BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teoritis - Situs Berita Online dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi(Studi Korelasional Situs Berita Online detikcom Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Informasi Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU)

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1 Kerangka Teoritis

  Dalam melakukan penelitian ilmiah, peneliti harus menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir dab sebagai sudut pandang peneliti untuk mendukung pemecahan masalah yang jelas dan tepat. Adapun teori-teori yang digunakan peneliti adalah :

2.1.1 Komunikasi

  Kehidupan manusia ditandai dengan pergaulan di antara manusia dalam keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, tempat bekerja, organisasi sosial, dan lain sebagainya. Sebagai mahkluk sosial, komunikasi merupakan unsure terpenting dalam kehidupan manusia. Menurut lasswell dalam bukuna “the

  

structure and function of communication in society”. Cara yang baik untuk

  mendefenisikan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut :

  who,says, what, in which channel, to whom, with what effect (Rakhmat,2002)

  Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi, sengaja maupun tidak sengaja. Tidak terbatas pada konteks komunikasi verbal, tapi juga dalam konteks ekspresi muka, seni dan teknologi (Shannon dan Weaver dalam Cangara, 2006:19)

  Effendy dalam bukuna “ilmu Komunikasi dalam teori dan praktek”, menyatakan fungsi komunikasi adalah sebagai berikut :

  1. Menginformasikan (to inform) yang memberikan informasi kepada masyarakat, memberitahukan kepada masyarakat mengenai peristiwa yang terjadi, ide, atau fikiran, dan tingkah laku orang lain. Serta segala sesuatu yang disampaikan orang lain.

  2. Mendidik (to educate) yaitu sebagai sarana pendidikan, dengan komunikasi manusia dapat menyampaikan ide dan pikirannya kepada orang lain sehingga orang lain mendapatkan informasi dan pengetahuan.

3. Menghibur (to entertaint) yaitu komunikasi berfungsi untuk menyampaikan hiburan atau menghibur orang lain.

  4. Mempengaruhi (to influence) yaitu fugsi mempengaruhi setiap individu yang berkomunikasi, tentunya dengan cara saling mempengaruhi jalan pikiran komunikasi dan lebih jauh lagi berusaha merubah sikap dan tingkah laku komunikasi sesuai dengan yang diharapkan (Effendy,2003).

2.1.2 Komunikasi Massa

  Ahli komunikasi massa Joseph A Devito merumuskan defenisi komunikasi massa yang pada intinya mengemukakan penjelasan tentang massa serta tentang media yang digunakannya. Devito mengemukakan defenisinya dalam 2 item, yakni yang pertama, komunikasi massa adalah ang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual (Ardianto, 2004:6) Ciri-ciri komunikasi antara lain : 1.

  Komunikator bersifat melembaga, komunikator dalam komunikasi masa itu bukan satu orang tetapi kumpulan orang-orang. Artinya gabungan antara berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam suatu lembaga.

2. Komunikan bersifat anonym dan heterogen.

  Artinya pengguna media itu beragam pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial, tingkat ekonomi, latar belakang budaya, agama,atau kepercayaan yang tidak sama pula dan komunikator tidak mengenal komunikan karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka (Ardianto,2004:9) 3. Pesan bersifat umum

  Pesan-pesan dalam komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu. Dengan kata lain, pesan- pesan itu ditujukan kepada khalayak plural. Oleh karena itu pesan-pesan yang dikemukakan tidak boleh bersifat khusus atau ditujukan untuk golongan tertentu

  4. Komunikasinya berlangsung satu arah Komunikator aktif menyampaikan pesan dan komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antarpribadi, karena melalui media massa. Dengan demikian komunikasi bersifat satu arah

  5. Menimbulkan keserempakan Dalam komunikasi massa itu ada keserempakan dalam proses penyebaran informasi. Serempak disini berarti khalayak bisa menikmati media massa tersebut hampir bersamaan.

  6. Mengandalkan peralatan teknis Peralatan teknis adalah sebuah keniscayaan yang sangat dibutuhkan media massa tak lain agar proses pemancaran atau penyebaran pesanna bisa lebih cepat dan serentak kepada khalayak tersebar 7.

   Dikontrol oleh Gatekeeper

  Gatekeeper berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Gatekeeper juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan, menganalisis, menambah atau mengurangi pesan-pesannya. Intinya adalah pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa

  Pada umumnya, komunikasi massa memiliki fungsi yang terdiri dari: 1.

  Fungsi pengawasan Media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan terhadap aktivitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dapat dilakukan untuk aktivitas preventif untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

  2. Fungsi social learning Fungsi utama dari komunikasi massa melalui media massa adalah melakukan

  guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahan-pencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu berlangsung.

  3. Fungsi penyampaian informasi Komunikasi yang mengandalkan media massa memiliki fungsi utama yaitu menjadi proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas.

  4. Fungsi transformasi budaya Komunikasi massa sebagaimana sifat-sifat budaya massa, maka yang terpenting adalah komunikasi massa menjadi proses transformasi budaya yang didukung oleh media massa.

  5. Hiburan Fungsi lain dari komunikasi adalah hiburan, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hiburan, fungsi-fungsi hiburan yang ada pada media massa juga merupakan bagian dari komunikasi massa.

  Teori komunikasi massa adalah sebuah formulasi manusia, hasil dari sebuah usaha aktif oleh komunitas ilmiah untuk memahami dunia sosial mereka. Komunitas ilmiah tersebut berbeda dalam hal tujuan atau dalam hal untuk apa teori yang telah mereka buat akan digunakan. Oleh karena teori komunikasi massa dikembangkan selama masa social politik spesifik serta dalam konteks media dan teknologi yang spesifik, teori ini juga bersifat dinamis; yaitu teori ini mengalami perubahan.

