Ikhtisar Politik Hukum Pelayanan Publik

IKHTISAR POLITIK HUKUM PELAYANAN PUBLIK
DALAM UU NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Oleh: Amir Mahmud, Alumni UIB
I.

PENDAHULUAN
Guna memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum, makalah ini berusaha

menjelaskan apa dan bagaimana politik hukum dalam bidang pelayanan publik di
tanah air. Sebagai salah satu bidang kajian Ilmu Hukum maka politik hukum telah
berkembang demikian rupa dan terus dimajukan oleh para ahli hukum. Oleh sebab
itu sejauh dalam kaitannya sebagai bagian dari ilmu hukum maka makalah ini
tidak akan memadai memberikan uraian. Terlebih lagi penulis masih dalam tahap
pemula mempelajari Ilmu Politik Hukum.
Makalah ini hanyalah ikhtisar, yaitu suatu uraian ringkas tentang politik
hukum, pelayanan publik, dan politik hukum dalam bidang pelayanan publik
dalam kerangka law in the book yang masing-masing disusun dalam bagian
tersendiri. Bidang pelayanan publik sengaja dipilih mengingat keawaman penulis
dalam kajian politik hukum sehingga lebih tepat memilih bidang yang sehari-hari
penulis bergelut di dalamnya terkait dengan pekerjaan di institusi Ombudsman
Republik Indonesia, Lembaga Negara yang mengawasi penyelenggaran pelayanan

publik.
II.

POLITIK HUKUM
A. Pengertian Politik Hukum
Secara etimologis Politik Hukum adalah gabungan dari kata
“Politik” dan “Hukum” dan menurut penjelasan Profesor Abdul Latief

1

adalah terjemahan dari rechtpolitiek dalam bahasa Belanda. “recht”
berarti hukum dan politiek bermakna politik.
Terminologi Politik Hukum dapat diketahui dari penjelasan para
ahli yang sebagiannya dijelaskan berikut ini.
a) Menurut Mahfud MD Politik Hukum adalah “legal policy” atau
garis kebijakan (resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan
baik dalam pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Pilihan hukum
yang akan diberlakukan sekaligus pilihan hukum yang akan dicabut
atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara seperti yang

tercantum dalam UUD 1945.1
b) Soedarto

sebagaimana

dijelaskan

oleh

Mahfud

MD,

mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan negara melalui
badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan
untuk mengekspressikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.2
c) Padmo

Wahyono


menerangkan

Politik

Hukum

merupakan

kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi

1

Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, dalam
http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_22.pdf .
2
Ibid.

2


(substansi) hukum yang akan dibentuk, serta bagaimana penerapan
dan penegakannya.3
Dalam artikelnya di Majalah Forum Keadilan, sebagaimana dikutip
oleh Sufiarna, SH., MH., Padmo Wihono memperjelas pendapatnya
tentang Politik Hukum sebagai kebijakan penyelengara negara
tentang apa yang dijadikan kriteria menghukum sesuatu. Kebijakan
tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan
hukum dan penegakannya sendiri.4
d) Satjipto Rahardjo menjelaskan politik hukum sebagai aktivitas
memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu
tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Kajian Politik
hukum, menurut Satjipto menjawab sejumlah pertanyaan mendasar
mengenai tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada,
cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk dipakai
dalarn mencapai tujuan yang hendak dicapai itu, kapan dan melalui
cara bagaimana hukum perlu diubah, dan dapatkah dirumuskan
suatu pola yang baku dan mapan yang efektif membantu
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut dengan baik.5
Dari penjelasan para ahli hukum tersebut tampak bahwa Politik

Hukum umumnya dipahami sebagai kebijakan tentang hukum yang
3

Sufiarina, SH., MH. “Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia” Makalah dalam
http://supremasihukumusahid.org/attachments/article/124/[Full] Politik Hukum EkonomiSyariah
Di Indonesia - Sufiarina, SH, MH.pdf
4
Ibid
5
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, op.cit

3

ditetapkan oleh Negara melalui badan-badan resmi mengenai arah,
substansi, dan bentuk daripada pembuatan hukum termasuk cara
bagaimana diterapkan dan ditegakkan, dan pencabutan hukum tertentu
baik sebagian maupun seluruhnya guna mencapai tujuan negara.
Sebagai kebjikan tentang hukum, maka Politik Hukum merupakan
alat yang secara khusus disusun dan diterapkan untuk mencapai tujuan
negara (Staatsidea) serta cita hukum (Rechtidea) yang terkandung di

dalamnya. Tanpa adanya Politik Hukum maka apa yang menjadi
tujuan negara dan cita hukumnya tidak akan dapat terwujud. Disinilah
letak pentingnya Politik Hukum bukan semata untuk dijadikan sebagai
bagian dari kajian Ilmu Hukum tetapi secara mendasar untuk benarbenar ditetapkan dan diterapkan.
B. Ruang Lingkup
Bertitik tolak dari berbagai penjelasan para ahli hukum yang
disebutkan di muka dan berbagai literatur yang ada, maka Politik
Hukum yang dibahas dalam ikhtisar ini adalah kebijakan hukum yang
bersifat mendasar dan tetap adanya karena telah merupakan konsensus
nasional untuk tidak diubah dan kebijakan hukum yang tidak tetap
dalam arti sesuai kebutuhan dan perkembangan sosial dapat diubah
atau disesuaikan sehingga hukum yang berlaku (ius constitutum)
merefleksikan hukum yang seharusnya ada atau hukum yang citacitakan (ius constituendum) terutama sekali semua yang digariskan
oleh konstitusi.

