Respons Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Pemberian Abu Boiler dan Pupuk Urea pada Media Pembibitan

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

  Menurut Tambunan (2009) sistematika tanaman kakao adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae ; Divisi : Spermatophyta ; Sub divisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae ; Ordo : Malvales ; Family : Sterculiaceae; Genus : Theobroma ; Spesies : Theobroma cacao L.

  Akar kakao adalah akar tunggang (radix primaria). Pertumbuhan akar kakao bisa sampai 8 m ke arah samping dan 15 m ke arah bawah. Kakao yang diperbanyak secara vegetatif pada awal pertumbuhannya tidak menumbuhkan akar tunggang, melainkan akar-akar serabut yang banyak jumlahnya. Setelah dewasa, tanaman tersebut menumbuhkan dua akar yang menyerupai akar tunggang (Soenaryo, 1983).

  Kakao dapat tumbuh sampai ketinggian 8-10 m dari pangkal batangnya di permukaan tanah. Tanaman kakao yang diperbanyak melalui biji akan menumbuhkan batang utama sebelum menumbuhkan cabang-cabang primer. Letak cabang-cabang primer yang tumbuh disebut jorket, yang tingginya 1-2 m dari permukaan tanah. Ketinggian jorket yang ideal adalah 1,2 m-1,5 m agar tanaman dapat menghasilkan tajuk yang baik dan seimbang. Ditinjau dari tipe pertumbuhannya, cabang-cabang tanaman kakao tumbuh ke arah atas (ototrop) dan ke arah samping (plagiotrop) (Sunanto, 1992).

  Daun kakao bersifat dimorfis (dua bentuk percabangan). Daun kakao terdiri atas tangkai daun dan helai daun. Panjang daun berkisar 25-34 cm dan lebarnya 9-12 cm. Daun yang tumbuh pada ujung-ujung tunas biasanya berwarna merah dan disebut daun flus, permukaannya sutera. Setelah dewasa, warna daun akan berubah menjadi hijau dan permukaannya kasar. Pada umumnya daun-daun yang terlindung lebih tua warnanya bila dibandingkan dengan daun yang langsung terkena sinar matahari. Pada tunas ototrop, panjang tangkai daunnya 7,5-10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daun 2,5 cm. Tangkai daun berbentuk silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya (Tambunan, 2009).

  Tanaman kakao bersifat kaulifori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga. Bunga kakao mempunyai rumus K

  5 C

  5 A 5 +5G(5) artinya, bunga

  disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm) (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

  Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis, dan liat. Buah akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10 hingga 30 cm (Soenaryo, 1983).

  Di dalam setiap buah, biji tersusun dalam 5 baris mengelilingi poros buah, jumlahnya beragam antara 20-50 biji per buah. Pada penampakan melintang biji, akan terlihat 2 kotiledon yang saling melipat. Biji kakao dilindungi oleh daging buah yang berwarna putih. Di sebelah dalam daging buah terdapat kulit biji yang membungkus dua kotiledon dan embryo axis. Biji kakao bersifat rekalsitran dan tidak memiliki masa dorman (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

  Syarat Tumbuh Iklim

  Kakao menghendaki curah hujan rata-rata 1500-2000 mm/tahun. Pada daerah yang curah hujan nya lebih rendah dari 1500 mm/tahun masih dapat ditanami kakao bila tersedia air irigasi. Lama bulan kering maksimum 3 bulan (Tambunan, 2009).

  Pengaruh suhu terhadap kakao erat kaitannya dengan ketersedian air, sinar matahari dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut dapat dikelola melalui pemangkasan, penataan tanaman pelindung dan irigasi. Suhu sangat berpengaruh terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun. Menurut hasil

  o o

  penelitian, suhu ideal bagi tanaman kakao adalah 30 -32 C (maksimum)

  o

  dan 18º-21 C (minimum). Kakao juga dapat tumbuh dengan baik pada suhu

  o o

  minimum 15 C per bulan. Suhu ideal lainnya dengan distribusi tahunan 16,6 C masih baik untuk pertumbuhan kakao asalkan tidak didapati musim hujan yang panjang (Karmawati, dkk, 2010).

