Karakteristik Berduka pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis Di Salah Satu Unit Hemodialisa Rumah Sakit Swasta Yogyakarta

  

Karakteristik Berduka pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis

Di Salah Satu Unit Hemodialisa Rumah Sakit Swasta Yogyakarta

Elisabeth Ika Puspitasari*, Theresia Tatik Pujiastuti**

  Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Panti Rapih, Yogyakarta theresiatatikpujiastuti@yahoo.com

  

Abstrak

Hemodialysis merupakan tindakan live saving bagi penderita Chronic Kidney Disease. Data

Indonesia Renal Registry pada tahun 2015 mengemukakan bahwa jumlah pasien yang mendaftar

  keunit hemodialisis di Indonesia terus meningkat 10% setiap tahunnya (Cipta, 2016). Hemodialisis menimbulkan pengalaman emosional akibat proses kehilangan fungsi dan peran tubuh. Kondisi tersebut menyebabkan respons berduka yang dapat di manifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku berhubungan dengan distress atau kesedihan yang mendalam (Kozier, 2011). Perawat perlu memahami karakteristik respons berduka agar melakukan tindakan tepat untuk mencegah komplikasi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran karakteristik respon berduka yang di alami pasien hemodialisis di unit hemodialisa. Jumlah sampel penelitian 30 responden yang diambil secara random. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, kemudian dilakukan analisis data secara univariat dan disajikan dalam bentuk tabel prosentase. Hasil penelitian didapatkan bahwa lebih dari separuh responden mengalami syok dan gelisah yaitu 23 orang (76,67 %) pada tahap menyangkal, sebagian besar responden merasa kecewa pada tahap marah yaitu 19 orang (63,33 %), sebagian besar responden mengeluarkan kata “seandainya” pada tahap tawar menawar yaitu 18 orang (60 %), hampir separuh responden merasa frustasi (30%), dan semua responden mampu beradaptasi dengan lingkungan pada tahap penerimaan. Adapun karakteristik tersebut dialami pasien dalam waktu 6 bulan hingga 1 tahun untuk mencapai tahap penerimaan. Mengingat penting diketahuinya respons berduka pada pasien hemodialisis maka perawat perlu melakukan kajian lebih dini dan memberikan pendampingan pada pasien yang harus menjalani terapi hemodialisis secara rutin. Kata kunci : hemodialisis; berduka; Chronic Kidney Disease

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian

  Hemodialisis merupakan salah satu metode dialysis digunakan untuk memperbaiki ketidak seimbangan cairan dan elektrolit dan untuk mengeluarkan sisa produk metabolisme (Lewis et al., 2011). Berdasarkan data dari PERNEFRI, sebanyak 89 persen pasien yang menjalani hemodialisa memiliki diagnosa penyakit utama yaitu dengan gagal ginjal kronis (PERNEFRI, 2015). Gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan irreversibel (Bestari, 2016).

  Data WHO (World Health

  Organization) pada tahun 2015

  mengemukakan pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis diperkirakan mencapai 1,5 juta orang di seluruh dunia. Angka kejadiannya diperkirakan meningkat 8 persen setiap tahunnya (Cipta, 2016). Sedangkan data Indonesia Renal

  Registry pada tahun 2015, jumlah

  pasien yang mendaftar keunit hemodialisis terus meningkat 10% setiap tahunnya (Cipta, 2016).

  Tindakan hemodialisis tersebut menimbulkan sejumlah permasalahan, mulai dari masalah fisik, psikologi, ekonomi, dan psikososial dalam kehidupannya. Masalah fisik yaitu anemia dan kelelahan, sedangkan masalah psikologi yaitu adanya gangguan dalam proses berfikir dan konsentrasi, cemas, takut mati, dan sulit mengungkapkan perasaan negatif yang akan memicu depresi, putus asa, dan upaya bunuh diri. Dari beberapa permasalahan tersebut dapat menunjukkan bahwa pasien mengalami kondisi berduka.

  Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan. Berduka dapat di manifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan distress atau kesedihan yang mendalam (Kozier, 2011). Respons klien selama berduka meliputi perilaku bersedih (bereavment), yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan berkabung (mourning), yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya, dan kebiasaan.