  Secara hakiki, pemahaman kontemporer kita terhadap teori komunikasi massa adalah produk dari empat era perkembangannya. Era teori masyarakat massa di tandai dengan adanya ketakutan yang berlebihan terhadap pengaruh media terhadap orang “biasa” dan pandangan yang terlalu optimis bahwa media dapat membawa perubahan sosial. Kaum elit sosial dan budaya yang berkuasa, yang melihat tatanan sosial yang selama ini menguntungkan mereka merasa terancam dan tergeroroti oleh konten media popular, merupakan pendukung utama dari pandangan sebelumnya. Kaum elit urban-kelompok kapalitas baru yang memiliki kekuasaan yang terus meningkat dan berbasis industrialisasi dan urbanisasi- memandang teknologi , termasuk media massa, sebagai alat control terhadap lingkungan fisik, alat untuk memperbesar produktivitas manusia, dan alat untuk memperoleh bentuk kekayaan material baru. Kedua kelompok ini mengabaikan fakta bahwa kekuatan komunikasi massa terletak pada penggunanya oleh manusia.

  Pada era kedua teori komunikasi massa, perkembangan perspektif ilmiah mengenai komunikasi massa memunculkan perspektif efek terbatas. Untuk melayani kebutuhan klien iklan dan dalam rangka mempertahankan Negara dari ancaman propaganda, para peneliti komunikasi beralih pada riset dan teori administratif untuk mengarahkan penelitian mereka mengenai pengaruh media. Pergeseran ini mendiskreditkan teoritikus masyarakat masyarakat massa sebagai “ tidak ilmiah“. Posisi mereka digantikan oleh teoritikus efek terbatas yang berpendapat bahwa karena manusia dapat melawan kekuatan media dan karena manusia dipengaruhi oleh beragam factor yang saling berpengaruh seperti keluarga dan teman, komunikasi massa lebih sering digunakan untuk memperkuat kembali tren social yang sudah ada dan memperkuat ( bukan mengancam ) status

  

quo . Pluralisme elit adalah sebuah contoh dari teori efek terbatas. Teori ini

  menyatakan bahwa masyarakat demokratis terbentuk dari kelompok pluralitis yang saling terkait dan di pimpin oleh seorang opinion leader yang mengandalkan media untuk memperoleh informasi politik dan dunia social. Para pemimpin ini biasanyamelek informasi walaupun banyak para pengikutnya yang apatis dan tidak peduli. Hasilnya, demokrasi dapat berjalan dengan baik.

  Akan tetapi, ide yang menyatakan bahwa media dapat mempengaruhi budaya dalam skala besar belumlah mati. Pada era ketiga ini, teori komunikasi massa kembali bergeser pada kajian budaya dan kajian kritis, yang di gerakkan terutama oleh teori tikus budaya Eropa, yang menganut paham neo-Marxis mengenai pemanfaatan kekuasaan oleh para elite ekonomi dan politik. Kajian media inggris yang berfokus pada peran media massa dalam memperkenalkan cara pandang hegemonis dan budaya dominan adalah contoh dari teori budaya kritis yang tumbuh pada era ini.

  Saat ini kita berada pada era keempat dari teori komunikasi massa, kemunculan perspektif penciptaan makna. Era ini mengakui bahwa komunikasi massa memang bisa sangat kuat tetapi, bisa juga biasa saja, bahkan tidak punya kekuatan sama sekali- karena adanya khalayak aktif yang dapat (dan sering) menggunakan media untuk menciptakan pengalaman bermakna untuk diri mereka sendiri. Teori framing yang menegaskan bahwa manusia menggunakan harapannya terhadap dunia sosial untuk memahami dunia dan gerak melek media, yang meminta peningkatan kemampuan orang dalam mengakses, menganalisis, dan mengkomunikasikan pesan media, adalah dua contoh dari teori penciptaan makna ini.

  Proses perkembangan teori komunikasi massa ini belumlah tersusun secara baik dan semua permasalahan juga belum terselesaikan. Satu sumber ketidaksepakatan terus-menerus antarpeneliti media disebabkan oleh perbedaan level analisis masing-masing, yaitu pada level efek mana yang menjadi pusat perhatian para peneliti. Mereka yang beroperasi pada level mikroskopik meneliti efek media pada level individu. Sementara mereka yang bergerak pada level makroskopik berharap dapat melihat efek media pada level sosial dan budaya yang lebih luas.

2.1.3 Internet dan Media Online

  Internet adalah jaringan komputer dunia yang mengembangkan APRANET, suatu sistem komunikasi yang terkait dengan pertahanan-keamanan yang dikembangkan pada tahun 1960-an. Manfaat sistem komunikasi yang berjaringan ini dengan cepat ditangkap oleh para peneliti dan pendidik secara umum.

  Faktor utama yang berperan dalam pestanya pertumbuhan internet adalah potensi e-commerce. Dengan internet, hampir semua orang di belahan dunia mana pun dapat berkomunikasi dengan cepat dan mudah. Fitur internet yang paling popular adalah e-mail dan word wide web. E-mail adalah sebuah fitur yang dipakai oleh pengguna internet untuk bertukar pesan dengan orang lain yang memliki alamat e-mail. World wide web (www.) adalah sebuah sistem situs komputer yang sangat luas yang dapat dikunjung oleh siapa saja dengan program browser (Werner dan James. 2008: 445).

  Menurut LaQuey yang membedakan internet dengan teknologi komunikasi tradisional adalah tingkat interaksi dan kecepatan yang dapat dinikmati pengguna untuk menyiarkan pesannya. Internet adalah perkakas sempurna untuk menyiagakan dan mengumpulkan sejumlah besar orang secara elektronis. Informasi mengenai suatu peristiwa tertentu dapat ditransmisikan secara langsung sehingga membuatnya menjadi suatu piranti meriah yang sangat efektif. Informasi penting yang tersedia di internet jumlahnya terus meningkat.ini mencakup berbagai arsip gratis dan arsip umum, katalog perpustakaan, layanan pemerintah dan sebagainya serta pangkalan-data komersial.