4

Kebijakan hukum yang bersifat mendasar dan tetap adalah kaedah
dan norma hukum yang digariskan dalam UUD 1945 baik dalam
bagian tertentu dari Mukaddimah maupun pasal-pasalnya sama ada

dalam bentuk tegas secara harfiah ataupun yang hanya dapat dipahami
melihat daripada substansi dan konteksnya. Dalam Alinea ke satu
Mukaddimah UUD 1945, frasa “penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan” adalah bagian dari lingkup politik hukum nasional yang
sangat fundamental. Ini menegaskan kewajiban Negara untuk aktif
membentuk peraturan perundang-undangan yang menjamin hapusnya
penjajahan di dunia baik oleh individu terhadap individu lainnya, oleh
pemerintah terhadap rakatnya, oleh suatu golongan terhadap golongan
lainnya, ataupun oleh suatu negara terhadap negara lainnya.
Bentuk susunan negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan
Pancasila juga merupakan Politik Hukum mendasar dan tetap. Dengan
demikian dalam rangka mencapai staatsidea yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan

ikut

melaksanakan


ketertiban

dunia

yang

berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka seluruh
arah, bentuk, dan cara menerapkan dan menegakkan hukum mutlak
merefleksikan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila.
Pasal 1 dan pasal 24 UUD 1945 menegaskan bentuk Negara
Kesatuan baik dalam arti politik (kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

5

legislatif) maupun dalam arti hukum (kekuasaan legislatif). Substansi
dan konteks kedua pasal ini menggariskan lingkup politik hukum
mendasar dan tetap akan kesatuan wilayah politik dan wilayah hukum
di seluruh wilayah Republik Indonesia dan jaminan kepastian hukum

dengan mengindahkan kedaulatan rakyat.
Kebijakan hukum yang tidak tetap

meliputi kebijakan yang

terumuskan dalam Tap MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati/Walikota, dan lainnya yang pada umumnya tidak terlepas dari
kebijakan hukum mendasar dan tetap. Sepanjang usia negara ini
kebijakan hukum yang tidak tetap terus-menerus dibuat guna
mencapai staatsidea dan rechtidea sebab melaluinyalah semuanya
diwujudkan dan prinsip negara hukum (rechstaat) dan rule of law
dapat dijalankan. Bidang Pelayanan Publik yang menjadi fokus
makalah ini merupakan salah satu bentuk dari politik hukum yang
ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan yang demikian
lengkap menuju pencapain staats idea dan rechtidea).
Politik hukum dalam arti kebijakan hukum yang tidak tetap
seringkali berhubungan dengan kekuasaan yang dominan atau rezim
di negara ini. Amandemen UUD 1945, perubahan demi perubahan
serta penghapusan yang dialami Undang-Undang, serta munculnya

berbagai bentuk kekuasaan baru menurut Mahfud MD menunjukkan
adanya hubungan yang kuat antara politik dan hukum, yang sudah

6

barang tertentu termasuk berimplikasi terhadap hubungan politik
dengan politik hukum. “Jika Politiknya demokratis maka hukumnya
akan responsif, sebaliknya jika politiknya otoriter maka hukumnya
akan ortodoks”, demikian Mahfud MD menyatakan.
III. PELAYANAN PUBLIK DALAM UU PELAYANAN PUBLIK
A. Pengertian dan Hakekat Pelayanan Publik
Istilah Pelayanan Publik masih sangat baru di Indonesia. Yang
umum dan baku dalam berbagai peraturan dan penuturan kita adalah
pelayanan umum. Menjadi sangat penting pada bagian ini terlebih dahulu
menguraikan apa pengertian dan hakekat daripada Pelayanan Publik.
Dalam UU Istilah ini untuk pertama kali muncul dalam Pasal 1 angka 1
UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU
Ombudsman) yang berbunyi:
“Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan
mengawasi

penyelenggaraan
pelayanan
publik
baik
yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk
yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah”.
Apakah yang dimaksud dengan Pelayanan Publik tidak lagi
dijelaskan baik dalam Pasal berikutnya maupun pada bagian penjelasan
UU Ombudsman.
Untuk pertama kalinya pengertian istilah Pelayanan Publik muncul
dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 1
angka 1 UU ini mendefenisikannya sebagai sebagai “kegiatan atau
7

rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Dengan defenisi tersebut maka ada beberapa unsur yang menjadi
rukun dari apa yang dimaksud UU dengan Pelayanan Publik, yaitu:
1. kegiatan atau rangkaian kegiatan pemenuhan kebutuhan pelayanan
atas barang, jasa, dan /atau pelayanan administratif;
2. dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan;
3. penyelenggara pelayanan
4. penerima pelayanan dari warga negara atau penduduk
Sesuai ketentuan Pasal UU Pelayanan Publik dan Pasal 1 angka 1
UU Ombudsman, maka penyelenggara pelayanan publik yang dimaksud
adalah institusi penyelenggara negara dan pemerintahan, Badan Usaha
Milik Negara/Daerah, Badan Hukum Milik Negara/Daerah atau nama
lain seperti Badan Layanan Umum, badan swasta dan perseorangan yang
mendapat tugas melaksanakan misi tertentu dari negara atau badan
swasta yang kegiatannya berkaitan dengan pelayanan menurut prinsip
dan cara yang diatur dalam peraturan perundangan karena menjadi
bagian dari misi negara.
B. Hakekat Pelayanan Publik
Pada dasarnya hakekat Pelayanan Publik dapat dijelaskan dari
berbagai segi teologis, sosiologis, dan yuridis konstitutional. Segi