  Di Rumah Sakit Panti Rapih, prevalensi pasien yang menjalani hemodialisis setiap tahunnya mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Data kunjungan pasien rawat jalan yang menjalani hemodialisis pada tahun 2014 sebanyak 1613 kunjungan pasien, tahun 2015 sebesar 1734 kunjungan pasien, tahun 2016 sebanyak 1755 kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2017, mulai dari bulan Januari sampai September ada 1334 kunjungan pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Di setiap bulannya, pasien baru yang menjalani terapi hemodialisis di Rumah Sakit Panti Rapih yang ditangani oleh unit hemodialisa sekitar 2 sampai 3 pasien per bulan.

  Berkaitan dengan respons berdukan, berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan perawat bahwa pasien hemodialisis mengalami proses hingga bisa menerima kondisinya dan bisa bertahan hidup hingga saat ini. Disampaikan pula bahwa respons perilaku dan lamanya waktu adaptasi sangat individual. Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada gambaran data tentang proses adaptasi tersebut. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran tahapan respon berduka pada pasien yang menjalani hemodialisis sehingga dapat menjadi pengetahuan baru dapat meningkatkan peran perawat mendampingi setiap pasien agar mampu adaptif.

  2. Perumusan Masalah

  Bagaimana gambaran karakteristik respon berduka pasien yang menjalani hemodialisis?

  3. Tujuan Penelitian

  Mengetahui gambaran karakteristik respon berduka pada pasien yang menjalani hemodialisis pada tahap penolakan, tawar menawar, marah, depresi dan penerimaan.

B. TINJAUAN PUSTAKA

  Berduka adalah respon total terhadap pengalaman emosional akibat kehilangan. Gejala berduka yang normal dibagi menjadi 4, mulai dari gejala berduka yang dilihat dari sudut pandang perasaan, kesadaran (pola pikir), sensasi fisik, serta perilaku (Potter & Perry, 2010). Menurut Kozier (2011), reaksi berduka normal dapat berlangsung singkat atau telah diantisipasi sebelumnya. Berduka biasanya reda dalam 6–12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3–5 tahun (Dew i, Kurniaw at i, & W ahyuni, 2013).

  Banyak penulis menguraikan tahap atau fase berduka, mulai dari Kubler-Ross (1969) yang menggambarkan 5 tahapan, mulai dari fase menyangkal, marah, tawar- menawar, depresi, dan penerimaan. Engel (1964) mengidentifikasi 6 tahapan berduka, mulai dari syok dan tidak percaya, menyadari, restitusi, menyelesaikan kehilangan, idealisasi, dan hasil akhir. Sanders (1998) menggambarkan 5 fase berduka, mulai dari syok, kesadaran akan kehilangan, konservasi/menarik diri, pemulihan, dan pembaharuan (Kozier, 2011). Secara umum tahapan berduka yang dipakai adalah fase menyangkal, marah, tawar- menawar, depresi, dan penerimaan.

  Tahap menyangkal (denial). Tahap menyangkal, individu bertindak seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa ia telah mengalami kehilangan dan berduka (Dewi, et al., 2017). Respons individu selama fase ini adalah menunjukkan sikap tidak percaya dan tidak siap dalam menghadapi peristiwa kehilangan. Reaksi fisik dapat mencakup pingsan/syok, menangis, berkeringat, mual, diare, frekuensi jantung cepat, gelisah, insomnia dan keletihan, tidak bergairah, serta menunjukkan kegembiraan yang dibuat- buat. Respon individu yang lain dapat ditunjukkan dengan mengatakan “tidak saya tidak percaya bahwa itu terjadi” atau “itu tidak mungkin” (Mutoharoh, 2010). Tugas perawat selama fase ini adalah memberikan dukungan secara verbal.

  Tahap marah (anger). Tahap marah menurut Koesoemo (2017) terdiri dari 2 kategori yaitu sedih dan kecewa. Respons individu selama fase ini adalah individu mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mengalami keputusasaan yang sifatnya iritabel. Secara mendadak terjadi marah, rasa bersalah, frustasi, depresi, dan kehampaan. Individu bila dalam tahap marah juga bisa berubah menjadi pribadi yang lebih banyak diam. Biasanya kemarahan tersebut diproyeksikan pada benda atau orang dan ditandai dengan suara keras, meledak-ledak, tangan mengepal, muka merah padam, perilaku agresif, gelisah, nadi cepat, dan nafas tersengal-sengal. Individu pada fase ini juga bisa menolak pengobatan (Mutoharoh, 2010). Tugas perawat selama fase ini adalah membantu klien memahami bahwa rasa marah selama fase ini adalah normal, mencegah klien mengalami depresi akibat kemarahan yang tidak terkontrol, mencari alternatif kebutuhan yang lebih berarti di saat marah, menganjurkan klien untuk mengontrol emosi.

