Tepatkah Metode Penilaian barang SBMPTN
Tepatkah Metode Penilaian SBMPTN?
(Tayang Kedaulatan Rakyat, Sabtu 12 Mei 2018 hlm 7)
Jawab benar mendapat penambahan 4 poin. Jawab salah mendapat pengurangan 1
poin. Tidak menjawab tidak mendapat poin. Itulah metode penilaian untuk
menentukan rangking penerimaan mahasiswa melalui jalur Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri beberapa tahun lalu. Namun kini sudah tidak dipakai lagi.
Tahun 2018, metode penilaian berganti menjadi: jawab benar = 1 poin, jawab salah
atau tidak menjawab = 0 poin. Hal ini tentunya menghilangkan nilai moral. Padahal
jika menggunakan metode lama maka calon mahasiswa didikte untuk memiliki jiwa
bertanggungjawab tinggi. Lantaran jika mengambil kesalahan bertindak maka akan
mendapat konsekuensi yang berakibat pada pengurangan poin. Sehingga calon
mahasiswa bisa bertindak lebih cermat tanpa grusa-grusu yang penting terisi semua
jawaban.
Wah, jika dibiarkan, revolusi mental yang didengungkan Bapak Presiden, tentu hanya
menjadi isapan jempol belaka. Calon mahasiswa menjadi serba cepat mengerjakan
namun tidak memikirkan konsekuensinya. Mereka menjadi manusia serba "asal
selesai" bukan memikirkan kualitas yang efektif dan efisien.
Kiranya, metode terbaru ini perlu dikaji ulang. Mengingat tantangan era disrupsi kian
menggerogoti keseharian generasi muda. Semoga menjadi refleksi kritis di pendidikan
Indonesia.
DICKI AGUS NUGROHO,
Pustakawan Universitas Tidar di Magelang
(Tayang Kedaulatan Rakyat, Sabtu 12 Mei 2018 hlm 7)
Jawab benar mendapat penambahan 4 poin. Jawab salah mendapat pengurangan 1
poin. Tidak menjawab tidak mendapat poin. Itulah metode penilaian untuk
menentukan rangking penerimaan mahasiswa melalui jalur Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri beberapa tahun lalu. Namun kini sudah tidak dipakai lagi.
Tahun 2018, metode penilaian berganti menjadi: jawab benar = 1 poin, jawab salah
atau tidak menjawab = 0 poin. Hal ini tentunya menghilangkan nilai moral. Padahal
jika menggunakan metode lama maka calon mahasiswa didikte untuk memiliki jiwa
bertanggungjawab tinggi. Lantaran jika mengambil kesalahan bertindak maka akan
mendapat konsekuensi yang berakibat pada pengurangan poin. Sehingga calon
mahasiswa bisa bertindak lebih cermat tanpa grusa-grusu yang penting terisi semua
jawaban.
Wah, jika dibiarkan, revolusi mental yang didengungkan Bapak Presiden, tentu hanya
menjadi isapan jempol belaka. Calon mahasiswa menjadi serba cepat mengerjakan
namun tidak memikirkan konsekuensinya. Mereka menjadi manusia serba "asal
selesai" bukan memikirkan kualitas yang efektif dan efisien.
Kiranya, metode terbaru ini perlu dikaji ulang. Mengingat tantangan era disrupsi kian
menggerogoti keseharian generasi muda. Semoga menjadi refleksi kritis di pendidikan
Indonesia.
DICKI AGUS NUGROHO,
Pustakawan Universitas Tidar di Magelang