  Seperti yang dijelaskan oleh Sayling Wen (2001), sekarang ini yang terpenting dan paling luas adalah internet, yang menghubungkan komputer- komputer pribadi yang paling sederhana hingga komputer-komputer super yang paling canggih inilah struktur jaringan yang saling berhubungan. Perkembangan lain dari internet adalah mesin pencari dan pelacak seperti browsers dan search engines melalui mesin ini informasi atau teks dalam situs manapun dapat dilacak. Para pengguna juga dapat berpindah-pindah diantara hubungan-hubungan yang ada, membaca, mendengarkan, dan mencetak seolah-olah mereka berada di perpustakaan. Lebih dari itu, mereka dapat mencari informasi yang relevan dengan menyaring sekumpulan besar data. Kekuatan internet bukan sekedar pada kecanggihan hardwere tapi juga pada kerumitan softwere-nya. Aplikasi softwere komunikasi dan kolaborasi koneksi digunakan untuk mendukung komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi jaringan yang ada dalam cybercommunication.

  Perkembangan digitalisassi produksi berita dan kemampuan menyebarkan berita secara cepat akan menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalisme media online. Diawali dari munculnya citizen jurnalism, melalui blog-blog pribadi yang dapat digunakan secara gratis, perlahan-lahan secara tidak langsung kegiatan pemberitaan di internet mulai dilakuakan meskipun susunan dan kajian yang dibahas tidak selalu konsisiten dengan waktu dan kejadian, namun hal ini dinilai sebagai awal munculnya media online.

  Penemuan portal web menyebabkan revolusi besar-besaran di bidang jurnalisme dengan munculnya online (cyber) jurnalisme, revolusi ini berkaitan dengan kecepatan penyebaran pesan kepada khalayaknya. Sebuah kejadian dapat ditulis dan disebarkan ke seluruh dunia hanya beberapa detik setelah peristiwa tersebut tejadi. Kemudian dengan hadirnya media online memungkinkan munculnya varisasi pemberitaan disertai gambar-gambar ekslusif dan menarik, gambar tersebut tersaji secara jernih seperti gambar-gambar yang terdapat dikomputer.

  Dapat dikatakan media online adalah suatu wadah (media) yang berfungsi menyampaikan pesan informasi kepada khlayak dengan waktu penyajian yang relatif cepat dibandingkan dengan media massa cetak dan televisi.

  Media online merupakan produk jurnalistik online. Jurnalistik online- disebut juga cyber journalism- didefenisikan sebagai pelaporan fakta atau persitiwa yang diproduksi dan didistribusikan melalui internet.

  Secara teknis atau “fisik”, media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Termasuk kategori media online adalah portal, website (situs web, termasuk blog) radio online, TV online, dan email.

  Karakteristik Media Online

  Karakteristik dan keunggulan media online dibandingkan media konvensional (cetak/elektronik) antara lain:

  • Kapasitas luas – halaman web bisa menampung naskah sangat panjang.
  • Pemuatan dan editing naskah bisa kapan saja dan di mana saja.
  • Jadwal terbit bisa kapan saja, setiap saat.
  • Cepat, begitu di-upload langsung bisa diakses semua orang.
  • Menjangkau seluruh dunia yang memiliki akses internet.
  • Aktual, berisi info aktual karena kemudahan dan kecepatan penyajian.
  • Update, pembaruan informasi terus dan dapat dilakukan kapan saja.
  • Interaktif, dua arah, dan “egaliter” dengan adanya fasilitas kolom komentar, chat room, polling, dsb.
  • Terdokumentasi, informasi tersimpan di”bank data” (arsip) dan dapat ditemukan melalui “link”, “artikel terkait”, dan fasilitas “cari” (search).
  • Terhubung dengan sumber lain (hyperlink) yang berkaitan dengan informasi tersaji.

2.1.4 New Media

  New Media atau Media baru merupakan istilah yang digunakan untuk semua media komunikasi yang berlatar belakang teknologi komunikasi dan informasi. Istilah media baru telah digunakan sejak tahun 1960-an dan telah mencakup sepeangkat teknologi komunikasi terpaan yang semakin berkembang dan beragam (McQuail, 2011). Media baru dapat berarti “sebuah rangkaian perubahan yang luas pada produksi media, distribusi media, dan penggunaan media” (Lister, 2003;9)

  Pengelompokan media baru menjadi empat kategori. Pertama, media komunikasi interpersonal yang terdiri dari telepon, handphone, e-mail. Kedua, media bermain interaktif seperti komputer, videogame, permainan dalam internet. Ketiga, media pencarian informasi yang berupa portal/ search engine. Keempat, media partisipasi kolektif seperti penggunaan internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat, pengalaman dan menjalin melalui komputer dimana penggunanya tidak semata-mata untuk alat namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional (McQuail,2000:127).

  Secara lebih tegas dikatakan oleh (Ganley dalam Ward, 1995;284) bahwa : “Media baru memungkinkan individu memainkan peranan yang lebih aktif sebagai warga negara sekaligus sebagai konsumen karena media baru meningkatkan akses dari warga Negara yang biasa menjadi lebih terinformasi secara politis yang memungkinkan peningkatan demokrasi. Meskipun begitu harus dilihat bahwa media baru tidak menutup kemungkinan adanya kesenjangan pengetahuan antara orang yang mempunyai informasi dengan yang tidak mempunyai informasi”.

