BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Karakteristik - Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Karakteristik Karakter (watak) adalah kepribadian yang dipengaruhi motivasi yang menggerakkan kemauan sehingga orang tersebut bertindak (Sunaryo, 2004). Sumadi (1985 dalam Sunaryo, 2004) mengatakan, bahwa karakter (watak) adalah

  keseluruhan atau totalitas kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar, keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan pengalaman, serta faktor-faktor eksogen).

  Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal yang menggambarkannya. Sesuatu yang membuatnya unik atau berbeda.

  Karakteristik dalam individu adalah sarana untuk memberitahu satu terpisah dari yang lain, dengan cara bahwa orang tersebut akan dijelaskan dan diakui. Sebuah fitur karakteristik dari orang yang biasanya satu yang berdiri di antara sifat-sifat yang lain (Sunaryo, 2004).

  Setiap individu mempunyai ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan; karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu, terdapat keyakinan serta kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan lingkungan. Hal tersebut merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor yang bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi, makin disadari bahwa apa yang dirasakan oleh banyak anak, remaja, atau dewasa merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan. Natur dan nurture merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik-karakteristik individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat perkembangan. Sejauh mana seseorang dilahirkan menjadi seorang individu atau sejauh mana seseorang dipengaruhi subjek penelitian dan diskusi. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap, sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Sunaryo, 2004 ).

  Siagian (2008 dalam Lase, 2011) menyatakan bahwa, karakteristik biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja. Sedangkan Notoatmodjo (2010) menyebutkan ciri-ciri individu digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu:

  1. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur 2.

  Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan sebagainya.

  3. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.

  Selanjutnya Anderson (1998 dalam Notoatmodjo, 2010) percaya bahwa: 1. Setiap individu atau orang mempunyai perbedaan karakteristik, mempunyai perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, dan mempunyai perbedaan pola penggunaan pelayanan kesehatan.

  2. Setiap individu mempunyai perbedaan struktur sosial, mempunyai gaya hidup, dan akhirnya mempunyai perbedaan pola pengguanan pelayanan kesehatan.

  3. Individu percaya adanya kemanjuran dalam penggunaan pelayanan kesehatan.

  Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang, karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Dan banyak orang yang beranggapan bahwa orang terkena penyakit gagal ginjal akan mengalami penurunan dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik seseorang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang terutama yang mengidap penyakit gagal ginjal kronik (Yuliaw, 2010).

2.2. Karakteristik Pasien

  Karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, agama, suku/budaya, dan ekonomi/penghasilan.

2.2.1. Usia

  Usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau tertentu. Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur. Penderita gagal ginjal kronik usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik oleh karena biasnya kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang lebih tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi hemodialisa. Usia juga erat kaitannya dengan prognose penyakit dan harapan hidup mereka yang berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008).

  Budiarto dan Anggraeni (2002) menambahkan, bahwa pada hakikatnya suatu penyakit dapat menyerang setiap orang pada semua golongan umur, tetapi ada penyakit-penyakit tertentu yang lebih banyak menyerang golongan umur tertentu. Penyakit-penyakit kronis mempunyai kecenderungan meningkat dengan bertambahnya umur, sedangkan penyakit-penyakit akut tidak mempunyai suatu kecenderungan yang jelas. Walaupun secara umum kematian dapat terjadi pada setiap golongan umur, tetapi dari berbagai catatan diketahui bahwa frekuensi kematian pada golongan umur berbeda-beda, yaitu kematian tertinggi pada golongan umur 0-5 tahun dan kematian terendah terletak pada golongan umur 15- 25 tahun dan akan meningkat lagi pada umur 40 tahun ke atas. Dari gambaran meningkatnya umur. Hal ini disebutkan berbagai faktor, yaitu pengalaman terpapar oleh faktor penyebab penyakit, faktor pekerjaan, kebiasaan hidup atau terjadinya perubahan dalam kekebalan. Penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan karsinoma lebih banyak menyerang orang dewasa dan lanjut usia, sedangkan penyakti kelamin, AIDS, kecelakaan lalu lintas, penyalahgunaan obat terlarang banyak terjadi pada golongan umur produktif yaitu remaja dan dewasa. Hubungan antara umur dan penyakti tidak hanya pada frekuensinya saja, tetapi pada tingkat beratnya penyakit, misalnya staphilococcus dan escheria coli akan menjadi lebih berat bila menyerang bayi daripada golongan umur lain karena bayi masih sangat rentan terhadap infeksi.

