BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Uterus - Faktor-Faktor Resiko Kejadian Abortus Di RSUP H.Adam Malik Medan, RSUD.Pringadi Dan RS Jejaring Periode 1 Januari 2010 - 31 Desember 2012

4 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Uterus

  Uterus berbentuk seperti buah pir yang sedikit gepeng kearah muka belakang, ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga.

  Dindingnya terdiri dari otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm,

  

2 lebar 5,25 cm dan tebal dinding 1,25 cm . Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi. Uterus terdiri dari fundus uteri, korpus dan serviks uteri. Fundus uteri adalah bagian proksimal dari uterus, disini kedua tuba falopii masuk ke uterus. Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar, pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat di korpus uteri disebut kavum uteri. Serviks uteri terdiri atas pars vaginalis servisis uteri dan pars supravaginalis servisis uteri. Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis.

  2 Secara histologis uterus terdiri atas tiga lapisan :

  1) Endometrium atau selaput lendir yang melapisi bagian dalam 2) Miometrium, lapisan tebal otot polos 3) Perimetrium, peritoneum yang melapisi dinding sebelah luar.

  Endometrium terdiri atas sel epitel kubis, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan banyak pembuluh darah yang berkelok.

  Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid pada seorang wanita dalam masa reproduksi. Dalam masa haid endometrium sebagian besar dilepaskan kemudian tumbuh lagi dalam masa proliferasi dan selanjutnya dalam masa sekretorik. Lapisan otot polos di sebelah dalam berbentuk sirkuler, dan disebelah luar berbentuk longitudinal. Diantara lapisan itu terdapat lapisan otot oblik, berbentuk anyaman, lapisan ini paling penting pada persalinan karena sesudah plasenta lahir, kontraksi kuat dan menjepit pembuluh darah. Uterus ini sebenarnya mengapung dalam rongga pelvis dengan jaringan ikat dan ligamentum yang menyokongnya

  2 untuk terfiksasi dengan baik . 1,3,6,9,11

  2.2 Abortus

  Abortus adalah ancaman akan keluarnya hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup di luar kandungan, atau menurut kriteria WHO yang menyatakan berat janin atau embrio itu paling tidak telah mencapai 500 gram atau kurang yang sesuai dengan usia kehamilan 20 minggu . 14

  2.3 Abortus Berulang

  Menurut Himpunan Fertilisasi Endokrin dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) mengatakan bahwa keguguran berulang paling tidak terjadi dua kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu.

  Berdasarkan urutan kejadiannya, kejadian keguguran berulang dapat dibagi :

  1. Keguguran primer dimana terdapat kejadian keguguran sebanyak 2 kali atau lebih secara berturut-turut.

  2. Kejadian keguguran sekunder yaitu keguguran sebanyak 2 kali berturut-turut, setelah sebelumnya terdapat kehamilan yang berlangsung dari usia kehamilan 20 minggu.

  3. Keguguran tersier, terdapat keguguran sebelumnya yang diikuti dengan kehamilan usia 20 minggu dan selanjutnya diikuti dengan kejadian keguguran sebanyak 2 kali berturut-turut. 2

2.3.1 Klasifikasi abortus :

  adalah

  1. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja Abortus ini dibagai atas 5 kategori yaitu :

  a. Abortus iminens yaitu perdarahan yang terjadi pada paruh pertama kehamilan yang bisa mengacam ibu untuk terjadinya keguguran.

  b. Abortus insipien yaitu abortus yang tidak dapat terhindarkan ditandai dengan pecahnya ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks.

  c. Abortus inkomplit yaitu abortus yang terjadi dimana kanalis servikalis membuka ,jadi tidak diperlukan untuk dilakukan dilatasi serviks. d. Missed abortion yaitu retensi produk konsepsi sebelum usia kehamilan 20 minggu yang telah meninggal in utero selama ± 6 minggu. Pada kasus yang tipikal, kehamilan berlangsung normal, dengan amenore, mual dan muntah, perubahan payudara dan pertumbuhan uterus. Abortus habitualis yaitu abortus spontan terjadi selama tiga kali berturut-turut.