  Kehadiran jenis-jenis media baru telah memperluas dan merubah keseluruhan spektrum pribadi dari kemungkinan-kemungkinan sosio-teknologi terhadap komunikasi publik. Media social seperti Facebook dan Twiter merupakan jenis-jenis media baru yang termasuk dalam kategori online media. Jenis-jenis media ini memungkinkan orang bisa berbicara, berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan jejaring secara online. Tindak komunikiasi melalui media sosial secara intensif dapat dilakukan diantara penggunanya.Indonesia adalah Negara ketiga setelah AS dan India yang warganya menggunakan Facebook sebagai medium untuk berkomunikasi. Disamping tindak komunikasi yang berlangsung secara intensif, pengguna juga cenderung berkomunikasi secara ekspresif. Orang bisa merasa lebih jujur dalam menyampaikan pesan-pesan yang ingin dipertukarkan dengan orang lain. Melalui media sosial, aktivitas pengungkapan diri (self-disclousure) dapat dilakukan hampir tanpa hambatan psikologis, bahkan mungkin proses penetrasi sosial seperti layaknya dalam jalinan komunikasi antar pribadi, dari tahapan orientation menuju stable exchange bisa berjalan dengan intensif. Tidak bisa dipungkiri bahwa komunikasi melaui media sosial telah memungkinkan warga dapat menciptakan solidaritas sosial, sebagaimana yang terjadi di Negara kita beberapa waktu yang lalu (Koin untuk Prita Mulyasari dan Koin untuk Bilqis), meskipun dampak negatif dari pemanfaatan media sosial juga tidak bisa dihindari.

  Dalam catatan McQuail (2010: 141), ada perubahan- perubahan penting yang berhubungan dengan munculnya media baru, yaitu:

  1. Digitalisasi dan konvergensi semua aspek dari media 2.

  Interaktivitas dan konektivitas jejaring yang meningkat.

  3. Mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaaan (pesan) 4.

  Adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak.

  5. Munculnya beragam bentuk baru media ‘gateway’ yaitu pintu masuk untuk mengakses informasi pada Web atau untuk mengakses Web itu sendiri.

  6. Fragmentasi dan kaburnya ‘institusi media’ McQuail (2010: 144) juga menguraikan ciri-ciri utama yang menandai perbedaan antara media baru dengan media lama (konvensional) berdasarkan perspektif pengguna, yaitu: 1.

  Interactivity: diindikasikan oleh rasio respon atau inisiatif dari pengguna terhadap ‘tawaran’ dari sumber/pengirim (pesan).

  2. Social presence (socialbility): dialami oleh pengguna, sense of personal

  contact dengan orang lain dapat diciptakan melalui penggunaan sebuah

  medium. Media richness, media (baru) dapat menjembatani adanya perbedaan kerangka referensi,

  3. Autonomy: seorang pengguna merasa dapat mengendalikan isi dan menggunakannya dan bersikap independen terhadap sumber.

  4. Playfulness: digunakan untuk hiburan kenikmatan.

  5. Privacy: diasosiasikan dengan penggunaan medium dan/atau isi yang dipilih

  6. Personalization: tingkatan dimana isi dan penggunaan media bersifat personal dan unik.

  Kajian tentang media baru dapat ditelusuri dari gagasan-gagasan teoritik yang sudah ada sebelumnya, yaitu Medium Theory, Media Ecolog Theory, dan

  New Media Theory. Dalam peta teori media massa (Littlejohn & Foss, 2008: 289-

  293), Medium Theory hasil pemikiran dari Marshalll McLuhan merupakan teori yang berada dalam tradisi sosiokultural (komunikasi sebagai penciptaan dan penggambaran realitas sosial). Tradisi ini lebih memfokuskan pada pola-pola interaksi antar orang dari pada karakteristik-karakteristik individual, interaksi yang dimaksud adalah proses dan situs dimana makna, peran, aturan, dan nilai- nilai kultural diupayakan. Para peneliti dalam tradisi ini berkeinginan untuk memahami cara-cara orang secara bersama-sama menciptakan realitas dalam kelompok sosial, organisasi, dan budaya mereka (Littlejohn & Foss, 2008: 44).Tradisi sosiokultural didasarkan pada premis, ketika orang berbicara, maka pada dasarnya mereka sedang memproduksi dan memproduksi budaya. Kata-kata merefleksikan apa yang sebenaryna ada (Griffin, 2006: 28).

  McLuhan (dalam Littlejohn and Foss,2008:200) mengawali pemikirannya dengan mengajukan sebuah tesis: media, terlepas apa pun isi yang disampaikan, akan berdampak terhadap individu-individu dan masyarakat. Gagasan ini dalam beragam bentuknya adalah apa yang dimaksudkan sebagai “medium theory”. Televisi mempengaruhi kita tanpa memandang apa yang kita tonton. Internet mempengaruhi masyarakat tanpa memperhatikan situs-situs apa yang mereka kunjungi. Pemikiran McLuhan sangat dipengaruhi oleh mentornya, Harold Adam Innis. Ia mengajarkan bahwa media komunikasi adalah esensi dari peradaban dan sejarah itu diarahkan oleh media yang menonjol (media utama) pada setiap masanya. Bagi McLuhan dan Innis, media adalah perluasan dari pikiran manusia, sehingga media yang menonjol memiliki bias pada setiap periode sejarah.

  Pemikiran konseptual yang mencoba untuk mengembangkan gagasan McLuhan dan Innis dilakukan oleh Donald Ellis. Ia menyajikan seperangkat proposisi yang mereprentasikan sebuah perspektif kontemporer tentang gagasan- gagasan dasar dari Innis dan McLuhan. Eliis menegaskan bahwa media yang menonjol pada suatu masa akan membentuk perilaku dan pikiran. Ketika media berubah, maka akan merubah maka akan merubah pula cara-cara orang dalam berfikir, mengelola informasi, dan berhubungan dengan orang lain. Ada perbedaan yang tajam diantara media lisan, tertulis, dan elektronik. Masing- masing mempunyai efek yang berbeda dalam konteks bagaimana kita berinteraksi dengan setiap medium.