  Penelitian Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) tentang propil kesehatan Indonesia mengatakan bahwa, perilaku merokok dengan kelompok umur dapat disimpulkan tidak ada hubungannya. Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa presentase rendah perilaku tidak merokok adalah pada umur antara 25-59 tahun. Berdasarkan hasil penelitian Yuliaw (2010), bahwa responden memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari usia responden dimana yang menderita penyakit gagal ginjal paling banyak dari kalangan orang tua.

2.1.1. Jenis kelamin

  Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita. Istilah gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan bila dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, metalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gender adalah pembagain peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma dan adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat. Gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti keras, kuat, rasional, dan gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki sifat feminim seperti halus, lemah, peras, sopan, dan penakut. Perbedaan dengan pengertian seks yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan ( femaleness). Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual (love making activities) (Mubarak, 2009).

  Jenis kelamin adalah kata yang umumnya digunakan untuk membedakan seks seseorang (laki-laki atau perempuan). Kata seks mendeskripsikan tubuh seseorang, yaitu dapat dikatakan seseorang yang secara fisik laki-laki atau perempuan. Sedangkan jenis kelamin mendeskripsikan sifat atau karakter seseorang, yaitu seseorang yang merasa atau melakukan sesuatu bersifat seperti wanita (feminim) atau seperti laki-laki (maskulin). Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan. Perbedaan ini terjadi karena meraka memiliki alat-alat untuk meneruskan keturunan yang berbeda, yaitu disebut alat reproduksi (Mubarak, 2009).

  Menurut Hungu (2007 dalam Yuliaw, 2010), jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras yang ada di muka bumi.

  Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika atau kondisi fisiologis (Budiarto & Anggraeni, 2002). Penelitan Yuliaw (2010) menyatakan, bahwa laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan dan semakin lama menjalani terapi hemodialisa akan semakin rendah kualitas hidup penderita.

  Penelitian Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) tentang propil kesehatan Indonesia mengatakan bahwa, perilaku tidak merokok pada perempuan jelas lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) melakukan survei tentang melakukan aktivitas fisik secara cukup berdasarkan latar belakang atau karakteristik individu.Ternyata kelompok laki-laki lebih banyak beraktivitas fisik secara cukup dibandingkan dengan kelompok perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Yuliaw (2010), bahwa responden memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari jenis kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit gagal ginjal kronik, sedangkan laki-laki lebih rendah.

  Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, Penyakit yang hanya menyerang perempuan, yaitu penyakit yang berkaitan dengan organ tubuh perempuan seperti karsinoma uterus, karsinoma mammae, karsinoma seviks, kista ovarii, dan adneksitis. Penyakit-penyakit yang lebih banyak menyerang laki-laki daripada perempuan antara lain; penyakit jantung koroner, infark miokard, karsinoma paru-paru, dan hernia inguinalis. Selain itu terdapat pula penyakit yang hanya menyerang laki-laki seperti karsinoma penis, orsitis, hipertrofi prostat, dan karsinoma prostat.

2.1.2. Status Perkawinan

  Lembaga Demografi FE UI (2000 dalam Yuliaw, 2010) menyatakan bahwa, status perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekanto (2000 dalam Yuliaw, 2010) menyatakan bahwa, perkawinan (marriage) adalah ikatan yang sah antara seorang pria dan wanita yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara mereka maupun turunannya.

  Menurut Undang-Undang UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan salah suatu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan, demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam tujuan tersebut (Walgito, 2004 dalam Tarigan, 2011).

2.1.3. Pendidikan

  Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri.

  Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi, yang satu dengan lainnya saling berkaitan dan berlangsung dengan berbarengan (Hamalik, 2008).

  Secara umum pendidikan diartikan sebagai segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi usia baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik (Notoatmodjo, 2005). Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan pembimbing, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pengertian ini menekankan pada pendidikan formal dan tampak lebih dekat dengan penyelenggaraan pendidikan secara operasional (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (UU RI No. 2 Tahun 1989, Bab 1, Pasal 1 dalam Hamalik, 2008).

  Menurut UU nomor 20 (tahun 2003 dalam Notoatmodjo, 2005), jalur pendidikan sekolah terdiri dari :

  1. Pendidikan Dasar Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

  Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 (enam) tahun pertama (SD/MI), para siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun.

  2. Pendidikan Menengah Pendidikan menengah (sebelumnya dikenal dengan sebutan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) adalah jenjang pendidikan dasar.

  a.