8

Teologis Pelayanan Publik terlihat jelas dari kewajiban asasi manusia
menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Penyembahan diwujudkan dalam
pemenuhan perintah dan larangan-Nya serta dalam perbuatan yang baik
kepada sesama manusia dan kepada segenap makhluk-Nya.
Berbuat baik kepada sesama manusia tidak selalu dalam arti
menolong dan pemenuhan kebutuhan secara sukarela tetapi juga dalam
hubungan perdata dan hubungan kenegaraan yang wajib dilakukan oleh
sebab adanya hubungan itu. Alqur’an menjelaskan kewajiban berbaik
kepada sesama didasarkan kepada kebaikan yang senantiasa Allah
berikan manusia. “Berbuat baiklah sebagaimana Allah senantiasa
memberi kebaikan kepadamu”, demikian Alqur’an Surat Al Qashash ayat
77.
Antara lain dari perbuatan yang baik yang sangat ditekankan
Alqur’an dan Hadits terkait pelayanan publik adalah detil yang di zaman
kita disebut sebagai perwujudan good governance seperti adil (imparsial
dan proporsional)6, amanah (integitas)7, makruf (baik dan patut)8, ahliyah
(kompeten)9, ikhlas (tidak meminta imbalan dan menolak gratifikasi)10,
dan yusrun (sederhana)11. Detil tersebut menurut Alqur’an adalah bentuk
dari hubungan baik dengan manusia (hablun min annas) yang memiliki

6

Alqur’an Surat Al Maidah ayat 8
Alqur’an Surat An Nisa ayat 58
8
Alqur’an Surat Al A’raf 199
9
Hadits Riwayat Bukhari dari Abi Khurairah tentang kehancuran suatu urusan apabila diserahkan
kepada yang bukan ahlinya
10
Alqur’an Surat Al Bayyinah ayat 5
11
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang anjuran Muhammad Rasulullah
agar mempermudah urusan manusia dan gemar menyebarkan berita yang menggemberikan
7

9

andil menyelamatkan dari kehinaan12, wujud dari kodrat manusia hanya
menyembah Allah13, yang dilaksanakan secara optimal (ihsan)14.
Segi sosiologis dari hakekat Pelayanan Publik berhubungan dengan

adanya hubungan saling bergantung di antara manusia agar kebutuhan
setiap orang dan semua kelompok dapat terpenuhi. Karena manusia
memiliki dimensi ruhani dan jasadi, maka kehidupan saling tergantung
dan saling membutuhkan di antara manusia meliputi pemenuhan
keduanya.
Dalam

memenuhi

kebutuhan

ruhani

dan

jasadi,

manusia

melaksanakan hubungan pertukaran. Kebutuhan jasadi dipenuhi melalui
pertukaran kebendaan (materil) dan kebutuhan ruhani dipenuhi dengan
pertukaran atau hubungan bukan kebendaan (immateril) seperti emosi
dan spritual. Dalam pengertian harfiah, dua macam pertukaran atau
hubungan tersebut itu tepat disebut sebagai hubungan saling melayani di
antara manusia. Bahwa hubungan saling melayani bermula dari saling
ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan ruhani dan jasadi manusia,
maka dapatlah dipastikan secara sosiologis umat manusia selalu saling
melayani.
Makna saling melayani adalah bahwa manusia satu sama lain
senantiasa melayani dan dilayani. Melayani artinya memberikan
pelayanan, dilayani maknanya menerima pelayanan. Dalam konteks

12

Alqur’an Surat Ali Imran ayat 112
Alqur’an Surat Adz Dzariyat ayat 56
14
Alqur’an Surat An Nahl ayat 90 dan Hadits Riwayat Muslim dari Umar bin Khattab tentang
pertanyaan Malaikat Jibril kepada Muhammad Rasulullah tentang Ihsan.
13

10

kebendaan, saling melayani cenderung untuk sama-sama memenuhi
kebutuhan kebendaan misalnya kebutuhan pangan, sandang, dan papan
sama ada yang bersifat pokok (primer), maupun bersifat pelengkap
(sekunder) dan penyempurna (tersier). Tetapi dalam konteks non
kebendaaan, saling melayani di antara manusia semata-mata guna
memenuhi kebutuhan kecenderungan emosional dan spritual (fitrah)
manusia untuk melayani dan dilayani.
Setiap orang tua secara fitrah butuh mencurahkan kasih sayang dan
perhatian kepada anak-anaknya. Sepasang kekasih, masing-masing
merasa bahagia pada saat memberi dan saat menerima untaian kasih dan
perhatian dari cintanya. Setiap pemimpin merasa nikmat dan aktual
manakala mampu membimbing dan memajukan kehidupan di lingkungan
rakyat dan negaranya dan pada saat yang sama menerima pengakuan dan
sanjungan dari rakyat di bawah pimpinannya. Di hati setiap pekerja
(pegawai, buruh, aparat, dll) ada kepuasan menyelesaikan tugasnya
dengan baik dan ada harga diri dan kemewahan dalam setiap pujian dan
penghargaan dari atasan atau institusi atas baktinya dalam pekerjaan.
Segi yuridis konstitutional Pelayanan Publik demikian jelas dalam
alinea keempat Mukaddimah UUD 1945 yang utuh dikutip di bawah ini:
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