  Gagasan teoritik lain yang terkait dengan kehadiran media baru adalah

  Media Ecology Theory, sebuah pemikiran teoritik hasil dari studi yang dilakukan

  oleh McLuhan (West & Turner, 2007: 461-462). Secara sekilas teori ini menjelaskan bahwa masyarakat telah berevolusi, begitu juga dengan teknologi. Mulai dari abjad hingga internet, kita telah dipengaruhi oleh dan mampu mempengaruhi komunikasi melalui teknologi baru. Media Ecology Theory memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip bahwa masyarakat tidak dapat melarikan diri dari pengaruh teknologi dan bahwa teknologi akan tetap menjadi pusat bagi semua bidang profesi dan kehidupan.

  Pengaruh teknologi media terhadap masyarakat merupakan gagasan utama dari Media Ecology Theory. Terdapat beberapa asumsi yang membingkai teori ini, yaitu : 1.

  Media melingkupi setiap tindakan dalam masyarakat.

  2. Media memperbaiki persepsi kita dan mengorganisasikan pengalaman kita.

  3. Media mengikat dunia bersama-sama. Gagasan McLuhan yang tercermin dalam Classical Medium theory menstimulasi lahirnya pemikiran baru yang dikenal dengan New Media Theory.

  Pada tahun 1990, Mark Poster menerbitkan buku yang berjudul “The Second Media Age” yang menegaskan periode baru dimana teknologi interaktif dan komunikasi jejaring, khususnya internet, akan merubah masyarakat. Gagasan The

  

second media age yang telah dikembangkan sejak tahun 1980an menandai

perubahan-perubahan penting dalam media theory (Littlejohn & Foss,2008:291).

Pertama, hilangnya konsep “media” dari komunikasi “massa” menuju beragam

  media yang berjenjang dari sangat luas ke media personal. Kedua, konsep tersebut mengarahkan perhatian kita kepada bentuk-bentuk media baru yang dapat berjenjang dari informasi dan berpengetahuan individual hingga interaksi. Ketiga, tesis dari the second media age membawa medium theory yang relative tidak dikenal pada tahun 1960an menuju popularitas yang diberikan pada tahun 1960an.

  Poster dalam pemikiran teoritiknya menguraikan perbedaan-perbedaan karakteristik the first media age dan the second media age seperti yang terangkum dalam table berikut.

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik The First Media Age dan The Second Media Age

  The First Media Age The Second Media Age

  Produksi yang tersentralisasi (one to Desentralisasi

  money)

  Komunikasi satu arah Dua arah Dalam kondisi mengendalikan Tidak dalam kondisi mengendalikan Reproduksi stratifikasi sosial dan Demokratisasi ketidaksetaraan melalui media Khalayak massa yang terfragmentasi Mempromosikan kesadaran individual Membentuk kesadaran sosial Berorientasi secara individual

  Tema-tema yang dibahas dalam New Media Theory mencakup beberapa bidang, yaitu kekuasaan dan ketidaksetaraan, integrasi social dan identitas, dan perubahan social dan pengembangan (McQuail, 2010:141).

  Dalam konteks kekuasaan (power), sulit untuk menempatkan media baru dalam hubungannya dengan kepemilikan dan penerapan kekuasaan. Media baru tidak secara jelas diidentifikasikan dalam konteks kepemilikan. Dari “puncak” atau “pusat” masyarakat. Pemerintah dan hukum tidak mengontrol internet dalam suatu cara yang bersifat hirarki seperti yang dilakukan terhadap “media” pertanyaan yang muncul adalah apakah media baru merupakan kekuatan untuk memecah belah (fragmentation) atau menyatukan (cohesion) masyarakat? Sedangkan dalam konteks perubahan sosial, media baru yang berpotensi sebagai agen perubahan ekonomi atau social yang direncanakan perlu dipertimbangkan kembali. Dalam pandangan pertama, ada perbedaan besar antar media massa yang dapat secara sistematis diterapkan untuk tujuan-tujuan pembangunan yang direncanakan melalui informasi dan persuasi massa (seperti misalnya dalam kampanye-kampanye kesehatan, kependudukan, dan inovasi teknologi) dengan penggunaan cara-cara yang sifatnya open-ended dan non purposive sebagai tipikal dari teknologi baru. Hilangnya arah dan control terhadao isi oleh pengirim (pesan) menjadi krusial.

  

New Media Theory juga memberikan penjelasan tentang 2(dua) pandangan

  dominan tentang perbedaan-perbedaan antara the first age yang menekankan pada siaran (broadcast) dengan the second media age yang menekankan pada jejaring (networks). Kedua pandangan tersebut adalah pendekatan interaksi social dam pendekatan integrasi social (Littlejohn & Foss,2008:292:293).

  Pendekatan interaksi social membedakan media dalam konteks seberapa dekat dengan model interaksi tatap muka. Bentuk-bentuk media yang berorientasi siaran menekankan pada transmisi informasi, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya interaksi. Sebaliknya, media baru bersifat lebih interaktif dan menciptakan komunikasi yang lebih pribadi. Pandangan ini didukung oleh Pierre Levy, penulis buku “Cyberculture”. Ia melihat the World Wide Web (WWW) sebagai ruang terbuka, luwes, dan lingkungan informasi yang dinamis. WWW memungkinkan orang untuk mengembangkan orientasi baru terhadap pengetahuan dan karenanya terikat dalam suasana yang lebih interaktif, berbasis komunitas, lingkungan yang demokratis untuk berbagi dan memberdayakan. Internet menyediakan tempat pertemuan virtual yang bisa memperluas lingkungan social, menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru terhadap pengetahuan, dan memberikan tempat berbagi perspektif yang bersifat global.