  Pendidikan menengah umum Pendidikan menengah umum diselenggarakan oleh sekolah menengah atas

  (SMA) (sempat dikenal dengan “Sekolah Menengah Umum” atau SMU) atau

  Madrasah Aliyah (MA). Pendidikan menengah umum dikelompokkan dalam program studi sesuai dengan kebutuhan untuk belajar lebih lanjut di perguruan tinggi dan hidup di dalam masyarakat. Pendidikan menengah umum terdiri atas 3 (tiga) tingkat.

  b.

  Pendidikan menengah kejuruan Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah

  Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan menengah kejuruan dikelompokkan dalam bidang kejuruan didasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dunia industri/dunia usaha, ketenagakerjaan baik secara nasional, regional maupun global, kecuali untuk program kejuruan yang terkait dengan upaya-upaya pelestarian warisan budaya. Pendidikan menengah kejuruan terdiri atas 3 (tiga) tingkat, dapat juga terdiri atas 4 (empat) tingkat sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Satuan pendidikan penyelenggara Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) dan program paket C.

  c.

  Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah.

  Penyelenggara pendidikan tertinggi adalah akademi, institut, sekolah tinggi, universitas.

  GBHN (1993 dalam Hamalik, 2008), menetapkan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.

  Secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan lingkungannya, baik cara formal maupun informal. Proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok (Sunaryo, 2004).

  Yuliaw (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, serta dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahaun (Notoatmodjo, 2005).

  2.1.4. Pekerjaan

  Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Rohmat, 2010 dalam Lase, 2011).

  Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi (Notoatmodjo, 2010).

  Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagaian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan yang berbeda.

  2.1.5. Agama

  Secara etimologi kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “tidak kacau balau”. Dari makna kata ini dapat diduga bahwa diharapkan agama dapat menciptakan keadaan, kehidupan yang tidak kacau balau, walaupun dalam realitanya justru agama secara langsung atau tidak langsung sering kali menciptakan keadaan dan kehidupan yang kacau balau. Dalam bahasa inggris agama disebut religion yang berasal dari bahasa latin religare yang artinya dasarnya adalah keterikatan, maksudnya setiap orang yang menganut agama dengan sungguh-sungguh tentulah terikat kepada agama yang dianutnya (Sinulingga, 2008).

  Mubarak (2009) mengatakan bahwa, Agama (bahasa inggris religion, yang berasal dari bahasa latin religare, yang berarti menambatkan), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. (kamus filosofi dan agama) mendefenisikan agama sebagai berikut, ”sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, serta menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”. Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti “10 firman” dalam agama Kristen atau “5 rukun Islam” dalam agama Islam.

  Agama merupakan kepercayaan individu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama merupakan tempat mencari makan hidup yang terakhir atau penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang masuk ke dalam konstruksi suatu kepribadian seseorang sangat berpengaruh dalam cara berpikir, bersikap, bereaksi, berperilaku individu, dan prilaku hidup sehat (Sunaryo, 2004).

  Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Agama dan kepercayaan spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien tentang kesehatan dan penyakitnya, rasa nyeri dan penderitaan, serta kehidupan dan kematian. Sehat spiritual terjadi saat individu menentukan keseimbangan antara nilai-nilai dalam kehidupannya, tujuan, dan kepercayaan dirinya dengan orang lain. Penelitin menunjukkan hubungan antara jiwa, daya pikir, dan tubuh. Kepercayan dan harapan individu mempunyai pengaruh terhadap kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009).

  Ajaran Agama umumnya mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan hal-hal yang baik dan melarang berbuat yang tidak baik. Perbuatan baik atau yang tidak baik yang berkaitan dengan tata kehidupan. Agama memiliki aturan mengenai makanan, perilaku, dan cara pengobatan yang dibenarkan secara hukum agama. Dipandang dari sudut pandang agama apapun, pada prinsipnya mereka mengajarkan kebaikan. Sumber agama merupakan dasar dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Hal ini berarti bahwa berbuat baik dianggap melakukan perintah Tuhan, dimana perintah tersebut dianggap sebagai moral yang baik dan benar. Sedangkan larangan Tuhan adalah sebagai hal yang salah dan buruk. Persepsi yang demikian mencerminkan pola berpikir yang berpedoman pada teori etika. Pada pemahaman ini, agama dianggap mampu memberi arahan dan menjadi sumber mortalitas untuk tindakan yang akan dilaksanakan. Pada dasarnya, aturan-aturan etis yang penting diterima oleh semua agama, maka pandangan moral yang dianut oleh agama-agama besar pada dasarnya hampir sama. Agama berisi topik-topik etis dan memberi motivasi pada penganutnya untuk melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma dengan penuh kepercayaan (Sudarman, 2008).