  2. Abortus provokatus yaitu abortus yang disengaja yang terbagi atas dua kategori yaitu : a. Abortus provokatus medisinalis yaitu abortus yang dilakukan atas indikasi medis b. Abortus provokatus kriminalis yaitu abortus yang dilakukan bukan atas indikasi medis

  Gambar 2. Klasifikasi abortus dengan gambar

2.3.2 Klasifikasi keguguran lain

14 Teknologi yang semakin canggih memungkinkan kita untuk mendeteksi

  kehamilan dengan pemeriksaan hormon human chorionic gonadotropin (hCG) dan ultrasonografi (USG) menyebabkan penentuan jenis keguguran menjadi akurat berdasarkan usia kehamilan. Tabel 1 . klasifikasi kejadian keguguran berdasarkan usia kehamilan. Hasil temuan ultrasonografi dan evaluasi kadar hCG

  Jenis keguguran Usia kehamilan

  Aktivitas DJJ USG Kadar beta hCG Kegagalan/ preembrionik

  < 6 Tidak pernah Kehamilan teridentifikasi Rendah kemudian menurun

  Kegagalan kehamilan dini/embrionik

  6-8 Tidak pernah Kantung kehamilan yang kosong atau dengan struktur yang minimal tanpa aktifitas DJJ

  Awalnya meningkat lalu menurun

  Kegagalan kehamilan lanjut / late pregnancy loss

  8-20 Hilang Tampak CRL dan tampak aktifitas DJJ sebelumnya

  Meningkat, kemudian menetap atau menurun Tabel 2. Kejadian keguguran berulang berdasarkan usia kehamilan dikaitkan dengan kemungkinan penyebab dan investigasi Jenis keguguran Kondisi yang mungkin berhubungan

  Investigasi Keguguran preembrionik dan embrionik

  Kelainan kromosom Kelainan hormon Kelainan endometrium Kelainan imunologis

  Pemeriksaan kromosom Pemeriksaan hormon Pengambilan sampel Endometrium ACA dan LA

  Keguguran janin Antifosfolipid Syndrome ( APS) Tromobofilia

  ACA dan LA Pemeriksaan hemostatis dan skrining trombofilia

  Keguguran trimester kedua Kelainan anatomi Kelemahan servikc

  Histeroskopi , USG USG

2.4 Etiologi

  Penyebab abortus bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut yaitu : 2,3,5,9,12,13,14

  1.4.1 Faktor Kromosom

  Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama yang merupakan kelainan sitogenetik. Kelainan tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi awal kehamilan, kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis misalnya non disjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. 19

  1.4.2 Kelainan Kongenital

  Defek anatomi diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus ditemukan anomali uterus pada 27 % pasien. Studi Oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8 % yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5 % mengalami persalinan abnormal (premature, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomi uterus adalah septum uterus( 40-80%), kemudian uterus bikornu atau uterus didelphi atau unikornu (10-30%). Mioma uteri bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang . Risiko kejadiannya antara 10-30% pada perempuan usia reproduksi.

  2.4.3 Inkompeten Servik

  Servik inkompeten adalah ketidakmampuan servik untuk mempertahankan kehamilan sampai dengan aterm. Insiden ini terjadi bervariasi pada semua wanita hamil, berkisar 8% s/d 15 %. Insiden ini diperkuat dari riwayat sudah pernah mengalami abortus sebelumnya. 25

  2.4.4 Autoimun

  Penyebab imunologis abortus berulang kurang dipahami, jika secara luas banyak antibodi ditemukan positif. Hubungan antara berbagai antibodi ini masih menjadi persoalan. Lebih banyak kejadian berulang abortus semakin tinggi kadar antibodi yang terdeteksi. Sekiranya ini adalah penyebab atau akibat susah ditentukan, tetapi terdapat hubungan antara regimen

  5 pengobatan yang menyebabkan pemeriksaan antibodi ini penting .

  Satu tipe yang harus diperiksa adalah antifosfolipd syndrome (APS)

  9

  yang terkait pada 15 % abortus berulang . Fosfolipid berperan dalam membran sel dan berbagai fungsi seluler seperti sintesis prostasiklin dan aktivitas protein C. Antibodi antifosfolip terkait dengan banyak penyakit termasuk kelainan vaskuler endotel dan abortus dini. Secara klasik antibodi ini terkait dengan kematian intrauterine, solusio, IUGR dan Preeklamsi.