  Lingkungan hidup alami tanaman kakao ialah hutan hujan tropis yang di dalam pertumbuhannya membutuhkan naungan untuk mengurangi pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak akan mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan batang relatif pendek. Pemanfaatan cahaya matahari semaksimal mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan intersepsi cahaya dan pencapaian indeks luas daun optimum (Firdausil, dkk, 2008).

  Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan dan suhu udara. Unsur ini berhubungan dengan timbulnya penyakit yang menyerang kakao. Pada curah hujan yang tinggi, 3-6 hari berturut-turut akan menyebabkan kelembaban udara tinggi dan munculnya cendawan Phytopthora palmivora yang menjadi penyebab busuk buah (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

  Tanah

  Tanaman kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang memiliki pH 6-7,5., tidak lebih tinggi dari 8 serta tidak lebih rendah dari 4, paling tidak pada kedalaman 1 meter. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan hara pada pH tinggi dan efek racun dari Al, Mn, dan Fe pada pH rendah (Karmawati, dkk, 2010).

  Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kadar bahan organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan (absorbsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorbsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

  Tekstur tanah yang baik untuk tanaman kakao adalah lempung liat berpasir dengan komposisi 30-40% fraksi liat, 50% pasir, dan 10-20% debu. Susunan demikian akan mempengaruhi ketersediaan air dan hara serta aerasi tanah. Struktur tanah yang remah dengan agregat yang baik menciptakan gerakan air dan udara di dalam tanah sehingga menguntungkan bagi akar. Tanah tipe latosol dengan fraksi liat yang tinggi ternyata sangat kurang menguntungkan tanaman kakao (Firdausil, dkk, 2008).

  Areal penanaman tanaman kakao yang baik tanahnya mengandung fosfor antara 257-550 ppm pada berbagai kedalaman (0-127,5 cm), dengan persentase liat dari 10, 8-43,3 %; kedalaman efektif 150 cm; tekstur rata-rata 0-50 cm > SC, CL, Si, CL; kedalaman Gley dari permukaan tanah 150 cm; pH-H2O (1:2,5) adalah 6-7; bahan organik 4%; KTK rata-rata 0-50 cm > 24 me/100 gram; kejenuhan basa rata-rata 0-50 cm > 50% (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).

  Abu Boiler

  Dalam pemrosesan buah kelapa sawit menjadi ekstrak minyak sawit, dihasilkan limbah padat yang sangat banyak dalam bentuk serat, cangkang dan tandan buah kosong, dimana untuk setiap 100 ton tandan buah segar yang diproses, akan didapat lebih kurang 20 ton cangkang, 7 ton serat dan 25 ton tandan kosong. Untuk membantu pembuangan limbah dan pemulihan energi, cangkang dan serat ini digunakan lagi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap pada penggilingan minyak sawit. Setelah pembakaran dalam ketel uap, akan dihasilkan 5% abu dengan ukuran butiran yang halus. Abu hasil pembakaran ini biasanya dibuang dekat pabrik sebagai limbah padat dan tidak dimanfaatkan (Hutahaean, 2007).

  Cangkang sawit merupakan bagian paling keras pada komponen yang terdapat pada kelapa sawit. Dalam hasil penelitian, besar kalori cangkang kelapa sawit mencapai 20000 KJ/Kg. Saat ini pemanfaatan cangkang sawit di berbagai industri pengolahan minyak CPO masih belum dipergunakan sepenuhnya, sehingga masih meninggalkan residu. Akhirnya cangkang ini dijual mentah ke pasaran dengan harga tidak sampai Rp 800/kg, yang berpotensi untuk dijadikan bahan bakar bagi keperluan rumah tangga (Rini, dkk, 2005).

  Cangkang adalah sejenis bahan bakar padat yang berwarna hitam berbentuk seperti batok kelapa dan agak bulat, terdapat pada bagian dalam pada buah kelapa sawit yang diselubungi oleh serabut. Pada bahan bakar cangkang ini terdapat berbagai unsur kimia antara lain : Carbon (C), Hidrogen (H ),

  2 Nitrogen (N 2 ), Oksigen (O 2 ) dan Abu. Dimana unsur kimia yang terkandung pada

  cangkang mempunyai persentase yang berbeda jumlahnya, bahan bakar cangkang ini setelah mengalami proses pembakaran akan berubah menjadi arang, kemudian arang tersebut dengan adanya udara pada dapur akan terbang sebagai ukuran partikel kecil yang dinamakan partikel pijar. Selain itu, pada beberapa literatur dikatakan bahwa abu boiler ini juga mengandung unsur K (kalium) yang cukup tinggi, yaitu dapat mencapai hingga 30% (Prananta, 2009).