  Sebagian dari kita menciptakan permasalahan atau penyakit sebagai jalan dalam mengarahkan diri kita ke arah kegembiraan terbesar kita. Mungkin tidak selalu terasa seperti ini manakalah pada saat kita merasa sakit atau berhadapan dengan gejala yang membatasi mobilitas kita dan menghalangi hidup kita, tetapi tentu banyak orang tumbuh melalui berbagai macam penayakit mereka, menjadi semakin sadar akan diri mereka, lebih mandiri secara spiritual. Itu membentuk kita untuk dapat memandang semua hal yang terjadi pada kita, sebagai suatu kesempatan bukan suatu bencana (Malkani, 2001).

  Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, pola hubungan agama dan kesehatan secara teoritis dapat dirincikan tiga (3) kemingkinan pola hubungan antara agama dan kesehatan.

  1. Saling berlawanan Agama dan kesehatan potensial muncul sebagai dua bidang kehidupan yang saling berlawanan atau setidaknya tema kesehatan tersebut masih menjadi wacana prokontra. Dalam batasan tertentu, hal ini menunjukan bahwa apa yang dianjurkan dalam bidang kesehatan , tidak selaras dengan apa yang dianjurkan dalam agama.

  Contohnya, penggunaan pengobatan alternatif, dalam kebatinan Jawa praktik kesehatan ada yang dilakukan oleh dukun, yaitu dukun mendapat ilmu kesehatan dari Nyi Roro Kidul. Pengakuan terhadap adanya peran makhluk halus merupakan praktik kesehatan yang bertentangan dengan ajaran agama yang lebih menekankan aspek ketulusan beribadah dan rasionalitas dalam berpikir.

  2. Saling mendukung Agama dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung.

  Contohnya, tradisi puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang diakui oleh kalangan medis dalam meningkatkan kesehatan. Oleh karena itu, ajaran agama sejatinya memiliki potensi untuk memberikan dukungan terhadap kesehatan dan begitu pula sebaliknya. Untuk menggenapkan masalah ini, secara umum dapat dikatakan bahwa dari sisi pengobatan modern ada teknologi kesehatan dan dalam agama ada moral kode etik penerapan teknologi kesehatan. Inilah peran simbiosis mutualisme antara agama dan kesehatan.

  3. Saling melengkapi Saling melengkapi merupakan adanya peran dari agama untuk mengoreksi praktik kesehatan atau ilmu kesehatan yang mengoreksi praktik (kesehatan) keagamaan. Dengan adanya saling mengoreksi ini, menyebabkan praktik kesehatan dapat dibangun lebih baik lagi. Contohnya, Islam memberikan kritik pada praktik kesehatan modern yang lebih bersifat dualistis material. Dalam dunia medis, masalah kesehatan lebih banyak dianggap sebagai masalah jasmaniah belaka. Padahal, pada kenyataannya masalah sakit dan sehat manusia dipengaruhi oleh psikis individu. Oleh karena itu, agama memberikan tambahan perspektif mengenai sakit dan sehat manusia.

  Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, fungsi agama bagi kesehatan ada tiga hal yaitu:

  1. Sumber moral Agama memiliki fungsi yang strategis untuk menjadi sumber kekuatan moral baik bagi pasien dalam proses penyembuhan maupun tenaga kesehatan. Misalnya, bagi seorang yang beragama, sehat atau sakit adalah bagian dari perilaku Tuhan bagi umatnya dan sakit adalah karena takdir Tuhan, serta hanya Tuhan jugalah yang memiliki kemampuan menyembuhkannya. Dengan keyakinan seperti ini, seorang pasien dapat memiliki semangat hidup yang lebih baik. Bagi orang yang beragama, mereka memang keyakinan bahwa perlakuan Tuhan sesuai dengan persangkaan manusia kepada-Nya. Agama menjadi sumber sugesti dan motivasi yang kuat dalam diri pasien untuk hidup secara positif.