  Tahap tawar-menawar (bargaining) Tahap ini menurut Koesoemo (2017), meliputi 2 kategori, yaitu khawatir dan berharap. Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa amarahnya secara intensif, maka ia akan maju ke tahap tawar menawar. Di tahap ini biasanya individu akan mengeluarkan kata-kata seperti “seandainya dulu saya mau menjaga kesehatan” (Mutoharoh, 2010). Respons individu selama fase ini adalah mulai mengungkapkan rasa marah terhadap peristiwa kehilangan yang terjadi, melakukan tawar-menawar, mengekspresikan rasa bersalah dan rasa takut terhadap hukuman untuk dosa-dosa di masa lalu, baik nyata maupun imajinasi, seperti ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semua, berharap semua ini tidak pernah terjadi (tidak nyata).

  Tahap depresi (depression) Tahap depresi menurut Koesoemo (2017), dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu secara fisik dan secara psikologis. Tahap ini terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut (Dewi, et al., 2017). Respons individu selama fase ini adalah berduka atas apa yang terjadi, menarik diri, tidak mau bicara, putus asa, dan terkadang bicara bebas. Karakteristik dari tahapan depresi biasanya ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang lain, frustasi bahkan sampai

  

o

  menangis, sulit tidur, kehilangan selera

  1 Menunjukkan sikap 22 73,33 %

  makan, kehilangan berat badan, kehilangan hasrat seksual, kehilangan

  2 Syok. 23 76,67 %

  minat serta kesenangan dalam aktivitas 3 Gelisah.

  23 76,67 %

  yang biasa dilakukan ( Davidson, dkk,

  4 Bertindak seolah tidak 7 23,33 % 2006 dalam Ardiansyah & Yahya, 2012). ada apa-apa.

  Tahap penerimaan (acceptance).

  5 Menunjukkan 3 10 %

  Tahap acceptance sebagai fase

  kegembiraan yang

  penerimaan terhadap kondisi kehilangan dibuat-buat. yang ditandai dengan kemampuan Sumber :Data Primer 2018. individu menghadapi kenyataan dan

  Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa mengikhlaskan apa yang sudah terjadi lebih dari separuh responden mengalami

  (Dewi, et al., 2017). Respons individu syok dan gelisah yaitu 23 orang (76,67 selama fase ini adalah mulai kehilangan

  %). Hal ini menunjukkan bahwa tahap minat terhadap lingkungan sekitar dan menyangkal memerlukan tindakan efektif terhadap individu pendukung., individu untuk mengatasi syok dan gelisah. mampu melupakan peristiwa apa yang sudah terjadi. Sejalan dengan itu, individu

  Tabel 2

  juga mulai membuat berbagai rencana

  Waktu yang Dibutuhkan Tahap

  guna mengatasi dampak dari peristiwa

  Menyangkal

  yang terjadi. Selain itu, pikiran terhadap objek yang hilang juga sudah mulai

  No Waktu Frekuensi Persentase berkurang.

  1 < 6 bulan. 4 13,33 %

  Penelitian yang dilakukan oleh 2 1 – 6 bulan.

  17 56,67 %

  (Zuhriastuti, 2011) menunjukkan bahwa 3 1 tahun.

  4 13,33 %

  pasien gagal ginjal kronis yang menjalani 4 2 tahun.

  1 3,33 % 5 3 tahun. - -

  hemodialisis hanya 13,7% yang respon penerimaan stresnya berada dalam tahap Sumber : Data Primer 2018. menerima (acceptance). Sebagian besar Berdasarkan tabel 2, lebih dari separuh respon penerimaan stres adalah di tahap responden membutuhkan waktu 1-6 anger sebanyak 16 orang (31,4%), bahkan bulan pada tahap menyangkal, yaitu 17 ada di tahap denial sebanyak 14 orang orang (56,67 %). Data ini menunjukkan (27,5%) yang masih menyangkal bahwa perlu waktu yang panjang untuk kondisinya. beradaptasi terhadap tahap menyngkal.