  Abu kerak boiler adalah abu yang telah mengalami proses penggilingan dari kerak pada proses pembakaran cangkang dan serat buah pada suhu

  o

  500-700 C pada dapur tungku boiler yang dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dari pembakaran tersebut diperoleh kerak boiler (Siregar, 2008).

  Cangkang kelapa sawit yang merupakan salah satu jenis limbah padat hasil samping dari industri pengolahan kelapa sawit, saat ini masih menimbulkan permasalahan bagi lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena limbah ini diproduksi dalam jumlah besar dan sukar terdegradasi atau terurai secara alami di lingkungan. Menurut Prananta (2009), cangkang kelapa sawit mengandung lignin

  (29,4%), hemiselulosa (27,7%), selulosa (26,6%), air (8,0%), komponen ekstraktif (4,2%), abu (0,6%). Oleh karena itu, limbah ini sangat berpotensi jika dikembangkan menjadi produk-produk yang bermanfaat dan memberi nilai tambah dari aspek ekonomi serta ramah lingkungan (Hutahaean, 2007).

  Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu boiler yang telah dilakukan oleh Hutahaean (2007) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

  Tabel 1. Hasil uji komposisi unsur kimia dari abu boiler Unsur Kimia Persentase (%)

  SiO

  2 58,02

  Al

  2 O 3 8,7

  Fe O 2,6

  2

  MgO 4,23 Na

  2 O 0,41

  K O 0,72

  2 H

  2 O 1,97

  Hilang Pijar 8,59 Sumber : (Hutahaean, 2007)

  Berdasarkan hasil analisis laboratorium (Laboratorium Fakultas Pertanian UISU Medan, 2013), dalam abu boiler juga terkandung unsur N (0,78%), P

  2 O 5 (0,81), K

  masing-masing unsur hara tersebut berguna bagi pertumbuhan tanaman. Dalam Damanik, dkk (2011), senyawa-senyawa organik yang ada di dalam tubuh tanaman pada umumnya mengandung nitrogen. Beberapa senyawa nitrogen yang ada di dalam tubuh tanaman seperti protein, asam-asam amino, enzim-enzim, bahan penghasil energi seperti ADP, ATP, dan klorofil. Tanaman tidak dapat melakukan metabolisme bila kahat nitrogen untuk membentuk bahan-bahan vital tersebut. Nitrogen berperan sebagai penyusun klorofil yang dapat meningkatkan fotosintesis pada tanaman. Fosfor berperan dalam pembelahan sel dan pembentukan lemak, pembentukan bunga, buah, dan biji, merangsang perkembangan akar, dan meningkatkan kualitas hasil tanaman. Kalium memegang peranan penting dalam metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, metabolisme dan sintesis protein, mengaktifkan berbagai jenis enzim, serta mengatur membuka dan menutup stomata dan hal-hal yang berkaitan dengan air. Kalsium berperan penting untuk pembentukan lamella tengah sel, karena berperan dalam hal sintesa kalsium pekat. Kalsium juga berperan mencegah pengguguran serta proses menuanya daun, serta penyusun dinding sel.

  Magnesium berperan sebagai penyusun klorofil, pembentukan gula, mengatur penyerapan unsur hara lainnya, menstimulasi pembentukan minyak dan lemak, serta berperan dalam translokasi pati di dalam tubuh tanaman.

  Abu boiler menjadi salah satu alternatif yang dapat memberi harapan dapat memperbaiki sifat kimiawi tanah gambut sekaligus mampu mengurangi beban limbah terhadap lingkungan. Menurut Rini, dkk (2005), kandungan asam humat yang berada dalam tanah gambut dapat dinetralisir oleh abu boiler yang bersifat basa (pH 10-13), sehingga dapat mengurangi kandungan asam humat dalam tanah gambut yang mengakibatkan pH tanah menjadi naik. Dengan meningkatnya pH tanah maka akan meningkatkan sejumlah unsur hara diantaranya kalsium dan magnesium, selain itu juga meningkatkan aktifitas mikroba, mempercepat proses dekomposisi tanah dan mencegah tercucinya kation-kation basa.