  2. Sumber keilmuan Sejalan dengan agama sebagai sumber moral, agama pun berperan sebagai sumber keilmuan bagi bidang kesehatan. Konseptualisasi dan pengembangan ilmu kesehatan atau kedokteran yang bersumber dari agama, dapat kita sebut kesehatan profetik, dalam konteks Islam disebut dengan ilmu kesehatan Islami atau kedokteran Islami. Praktik-praktik keagamaan menjadi bagian dari sumber ilmu dalam mengembangkan terapi kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, yoga dan meditasi adalah beberapa ilmu agama yang dikonversikan menjadi bagian dari terapi kesehatan. Dalam ajaran Islam, puasa telah diakui berbagai pihak sebagai praktik agama yang dapat menyehatkan, didalam rukun Islam dan rukun iman memiliki kandungan hikmah dalam mengembangkan kesehatan mental. Agama Khususnya Islam, sebagai sumber pengembangan tenoklogi kesehatan dikemukakan oleh Osman Bakar. Dalam kaitan ini, Osmar Bakar menyebutkan empat cabang pengobatan yang dikembangkan dalam pengobatan Islam, yaitu terapi resimental seperti terapi fisik; pijat bayi dan mandi uap, terapi diet seperti pengaturan pola makan, farmakoterapi seperti obat-obatan, dan pembedahan.

  3. Amal agama sebagai amal kesehatan Seiring dengan pemikiran yang dikemukakan sebelumnya, bahwa pola pikir yang dianut dalam wacana ini adalah all for health, yaitu sebuah pemikiran bahwa berbagai hal yang dilakukan individu, mulai dari bangun tidur, mandi pagi, makan, kerja, sehat sore hari, sampai tidur lagi, bahkan selama tidur sekalipun, memiliki implikasi dan kontribusi nyata terhadap kesehatan. Seiring dengan pandangan ini, maka agama atau ritual keagamaan perlu dipahami sebagai bagian dari aktivitas manusia yang harus mendukung pada kesehatan. Oleh karena itu, selaras dengan uraian sebelumnya, dapat dikemukakan bahwa praktik agama ini memiliki kaitan dengan masalah kesehatan pikiran, asupan makanan (aspek biologis), maupun jiwa (aspek psikologis). Puasa dan sholat dalam ajaran Islam merupakan salah satu contoh amal agama yang relevan dengan aktivitas kesehatan jasmaniah. Sedangkan penekanan pada hukum makanan yang harus memuat syarat halal dan bersih merupakan amal agama yang terkait dengan nutrisi.

  Sementara pembiasaan berpikir positif merupakan bagian dari upaya membangun jiwa yang sehat.

2.1.6. Suku/budaya

  Istilah kebudayaan berasal kata budh berasal dari kata sansekerta. Dari kata budh ini kemudian dibentuk kata buddhayah, bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal/bangun atau sadar, sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal manusia. Dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah culture yang berasal dari kata latin colore, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata

  

culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa indonesia.

  Berdasarkan ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dari hasil karya manusia dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Sudarman, 2008).

  Office of minority health (OMH) menggambarkan budaya sebagai ide-ide,

  komunikasi, tindakan, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai, dan adat istiadat dari kelompok ras, etnik, agama, atau sosial. Budaya merupakan konteks dimana sekelompok individu menafsirkan dan mendefinisikan pengalaman mereka yang berkaitan dengan transisi kehidupan. Hal ini termasuk kejadian-kejadian seperti kelahiran, penyakit, dan kematian. Ini merupakan suatu sistem nilai dimana individu dapat mengerti pengalaman mereka. Budaya adalah bagaimana orang lain mendefinisikan fenomena sosial seperti saat individu sehat atau memerlukan intervensi (Kulwicky, 2003 dalam potter & ferry, 2009).

  Purnell dan Paulanka (2003 dalam Potter dan Perry, 2009) mengatakan, budaya merupakan penyebaran secara sosial dari pengetahuan, bentuk tingkah laku, nilai-nilai, kepercayaan, norma, dan gaya hidup dari kelompok tertentu yang menunjukkan pandangan mereka dan cara pengambikan keputusan. Budaya memiliki dua komponen yaitu: nyata (mudah dilihat), tersembunyi (kurang terlihat). Soekanto (2001 dalam Sunaryo, 2004) mengatakan kebudayaan adalah ekspresi jiwa terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi, dan hiburan.

  Latar belakang budaya dan etnik seseorang mengajarkan cara sehat, cara mengenali sakit, dan cara jatuh sakit. Efek penyakit dan interprestasinya berbeda tentang layanan kesehatan serta penggunaan layanan diagnostik dan kesehatan (Murray & Zentner, 2001 dalam Potter & Perry, 2009).

  Mubarak (2009) menyatakan bahwa fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sebagai berikut ini:

  1. Membantu manusia dalam melangsungkan kehidupannya atau sebagai pedoman hidup.

  2. Mengarahkan manusia untuk mengerti bagaimana harus bersikap, berperilaku, dan bertindak, baik secara individu maupun berkelompok.