  Tabel 3 C. METODE PENELITIAN Karakteristik Respon Berduka Tahap

  Penelitian ini merupakan penelitian

  Marah

  survey deskriptif. Metode sampling random sampling dengan jumlah sampel No Karakteristik Frekuensi Persentase

  1 Merasa kecewa. 19 63,33 %

  30 responden. Metode analisis data 2 Perilaku agresif.

  10 33,33 %

  dilakukan dengan analisis univariat untuk 3 Mendadak marah.

  10 33,33 %

  menggambarkan karakteristik respons

  4 Melampiaskan amarah 1 3,33 %

  berduka yang timbul dialami pasien dengan tindakan. hemodialisis. Adapun instrument

  5 Seketika berubah 14 46,67 % pengumpulan data menggunakan kesioner. menjadi lebih banyak

  Analisis data dilakukan dengan analisis diam. univariat dalam bentuk prosentase.

  Sumber : Data Primer 2018. Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa D.

HASIL PENELITIAN DAN

  sebagian besar responden merasa

  PEMBAHASAN

  kecewa pada tahap marah yaitu 19 orang

1. Hasil Penelitian

  (63,33 %). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat marah pasien tidak selalu

  Tabel 1 menimbulkan reaksi yang agresif. Karakteristik Berduka Tahap Menyangkal Tabel 4 Gambaran Durasi Waktu Pada Tahap N Karakteristik Frekuensi Persentase

  Marah No Waktu Frekuensi Persentase 1 < 6 bulan. 4. 13,33 % 3 1 tahun. 3. 10 % 4 2 tahun. 1. 3,33 % 5 3 tahun. - -

  Sumber : Data Primer 2018. Berdasarkan tabel 4, dijelaskan bahwa

  Tabel 7

  waktu yang dibutuhkan oleh sebagian

  Karakteristik Respon Berduka Tahap

  besar responden tahap marah selama 1-6

  Depresi bulan yaitu 18 orang (60%).

  No Karakteristik Frekuensi Persentase

  1 Menarik diri dari 7 23,33 % Tabel 5 lingkungan sekitar. Karakteristik Berduka Tahap Tawar

  2 Cenderung diam dan 2 6,67 % Menawar tidak mau bicara dengan siapapun.

  No Karakteristik Frekuensi Persentase

  3 Cenderung menutup 7 23,33 %

  1 Mengeluarkan kata 18. 60 % diri dari lingkungan seandainya. sekitar.

  2 Mengekspresikan rasa 10. 33,33 %

  4 Mengalami 8 26,67 % bersalah. kesedihan yang

  3 Mengekspresikan rasa 16 53,33 % mendalam. takut.

  5 Frustasi bahkan 9 30 %

  4 Merasa ingin kembali 14 46,67 % sampai menangis. ke masa lalu dan memperbaiki semua.

  Sumber : Data Primer 2018.

  5 Berharap semua ini 12 40 %

  Pada tabel 7, menunjukkan bahwa hampir

  tidak pernah terjadi

  separuh responden frustasi bahkan sampai (tidak nyata). menangis pada tahap depresi yaitu 9 Sumber : Data Primer 2018. orang (30%). Hal ini menunjukkan bahwa

  Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa pasien hemodialisis memerlukan sebagian besar responden mengeluarkan pendampingan agar tidak terjadi reaksi kata “seandainya” pada tahap tawar negative menghadapi sakitnya. menawar yaitu 18 orang (60 %). Hal ini menunjukkan bahwa perawat berperan

  Tabel 8

  penting untuk memberikan penjelasan

  Waktu yang Dibutuhkan Tahap agar pasien lebih adaptif. Depresi Tabel 6 No Waktu Frekuensi Persentase

  Waktu yang Dibutuhkan Tahap Tawar 1 < 6 bulan.

  2 6,67 % Menawar

  2 1 – 6 11 36,67 % bulan.

  No. Waktu Frekuensi Persentase 3 1 tahun.

  1 3,33 % 4 2 tahun. 2 6,67 % 1 < 6 bulan.