  Pupuk Urea

  Pupuk Urea adalah pupuk kimia yang mengandung Nitrogen (N) berkadar tinggi. Pupuk Urea berbentuk butir-butir kristal berwarna putih, dengan rumus kimia CO(NH

  2 ) 2 , merupakan pupuk yang mudah larut dalam air dan sifatnya sangat mudah menghisap air (higroskopis). Pupuk urea yang dijual dipasaran biasanya mengandung unsur hara N sebesar 46% dengan pengertian setiap 100 kg urea mengandung 46 kg nitrogen (Angkapradipta, dkk, 1988).

  Unsur hara nitrogen yang terkandung dalam pupuk urea memiliki kegunaannya bagi tanaman yaitu, membuat daun lebih banyak mengandung butir hijau daun (chlorophyl), dapat mempercepat pertumbuhan tanaman, dapat menambah kandungan protein tanaman dan dapat dipakai untuk semua jenis tanaman, baik tanaman pangan, holtikultura, tanaman perkebunan, usaha peternakan dan usaha perikanan (Sutedjo, 2008).

  Nitrogen merupakan unsur hara makro esensial bagi tanaman yang berperan dalam proses fisiologis tanaman seperti dalam pembentukan protoplasma sel, asam amino, protein, amida, dan berbagai koenzim. Salah satu faktor penting peranan nitrogen adalah pengaruhnya terhadap penggunaan karbohidrat di dalam tanaman. Penggunaan nitrogen berpengaruh langsung terhadap sintesis karbohidrat di dalam sel tanaman dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap vigor tanaman. Nitrogen juga berperan sebagai penyusun klorofil yang menyebabkan daun berwarna hijau. Kandungan nitrogen yang tinggi di dalam tanaman, menyebabkan daun berwarna hijau dan mampu bertahan lebih lama. Bila tanaman kahat nitrogen, pertumbuhan tanaman akan terhambat, tanaman tampak kurus kerdil, dan daun berwarna kuning pucat. Kelebihan nitrogen ditandai dengan warna daun menjadi hijau gelap, sekulen, pertumbuhan vegetatif yang hebat. Pengaruh negatif kelebihan nitrogen terhadap pertumbuhan tanaman dapat dikurangi dengan pemberian hara posfor dan kalium dalam jumlah yang cukup (Damanik, dkk, 2011).

  Pupuk urea terbuat dari gas amoniak dan gas asam arang. Urea termasuk pupuk yang higroskopis (mudah menarik uap air). Pada kelembaban 73%, pupuk ini sudah mampu menarik uap air dari udara. Oleh karena itu, urea mudah larut dalam air dan mudah diserap oleh tanaman. Kalau diberikan ke tanah, pupuk ini akan mudah berubah menjadi amoniak dan karbondioksida. Padahal kedua zat ini berupa gas yang mudah menguap. Sifat lainnya ialah mudah tercuci oleh air dan mudah terbakar oleh sinar matahari (Hasibuan, 1999).

  Menurut Lindawati, dkk (2000), pupuk nitrogen merupakan pupuk yang sangat penting bagi semua tanaman, karena nitrogen merupakan penyusun dari semua senyawa protein, lemak, dan berbagai persenyawaan organik lainnya. Nitrogen juga memiliki peranan yaitu merangsang pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun. Nitrogen penting dalam hal pembentukan hijau daun yang berguna sekali dalam proses fotosintesis. Pemupukan bertujuan untuk memenuhi jumlah kebutuhan hara yang kurang sesuai di dalam tanah, sehingga produksi meningkat. Hal ini berarti penggunaan pupuk dan input lainnya diusahakan agar mempunyai efisiensi tinggi. Efisiensi pemupukan haruslah dilakukan, karena kelebihan atau ketidaktepatan pemberian pupuk merupakan pemborosan yang berarti mempertinggi input. Keefisienan pupuk diartikan sebagai jumlah kenaikan hasil yang dapat dipanen atau parameter pertumbuhan lainnya yang diukur sebagai akibat pemberian satu satuan pupuk/hara. Rekomendasi pemupukan tanaman kakao dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Rekomendasi pemupukan tanaman kakao No Umur/Fase Satuan Urea TSP/SP-36 KCl Kieserit