  Diagnosis awal terkait pada abnormalitas pada koagulasi, yang dikenali sebagai antikoagulan ‘lupus’. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan koagulasi fosfolipid dependen, misalnya caolin clotting time ,plasma clotting time, APTT. Masalah utama pada pemeriksaan ini adalah kecilnya standarisasi antara pusat dan presentase rasio positif yang berbeda-beda. Satu faktor lain adalah kadar antibodi yang berubah dengan kehamilan. Beberapa wanita yang negative antibodinya sebelum hamil bisa mempunyai level antibodi yang abnormal pada kehamilan, dan harus diperiksa ulang pada trimester pertama. Abnormalitas dari respon imun merupakan salah satu penyebab abortus. Sejauh ini, belum ada teori yang terbukti diterima. Abnormalitas imun berperan dalam abortus berulang yang menyebabkan dilakukannya suatu pemeriksaan yang bersifat mahal dan berbahaya tanpa hasil yang bermanfaat secara umum.

  Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun, misalnya pada sistemik lupus eritematosus (SLE) dan antiphospolipid antibodi (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE. Sebagian kematian janin

  2 dihubungkan dengan adanya aPA .

  The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan

  19

  klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi a. Trombosis vascular - Satu atau lebih episode thrombosis arteri, vena atau kapiler yang dibuktikan dengan gambaran, pencitraan, atau histopatologi. Pada histopatologi, trombosis tanpa disertai gambaran - inflamasi.

  b. Komplikasi kehamilan - Tiga atau lebih abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik atau hormonal.

  Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi - secara sonografi normal

  • - Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan preeklamsia berat atau isufisiensi plasenta yang berat.

  

9

  c. Antibodi fosfolipid /antikoagulan - Pemanjangan skrining koagulasi fosfolipid (aPTT, PT, dan CT) - Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma platelet yang normal.

  4,9,10,24

2.4.5 Infeksi

  Teori peran infeksi mikroba terhadap kejadian abortus diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus pada perempuan yang ternyata terpapar bruselosis.

  Jenis-jenis bakteri :

  • Listeria monositogenes
  • Klamidia trakomatis
  • Ureaplasma urealitikum
  • Mikoplasma hominis
  • Bacterial vaginosis Jenis virus :
  • Sitomegalovirus • Rubella • Herpes simples virus (HSV)
  • Human immunodeficiency virus (HIV)
  • Parpovirus
Jenis-jenis parasit

  • Toksoplasmosis gondii
  • Plasmodium palsiparum

  d. Faktor lingkungan Diperirakan 1-10 % malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia atau radiasi dan umunya berakhir dengan abortus 4,6,7,8 19

2.4.6. Kelainan Endokrin

  Disfungsi endokrin dalam beberapa jalur hormon terkait dengan abortus berulang. Tidak ada peningkatan resiko abortus pada wanita dengan DM yang terkontrol, tetapi nilai HbA1C terkait kepada kadar glikogen pada awal kehamilan yang berhubungan dengan abortus spontan dan kematian janin dalam kehamilan. Penyakit tiroid tidak terkontrol juga berhubungan dengan kegagalan reproduksi, walaupun infertilitas merupakan masalah utama, beberapa penyelidikan telah melaporkan hubungan antara antibodi tiroid dan abortus berulang. Jika dilakukan pemeriksaan antibodi tiroid sebelum terjadinya abortus ditemukan positif, namun jika sudah terjadi abortus, dan diperiksa antibodi tiroid ditemukan hasil yang negatif.

  6

2.4.7 Defek Fase Luteal

  Sekresi progesteron menyebabkan perubahan endometrium yang penting untuk implantasi dan melanjutkan kehamilan. Pada fase luteal siklus menstruasi, progesteron dihasilkan dari korpus luteum. Jika terjadi kehamilan, korpus luteum menghasilkan progesteron sehingga trofoblas bisa menghasilkan progesteron sendiri (setelah 5 minggu kehamilan). Penyelidikan awal membuat hipotesa bahwa defek fase luteal dapat menyebabkan isufisiensi sintesis progesteron dan abortus berulang. Defek fase luteal terjadi karena kurangnya perkembangan dari folikel dan sekresi estrogen abnormal, yang membuat sekresi abnormal dari luteinizing hormone (LH) dan hiperandrogen.