  1 3,33 % 5 3 tahun.

  19 63,33 % Sumber : Data Primer 2018. 3 1 tahun. 1 3,33 %

  • 2 1 – 6 bulan.

  Berdasarkan tabel 8, hampir separuh 4 2 tahun. 2 6,67 % responden membutuhkan waktu selama 1- 5 3 tahun. - - 6 bulan tahap depresi yaitu 11 orang

  Sumber : Data Primer 2018.

  (36,67 %). Hal ini menunjukkan bahwa Berdasarkan tabel 6, diketahui bahwa perawat perlu lebih intensif mendampingi waktu yang dibutuhkan di tahap tawar pasien mengahadapi stress karena menawar selama 1-6 bulan dialami oleh hemodialisis. sebagaian besar responden yaitu 19 orang (63,33 %). Hal ini menunjukkan bahwa

  Tabel 9

  masih banyak responden yang

  Karakteristik Berduka Tahap

  memerlukan waktu panjang untuk

  Penerimaan

  beradaptasi dengan tahap tersebut dan beresiko terjadi komplikasi masalah

  No Karakteristik Frekuensi Persentase psikologis dan fisik yang lain.

  1 Mampu menghadapi 29 96,67 % kenyataan.

  2 Mampu menerima 29 96,67 %

  7 23,33 % 3 1 tahun. 14 46,67 % 4 2 tahun. 4 13,33 % 5 3 tahun. 3 10 % Sumber : Data Primer 2018.

  Karakteristik melampiaskan amarah dengan tindakan adalah karakteristik yang paling sedikit di alami oleh responden

  Gambaran karakteristik tahap marah yang terbanyak dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih adalah merasa kecewa, dengan jumlah orang yang mengalaminya yaitu 19 orang (63,33 %). Menurut penelitian dari (Koesoemo, 2017), tahap marah terdiri dari 2 kategori yaitu sedih dan kecewa. Respon yang terjadi selama berada di tahap ini adalah individu tersebut mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mengalami keputusasaan yang sifatnya iritabel. Pada tahap ini, kenyataan yang sudah tejadi pada individu tersebut harus dihadapi oleh individu tersebut. Kesadaran akan kenyataan dari pasien yang menjalani hemodialisis akan menimbulkan beberapa respon yang terjadi mulai dari merasa kecewa, berperilaku agresif akibat dari kemarahannya, ataupun pasien tersebut berubah menjadi pribadi yang lebih banyak diam. Kecewa karena peristiwa yang sudah terjadi dengan adanya tindakan hemodialisis, suka atau tidak, pasien tesebut harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani terapi tersebut, yang berefek pada munculnya rasa kecewa karena harus menjalani tindakan tersebut (Widyarini, 2015). Dari munculnya rasa kecewa tersebut juga dapat menimbulkan munculnya karakteristik lainnya yaitu adanya perubahan sikap yang menjadi agresif dan sering marah, melampiaskan amarah dengan tindakan, ataupun dengan berubah menjadi pribadi yang banyak diam untuk menahan emosinya.

  Adapun waktu yang dibutuhkan paling banyak dalam tahap menyangkal terjadi selama kurun waktu 1 – 6 bulan, berjumlah 17 orang (56,67 %). Menurut teori Sanders dalam (Kozier, 2011), karakteristik syok dapat berlangsung dalam beberapa menit sampai beberapa hari. Hal tersebut terjadi karena menerima sesuatu hal yang bukan kehendak pasien tesebut membutuhkan waktu untuk memaksa pasien tersebut menghadapi kenyataan yang terjadi.

  Hasil yang didapat peneliti dalam karakteristik dari tahap menyangkal yang terbanyak dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih adalah syok dan gelisah dengan jumlah orang yang mengalaminya yaitu 23 orang atau 76,67 %. Menurut penelitian dari (Nadhiro, 2012), kebanyakan orang tidak siap menghadapi duka, karena seringkali suatu tragedi atau suatu kejadian dapat terjadi begitu cepat dan tanpa peringatan. Sama seperti halnya dengan penderita gagal ginjal kronis yang seketika divonis harus menjalani hemodialisis. Maka dari hal tersebut, karakteristik syok dan gelisah menjadi karakteristik yang paling banyak di alami pada tahap menyangkal oleh pasien yang menjalani hemodialis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

  3 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perlu upaya yang lebih baik dari perawat sehingga adaptasi pasien menjadi lebih cepat.