  1 Bibit gr/bibit

  5

  7

  4

  4 2 0-1 tahun gr/bibit

  25

  33

  20

  40 3 1-2 tahun gr/bibit

  45

  60

  35

  40 4 2-3 tahun gr/bibit 90 120

  70

  60 5 3-4 tahun gr/bibit 180 240 135 75 6 > 4 tahun gr/bibit 220 240 170 120

  Sumber : (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) Hara yang diserap tanaman dimanfaatkan untuk berbagai proses metabolisme dalam menjaga fungsi fisiologis tanaman. Gejala fisiologis sebagai efek pemupukan diantaranya dapat diamati melalui parameter yaitu bobot segar, bobot kering, kadar klorofil daun nitrogen dan magnesium jaringan. Unsur nitrogen akan meningkatkan warna hijau daun, mendorong pertumbuhan batang dan daun sedangkan magnesium merupakan faktor untuk pembentukan klorofil (Supriadi dan Soeharsono, 2005).

  Kehilangan urea akibat penguapan dapat diperkecil jika pupuk ditempatkan di bawah permukaan tanah sebelum hidrolisis. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara memasukkan dalam-dalam ke tanah, atau hanya membiarkan urea yang baru digunakan meresap ke bawah bersama air pengairan atau air hujan. Berkurangnya kehilangan urea akibat penguapan, jika dilakukan pengairan melalui permukaan yang baru dipupuk. Air pengairan dengan mudah memindahkan urea masuk ke dalam tanah sebelum urea itu sempat terhidrolisis. Dalam keadaan lembab tidak terjadi penguapan ammonia. Kerugian akibat penguapan amonia pada dasarnya dihilangkan dengan memasukkan bahan pupuk urea pada kedalaman kira- kira 5 cm (Damanik, dkk, 2011).

  Ultisol

  Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering dan tersebar luas di Sumatera. Jenis tanah ini mempunyai tekstur yang relatif berat, berwarna merah dan kuning dengan tekstur gumpal, mempunyai agregat yang kurang stabil dan permeabilitas rendah. Tanah ini umumnya berkembang dari bahan induk tua. Ciri ultisol adalah memiliki solum tanah agak tebal yaitu 90-180 cm dengan batas horison yang datar. Kandungan bahan organik pada lapisan olah adalah kurang dari 2%. Kandungan unsur hara N, P, K dan Ca umumnya rendah dan reaksi tanah (pH) sangat rendah yaitu 4-5,5 (Darmawijaya, 1997).

  Pada umumnya ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Pada klasifikasi lama, ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning (PMK).

  Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

  Ultisol dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah. Tanah ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut, dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah. Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracuanan Al dan miskin kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P dan kation- kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah dan peka terhadap erosi (Adiningsih dan Mulyadi, 1993).

  Tanah ultisol sering diidentikkan dengan tanah yang tidak subur, tetapi sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk lahan pertanian potensial, asalkan dilakukan pengelolaan yang memperhatikan kendala yang ada pada tanah tersebut. Ultisol ternyata dapat merupakan lahan potensial apabila iklimnya mendukung. Untuk meningkatkan produktivitas ultisol, dapat dilakukan melalui pemberian kapur, pemupukan, penambahan bahan organik, penanaman tanah adaptif, penerapan teknik budidaya tanaman lorong (tumpang sari), terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin. Pengapuran pada ultisol di daerah beriklim humid basah seperti di Indonesia tidak perlu mencapai pH tanah 6,5 (netral), tetapi sampai pada pH 5,5 sudah dianggap baik sebab yang terpenting adalah meniadakan pengaruh meracun dari aluminium dan penyediaan kalsium bagi pertumbuhan tanaman (Hakim, dkk, 1986).

  Pemanfaatan ultisol sebagai areal pertanian menemui berbagai kendala. Kendala kimia berupa kemasaman tanah dan kandungan alumunium pada taraf meracun tanaman, kekahatan unsur hara makro dan mikro, serta kapasitas tukar kation, kejenuhan basah, dan kadar bahan organik rendah. Sedangkan kendala fisik antara lain peka terhadap erosi dan jumlah pori makro rendah. Hal ini mengakibatkan perkolasi dan infiltrasi rendah serta aliran permukaan dan laju erosi besar (Busyra, 1995).