  Diagnosis defek fase luteal ditegakkan dengan penemuan dari biopsi endometrium yang dilakukan setelah dihitung 2 hari dari tanggal ovulasi dari siklus menstruasi. Kadar progesteron bisa digunakan sebagai kriteria diagnosis untuk defek fase luteal. Walaupun bukti klinis yang mendukung defek fase luteal sebagai kondisi patologis belum ditemukan, agen progestasional sering di berikan kepada wanita dengan riwayat abortus untuk mengurangi keguguran pada trimester pertama. Pemberian suplemen progesteron mempertahankan kehamilan sampai aterm.

  19,29,28

2.4.8 Faktor Lingkungan

  Sebenarnya hanya dua etilogi yang dikenal sebagai penyebab terjadinya abortus yaitu malformasi uterus dan kelainan kromosom dari orang tua. Namun ada juga dari beberapa studi yang masih meneliti faktor risiko atau etiologi penyebab abortus yang lain.

2.4.8.1 Kafein

  kafein adalah satu substansial yang terkandung didalam makanan sehari-hari, terutama dalam kopi, dengan konsentrasi rata-rata sebanyak 107 mg/cangkir, tapi terdapat dalam konsentrasi yang rendah dalam teh, minuman bersoda, coklat dan obat-obatan.

  Kafein mudah diabsorbsi dari traktus gastrointestinal dan didistribusi ke semua jaringan organisme dan juga dapat melewati sawar darah plasenta.

  Waktu paruh plasma pada orang dewasa yang sehat adalah sekitar 2.5-4.5 jam. Namun pada ibu hamil waktu paruh meningkat sampai 10.5 jam. Pada bayi baru lahir sekitar 32-140 jam. Konsumsi tembakau dapat menurunkan waktu paruh plasma kafein, namun dapat meningkatkan waktu paruh plasma dari kafein sebanyak 20 % jika konsumsi merokok dihentikan. Konsumsi kopi selama kehamilan pada beberapa studi berkaitan dengan terjadinya abortus.

  Srisuphan dan Bracken menjumpai adanya resiko abortus lebih tinggi pada ibu yang mengkonsumsi kafein dari kopi dibandingkan dari teh atau coklat.

  Namun demikian, Mills dkk tidak menjumpai adanya kaitan yang menyebabkan terjadinya abortus.

  Ada beberapa hipotesis yang menjelaskan hubungan antara kafein dengan abortus. Kita tahu bahwa kafein meningkatkan siklus 3,5-adenosine monophospat (AMP cyclic), mengganggu perkembangan fetus dan hormon pada ibu dan janin. Kafein uga secara struktural mirip dengan adenin dan guanin. Jadi bisa secara langsung berinteraksi dengan asam nukleat, menyebabkan abrasi kromosom. Mekanisme penting lain bisa meningkatkan katekolamin yang bisa menyebabkan vasokontriksi dan menurunkan sirkulasi uteroplasenta, menyebabkan fetal hipoksia. Telah didemonstrasikan bahwa

  7 dosis kafein 200 mg dapat menurunkan aliran darah ke uteroplasenta. 29

2.4.8.2 Tembakau

  Beberapa studi menunjukkan kaitan antara kejadian abortus dengan konsumsi tembakau dan sudah dibuktikan dari beberapa studi. Beberapa komponen dari tembakau menunjukkan adanya racun yang bisa menyebab kejadian abortus, yang paling penting nikotin. Hal ini dapat menyebabkan vaskulitis sekunder menjadi vaskulitis spasme,menyebkan kelainan plasenta Tapi tidak satupun mekanisme aksi yang terbukti. Kaitan yang mungkin antara tembakau dapat menghasilkan kelainan trisomi, dari hipotesa belum di

  7 demonstrasikan.

2.4.8.3 Alkohol

  Sudah kita ketahui bahwa alkohol bisa menyebabkan beberapa efek pada perkembangan fetus. Hal ini dapat menyebabkan sindrom alkohol fetus yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh Jones dkk. Tidak ada dosis yang aman pada ibu hamil dalam mengkonsumsi alkohol. Abel dkk, mengatakan alkohol dengan kadar dalam darah lebih dari 200 mg/ml dapat secara langsung menyebabkan abortus.

  Namun demikian kaitan antara konsumsi alkohol yang sedang dan kaitannya dengan abortus spontan belum jelas. Dari beberapa studi yang ditunjukkan Harlap dan Shiono bahwa resiko terjadi pada wanita yang mengkonsumsi alkohol. Alkohol dapat melewati sawar plasenta janin, mencapai level yang sama pada ibu. Mungkin, dapat menyebabkan keracunan secara langsung, tapi satu dari produk metabolisme asetaldehid dapat mejadi teratogen yang terakumulasi pada janin.