  Tabel 10, tampak bahwa waktu yang dibutuhkan di tahap penerimaan adalah selama 1 tahun hampir separuh responden atau 14 orang (46,67 %). Meskipun demikian masih ada yang memerlukan waktu hingga

  Tabel 10 Waktu yang Dibutuhkan Tahap Penerimaan No Waktu Frekuensi Persentase 1 < 6 bulan. 1 3,33 % 2 1 – 6 bulan.

  3 Mampu mengikhlaskan apa yang sudah terjadi.

  Berdasarkan tabel 9, diketahui bahwa semua responden akhirnya mampu beradaptasi dengan hemodialisis. Data ini menunjukkan bahwa pendampingan yang baik akan menimbulkan respons adaptasi yang baik bagi pasien hemodialisis.

  29 96,67 % Sumber : Data Primer 2018.

  5 Mampu melupakan peristiwa yang sudah terjadi.

  30 100 %

  4 Mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

  29 96,67 %

2. Pembahasan

  yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, dengan jumlah 1 orang (3,33%). Menurut (Widyarini, 2015), individu yang sedang dalam tahap amarah yang kemudian bertindak melakukan suatu tindakan sebagai bentuk untuk melampiaskan amarah seringkali dilakukan. Biasanya kemarahan tersebut juga disertai dengan menyalahkan pihak- pihak lain di luar dirinya, bahkan bisa juga sampai menyalahkan Tuhan. Tetapi jika ledakan emosinya mereda,pada umunya orang tersebut merasa sedikit lega dengan merasa setidaknya sebagian kemarahannya telah tersalurkan. Adapun waktu yang dibutuhkan melalui tahap marah paling banyak terjadi selama 1 – 6 bulan yaitu 18 orang (60%). Data ini sesuai dengan penelitian Widyarini (2015), bahwa individu yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya.

  Gambaran karakteristik tahap tawar menawar dengan mengeluarkan kata “seandainya”, dialami oleh sebagian besar responden yaitu 18 orang (60%). Menurut penelitian dari Koesoemo (2017), tahap tawar menawar ini meliputi dua kategori, yaitu khawatir dan berharap. Di tahap ini biasanya individu akan mengeluarkan kata-kata seperti “seandainya aku...” untuk tanda bahwa ada penyesalan yang terjadi pada individu tersebut. Adapun waktu yang dibutuhkan paling banyak dalam tahap tawar menawar terjadi selama kurun waktu 1 – 6 bulan, sebanyak 19 orang (63,33 %).

  Hasil penelitian juga menemukan bahwa pada tahap depresi, respons yang paling banyak ditemukan yaitu 9 orang (30 %) adalah frustasi. Frustasi disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut (Dewi, et al., 2017). Beberapa ekspresi yang ditampilkan adalah menangis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang disampaikan Koesumo (2017), bahwa respons frustasi pada depresi dapat menimbulkan manifestasi secara psikologis. Ketika pasien masuk ke dalam tahap depresi, individu yang mengalaminya akan menolak orang lain dan menghabiskan banyak waktu untuk menangis dan berduka (Nadhiro, 2016). Proses ini memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari rasa cinta dan kasih sayang. Ketika individu masuk ke dalam tahap ini, tidak dianjurkan untuk mencoba menghibur individu yang berada pada tahap ini, karena individu tersebutcenderung pasif dan tidak akan mendengarkan orang lain. Ini adalah waktu yang penting dalam berduka yang memerlukan proses. Ketika pasien tersebut berhadapan langsung dengan kenyataan yang tidak dapat dihindari, mau tidak mau harus dijalani yaitu dengan dilakukannya terapi hemodialisis, maka pasien tersebut merasakan kehilangan dan keputusasaan pada dirinya. Tidak ada penolakan, tidak ada kemarahan, tidak ada daya untuk menghindari, yang dirasakan hanya kesedihan. Seseorang dalam fase ini biasanya tidak banyak bicara dan cenderung menarik diri dari lingkungan sekitar (Widyarini, 2015).

