BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton - Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

BAB II KERANGKA TEORI

2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton

  Merton (dalam Margaret, 2010:35-37) mengemukakan bahwa fungsionalisme struktural awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktur sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau sistem dapat menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial.

  Menurut Merton, fungsi didefenisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati dan menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu”. Tetapi jelas ada bias ideologis bila orang hanya memusatkan perhatian pada adaptasi atau penyesuaian diri, karena daptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Perlu diperhatikan bahwa satu factor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lain. Untuk meralat serius dalam fungsionalisme struktural awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Sebagaimana srtuktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial, misalnya perbudakan di bagaian selatan Amerika Serikat jelas mempunyai perekonomian, dan status sosial. Tetapi perbudakan juga mempunyai aspek pada perekonomian agraris dan arena itu tidak siap untuk pengembangan industrialisasi.

  Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan perbendaharaan yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mengeluh terhadap kenyataan bahwa “sebuah istilah terlalu sering digunakan untuk melambangkan konsep- konsep yang berbeda-beda, seperti halnya dengan konsep yang sama yang digunakan sebagai simbol dari istilah-istilah yang berbeda. Konsep-konsep sosiologi seharusnya memiliki batasan yang jelas bilamana mereka harus berfungsi sebagai bangunan dasar dari proposisi-proposisi yang dapat diuji. Lebih daripada itu, proposisi-proposisi harus dinyatakan dengan jelas tanpa berwayuh arti. Model Merton mencoba membuat batasan beberapa konsep analisis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional.

  Merton menyatakan kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam satu tingkat tingkat keselarasan atau kosistensi internal yang memadai tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur.

  Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta” sebagai contoh dia mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok ( menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi

  disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.

  Berdasarkan teori Merton, kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, jika dilihat berdasarkan teori struktural fungsional merupakan sebuah sistem besar yang selalu bergerak dan memproduksi individu-individu dari dalam sistem tersebut. Parson juga menyebutkan bahwa individu adalah bentukan dari sebuah sistem yang ada. Pada teori ini juga, muncul sebuah pernyataan yang mengatakan ketika sesuatu tidak lagi mempunyai fungsi signifikan pada masyarakat, hal itu akan hilang, sementara segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetap eksis.

  Untuk analisa pada penelitian ini, peneliti akan memberikan contoh pada petani plasma binaan PTPN VI Jambi. Ketika sistem kebun plasma berjalan, semua akan berjalan seperti sistem. Dalam teori struktural fungsional, kerusakan pada sistem adalah suatu yang harus dihindari, karena begitu suatu elemen dalam sistem rusak, maka sistem itu akan berakhir. Hal iniah yang dikhawatirkan pihak PTPN VI Jambi dalam menjalankan program sistem kebun plasma. Maka dari itu, segala bentuk hambatan dari elemen perusahaan dan petani yang ada dalam sistem jika mengalami gangguan maka harus segera ditangani agar tidak merusak sistem yang ada.

  Dalam teori Parson, muncul istilah yang kita sebut sebagai AGIL. AGIL merupakan singkatan dari elemen-elemen penting yang diperlukan agar sebuah sistem tetap eksis. Elemen itu adalah Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latency. Keempat elemen itulah yang kemudian juga dapat kita lihat pada sistem kebun plasma yang dijalankan oleh PTPN VI Jambi pada petani binaan di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi.

  Pada Adaptation (adaptasi), sistem dituntut harus mampu mengatasi kebutuhan yang datang dari luar sistem itu. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak kandas di tengah jalan. Adaptasi, dilakukan oleh perusahaan dengan cara membuat program-program yang bisa memenuhi kebutuhan petani dan dapat melepaskan petani dari ketergantungan. Program yang diterapkan bisa dengan program-program yang pernah dilakukan atau pun dengan program baru yang dibuat oleh dinas pertanian.

  Goal (tujuan) merupakan syarat yang perlu dimiliki oleh sebuah sistem agar dapat terus mempertahankan eksistensinya. Tanpa adanya goal yang jelas, tidak bisa muncul sinergi antar sub sistem dalam sistem yang ada. Pada contoh kasus ini, goal yang ingin dicapai adalah mewujudkan hubungan yang harmonis antara petani dan perusahaan dan saling menguntungkan serta berkesinambungan juga mewujudkan petani yang mandiri dan mapan secara sosial dan ekonomi hingga terwujudnya kesejahteraan sosial.

  Integration (integrasi) adalah fungsi yang mengatur hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Bisa dikatakan, integrase adalah faktor yang menciptakan sinergi antara satu sub dengan sub sistem lainnya. Fungsi ini juga bertugas mengatur hubungan antara fungsi Adaptation, Goal dan Latency. Ketika fungsi ini gagal tercapai, maka tak dapat dihindari kerusakan sistem tersebut. Pola sistem inti-plasma hendaknya dilakukan secara adil dan menguntungkan antara pihak perusahaan dan petani hingga petani merasa tidak dirugikan dengan pihak lain, sehingga dengan terwujudnya pola keuntungan yang adil maka sinergi antara petani dan perusahaan akan terwujud.