  3. Memberi kepuasan dalam bidang kerohanian maupun material, walaupun tidak semua keinginan manusia dapat terpenuhi oleh kebudayaan.

  Mubarak (2009) menyatakan aspek sosial budaya yang mempengaruhi status kesehatan antara lain:

  1. Kebiasaan makan Banyak sekali penemuan para ahli sosiologi dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makan dan bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan secara baik bagi yang mengonsumsinya.

  2. Peranan makanan dalam konteks budaya a.

  Pola budaya terhadap makanan Makanan atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang berhubungan dengan sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola (sistem merupakan produk pangan sangat bergantung pada faktor pertanian di daerah tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan sangat bergantung kepada sistem sosial kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan atau makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri. Beberapa pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan adalah adanya bermacam jenis menu makanan dari setiap komunitas atau etnis masyarakat dalam mengolah suatu jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar dalam proses pembuatannya.

  b.

  Adanya perbedaan pola makan/konsumsi/makanan pokok dari setiap suku atau etnis. Contohnya, pola makan orang Timur lebih kepada jagung, orang Jawa pala makan lebih kepada beras.

  c.

  Adanya perbedan cita rasa, aroma, warna, dan bentuk fisik makanan dari setiap suku atau etnis. Contohnya, makan orang Padang cita rasanya pedas, dan orang Jawa makanannya manis.

  3. Masalah tabu dalam makanan Sistem budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap makanan, misalnya bahan-bahan makan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantang untuk dikonsumsi karena alasan sakral tertentu atau sistem budaya yang terkait di dalamnya.

  4. Pola hidup dan tradisi pemeliharaan kesehatan yang kurang baik.

  Adanya kepercayan atau mitos yang masih merugikan bagi kesehatan. Pada masyarakat di perkotaan yang mempunyai gaya hidup budaya dengan tingkat kesibukan yang tinggi karena alasan pekerjaan, seperti pada ibu di daerah perkotaan yang kurang dan tidak sering menyusui bayinya dengan air susu ibu (ASI) setelah melahirkan tetapi hanya diberikan formula susu bayi instan. Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas (masyarakat elit kota), dalam hal makanan sering mengonsumsi makanan yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instan lainya karena soal gengsi.

  Sedangkan makanan lokal kita hanya dikonsumsi oleh meraka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena ada anggapan bahwa makanan dari luar negeri kaya akan nilai gizi protein dan makanan instan lebih praktis untuk dikonsumsi, selai itu makanan lokal kita nilai gizinya lebih kepada karbohidrat.

  5. Sikap fatalisme Ajaran bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dukuasahi nasib. Fatalis erat kaitannya dengan rasa putus asa dan tidak berdaya. Secara sederhana fatalisme dapat diartikan sebagi keyakinan bahwa manusia tidak mampu mengubah apa yang telah terjadi atau tergariskan.

  6. Nilai/norma Nilai-nilai atau norma yang tidak sesuai atau kurang menunjang dalam bidang kesehatan. Contohnya, kepercayaan pada saat hamil dimana adanya larangan seperti jangan makan ikan ini karena dapat memperparah terjadinya perdarahan. Banyak yang percaya bahwa pada awal kehamilan, makanan yang asam atau makanan yang memiliki bagian yang tajam (ikan lele, ikan pari yang berduri, dan nanas) harus dihindari karena makan tersebut berhubungan dengan komplikasi pada kehamilan seperti aborsi dan perdarahan.

  Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, klasifikasi penyakit berdasarkan suku sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit di antara suku maka dibuat kalsifikasi walaupun terjadi kontroversial.

  Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan.

2.1.7. Ekonomi (penghasilan)

  Ekonomi adalah suatu ilmu mengenai keterbatasan atau kelangkaan sumber daya dan penentuan pilihannya. Samuelson memberi batasan ilmu ekonomi sebagai berikut : “Ilmu mengenai bagaimana individu atau masyarakat, dengan atau tanpa uang, menggunakan sumber daya yang terbatas, dengan berbagai pilihan pengguaannya untuk menghasilkan berbagai macam barang dan mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi saat ini atau masa yang akan datang, bagi individu atau sekelompok di masyarakat. Ilmu ini juga mengkaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya yang ada” (Lubis, 2010).

  Lubis (2010) menyebutkan bahwa, ekonomi dibagi menjadi dua bagian yaitu:

  1. Ekonomi mikro Merupakan sesuatu yang spesifik dan merupakan sesuatu yang didefenisikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi menganalisis bagian-bagian yang kecil dari seluruh kegiatan perekonomian. Hal ini yang dianalisis adalah bagian dari sistem ekonomi seperti : perilaku konsumen, supply, demand, elastisitas, supply and

  demand , pasar dan sebagainya.