  Hasil penelitian menunjukkan pula pada tahap penerimaan semua responden akhirnya menerima dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya dengan mampu menghadapi kenyataan, mau menerima kenyataan, mampu mengikhlaskan yang terjadi, mampu melupakan peristiwa apa yang sudah terjadi sebanyak 29 orang( (96,67 %). Menurut penelitian (Koesoemo, 2017), tahap penerimaan digambarkan dalam 4 kategori yaitu bersyukur, memahami, senang dan adaptasi. Tahap

  acceptance atau tahap penerimaan sebagai

  fase penerimaan terhadap kondisi kehilangan yang ditandai dengan kemampuan individu menghadapi kenyataan dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi (Dewi, et al., 2017). Dalam tahap ini, bukan berarti rasa sakit atau kesedihan yang mereka rasakan pada masa lalu itu hilang, tetapi mereka mulai merelakan, sampai dengan tahap akhir yaitu menerima diri dengan kondisi sesuai dengan kenyataan apapun itu. Adapun lama waktu yang dibutuhkan hingga tahap ini hampir separu yaitu 1 tahun, dengan (46,67 %). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Dewi, Kurniawati, & Wahyuni (2013) yang mengatakan bahwa fase

  acceptance sebagai fase penerimaan

  terhadap kondisi kehilangan yang ditandai dengan telah mampunya seseorang menghadapi kenyataandialami dalam kurun waktu 6–12 bulan. Adapu faktor yang dirasakan paling mempengaruhi ketercapian proses penerimaan ini adalah dukungan keluarga dan orang terdekat yang dinyatakan oleh 28 responden (93,33 %). Dukungan keluarga juga mempengaruhi dalam menunjang kualitas hidup seseorang. Hal ini dikarenakan kualitas hidup merupakan suatu persepsi yang hadir dalam kemampuan, keterbatasan, gejala serta sifat psikososial hidup individu baik dalam konteks lingkungan budaya dan nilainya dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagaimana mestinya ( Zadeh, Koople & Block, 2003 dalam Sukriswati, 2016).

E. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  Karakteristik yang di alami ditahap menyangkal, didapatkan hasil yaitu mengalami karakteristik menunjukkan sikap tidak percaya sebanyak 73,33%, syok sebanyak 76,67%, gelisah sebanyak 76,67%, bertindak seolah tidak ada apa- apa sebanyak 23,33%, dan menunjukkan kegembiraan yang dibuat-buat sebanyak 10%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap menyangkal selama 1-6 bulan.

  Mengingat pentingnya pasien dalam mendapat pendampingan, perawat dapat memberikan kepada pasien pendampingan untuk proses penerimaan penyakit, proses penerimaan terapi yang harus dijalani yaitu terapi hemodialisis, serta penguatan psikologisbagi pasien yang belum menerima kondisinya yang harus menjalani terapi hemodialisis secara rutin.

  Karakteristik yang di alami ditahap marah, didapatkan hasil yaitu mengalami karakteristik merasa kecewa sebanyak 63,33%, perilaku agresif sebanyak 33,33%, mendadak marah sebanyak 33,33%, melampiaskan amarah dengan tindakan sebanyak 3,33%, dan seketika berubah menjadi lebih banyak diam sebanyak 46,67%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap marah selama 1-6 bulan.

  23,33%, cenderung diam dan tidak mau bicara dengan siapapun sebanyak 6,67%, cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar sebanyak 23,33%, mengalami kesedihan yang mendalam sebanyak 26,67%, dan frustasi bahkan sampai menangis sebanyak 30%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap depresi selama 1-6 bulan.

  Karakteristik yang di alami ditahap penerimaan, didapatkan hasil yaitu mampu menghadapi kenyataan sebanyak 96,67%, mampu menerima kenyataan sebanyak 96,67%, mampu mengikhlaskan apa yang sudah terjadi sebanyak 96,67%, mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar sebanyak 100%, dan mampu melupakan peristiwa apa yang sudah terjadi sebanyak 96,67%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap penerimaan selama 1 tahun.

  Saran

UCAPAN TERIMA KASIH

  Terima kasih kepada Elisabeth Ika Puspitasari sebagai pengumpul data penelitian ini. journal.unair.ac.id/index.php/JNERS/ article/view/3888 Dewi, Y. S., Kurniawati, N. D., & Wahyuni, E.