  Media baru sudah barang tentu tidak sama dengan interaksi tatap muka, namun media baru memberikan bentuk-bentuk baru dalam interaksi yang membawa orang kembali kedalam kontak pribadi dalam cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh media konvensional. Ada persoalan dalam mencoba membuat komparasi antara media baru dan media konvensional. Sebagian pihak meyakini bahwa media baru lebih “mediated”. Media baru juga berisi kekuatan sekaligus keterbatasan, kerugian dan manfaat, dan dilemma. Misalnya, media baru memberikan keterbukaan dan fleksibilitas, namun juga dapat mengarah pada kekacauan. Media baru merupakan pilihan yang luas, namun pilihan tidak selalu memiliki mutu yang baik ketika orang membutuhkan struktur dan paduan. Keragaman merupakan salah satu nilai yang besar dari media baru, tetapi juga dapat mengarah pada pembagian dan pemisahan. Media baru memungkinkan orang luwes dalam menggunakan waktu, tetapi juga menciptakan permintaan waktu yang baru.

  Cara kedua dimana media dibedakan ada dalam konteks integrasi social. Pendekatan ini mencirikan media bukan dalam kinformasi, interaksi, atau diseminasi tetapi dalam konteks ritual bagaimana, orang menggunakan media sebagai sebuah cara untuk menciptakan komunitas. Media bukan sebuah instrument informasi bukan pula sarana untuk pencapaian kepentingan diri, tetapi memungkinkan kita untuk bersama-sama berada dalam beberapa bentuk komunitas dan menawarkan rasa ikut memiliki. Ini terjadi melalui penggunaan media sebagai ritual yang dipertukarkan yang melibatkan atau tidak melibatkan interaksi yang sebenarnya. Kita menggunakan media baru sebagai jenis dari ritual yang di pertukarkan yang membuat kita merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri kita sendiri. Media diritualkan karena media menjadi sesuatu kebiasaan, diformalkan, dan menempatkan nilai-nilai yang lebih besar daripada penggunaan media itu sendiri.

  Kritik terhadap digitalisasi dan konvergensi yang menjadi pusat bahasan dalam New Media Theory diwujudkan dalam pendekatan ritual tentang komunikasi yang dikenal dengan Ritual Theory (LittleJohn & Foss (ed.), 2009: 686). Pendekatan ritual menawarkan sebuah penjelasan mengapa televise bahkan surat kabar dan buku tidak mengalami penurunan dalam menghadapi hadirnya media baru. Dengan mengkaji bagaimana dan mengapa orang berinteraksi dengan medium-medium komunikasi, pendekatan ini menegaskan bahwa keterikatan terhadap medium tidak secara sederhana diarahkan oleh efisiensi dan control terhadap media yang didesakkan oleh para teoritisi dari the second media age. Namun, keterikatan terhadap media, baik media lama maupun media baru, memberikan ketergantungan bahwa individu-individu akan sulit untuk mencapai relasi tatap muka dan kawasan-kawasan lain dari kehidupan sehari-hari.

  Jika mengikuti “perjalanan teoritik” dalam kajian media baru, dari

  

Classical Medium Theory hingga New Media Theory, maka bisa diajukan

  pertanyaan tentang masihkah relevan dan memadai penjelasan teoritik dari

  

Medium Theory dan New Media Theory dalam memahami kehadiran media baru?

  Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, gagasan utama Medium Theory adalah bahwa media, terlepas dari apapun isi (pesan) yang disampaikan akan berdampak atau mempengaruhi individu-individu dan masyarakat. Media komunikasi merupakan esensi peradaban dan sejarah akan diarahkan oleh media utama atau media yang menonjol pada masanya. Gagasan McLuhan dan Innis diperkuat oleh Ellis bahwa media yang menonjol pada suatu masa akan membentuk perilaku dan pikiran orang, termasuk didalamnya perilaku komunikasi. Sedangkan Media

  

Ecology Theory menegaskan bahwa masyarakat tidak akan bisa melarikan diri

  dari pengaruh teknologi dan teknologi akan tetap menjadi sentral bagi semua bidang profesi dan kehidupan. New Media Theory sebagai pengembangan dari pemikiran teoritik tentang “teori medium” sebelumnya menekankan pada gagasan bahwa teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya Internet, akan merubah masyarakat.

  Bila dicermati dari fenomena penggunaan media baru yang terkait dengan isu-isu public seperti misalnya isu social dan politik, menurut pendapat penulis, penejelasan teoritik yang diberikan oleh Medium Theory dan New Media Theory masih relevan dan memadai. Eksplansi dari kedua teori tersebut dapat dibuktikan misalnya melalui kasus krisis politik di Mesir. Rezim yang berkuasa ditumbangkan oleh gerakan massa (pemuda) yang dalam menjalankan aksinya dibantu oleh media jejaring social Facebook. Media baru ini mampu menciptakan jejaring antar individu, antarkelompok, antarkomunitas dan pada akhirnya bermuara pada lahirnya gerakan massa. Medium Theory dan New Media Theory mampu memberikan penjelasan tentang “kekuatan-kekuatan” yang dimiliki oleh media baru.

  Dalam konteks evaluasi teori, salah satu kritteria yang dipersyaratkan untuk mengevaluasi teori adalah lingkup teoritis (theoretical scope), yaitu sifat komprehensif atau eksklusif dari suatu teori (LittleJohn & Foss, 2005: 29). Lingkup teoritis ini tergantung pada gagasan bahwa teori harus cukup memberikan penjelasan tentang realitas yang diamati. Jika eksplansi hanya merupakan spekulasi tentang suatu peristiwa, maka ia bukanlah sebuah penjelasan teoritis. Menurut pendapat penulis, baik Medium Theory maupun New Media

  

Theory memiliki sifat komprehensif atau inklusif dalam penjelasan teoritiknya,

  sebab teori-teori tersebut tidak saja memberikan penjelasan tentang dikotomi media lama dengan media baru, tetapi juga mencakup penjelasan tentang perkembangan teknologikomunikasi dan dampaknya terhadap perubahan perilaku komunikasi.