2.4.8.3 Narkotika

  Tingkat konsumsi yang tinggi dari narkotika pada masyarakat memicu beberapa studi untuk mencari penyebab efek samping terhadap ibu hamil.

  Kokain adalah substansi yang berasal dari tanaman yang dijumpai di daerah Amerika Selatan disebut Erytroxylon coca.

  Beberapa studi menunjukkan kemungkinan resiko efek samping dengan mengkonsumsi kokain selama kehamilan. Kokain memblok reuptake dari katekolamin pada syaraf pusat, edapat meningkatkan konsentrasi efektor terminal di dalam aliran darah. Jadi hal ini dapat menyebabkan vasokontriksi plasenta, dan menurunkan aliran darah uterus, dan jika level norepinefrin meningkat dapat meningkatkan kontraksi uterus. Pada binatang terjadi penurunan oksigen pada janin, dan menyebabkan fetal takikardi setelah mengkosumsi kokain telah didemonstrasikan.

  Mengenai obat-obatan lain, faktor resiko yang berkaitan dengan konsumsi marijuana belum pernah didemonstrasikan. Konsumsi heroin telah menunjukkan pertumbuhan janin yang terganggu dan kematian janin dalam

  7 kandungan.

2.4.9 Paritas

  Lebih dari 80% abortus terjadi pada 12 minggu usia kehamilan, dan sekurangnya separuh disebabkan oleh kelainan kromosom. Resiko terjadinya abortus spontan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah paritas, sama atau seiring dengan usia maternal dan paternal (Warburton and Fraser, 1964 menurut Elias senbeto juga melalukan penelitain pada jumlah paritas yang > 2(1-3) pada 567 pasien dijumpai sekitar 48,4% mengalami abortus sedangkan pada kelompok paritas 4-6 pada 413 pasien dijumpai kejadian abortus sekitar 33,7%. 15,16,17,26

2.4.10 Trauma

  Trauma pada ibu hamil merupakan kondisi emergensi yang menjadi tantangan bagi setiap dokter. Perubahan fisik selama kehamilan menjadi topeng terhadap gejala dan menimbulkan misinterpretasi. Keterlambatan dalam mendiagnosa dan menerapi menyebabkan komplikasi dan kematian bayi. Pada penelitian oleh Aditya Noor tentang hubungan riwayat trauma terhadap kejadian abortus mengatakan resiko trauma berkorelasi dengan abortus yaitu dijumpainya berkisar 49% lebih sering terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor. Trauma maternal penyebab non obstetrik utama yang

  (15) meningkatkan proporsi kematian antara ibu dan janin .

  Cunningham mengatakan bahwa wanita hamil selamat dari abortus berkisar 10-20 %. Dari study California 4,8 juta kehamilan oleh El Kady (2004,2005) hampir 1 dalam 350 wanita dirawat karena kecelakaan. Audit dari Parkland hospital, Hawkins dan rekan mengungkapkan kecelakan kedaraan bermotor terjadi sekitar 85%.

  1,2,18,20,24

2.4.11 Usia

  Usia mempengaruhi angka kejadian abortus yaitu pada usia di bawah 20 tahun dan diatas 35 tahun, kurun waktu reproduksi sehat adalah 20-30 tahun dan keguguran dapat terjadi pada usia muda, karena pada usia muda/ remaja, alat reproduksi belum matang dan belum siap untuk hamil.

  Menurut Cunningham 2005 frekuensi abortus bertambah dari 12 % pada wanita 20 tahun, menjadi 26 % pada wanita diatas usia 40 tahun.

  Penyebab keguguran yang lain adalah kelainan sitogenetik. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadik, misalnya nondijunction meiosis atau poliploidi dari fertilisasi abnormal.

  Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, dimana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh 2 sperma sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogensis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia.