11

dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Pemaknaannya adalah bahwa frasa “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” yang merupakan
bagian dari staatsidea adalah hakekat dari Pelayanan Publik di Indonesia.
Ini menegaskan kewajiban konsitutional penyelenggara negara dan
pemerintahan menyelengarakan Pelayanan Publik yang bersendikan
kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagian Umum dari Penjelasan UU Pelayanan Publik menegaskan
bahwa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 adalah amanat yang “mengandung
makna negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara
melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya
penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik,
jasa publik, dan pelayanan administratif.
Apabila dicermati kandungan Pasal-pasal dari UUD 1945 maka
terlihat jelas bagaimana Pasal 27, 28, 29, 31, 33, dan 34 telah

12

memberikan detil bentuk dari hakekat yuridis konstitusional Pelayanan
Publik

yang

wajib

diselenggarakan

penyelenggara

negara

dan

pemerintahan.
C. Maksud dan Tujuan UU Pelayanan Publik
Diundangkannya UU Pelayanan Publik menurut pasal 2 Undangundang ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam
hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalarn pelayanan publik.
Adapun tujuannya sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 adalah untuk
mewujudkan batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung
jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik, mewujudkan sistem penyelenggaraan
pelayanan

publik

pemerintahan

dan

yang

layak

korporasi

sesuai

dengan

yang

baik,

asas-asas
dan

umum

terpenuhinya

penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundangundangan, serta terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Menurut Bagian Umum Penjelasannya, UU Pelayanan Publik
diharapkan dapat memberi kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan
publik, antara lain meliputi:
a. pengertian dan batasan penyelenggaraan pelayanan publik;
b. asas, tujuan, dan ruang lingkup penyelenggaraan pelayanan publik;
c. pembinaan dan penataan pelayanan publik;

13

d. hak, kewajiban, dan larangan bagi seluruh pihak yang terkait dalam
penyelenggaraan pelayanan publik;
e. aspek penyelenggaraan pelayanan publik yang meliputi standar
pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, sarana dan
prasarana, biaya/ tarif pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan
penilaian kinerja;
f. peran serta masyarakat;
g. penyelesaian pengaduan dalarn penyelenggaraan pelayanan; dan
h. sanksi
D. Asas-asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Pasal 4 menentukan 12 Asas penyelenggaraan Pelayanan Publik
yang meliputi asas kepentingan umum; kepastian hukum; kesamaan hak;
keseimbangan

hak

dan

kewajiban;

keprofesionalan;

partisipatif;

persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; keterbukaan; akuntabilitas;
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; ketepatan waktu;
dan, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Asas-asas tersebut memandu detil pengaturan Pelayanan Publik
terutama dalam hal ketentuan tentang hak dan kewajiban, larangan dan
sanksi, serta hubungan di antara semua struktur yang berperan di
dalamnya. Pelibatan dan responsifitas terhadap partisipasi masyarakat,
pelayanan khusus kepada kelompok rentan, pengawasan dan penegakan,
dan adanya institusi khusus dalam perumusan kebijakan nasional di

14

bidang Pelayanan Publik juga terlihat jelas menggambarkan detil yang
bertitik tolak pada asas-asas Pelayanan Publik.
E. Ruang Lingkup Pelayanan Publik
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 ayat (1) UU
Pelayanan Publik, ruang lingkup Pelayanan Publik meliputi pelayanan
barang, pelayanan jasa, dan pelayanan administratif dalam pendidikan,
pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan
informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi,
perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor
strategis lainnya.
F. Struktur Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik ada 4 struktur yang
terlibat di dalamnya, yaitu Perumus kebijakan, Penyelenggara Pelayanan,
Penerima layanan, dan Pengawas pelayanan. Masing-masing dari struktur
tersebut memiliki kedudukan dan tanggungjawab yang apabila tidak
dilaksanakan secara optimal akan menyebabkan tidak terlaksananya
Pelayanan Publik sebagaimana diharapkan oleh perturan perundangundangan.
Menteri yang membidangi pembinaan aparatur negara adalah
institusi yang bertanggungjawab dalam perumusan kebijakan nasional di
bidang Pelayanan Publik. Bentuk dari tanggungjawab ini dilaksanakan
melalui penetapan kebijakan dalam bentuk Peraturan Menteri antara lain
mengenai