  Kriteria evaluasi teori lain yang bisa dikemukakan terkait dengan keberadaan Medium Theory dan New Media Theory adalah heuristic value (LittleJohn & Foss, 2005: 30). Kriteria evaluasi teori ini diawali dari pertanyaan- pertanyaan akankah teori akan menghasilkan gagasan-gagasan bagi penelitian dan teori tambahan? Apakakah teori memiliki heuristic value? New media yang dalam penjelasan teoritiknya member penekanan pada kehadiran teknologi komunikasi yan bersifat interaktif merupakan kawasan untuk mengkaji apakah teori tersebut mampu menstimulasi munculnya penelitian-penelitian baru atau tidak.

  Jika dicermati dari perubahan perilaku komunikasi masyarakat melalui pemanfaatan media baru, maka New Media Theory mampu menstimulasi munculnya pertanyaan-pertanyaan penelitian baru, seperti misalnya apa dampak social dari pengguna media baru?, bagaimana pandangan masyarakat tentang kredibilitas media baru?, etika komunikasi atau perilaku komunikasu etis seperti apa yang dipersyaratkan dalam berinteraksi melalui media baru?, atau dalam lingkup yang besar apakah kehadiran media baru merupakan wujud dari revolusi komunikasi? Tentu saja masih banyak pertanyaan penelitian yang bisa dimunculkan dalam kaitannya dengan penjelasan teoritik New Media Theory.

2.1.4.1 Metoda Penelitian Media Baru

  Ada karakteristik-karakteristik yang menandai kehadiran media baru, seperti misalnya interaktivitas, sosiabilitas, otonomi, personalisasi, dan privacy. Dalam melakukan penelitian terhadap berbagai fenomena yang menyertai kehadiran media baru, metoda-metoda penelitian “lama” yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan penelitian perlu dilengkapi dengan metoda penelitian yang lain. Dalam catatab Littlejohn & Foss (2009: 162-163), terdapat 2 (dua) pendekatab dominan dalam penelitian media baru (computer-mediated

  

communication research), yaitu th- cuesfiltered-out approach dan avatar

research. Bila Computer Mediated Communication (CMC) dialami sebagai

  sebuah perluasan dari hubungan antarpribadi atau institusional secara online, maka interlocutors tidak memiliki relasi off-line dan identitas hanya ada di online, maa mereka disebut sebagai avatars.

1. Cues-Filtered-Out-Approach

  Penelitian tentang penggunaan (users) diarahkan pada cara komunikasi yang diperluas dengan computer (computer-extended communication) memediasi bentuk-bentuk komunikasu tatap muka. Tatap muka menjadi sebuah analog dan patokan (benchmark) untuk mengukur “keberhasilan” computer-mediated

  

communication (CMC) yang dipahami sebagai pengganti tatap muka. Cara ini

  dikenal sebagai cues-filtered-out approach, karena pendekatan ini dipakai untuk mengkaji tanda-tanda (cues) komunikasi non verbal yang hilang dalam suatu peristiwa komunikasi dan bagaimana isyarat-isyarat non verbal yang hilang dalam suatu peristiwa komunikasi dan bagaimana isyarat-isyarat non verbal itu ditempatkan lagi (back in). Ada dua studi penting dalam pendekatan ini. Pertama, kajian tentang emoticons, yaitu lambing-lambang yang digunakan dalam surat elektonik (e-mail) untuk memaknai ekspresi wajah. Kedua, studi tentan netiquette, yaitu cara-cara yang dipersyaratkan dalam dunia maya (cyberspace) dalam bentuk etiket atau praktik yang sopan.

  Nancy Baym (dalam Littlejohn & Foss, 2009: 163) menegaskan bahwa dalam interaksi yang dimediasi computer, orang tidak dapat melihat, mendengar, atau merasakan satu sama lain, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk menggunakan isyarat-isyarat konteks. Ini yang disebut sebagai kekosongan social (social vacuum) yang berbeda dengan pembicaraan tatap muka. Karenanya, para partisipan dalam CMC berupaya menemukan cara-cara menempatkan kembali isyarat-isyarat yang hilang dari konteks-konteks eksternal.

2. Avatar Research

  Cara kedua dalam penelitian CMC adalah apa yang dikenal dengan riset avatar. Pendekatan menegaskan bahwa identitas-identitas online atau avatars menikmati sebuah ruang interaksi yang netral. Karena tidak ada tanda-tanda yang dapat secara spontan mengindikasikan penampakan, gender, kelas, dan etnisitas dari interclutor, maka avatars berkomunikasi pada basis yang setara tanpa diskriminasi social yang menyertai ketegori-kategori tersebut.

  Dalam tahun-tahun belakangan ini, ketertarikan pada avatar mengalamu penurunan dan hanya mendapat perhatian yang kecil dari net generation anak- anak muda yang lahir sebagai digital natives.

2.1.4.2 Isu Epistomologi dalam Teori dan Penelitian Komunikasi

  Teknologi komunikasi baru (media baru) memiliki tiga ciri utama, yaitu

  

interactivity, de-massification, dan asynchronous. Tiga karakteristik penting ini

  bisa mengintegrasikan konteks komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa, terutama dengan adanya ‘machine assisted interpersonal communication’. Kenyataan semacam ini membawa konsekuensi untuk mempertanyakan kembali dikotomi antara komunikasi antarpribadi dengan komunikasi massa.

  Keberadaan media baru akan terkait dengan upaya mempertanyakan kembali asumsi epistomologis dalam penelitian komunikasi. Perkembangan teknologi komunikasi menuntut para peneliti dan akademiai komunikasi untuk mempertanyakan knowledge atau pengetahuan mereka tentang komunikasi.