  2. Ekonomi makro Merupakan sesuatu yang bersifat agregat dan merupakan analisis atau seluruh perekonomian. Analisis bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh unit-unit kecil dalam perekonomian. Menganalisis kajian sektor-sektor kesehatan dan hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang di dalamnya anatara lain: fiskal dan moneter terhadap pembiayaan kesehatan, kebijakan kesehatan.

  Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik primer maupun skunder (Soetjiningsih, 2004 dalam Suparyanto, 2010). Status ekonomi adalah kedudukan seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006 dalam Suparyanto, 2010).

  Tingkat ekonomi menurut Friedman (2004 dalam Suparyanto, 2010) membagi keluarga terdiri dari 4 tingkat ekonomi:

  1. Adekuat Adekuat menyatakan uang yang dibelanjakan atas dasar suatu permohonan bahwa pembiayaan adalah tanggung jawab kedua orang tua. Keluarga menganggarkan dan mengatur biaya secara relisitis.

  2. Marginal Pada tingkat marginal sering terjadi ketidaksepakatan dan perselisihan siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran.

  3. Miskin Keluarga tidak bisa hidup dengan caranya sendiri. Pengaturan keuangan yang buruk akan menyebabkan didahulukannya kemewahan. Diatas kebutuhan pokok, manajemen keuangan yang sangat buruk dapat atau tidak membahayakan kesejahteraan anak, tetapi pengeluaran dan kebutuhan keuangan melebihi penghasilan.

  4. Sangat Miskin Menejemen keuangan yang sangat jelek, termasuk pengeluaran saja dan berhutang terlalu banyak, serta kurang tersedianya kebutuhan dasar.

  Aristoteles (1999 dalam Suparyanto, 2010) membagi masyarakat secara ekonomi menjadi 3 kelas atau golongan terdiri atas:

  1. Golongan sangat kaya: merupakan kelompok kecil dalam masyarakat, terdiri dari pengusaha, tuan tanah, dan bangsawan.

  2. Golongan kaya: merupakan golongan yang cukup banyak terdapat dalam masyarakat, terdiri dari para pedagang dan sebagainya.

  3. Golongan miskin: merupakan golongan terbanyak dalam masyarakat, kebanyakan dari rakyat biasa Pembagian kelas sosial ekonomi berdasarkan status ekonomi terdiri dari: a. Friedman (2004 dalam Suparyanto, 2010) status ekonomi seseorang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:

  1. Penghasilan tipe kelas atas > Rp 1.000.000, 2.

  Penghasilan tipe kelas menengah = Rp 500.000 – Rp 1.000.000 3. Penghasilan tipe kelas bawah < Rp 500.000 b. Status ekonomi menurut Saraswati (2009 dalam Suparyanto, 2010) 1.

  Tipe Kelas Atas (> Rp 2.000.000).

  2. Tipe Kelas Menengah (Rp 1.000.000 -2.000.000).

  3. Tipe Kelas Bawah (< Rp 1.000.000) Menurut Friedman (2004 dalam Suparyanto, 2010) faktor yang mempengaruhi status ekonomi seseorang yaitu:

1. Pendidikan

  Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan, sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.

  2. Pekerjaan Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat. Pekerjaan jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan.

  3. Keadaan Ekonomi Kondisi ekonomi keluarga yang rendah mendorong seseorang untuk tidak teratur melakukan pemeriksaan.

  4. Latar Belakang Budaya

  Cultur universal adalah unsur kebudayaan yang bersifat universal, ada di

  dalam semua kebudayaan di dunia, seperti pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial, adat-istiadat, penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaan yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap individual.

5. Pendapatan

  Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau usaha yang telah dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai status ekonomi atau pendapatan tinggi akan mempraktikkan gaya hidup yang mewah misalnya lebih konsumtif karena mereka mampu untuk membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan keluarga yang kelas ekonominya kebawah.

  Ekonomi mempengaruhi cara reaksi klien terhadap sakit, oleh karena halangan ekonomi, seseorang dapat menunda terapi dan meneruskan aktivitas hariannya (Potter & Perry, 2009). Lingkungan sosial dapat menyangkut sosial budaya dan sosial ekonomi. Khusus menyangkut sosial ekonomi, sebagai contoh individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu menyediakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

  Sebaliknya, individu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004).