  2,20,21,22

  2.4.12 Pendidikan

  Umumnya ibu yang mengalami abortus terjadi pada pendidikan yang rendah dibandingkan pendidikan yang tinggi. Menurut Prawirohardjo (2008), bahwa kejadian abortus pada wanita terjadi pada pendidikan yang lebih rendah. Menurut Elias Senbeto (2005) juga menyatakan bahwa pendidikan yang lebih rendah lebih sering mengalami abortus yaitu tingkat 1-6, tingkat 7- 12 dan tingkat diatas 12, pada penelitian itu disebut bahwa tingkat 7-12 lebih banyak terjadi abortus dibanding pada tingkat 1-6. Menurut penelitian Saifuddin (2002) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan makin rendah tingkat kejadian abortus. Secara teoritis diharapkan wanita yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya . 30

  2.4.13 Pekerjaan

  Kaitan antara pekerjaan dengan angka kejadian abortus berkaitan satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan wanita dengan pekerjaan dengan pendapatan rendah berkaitan dengan tingkat abotus yang tinggi, dikarenakan pengawasan selama kehamilan yang rendah karena terkendala biaya perobatan. Tingkat sosioekonomi yang rendah berkaitan dengan tingkat stress yang tinggi .

  Dua puluh tujuh persen kejadian abortus terjadi pada pasien di bawah garis kemiskinan (Rachel McNair et al). Ketidakmampuan wanita dari sudut ekonomi sebagai pemicu terjadi abortus kriminalis atau legal abortion. Hal ini juga dikaitkan dengan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada terjadinya perceraian. Di Altanta Hospital dikatakan bahwa banyaknya wanita yang mengalami abortus dikaitkan dengan masalah finansial. 20

  2.4.14 Riwayat Induksi Abortus

  Masih ada kontroversi terhadap resiko terjadinya abortus setelah riwayat induksi abortus sebelumnya. Levin dkk mengatakan resiko mencapai 2,3-3,3 kali lebih tinggi pada wanita dengan riwayat abortus dua kali dan 8,1 lebih tinggi lebih tinggi pada wanita dengan riwayat abortus tiga kali atau lebih. Rivard dan Gauthier mengatakan odds ratio 1,41 pada penderita abortus dengan riwayat induksi abortus, 4,43 setelah 2 kasus dan 1,35 setelah tiga kasus. Walau bagaimanapun, Hogue dkk tidak menemukan risiko tinggi keguguran yang terkait abortus 23,29

  2.4.15 Kehamilan Yang Tidak Diinginkan

  Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan merupakan masalah utama bagi tiap pasangan. Menurunkan angka kehamilan yang tidak diinginkan merupakan hal yang penting pada dibagian departemen kesehatan. Wanita yang tidak mengingikan kehamilan berkaitan dari perilaku ibu yaitu ante natal

  

care yang inadekuat, merokok, peminum, kurang asupan gizi ibu dan

kesehatan mental ibu yang berpengaruh terhadap janin.

  Efek dari kehamilan yang tidak diinginkan pada usia anah sekolah berujung pada keluarnya anak tersebut dari sekolahnya. Keluarnya mereka dari sekolah berdampak pada gangguan psikis dan dampak sosial lingkungannya. Perempuan yang keluar sekolah cenderung merupakan golongan pengangguran dikarenakan tingkat sumber daya manusia yang rendah dan pendapatan yang rendah .

  Presentase kehamilan yang tidak diiniginkan meningkat sedikit antara tahun 2001 (48 %) tahun 2006 (49%). Presentase kehamilan yang tidak diinginkan secara umum menurun dengan usia yaitu lebih dari 4 dari 5 kehamilan yang tidak diinginkan berada pada usia 19 tahun atau kurang .

  Wanita dengan pendidikan dan pendapatan yang rendah memiliki tingkat kehamilan yang tidak diinginkan lebih tinggi. Kehamilan yang tidak diinginkan ini lebih tinggi pada ras kulit hitam. Tingkat kehamilan yang tidak diinginkan itu meningkat pada status pernikahan yang tidak jelas, dan juga ada hubungan dengan faktor religi, dimana wanita yang tidak memiliki agama juga menyebabkan terjadinya peningkatan kehamilan yang tidak diinginkan. 5,9, 28

2.5 Penatalaksanaan Abortus

  Panduan RCOG atas penatalaksanaan abortus meliputi tindakan bedah, pengobatan dan manajemen ekspektatif. Pasien harus diberikan pilihan dengan memberikan penjelasan lebih awal. Unit penanganan ibu hamil trimester pertama secara esensial yaitu manajemen ekspektatif dan pengobatan terhadap abortus.