  Dalam bahasan tentang Gagasan Teori (The Idea of Theory), terdapat empat dimensi dari teori, yaitu 1) philosophical assumptions atau keyakinan- keyakinan yang medasari teori; 2) Concepts; 3) explanations atau hubungan- hubungan dinamis yang dibuat oleh teori; dan 4) principles atau panduan untuk melakukan tindakan (LittleJohn & Foss, 2008: 15). Salah satu dimensi dari teori adalah asumsi-asumsi filosofis yang mencakup epistomologi (cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan), ontologi (cabang filsafat yang berurusan dengan sifat ‘ada’ – being), dan aksiologi (cabang filsafat yang member perhatian pada kajian tentang nilai-nilai).

  Khusus mengenai epistomologi, pada tataran metateori yang dipertanyakan adalah pertanyaan-pertanyaan metodologis; pada tataran hipotesis yang dipertanyakan adalah metoda dan prosedur yang digunakan; dan pada tataran deskriptif yang dipertanyakan adalah instrument dan teknik yang digunakan. Aspek-aspek yang menonjol dari teknologi komunikasi baru: interactivity, de-

  massification, dan asynchronous menstimulasi terjadinya perubahan-perubahan

  dalam metodologi penelitian komunikasi lewat penelitian yang dilakukan untuk mengkaji ulang apa yang selama inu dipahami sebagai pengetahuan komunuikasi.

  Kehadiran media baru bisa menstimulasi munculnya pertanyaan- pertanyaan penelitian yang baru. Penelitian dibutuhkan untuk menguji kekuatan prediktif dari teori-teori yang sudah ada sebelumnya, seperti misalnya Medium Theory dan New Media Theory, karena gagasan teoritik bukanlah sesuatu yang dibaca dan dipelajari, tetapi secara konstan akan mengalami perkembangan. Teori tidak selalu mengalami perubahan secara menyeluruh, tetapi perubahan teori dapat terjadi melalui perluasan bagian demi bagian dengan menambahkan konsep- konsep baru.

2.1.5 Teori Uses and Gratification

  Uses and Gratifications merupakan salah satu teori yang paling dikenal

  pada bidang komunikasi massa. Sebagaimana yang telah penulis uraikan pada pendahuluan, pada dasarnya teori uses and gratifications ini menunjukan bahwa permasalahan utamanya bukan pada bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial khalayak. Sehingga sasarannya pada khalayak yang aktif, yang memang menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus.

  Blumer dan Katz mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media (Nuruddin, 2004). Artinya, audiens (pengguna media) adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi, dan berusaha untuk mencari sumber media yang paling baik dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Walaupun ada juga yang mengatakan bahwa selektifitas media berdasarkan suasana hati seseorang.

  John Fiske (2005) menyatakan bahwa teori uses and gratifications secara tak langsung menyatakan bahwa pesan adalah apa yang dibutuhkan oleh khalayak, bukan yang dimaksudkan oleh pengirim. Menurutnya, pendekatan atau teori uses and gratifications adalah suatu teori yang menyatakan bahwa para anggota khalayak memiliki kebutuhan atau dorongan tertentu ang bisa dipenuhi dengan menggunakan sumber-sumber media dan nonmedia; atau berpendapat bahwa khalayak berpaling ke media untuk kepuasan tertentu, menggunakan media massa daripada digunakan oleh media massa; atau suatu studi tentang motif-motif penggunaan media dan ganjaran yang dicari.

  Katz, Bulmer & Gurevitch menjelaskan mengenai asumsi dasar dari teori

  uses and gratification , yaitu : 1.

  Khalayak dianggap aktif, artinya khalayak sebagai bagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.

  2. Dalam proses komunikasi massa, inisiatif untuk mengaitkan pemuasan kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada khalyak.

  3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhannya. Kebutuhan yang dipengaruhi media lebih luas, bagaimana kebutuhan ini terpenuhi memalui konsumsi media amat bergantung pada prilaku khalayak yang bersangkutan.

  4. Tujuan pemilihan media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak artinya orang dianggap cukup mengerti untuk melaporkan kepentingan dan motif pada situasi tertentu.

  5. Penilaian tentang arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dulu orientasi khalayak.

  Pendekatan uses and gratification memberikan alternatif untuk memandang pada hubungan antara isi media dan audience dan pengkatagorian media menurut fungsinya.

  Ketz menggambarkan logika yang mendasari pendekatan mengenai uses

  and gratification (Effendi,2003):

  (1) kondisi sosial psikologis seseorang akan menyebabkan adanya(2) kebutuhan yang menciptakan (3) harapan-harapan terhadap (4) media massa atau sumber- sumber lain, yang membawa kepada (5) perbedaan pola penggunaan media atau keterlibatan dalam aktifitas lainnya yang akhirnya akan mengahsilkan (6) pemenuhan kebutuhan dan (7) konsekuensi lainnya, termasuk yang tidak diharapkan sebelumnya. Sebagai tambahan bagi elemen-elemen besar tersebut pendekatan uses and gratification sering memasukan unsur motif untuk memuaskan kebutuhan dan alternatif-alternatif fungsional untuk memenuhi kebutuhan.

  Teori uses and gratification beroprasi dalam beberapa cara yang bisa dilihat dalam bagan dibawah ini.

  

Gambar 1

Uses and Gratification Sumber pemuasan kebutuhan yang non media:

  1.Keluarga,teman Kebutuhan

  2.Komunikasi khalayak: interpersonal

  Lingkungan 3.hobi sosial:

  1.Kognitif

  4.Istirahat

  2.Afektif

  3.Intergratif 1.ciri demografis personal 2.afiliasi

  4.Integratif kelompok Pemuasan

  Sosial 3.ciri kepribadian media(fungsi):

5.Pelepasan

  Penggunaan media massa: 1.pengamatan

  1.jenis media lingkungan 2.isi media 2.hiburan 3.terapan media

  3.identitas 4.konteks sosial personal dan terapan media 4.hubungan sosial Beberapa kebutuhan individu yang mendorong penggunaan media ;