bagaimana

Penyelengara

Pelayanan

menyusun,

15

mengorganisasikan, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban

yang

ditentukan peraturan perundang-undangan di bidang Pelayanan Publik
terutama UU Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaannya sebagaimana terlihat dalam Permen PAN-RB Nomor 36
Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan, bagaimana bentuk dan teknis penilaian implementasi UU
Pelayanan Publik terhadap Penyelenggara seperti Permen PAN-RB
Nomor 38 Tahun 2012 tentang Penilaian Organisasi Penyelengara
Pelayanan Publik dan Permen PAN-RB Nomor 66 Tahun 2012 tentang
Penilaian Pembina Pelayanan Publik, dan bagaimana bentuk dan teknis
pemberian penghargaan dan sanksi (reward and punishment) terhadap
Penyelenggara dalam penyelenggaran Pelayanan Publik.
Penyelenggara Pelayanan Publik terdiri dari Pembina Pelayananan,
Penanggungjawab Pelayanan, Organisasi Penyelenggara, dan Pelaksana
Pelayanan. Untuk instansi pemerintah, Pembina Pelayanan adalah
Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota di lingkungan pemerintahan
masing-masing, Pembinaan Pelayanan di lingkungan kementerian dan
lembaga adalah pimpinan tertinggi (Menteri/Kepala/Ketua) masingmasing. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) misalnya
adalah Pembinan Pelayanan di lingkungan Kepolisian Republik
Indonesia, di lingkungan Mahkamah Agung maka Ketua Mahkamah
Agung adalah Pembina Pelayanan di seluruh lingkungan kekuasaan
kehakiman di seluruh Indonesia.

16

Pimpinan Kesekretariatan ditentukan sebagai Penanggungjawab
Pelayanan. Dengan demikian maka Menteri Sekretaris Negara adalah
Penangungjawab Pelayanan Publik di seluruh Indonesia. Di lingkungan
pemerintah
Sekretaris

daerah
Daerah.

posisi

Penanggungjawab

Pada

disematkan

Kementerian/Lembaga

kepada
struktur

Penanggungjawab ada pada Sekretarias Djenderal, Sekretaris Umum,
atau nama lain yang sama substansinya.
Organisasi Penyelenggara adalah satuan atau unit kerja yang
melaksanakan kegiatan Pelayanan Publik. Di lingkungan Pemerintah
Daerah misalnya ini umum dikenal sebagai Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terdiri dari Dinas, Badan, Kantor, Unit Pelaksanan Teknis,
dan BLUD. Di lingkungan Badan Usaha seperti Perbankan, Organisasi
Penyelenggara antara lain adalah unit atau bagian pelayanan yang terkait
langsung dengan Nasabah baik Nasabah Kreditur maupun Nasabah
Debitur. Di lingkungan dunia pendidikan, Organisasi Penyelenggara
dapat berbentuk Taman Kanak-Kanak, Sekolah, dan Perguruan Tinggi.
Pelaksana Pelayanan adalah pejabat, pegawai, dan setiap orang
yang bekerja pada Organisasi Penyelenggara Pelayanan Publik. Dengan
demikian maka mulai dari Direktur Jenderal, Kepala Dinas, Kepala
Bagian, Kasi Pelayanan, Pegawai fungsional, Teler, Satuan Pengamanan,
hingga tenaga honorer adalah Pelaksana Pelayanan Publik.
Penerima Layanan adalah setiap warga negara dan penduduk yang
menggunakan jasa pelayanan yang disediakan oleh Penyelenggara

17

Pelayanan. Warga negara dalam kaitan ini selain orang perseorangan,
juga meliputi badan hukum dan kelompok. Sebagaimana akan diuraikan
kemudian, penerima layanan memiliki hak dan dikenai kewajiban dalam
Pelayanan Publik.
Pengawasan Pelayanan Publik dilakukan oleh Pengawas Internal
dan Pengawas Eksternal. Pengawas Internal terdiri dari atasan langsung
Pelaksana Pelayanan dan Pengawas Fungsional seperti Inspektorat.
Adapun Pengawas Eksternal adalah masyarakat pengguna layanan yang
meliputi warga negara dan penduduk baik sebagai orang perseorangan
maupun sebagai kelompok atau badan hukum, Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Ombudsman RI. Pengawasan
oleh Ombudsman RI selain diatur dalam UU Pelayanan Publik, secara
khusus diatur rinci dalam UU Ombudsman RI
Struktur Penyelenggaran Pelayanan Publik yang dikemukakan di
atas dapat digambarkan dalam Tabel berikut:
Penyelenggara
Pelayanan
• Pembina
• Penanggung
jawab
• Organisasi
Penyelenggara
• Pelaksana

Penerima
Pengawas
Layanan
Pelayanan
Masyarakat
• Internal
(Warga negara
atasan
dan Penduduk)
langsung, dan
pengawas
fungsional
(inspektorat)
• Eksternal
masyarakat,
Ombudsman
RI, dan
DPR/DPRD)

Men PAN RB
Perumus
Kebijakan
Nasional
Memfasilitasi
Penyelesaian
Evaluasi
Penghargaan

18

G. Hak dan Kewajiban Serta Larangan Dalam Pelayanan Publik
1. Hak dan Kewajiban Serta Larangan Bagi Penyelenggara
Ditentukan dalam Pasal 14, Penyelenggara memiliki hak guna
menjamin terlaksannya penyelenggaran Pelayanan Publik, yaitu:
a. memberikan pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan
tugasnya;
b. melakukan kerja sama;
c. mempunyai anggaran pembiayaan penyelenggaraan pelayananan
publik;
d. melakukan pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak
sesuai dengan kenyataan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
dan
e. menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Sejalan dengan hak tersebut, Penyelenggara dibebani kewajiban yang
tersebar dalam pasal 11, 15, 23, 25, dan 29 untuk :
a. melakukan penyeleksian dan promosi pelaksana secara transparan,
tidak diskriminatif, dan adil sesuai dengan peraturan perundangundangan.
b. memberikan penghargaan kepada pelaksana yang memiliki prestasi
kerja.
c. memberikan hukuman kepada pelaksana yang melakukan pelanggaran
ketentuan internal penyelenggara.