  Karakteristik yang di alami ditahap depresi, didapatkan hasil yaitu menarik diri dari lingkungan sekitar sebanyak

  Bestari, A. W. (2016). Pengaruh Dukungan

  Keluarga Dan Status DM Terhadap Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis .

  e-journal.unair.ac.id, 200. Cipta, I. D. (2016). Hubungan Dukungan

  Keluarga Dengan Kecemasan Pada Pasien Dengan Gagal Ginjal Kronis Di Unit Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Unit II Gamping Sleman Yogyakarta . opac.unisayogya.ac.id , 5.

  Dewi, Y. S., Harmayetti, Kurniawati, N. D., Wahyuni, E. D., Asmara, D., Bakar, A., et al. (2017). Jurnal Ners.

  Retrieved Oktober 22, 2017, from http://e-

  Karakteristik yang di alami ditahap tawar menawar, didapatkan hasil yaitu mengalami karakteristik mengeluarkan kata seandainya sebanyak 60%, mengekspresikan rasa bersalah sebanyak 33,33%, mengekspresikan rasa takut sebanyak 53,33%, merasa ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semua sebanyak 46,67%, dan berharap semua ini tidak pernah terjadi sebanyak 40%, dengan sebagian besar waktu yang di alami responden pada tahap tawar menawar selama 1-6 bulan.

  F. DAFTAR PUSTAKA

  D. (2013). Pengalaman Hidup Pasien Dengan Gagal Ginjal Terminal . Retrieved Desember 22, 2017, from https://e- journal.unair.ac.id/JNERS/article/vie w/3888/2642

  www.indonesianrenalregistry.org , 27.

  Retrieved Oktober 21, 2017, from http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/p sn12012010/article/viewFile/1220/12

  Mekanisme Koping Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Dilakukan Hemodialisa di Ruang Hemodialisa RSUD Kota Semarang .

  ID&s=1&m=670&host Zuhriastuti. (2011). Skripsi: Studi Deskriptif

  Januari 09, 2018, from htp//www.bppk.kemenkeu.go.id/publi kasi/artikel/418-artikel-soft- competency/20585-perjalanan-emosi- untuk-move- on&ei=RTnecD_q&lc=id-

  Emosi Untuk Move n . Retrieved

  Widyarini. (2015, Februari 18). Perjalanan

  Januari 2018, 2018, from http://eprints.ums.ac.id/44443/21/01. %20Naskah%20Publikasi.pdf

  Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Moewardi Surakarta . Retrieved

  Jakarta: EGC. Sukriswati, I. (2016). Hubungan Dukungan

  2). Jakarta: Salemba Medika. Smeltzer, S. C. (2016). Keperawatan Medikal- Bedah Brunner & Suddarth, Ed. 12.

  Fundamentals of Nursing (7 ed., Vol.

  Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010).

  IRR.

  Koesoemo, F. R. (2017). Proses Berduka dan

  2017, from eprints.undip.ac.id PERNEFRI. (2015).

  Gambaran Tingkat Kecemasan, Stres, Depresi dan Mekanisme Koping Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di RSUD DR. Moewardi . Retrieved Oktober 21,

  Retrieved Desember 22, 2017, from digilib.uinsby.ac.id/4847/5/Bab%202. pdf Novitasari, I., & Hidayati, W. (2015).

  Oktober 22, 2017, from repository.uinjkt.ac.id Nadhiro, C. (2016). Penerimaan Anak Terhadap Kehadiran Ayah Tiri .

  Berhubungan Dengan Mekanisme Koping Klien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Tahun 2009 . Retrieved

  (2015). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar . Jakarta: Salemba Medika. Mutoharoh, I. (2010). Faktor-Faktor Yang

  Jakarta: EGC. Mubarak, W. I., Indrawati, L., & Susanto, J.

  Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori & Aplikasi Dalam Praktik.

  Mubarak, W. I., & Chayatin, N. (2008). Buku

  Keperawatan: Konsep, Proses, & Praktik (7 ed.). Jakarta: EGC.

  Kozier, B. (2011). Buku Ajar Fundamental

  Retrieved Oktober 12, 2017, from http://e- journal.unair.ac.id/index.php/JNERS/ article/view/3956

  Beban yang Dialami Keluarga Dalam Merawat Anak Dengan Autisme .

  73