiliki kekuasaan publik untuk
menerapkan suatu peraturan dan menjatuhkan sanksi. 35
Keberadaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk sebagai landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
pemberdayaan konsumen. Dan diharapkan juga undang-undang ini dapat
mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-haknya
selaku pihak konsumen.

33

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 2000,

hal.49.
34

Cellina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.15.
Shidarta, op.cit., hal.37.

35

Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat
merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya para pelaku usaha berlindung
dibalik suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu
antara pelaku usaha dan konsumen. Perjanjian ini disebut perjanjian baku. Ada
kalanya juga pelaku usaha berlindung dibalik informasi “semu” yang diberikan
kepada konsumen. Dikatakan informasi “semu” dikarenakan informasi yang
diberikan pelaku usaha kepada konsumen bersifat tidak nyata. Tidak nyata
maksudnya adalah bahwa informasi yang disampaikan tersebut tidak sesuai
dengan kenyataan.
Selain di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen, hukum konsumen banyak ditemukan di dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mulai efektif berlaku pada tanggal 20 April tahun 2000.
Sesuai isi Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini”.

Hal ini berarti untuk “membela” kepentingan konsumen, selain masih
harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku, juga

harus memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan masalah
konsumen.
Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan
untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaknya peraturan perundangundangan itu merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum
perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya
adalah :
a. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum konsumen terutama hukum perlindungan konsumen mendapatkan
landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, pada Pembukaan
Alinea ke-4 yang berbunyi : “... Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia ...” Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat
dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut
berbunyi : “Tiap warga berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, adalah merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang
dan juga merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh. Untuk
melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar 1945 melindungi segenap
bangsa,

dalam

hal

ini

khususnya

melindungi

konsumen,

Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejak tahun 1978 telah menetapkan berbagai
Ketetapan MPR. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat
tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atas adanya perlindungan

konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masingmasing

ketetapan.

Jika

pada

TAP-MPR

1978

digunakan

istilah

“menguntungkan” konsumen, TAP-MPR 1988 “menjamin” kepentingan
konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi” kepentingan
konsumen. Namun dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin, atau
melindungi kepentingan konsumen tersebut.
b. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksudkan adalah hukum perdata dalam arti luas,
termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang
termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemua itu
baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tampak lebih dominan berlakunya
dibandingkan dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum
tidak tertulis, dan putusan-putusan pengadilan negeri maupun pengadilanpengadilan luar negeri yang berkaitan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memuat berbagai kaidah hukum yang berkaitan dengan hubungan-hubungan
hukum dan masalah-masalah antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau
jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku
kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau jasa
tersebut. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, termuat
kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/atau termasuk dalam bidang

hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek
hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban
masing-masing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam
sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa
yang diatur dalam peraturan perundang-perundangan bersangkutan.
B.

Asas dan Tujuan Serta Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
Hal yang penting dalam terbentuknya suatu peraturan adalah asas. Asas

memiliki arti sebagai suatu dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau citacita.
Di dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, ada beberapa asas
dan tujuan dan juga prinsip-prinsip hukum yang dapat memberikan arahan dalam
implementasinya. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang kuat.

Asas Perlindungan Konsumen

1.

Adapun asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah :
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”
Penjabaran dari lima asas perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut : 36
a.

Asas Manfaat
36

hal. 160.

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Grasindo, 2007,

Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b.

Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c.

Asas Keseimbangan
Asas

ini

dimaksudkan

untuk

memberikan

keseimbangan

antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
d.

Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan

keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e.

Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum

dan

memperoleh

keadilan

dalam

penyelenggaraan

perlindungan

konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, jika diperhatikan
substansinya, maka dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu :
1.

Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;

2.

Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

3.

Asas kepastian hukum. 37

2.

Tujuan Perlindungan Konsumen
Selain asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah adanya

tujuan. Tujuan adalah cita-cita, sasaran yang ingin dicapai yang menjadi salah satu
alasan mengapa suatu peraturan itu perlu untuk dibuat.
Seperti halnya didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Kedudukan konsumen sebagai pihak yang lemah dan rentan terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha perlu mendapatkan suatu perlindungan dari
pemerintah dan negara.
Adapun tujuan dari perlindungan konsumen yang dimuat dalam Pasal 3
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. Mengangkat

harkat

dan

martabat

konsumen

dengan

cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut

hak-haknya

senagai

konsumen;Menciptakan

sistem

perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

37

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2000, hal.26.

d. Menumbuhkan

kesadaran

pelaku

usaha

mengenai

pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
e. Meningkatkan
kelangsungan

kualitas
usaha

barang

produksi

dan/atau
barang

jasa

yang

menjamin

dan/atau

jasa,

kesehatan,

kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

3.