19

d. menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
e. menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
f. menernpatkan pelaksana yang kompeten;
g. menyediakan sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik
yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai;
h. memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik;
i. melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;
j. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
k. memberikan

pertanggungjawaban

terhadap

pelayanan

yang

diselenggarakan;
l. membantu masyarakat dalam memaharni hak dan tanggung jawabnya;
m. bertanggung jawab dalarn pengelolaan organisasi penyelenggara
pelayanan publik;
n. memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku
apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas
posisi atau jabatan; dan
o. memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat
yang berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang
berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundangundangan;

20

p. mengelola sistem informasi yang terdiri atas sistem informasi
elektronik atau nonelektronik dan menyediakannya secara terbuka
untuk masyarakat
q. mengelola sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas pelayanan publik
secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan
serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan/ atau penggantian
sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik.
r. memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota
masyarakat tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Larangan terhadap Penyelenggara demikian rupa ditentukan dalam
pasal 26, 27, dan 33 agar tidak :
a. memberikan izin dan/atau membiarkan pihak lain menggunakan
sarana,

prasarana,

dan/atau

fasilitas

pelayanan

publik

yang

mengakibatkan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik
tidak berfungsi atau tidak sesuai dengan peruntukannya.
b. memindahtangankan saham bagi Penyelanggara yang berbentuk
BUMN/BUMD dalam keadaan apa pun, baik langsung maupun tidak
langsung

melalui

penjualan,

penjaminan

atau

hal-hal

yang

mengakibatkan beralihnya kekuasaan menjalankan korporasi atau
hilangnya hak-hak yang menjadi milik korporasi sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
c. membiayai kegiatan lain dengan menggunakan alokasi anggaran yang
diperuntukkan bagi pelayanan publik.

21

2. Kewajiban dan Larangan Bagi Pelaksana
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 16, Pelaksana dibebani
kewajiban untuk :
a. melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang
diberikan oleh penyelenggara;
b. memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu
tindakan hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari
lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak, berwenang,
dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. memberikan pertanggungjawaban apabila mengundurkan diri atau
melepaskan

tanggung

jawab

sesuai

dengan

peraturan

perundangundangan; dan
e. melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja
kepada penyelenggara secara berkala.
Pasal 17 melarang Pelaksana untuk tidak :
a. merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi
pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan
usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah;
b. meninggalkan tugas dan kewajiban, kecuali mempunyai alasan
yang jelas, rasional, dan sah sesuai dengan peraturan perundangundangan;

22

c. menarnbah pelaksana tanpa persetujuan penyelenggara;
d. membuat perjanjian kerja sama dengan pihak lain tanpa persetujuan
penyelenggara; dan
e. melanggar asas penyelenggaraan pelayanan publik.
3. Hak dan Kewajiban Masyarakat
Dalam Pelayanan Publik menurut ketentuan pasal 18 masyarakat
berhak :
a. mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
b. mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
c. mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. mendapat mendapat advokasi, perlindungan, dm/ atau pemenuhan
pelayanan;
e. memberitahukan

kepada

pimpinan

penyelenggara

untuk

memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak
sesuai dengan standar pelayanan;
f. memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan
apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar
pelayanan;
g. mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar
pelayanan dan/ atau tidak memperbaiki pelayanan kepada
penyelenggara dan ombudsman;

23

h. mengadukan

penyelenggara

yang melakukan

penyimpangan

standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada
pembina penyelenggara dan ombudsman; dan
i. mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan
tujuan pelayanan.
Terhadap Pelayanan Publik masyarakat oleh Pasal 19 diwajibkan
untuk :
a. mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan
dalam standar pelayanan;
b. ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas
pelayanan publik; dan
c. berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik.
H. Standar Perilaku Pelaksana
Satu hal yang sangat penting dalam ketentuan Pelayanan Publik
adalah adanya Standar Perilaku bagi Pelaksana. Hal ini sebagaimana
tampak dalam rinciannya sangat mencerminkan substansi yang
terkandung dalam asas-asas Pelayanan Publik. Standar Perilaku
dimaksud ditentukan oleh pasal 34, yaitu :
a. adil dan tidak diskriminatif;
b. cermat;
c. santun dan ramah;
d. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;

24

e. profesional;
f. tidak mempersulit;
g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi
penyelenggara;
i. tidak

membocorkan

informasi

atau

dokumen

yang

wajib

dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari
benturan kepentingan;
k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas
pelayanan publik;
1. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam
menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi
kepentingan masyarakat;
m. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan
yang dimiliki;
n. sesuai dengan kepantasan; dan
o. tidak menyimpang dari prosedur.
I. Pengawasan dan Sanksi Dalam Pelayanan Publik
Sebagaimana diuraikan dimuka penyelenggaraan Pelayanan Publik
diawasi melalui pengawasan internal oleh atasan langsung pelaksana
dan oleh institusi pengawas fungsional Penyelenggara dan pengawasan
eksternal oleh masyarakat, DPR/DPRD, dan Ombudsman RI. Pasal 35