  Penelitian Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) tentang propil kesehatan Indonesia mengatakan bahwa, dari segi status sosial ekonomi tidak nampak adanya perbedaan perilaku merokok yang bermakna antara orang yang mempunyai status sosial ekonomi tinggi dengan yang status ekonominya rendah.

  Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) melakukan survei tentang melakukan aktivitas fisik secara cukup berdasarkan latar belakang atau karakteristik individu.

  Ternyata dilihat dari strata ekonomi, kolompok dari strata ekonomi rendah presentasinya lebih tinggi melakukan akitvitas fisik, dibandingkan dengan strata menengah.

2.3. Kualitas Hidup 2.3.1. Pengertian Kualitas Hidup

  Kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosia maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagian dirinya maupun orang lain. Kualitas hidup tidak terkait dengan lamanya seseorang akan hidup karena bukan domain manusia untuk menentukannya. Untuk dapat mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronik terminal itu sendiri (Suhud, 2009 dalam Lase, 2011).

  University of Toronto (2004) menyebutkan bahwa kualitas hidup adalah sejauh mana seseorang menikmati kemungkianan penting dalam hidupnya.

  Kemungkinan hasil dari peluang dan keterbatasan setiap orang yang dimiliki dalam hidupnya dan mencerminkan interaksi dari faktor pribadi dan lingkungan.

  Kenikmatan memiliki dua komponen yaitu pengalaman kepuasan dan kepemilikan.

  Menurut WHO (1994) kualitas hidup adalah sebagai persepsi individu sebagai laki-laki ataupun perempuan dalam hidup ditinjau dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal, hubungan dengan standar hidup, harapan, kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 2004).

2.3.2. Aspek Kualitas Hidup

  Ventegodt (2003) mengatakan bahwa kualitas hidup berarti hidup yang baik. Hidup yang baik sama seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi. Dalam hal ini dapat dikelompokkan dalam 3 bagian yang berpusat pada aspek hidup yang baik yaitu:

  1. Kualitas hidup subjektif yaitu hidup yang baik yang dirasakan oleh masing- masing individu secara personal mengevaluasi bagaimana meraka menggambarkan sesuatu dan perasaan meraka.

  2. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam keharmonisan.

3. Kualitas objektif yaitu bagaimana hidup seseorang dirasakan oleh dunia luar.

  Kualitas objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.

  Ketiga aspek kualitas hidup ini keseluruhan dikelompokkan dengan pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu spektrum dari subjektif ke objektif, elemen eksistensial berada diantaranya yang merupakan komponen kulitas hidup meliputi kesejahteraan, kepuasan hidup, kebahagiaan, makna dalam hidup, gambaran biologis kualitas hidup, mencapai potensi hidup, pemenuhan kebutuhan dan faktor-faktor objektif.

  1. Kesejahteraan Kesejahteraan berhubungan dekat dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam suatu dunia objektif dan dengan faktor eksternal hidup. Ketika kita membicarakan tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan pemenuhan kebutuhan dan realisasi diri.

  2. Kepuasan hidup Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika pengharapan-pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh disekitarnya maka seseorang puas, kepuasaan adalah pernyataaan mental yaitu keadaan kognitif.

  3. Kebahagiaan Menjadi bahagia bukan hanya menjadi menyenangkan dan hati puas. Menjadi bahagia merupakan perasaan yang spesial yang berharga dan sangat diinginkan tetapi sulit di peroleh. Tidak banyak orang percaya bahwa kebahagiaan diperoleh dari adaptasi terhadap budaya seseorang. Kebahagiaan diasosiasikan dengan dimensi-dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat dasar tetapi bukan dengan uang, status kesehatan atau faktor-faktor objektif lain.

  4. Makna dalam hidup Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang digunakan. Pencarian makna hidup melibatkan suatu penerimaan dari ketidak berartian dan kesangat berartian dari hidup dan suatu kewajiban untuk mengarahkan diri seseorang membuat perbaikan apa yang tidak berarti.

  5. Gambaran biologis kualitas hidup Gambaran biologis kualitas hidup yaitu sistem informasi biologis dan tingkat keseimbangan eksistensial dilihat dari segi ini kesehatan fisik mencerminkan tingkat sistem informasi biologi seperti sel-sel dalam tubuh membutuhkan informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dan untuk menjaga kesehatan dan kebaikan tubuh. Kesadaran kita dan pengalaman hidup juga terkondisi secara biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak dapat dilihat sebagai kondisi dari suatu sistem informasi biologis. Hubungan antara kualitas hidup dan penyakit diilustrasikan dengan baik dan menggunakan suatu teori individual sebagai suatu sistem informasi biologis.