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam
hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang
dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip
tersebut adalah : 38
A. Prinsip Let The Buyer Beware

Prinsip ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si
konsumen.Namun prinsip let the buyer beware ini ditentang oleh pendukung
gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Menurut prinsip ini, dalam
suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli.
Adalah

kesalahan

pembeli

(konsumen)

jika

ia

sampai

membeli

dan

mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak.
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kecenderungan
caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor
(pelaku usaha yang perlu berhati-hati).

38

Shidarta, op.cit., hal.50-65.

B. Prinsip The Due Care Theory

Prinsip The Due Care Theory ini menyatakan bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat
dipersalahkan. Untuk dapat mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang haruslah
dapat membuktikan bahwa si pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.
Dilihat dari pembagian beban pembuktian, penggugat (konsumen) harus
memberikan bukti-bukti. Sedangkan tergugat (pelaku usaha) cukup bersikap
menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, barulah tergugat membela
dirinya. Misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam
peristiwa itu sama sekali tidak ada kelalaian (negligence).
Dalam kenyataan, agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan buktibukti guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai
keunggulannya baik secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis relatif
mudah untuk berkelit dan menghindar dari gugatan-gugatan yang demikian.
Disinilah letaknya kelemahan dari prinsip ini.
C.

Prinsip The Privity of Contract

Dalam prinsip ini pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi
konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin
suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal
diluar yang diperjanjikan. Konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi
(contractual liability).

Dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang bersifat masif,
seperti perjanjian standar, hanya hal-hal yang dianggap kesalahan prinsipiil yang
diperjanjikan. Kesalahan-kesalahan “kecil” menurut versi pelaku usaha, biasanya
tidak disinggung secara khusus dalam perjanjian itu. Akibatnya, jika konsumen
menuntut pelaku usaha atas kesalahan-kesalahan “kecil” itu, maka pelaku usaha
akan berdalih bahwa kesalahan tersebut tidak tercakup dalam perjanjian.
D. Prinsip Kontrak Bukan Syarat

Seiring dengan semakin kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the
privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan lagi secara mutlak untuk
mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Jadi, kontrak bukan
lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Sekalipun demikian ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak
bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya,
kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa.
E. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut :
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liabilty
atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku
dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini
dipegang secara teguh.

Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya

secara

hukum

jika

ada

unsur kesalahan

yang

dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu :
a.

Adanya perbuatan;

b.

Adanya unsur kesalahan;

c.

Adanya kerugian yang diderita;

d.

Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.

Pengertian “hukum” , tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi
juga bertentangan dengan kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena
adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak
korban.
Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus
mengganti kerugian yang diderita orang lain.
Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan
Pasal

163

Herziene

Indonesische

Reglement

(HIR)

atau

Pasal

283

Rechtsreglement Buitengewesten (RBG) dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata. Dikatakan barangsiapa yang mengaku mempunyai suatu hak,
harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio).
1.

Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.
Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah
seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan
sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas demikian cukup
relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan
kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus
menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen
tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia
gagal menunjukkan kesalahan si tegugat.
2.

Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung

jawab (presumption of liabilty principle). Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab (presumption of nonliability principle) hanya dikenal dalam

lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian
biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan.
Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya
dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari
penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya.
Meskipun demikian, dalam Pasal 44 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, dijelaskan bahwa bagasi kabin/bagasi
tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti kesalahan
pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk
membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang (konsumen).
3.

Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).
Prinsip strict liability ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualianpengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,
misalnya keadaaan force majeure. Sebaliknya prinsip absolute liability adalah
prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut R.C. Hoeber prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan
karena:
1) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan
adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang
kompleks,
2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu
ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau
menambah komponen biaya tertenti pada harga produknya,
3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen
secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen
barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung
jawab itu dikenal dengan nama product liability.
Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product
liability dapar dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu :
a.

Melanggar jaminan (brench of warranty), misalnya khasiat yang timbul
tidak sesuai dengan janji yant tertera dalam kemasan produk,

b.

Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar
pembuatan obat yang baik, dan

c.

Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict ability).

4. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam
perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang jelas.
C.

Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen Sebagai Pelaku Usaha
Sebagai pengguna barang dan/atau jasa, konsumen memiliki hak dan

kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen itu sangat penting. Hal ini
tujuannya adalah jika suatu saat nanti ada perlakuan dari pelaku usaha yang tidak
adil baginya, maka konsumen dapat segera menyadari akan hal tersebut. Dengan
demikian tidak ada hak-hak dari konsumen yang dirugikan.
Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan dan atau kepentingan yang
diberikan dan dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum. Maka dapat
diartikan bahwa hak itu adalah sesuatu yang layak atau patut diterima.
Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah
kepentingan umum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah
tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakekatnya

mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam
melaksanakannya. 39
Secara tradisional dikenal dua macam pembedaan hak, yaitu hak yang
dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia dan hak yang ada pada
manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang. 40
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, mengatur hak-hak konsumen sebagai berikut :
a. hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
39

Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1986,

hal.40.
40

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta, 1990, hal. 94-95.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak
dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut
pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS),
pada tanggal 15 Maret 1962 melalui “A special Message for the Protection of
Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak
Konsumen” (Declaration of Consumer Right).
Deklarasi ini menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer
basics rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut : 41
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk memilih (the right to choose);
4. Hak untuk didengarkan (the right to be heard).
Empat dasar hak ini diakui secara internasional. Organisasi-organisasi
konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer
Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan
pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
41

Happy Susanto, op.cit., hal.24.

Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak
tersebut. Di Indonesia, YLKI memutuskan hanya untuk menambah satu hak
sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat.
Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena
Undang-Undang ini secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan.
Di samping hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat
negatif persaingan curang. Hal ini berdasarkan dari pertimbangan, kegiatan bisnis
yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum
dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). Hal ini
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Maka demikian jika semua hak-hak konsumen yang diterapkan di
Indonesia tersebut disusun kembali, maka susunannya adalah sebagai berikut : 42
1) Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan
jika dikonsumsi atau digunakan sehingga konsumen tidak dirugikan baik
42

Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.32-40.

secara jasmani dan rohani. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan
dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum
yang memenuhi syarat yang ditetapkan.
2) Hak untuk Memilih
Dalam mengonsumsi suatu produk konsumen berhak menentukan pilihannya.
Konsumen tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga tidak lagi
bebas untuk membeli atau tidak membeli. Jika jadi membeli, maka konsumen
bebas untuk menentukan produk mana yang akan dibeli.
3)

Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai dengan

informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai keliru
atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan
berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media,
atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).
Menurut Troelstrup, “pada saat ini konsumen membutuhkan banyak
informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun
lalu. Alasannya, saat ini : (1) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah
(false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang
jelas, dan (2) daya beli konsumen semakin meningkat, (3) lebih banyak
variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui
semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan
transportasi dan komunikasi sehinga membuka akses yang lebih besar
kepada bermacam-macam produsen atau penjual”. 43
4) Hak untuk Didengar

43

Shidarta, op.cit., hal.20.

Hak untuk didengar ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan
informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan
atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Dalam hal ini
konsumen berhak untuk mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia menyebutkan jika diminta
oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan
harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu.
Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang
Penyiaran dinyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran dan/atau
berita jika diketahui terdapat kekeliruan atau terjadi sanggahan atas isi siaran
dan/atau berita. Penyanggah berita itu mungkin adalah konsumen dari produk
tertentu. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya
kurang dari 24 jam atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang
sama, dan dalam bentuk serta cara yang sama dengan penyampaian isi siaran
dan/atau berita yang disanggah. Ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran ini
jelas menunjukkan hak untuk didengar, yang dalam doktrin hukum dapat
diidentikkan dengan hak untuk membela diri.
5) Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi
daripada hak pelaku usaha untuk membuat eksonerasi secara sepihak. Jika
permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang
layak dari pihak yang terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen

berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Konsumen berhak
menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan
karena mengkonsumsi produk itu.
Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak harus menempuh
upaya hukum terlebih dahulu. Namun sebaliknya, setiap upaya hukum pada
hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian dari salah satu pihak.
6) Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.
Wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya.
Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen ini tidak harus diartikan
sebagai proses formal yang dilembagakan. Bentuk informasi yang lebih
komprehensif dengan tidak semata-mata menunjukkan menonjolkan unsur
komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
7) Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai Dengan Nilai
Tukar yang Diberikan
Hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak
wajar. Kuantitas dan kualitas suatu barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus
sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun pelaku usaha
dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi
korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave
it. Akibat dari tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan

konsumen, maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya-biaya tertentu
yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik ini dikenal dengan istilah
externalities.
8) Hak untuk mendapatkan Ganti Kerugian
Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang
dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, konsumen
berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau sesuai dengan kesepakatan
bersama.
9) Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang
diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi
konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas,
dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya.
Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkunga non
fisik.
Menurut Heindrad Steiger, “setiap pemilik hak dapat mengajukan tuntutan
agar kepentingannya terhadap lingkungan yang baik dan sehat dapat
terpenuhi. Tuntutan tersebut memiliki dua fungsi yang berbeda. Pertama,
the function of defense (Abwehrfunktion), yakni hak bagi individu untuk
mempertahankan diri dari pengaruh lingkungan yang merugikannya.
Kedua, the function of performance (Leistungs-funktion), yakni hak
individu untuk menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya
dipulihkan atau diperbaiki”. 44

44

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press
1994, Yogyakarta, hal.119.

10) Hak untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang
pengusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan
usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan menggunakan
alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam
pergaulan perekonomian.
Walau persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari
persaingan itu dirasakn oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen
memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang, konsumen pula
yang dirugikan.
Namun sebagai konsumen, kita juga memiliki beberapa kewajiban yang
harus diperhatikan atau dilaksanakan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25