25

menentukan pengawasan eskternal oleh masyarakat dilakukan melalui
pengaduan atas pelaksanaan Standar Pelayanan kepada baik kepada
Penyelenggara maupun kepada DPR/DPRD dan Ombudsman RI.
Ombudsman RI sebagai pengawas eksternal oleh pasal 46 wajib
menerima dan berwenang memproses pengaduan dari masyarakat
mengenai penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam UU
Pelayanan Publik, wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat yang
menghendaki
penyelenggara.
pemeriksaan

penyelesaian
Rekomendasi
pengaduan

pengaduan

tidak

Ombudsman

masyarakat

wajib

dilakukan

oleh

terkait

hasil

RI

dilaksanakan

oleh

Penyelenggara.
Ombudsman RI juga diwajibkan membentuk perwakilan di daerah
yang bersifat hierarkis untuk mendukung tugas dan fungsi ombudsman
dalam kegiatan pelayanan publik, melakukan mediasi dan konsiliasi
dalarn menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak.
Terhadap

Penyelenggara

dan

atau

Pelaksana

yang

tidak

melaksanakan kewajiban atau melanggar ketentuan larangan dikenai
sanksi administratif yang diatur dalam pasal 54 sampai dengan pasal
57. Sanksi-sanksi tersebut sesuai jenis dan tingkat kesalahannya
berbentuk teguran lisan, teguran tertulis, penurun pangkat, penurunan
gaji, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri, pemberhentian dengan tidak hormat, denda
dan/atau ganti rugi, dan pembekuan serta pencabutan izin untuk

26

Penyeleng
nggara yang berbentuk korporasi. Selain sank
nksi administratif,
diberlakua
uan juga sanksi pemidanaan yang diatur dala
alam pasal 55 dan
58.
Sanksi
ksi administratif dilaksanakan oleh atasan Pen
enyelenggara dan
Pelaksana
na dan oleh

Instansi

yang mengeluarka
rkan izin untuk

Penyeleng
nggara yang berbentuk korporasi terhadap sank
nksi dalam bentuk
pembekuan
uan atau pencabutan izin. Semua sanksi admini
inistratif dimaksud
dilaksanak
akan

berdasarkan

hasil

pemeriksaan

atas
at

pengaduan

masyaraka
kat oleh pengawas internal dan atau peng
ngawas eksternal
(DPR/DPR
PRD dan Ombudsma RI)

atau berdas
dasarkan temuan

pelanggara
aran baik oleh Penyelenggara maupun oleh pe
pengawas internal
atau penga
gawas eksternal tersebut.
Ilustras
trasi berikut memudahkan mengingat sanksi-san
sanksi tersebut.

Sanksi
Administratif

Sanksi Pidana

• Teguran tertulis
• Penurunan gaji 1 kali kenaikan
ke
gaji berkala untuk paling
ing lama 1
tahun
• Penurunan pangkat seting
tingkat
lebih rendah untuk paling
ling lama 1
tahun
• Pembebasan dari jabatan
tan
• Pemberhentian dengan
n hormat
hor
tidak atas permintaan
n sendiri
sendi
• Pemberhentian dengan
n tidak
ti
hormat
• Denda
• Ganti rugi
• Pemidanaan seesuai ketentuan
kete
perundang-undangan

27

IV.

POLITIK
HUKUM
PELAYANAN
PELAYANAN PUBLIK

PUBLIK

DALAM

UU

Uraian terdahulu memperlihatkan bahwa politik hukum yang menjadi
perhatian ikhtisar ini adalah kebijakan hukum yang bersifat mendasar dan
tetap dan kebijakan hukum yang tidak tetap. Kebijakan hukum yang
bersifat mendasar dan tetap tertuang dalam kaedah dan norma hukum yang
digariskan dalam UUD 1945 baik dalam bagian tertentu dari Mukaddimah
maupun pasal-pasalnya sama ada dalam bentuk tegas secara harfiah
ataupun yang hanya dapat dipahami melihat daripada substansi dan
konteksnya. Frasa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan” dalam
Alinea ke satu Mukaddimah UUD 1945 adalah bagian dari lingkup politik
hukum nasional yang sangat mendasar dan tetap yang menegaskan
kewajiban Negara untuk aktif membentuk peraturan perundang-undangan
yang menjamin hapusnya penjajahan di dunia baik oleh individu terhadap
individu lainnya, oleh pemerintah terhadap rakatnya, oleh suatu golongan
terhadap golongan lainnya, ataupun oleh suatu negara terhadap negara
lainnya.
Tujuan negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
dalam susunan negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila
juga merupakan Politik Hukum yang mendasar dan tetap.