  1. Tindakan pembedahan Evakuasi tindakan pembedahan uterus masih merupakan pilihan pertama jika terjadi perdarahan yang masif atau tanda-tanda vital yang tidak stabil atau adanya jaringan yang terinfeksi di dalam rongga uterus. Namun tindakan bedah sering menyebabkan komplikasi, perdarahan, perforasi uterus, robekan servik, trauma intra abdominal, adhesi intrauterine dan juga komplikasi dari anastesi. Panduan RCOG mengemukakan pada tindakan evakuasi bedah harus menggunakan suction kuret, dimana tindakan ini lebih aman dan mudah dibandingkan dengan menggunakan alat kuret yang tajam. Pada semua kasus yang memerlukan tindakan pembedahan diperlukan tindakan ripening pada servik.

  2. Manajemen pengobatan.

  Keuntungan dari manajemen pengobatan adalah untuk menghindari risiko dari tindakan pembedahan dan anastesi. Namun, pasien bisa merasakan nyeri abdomen karena perdarahan yang hebat. Berbagai cara metode medis telah diterangkan dengan menggunakan prostaglandin analog (misoprostol) dengan antiprogesteron lini pertama. Penting untuk pasien mempunyai akses 24 jam ke instalasi gawat darurat untuk mendapatkan rawat inap, karena 1/3 dari pasien akan mengalami perdarahan ataupun abortus pada fase primer tetap mengalami abortus walaupun sudah di obati dengan anti-progesteron. Mifepriston dapat menyebakan nyeri abdomen ,mual,muntah dan diare. Penting untuk memberitahu pasien tentang efek samping dari obat ini.

  3. Manejemen ekspektatif Walapun manajemen ekspektatif dapat menghindari risiko berkaitan dengan tindakan bedah dan anastesi, ia dapat memakan waktu beberapa minggu sebelum terjadi abortus komplit. Pasien harus diberi inform konsen yang paripurna jika tidak pasien akan meminta dilakukan tindakan pembedahan selama periode observasi.

  Gambar 3. Evakuasi konsepsi dengan sendok kuret Gambar 4. Kuretase dengan 2 cara ,suction kuret dan sendok kuret

2.6 Kerangka Teori

FAKTOR MATERNAL

  FAKFAFA

  1. Faktor kromosom

  2. Kelainan congenital 3.

  Autoimun

  4. Serviks inkompeten

  5. Infeksi 6.

  Kelainan endokrin

  7. Defek fase luteal

  8. Faktor lingkungan

  9. Trauma

  10. Usia

  11. Pendidikan

  12. Paritas

  13. Kehamilan yang tidak diinginkan

  14. Pekerjaan ABORTUS

  Faktor fetal 1. Kelainan genetic

  2. Kelainan perkembangan zigot

2.7 Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen

  1. USIA

  2. PARITAS IBU

  3. PENDIDIKAN IBU

  4. TRAUMA

  5. PEKERJAAN IBU

  6. Hb

  7. Leukosit ABORTUS

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor Resiko Kejadian Abortus Di RSUP H.Adam Malik Medan, RSUD.Pringadi Dan RS Jejaring Periode 1 Januari 2010 - 31 Desember 2012

1 67 70

Karakteristik Pasien Kondiloma Akuminata Di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode 1 Januari 2008 - 31 Desember 2011

1 61 53

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis - Karakteristik Pasien Psoriasis di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010 – Desember 2012

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Profil Penderita Fraktur Klavikula di RSUP H. Adam Malik Periode Januari 2013 - Desember 2014

0 3 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teoritis II.1.1 Definisi - Gambaran Penderita Radius Distal Fraktur di RSUP H. Adam Malik Periode 1 Januari 2012 -31 Desember 2013

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Retina 2.1.1. Anatomi Retina - Karakteristik Penderita Retinoblastoma di RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2011 – Desember 2013

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Preeklampsia 2.1.1 Definisi - Kadar Homosistein Dengan Keparahan Preeklampsia Di RSUP.H.Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN - Hubungan Jenis Histerektomi Dengan Komplikasi Operasi Pada Pasien Dengan Kelainan Ginekologi Di RSUP. H. Adam Malik Medan Periode 1 Januari 2010 S/D 31 Desember 2012

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi - Profil Kanker Penis Di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Periode 2008- 2011

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi Hidung - Profil Tumor Yang Berasal Dari Kavum Nasi Dan Sinus Paranasal Berdasarkan Histopatologis Di THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2009 – Desember 2011

0 0 28