28

Selaras dengan ini Bagian Umum dari Penjelasan UU Pelayanan
Publik menegaskan bahwa memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam Mukaddimah
UUD 1945 adalah amanat yang “mengandung makna negara berkewajiban
memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem
pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan
publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil
setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, dan pelayanan
administratif.
Menimbang kepada uraian-uraian tersebut, maka UU Pelayanan
Publik merupakan implementasi politik hukum mendasar dan tetap yang
digariskan oleh UUD 1945. Sebagai suatu implementasi, UU Pelayanan
Publik berusaha mewujudkan ius cosntituendum dalam ius constitutum
melalui formulasi sistem pelayanan publik yang berisi nilai, persepsi, dan
acuan perilaku yang dengannya masyarakat memperoleh pelayanan sesuai
dengan harapan dan cita-cita tujuan nasional (staatsidea)
Sehubungan dengan itu UU Pelayanan Publik diharapkan dapat
memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik, yang
antara lain adalah pengertian dan batasan penyelenggaraan; asas, tujuan,
dan ruang lingkup; pembinaan dan penataan pelayanan publik; hak,
kewajiban, dan larangan; aspek penyelenggaraan pelayanan publik yang
meliputi standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi, sarana
dan prasarana, biaya/ tarif pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan

29

penilaian kinerja; peran serta masyarakat; penyelesaian pengaduan dalarn
penyelenggaraan pelayanan; dan ketentuan sanksi.
Terlihat

jelas

penyelenggaraan

dalam

uraian

terdahulu

bagaimana

asas-asas

pelayanan publik demikian konsisten dan

detil

diimplementasikan terutama dalam hal pengaturan hak dan kewajiban,
larangan dan sanksi, hubungan di antara semua struktur yang berperan di
dalamnya, responsifitas atas partisipasi masyarakat, pelayanan khusus
kepada kelompok rentan, pengawasan dan penegakan, dan adanya institusi
khusus dalam perumusan kebijakan nasional di bidang Pelayanan Publik.
Ruang lingkup pelayanan publik yang sangat luas hingga menjangkau
pelayanan yang diselenggarakan badan swasta menurut syarat-syarat
tertentu atas pelayanan barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif
dalam bidang pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat
tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan
sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan
sektor strategis lainnya, menunjukkan politik hukum meluaskan dan
mengharmonisasikan kewenangan negara menjamin pencapaian staatsidea
dan rechtidea tidak hanya melalui institusi penyelenggara negara dan
pemerintahan tetapi juga dengan memastikan peranan dan tanggung jawab
korporasi di dalamnya.
Responsifitas atas partisipasi masyarakat terutama melalui pemberian
hak mengadukan penyelenggara dan pelaksana terkait pelaksanaan standar
pelayanan dan pelanggaran atas ketentuan kewajiban dan larangan dalam

30

rangka pengawasan pelayanan publik dapat dinilai sebagai wujud dari
politik hukum membangun pelayanan publik yang demokratis. Ini sejalan
dengan apa yang diharapkan oleh Satjipto Raharja dalam teori hukum
progresifnya dan tentu sangat sejalan dengan substansi kedaulatan rakyat
yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana yang tegas dan rinci
dalam UU Pelayanan Publik menunjukkan implementasi asas akuntabilitas
dan asas kepastian hukum dan merupakan bagian dari Politik Hukum
dalam bentuk law enforcement yang terutama selaras dengan Pasal 27
UUD 1945. Menarik sekali bahwa ternyata dalam kaitan dengan sanksi,
UU Pelayanan Publik memberikan dukungan yuridis terhadap institusi
Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik
dengan

menempatkan

rekomendasi

dan

ajudikasinya

berdasarkan

ketentuan sanksi yang ada sebagai hal yang wajib dilaksanakan oleh
Penyelenggara dan Pelaksana.
V.

KESIMPULAN
Merujuk pada seluruh uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa
Politik Hukum Pelayanan Publik Dalam UU Pelayanan Publik terlihat
jelas dari pengaturannya yang demikian menyeluruh dan responsif atas
kebutuhan dan dinamika masyarakat serta merefleksikan staatsidea dan
rechtidea NKRI. Hadirnya UU Pelayanan Publik merupakan perwujudan
ius consituendum dalam ius consitutum dalam bidang pelayanan publik.

31

Detil dari Politik Hukum dimaksud setidaknya meliputi pengaturannya
yang menekankan pelaksanaannya asas god governance, partisipasi
masyarakat yang luas sebagai pemegang kedaulatan, ditetapkannya secara
khusus institusi perumus kebijakan nasional di dalamnya, standarisasi dan
transparansi

pelayanan,

hak

masyarakat

atas

pengaduan,

adanya

pengawasan eksternal terutama oleh masyarakat dan oleh Ombudsman RI
atas pelaksanaan UU tersebut dengan kewenangan yang luas dan memaksa
melalui rekomendasi dan putusan ajudikasi yang wajib dilaksanakan oleh
institusi Penyelenggara dan Pelaksana, dan ketentuan sanksi administratif
dan sanksi pidana yang tegas di dalamnya.
UU Pelayanan Publik juga memperkuat kedudukan Ombudsman RI
sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik dengan mewajibkan
pembentukan Perwakilan Ombudsman di daerah yang apabila dikaitkan
dengan pasal 43 UU Ombudsman maka dalam pelaksanaan fungsi, tugas,
dan wewenangnya mutatis mutandis dengan Ombudsman RI.
VI.

PENUTUP
Ikhtisar ini jauh dari memadai, terdapat banyak kekurangan di
dalamnya. Kritik dan catatan perbaikan sangatlah diharapkan terutama
dari Profesor Abdul Latief sebagai pengampu Mata Kuliah Politik Hukum
yang memberi penugasan. Tidak ada pengetahuan penulis mengenai Ilmu
Politik Hukum sampai bertatap muka dengan Profesor dan menerima
pembelajaran

tentangnya.

Semoga

Allah

Yang

Maha

Pemurah

memberikan ridha-Nya.

32