  Latency, atau latensi bisa dipahami juga sebagai pemeliharaan pola. Sistem yang ada harus mampu menciptakan motivasi dan pola budaya yang kemudian tertanam pada diri setiap individu dalam sistem tersebut. Hal ini juga tampak pada sistem kebun plasma, dimana petani harus dibina secara berkelanjutan baik mulai dari cara penanaman, perawatan tanaman dan penggunaan teknologi. pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan harus terus- menerus sehingga petani benar-benar mampu dalam mengelola kebun plasma mereka dan terwujudnya petani yang mandiri.

  Berdasarkan teori Merton, tampak bahwa PTPN VI Jambi telah melakukan fungsi-fungsi yang diperlukan agar suatu sistem tetap dapat berjalan. Tetapi dalam pelaksanaanya apakah perusahaan telah benar-benar menjalankan program inti-

  

plasma sesuai dengan seharusnya, mulai dari manajemen, teknik penanaman,

  perawatan tanaman dan penggunaan teknologi, sehingga bisa mewujudkan petani yang mandiri?

2.2 Kemandirian Petani

  Dalam Indah Kartika (2013) Pembangunan pertanian diketahui banyak menyumbangkan devisa bagi Negara dan disaat krisis pertanian mampu bertahan bahkan sebagai penguat ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pembangunan pertanian hendaknya sebagai kunci utama pembangunan ekonomi Indonesia disaat situasi krisis global saat ini dan pembangunan yang akan datang. Pembangunan pertanian Indonesia ke depan hendaknya mempunyai keterikatan, keberlanjutan dan control yang dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu juga hendaknya pembangunan pertanian tertuju pada pembangunan kemndirian petani yang berkelanjutan.

  Dimana konsep kemandirian sendiri menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.

  Kemandirian petani harus dicirikan dengan kemandirian yang dilihat dalam beberapa hal yaitu: a.

  Kemandirian teknis Pembangunan pertanian selama ini tertuju pada pendidikan praktis petani, yakni dimana petani hanya diajarkan bagaimana mengolah tanah, bercocok tanam, memupuk, penyemprotan yang baik, pengairan yang benar dan panen yang tinggi. Hal ini tidak mendidik petani menuju kemandirian, melainkan ketergantungan petani yang semakin berkelanjutan. Oleh karena itu hendaknya pembangunan petani ke depan secara teknis di ajarkan bagaimana melakukan pengembangan akan kemampuan akan keahlian pertanian dan mengorganisir diri agar petani terdorong untuk berkreasi sendiri dengan terus di motivasi untuk berkarya dan diberikan penghargaan buat petani yang berkarya.

  b.

  Kemandirian sosial dan budaya Hilangnya sifat gotong royong di desa saat ini dan hilangnya upacara budaya pada saat mulai menanam adalah cermin hilangnya sosial budaya masyarakat petani Indonesia. Sifat individual yang terjadi di desa saat ini adalah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam pembangunan pertanian di bidang sosial budaya. Hendaknya petani di dorong untuk membentuk kelompok tani yang kuat dan mendorong untuk menghidupkan kembali budaya-budaya menanam yang sudah di wariskan oleh orang-orang terdahulu. Dengan demikian kekuatan budaya dapat mendorong kebersamaan petani dan memotivasi serta merangsang petani untuk bercocok tanam secara kebersamaan.

  c.

  Kemandirian keuangan Selama ini, manajemen keuangan petani belum di sentuh dalam pembangunan pertanian. Selama ini yang terjadi adalah jika hasil panen petani tinggi, maka petani dianggap berhasil dan pemerintah lepas tangan dalam hal ini. Padahal manajemen keuangan petani sangat penting untuk ditindaklanjuti demi kesejahteraan dan kemakmuaran petani. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini yang dibantu dengan penyuluh pertanian diharapkan mendorong petani untuk membuat koperasi sendiri dengan modal dari petani sendiri, pengelolaanya dari petani sendiri dan manajemennya dari petani sendiri, sehingga dengan demikian petani bisa berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri (Hasbullah, 2009).

  Adapun yang dibutuhkan dalam pengembangan kemandirian petani adalah sebagai berikut: a.

  Pengorganisasian komunitas Proses dialog untuk memperkuat rasa percaya diri dan kritis kesadaran tentang apa, terjadi di masyarakat, penyebab dan dampak terhadap masyarakat dan alam serta kebutuhan untuk bersatu. Melalui proses ini, kesadaran masyarakat meningkat pada perlu kemandirian dan melepaskan ketergantungan mereka untuk lain pihak. Setelah petani menyadari pada kondisi, mereka cepat dewasa akan mengetahui alternatif melalui kerja kolektif.

  b.

  Kerja tim yang efektif c. Menghindari untuk berbicara tentang uang di awal pengembangan, karena apa yang mereka butuhkan pada dasarnya adalah untuk mengubah mental.

  Kemudian melalui suatu program pengembangan petani, yang diharapkan menjadi hasil utama dengan adanya program tersebut adalah sebagai berikut: a.

  Tumbuhnya rasa percaya diri sebagai petani yang kecil, sehingga dapat mandiri.

  b.

  Memberdayakan ekonomi rumah tangga petani c. Merasakan manfaat dari pelatihan kemampuan petani d. Penguatan kapasitas petani kecil laki-laki dan perempuan dalam pertanian menggunakan lokal sumber daya pertanian yang tersedia.

  e.

  Mengatasi ketergantungan petani kecil untuk input eksternal yang menyebabkan hilangnya pengalaman mereka, pengetahuan dan budaya serta memburuknya sumber daya alam (Astuti, 2010). Dari teori kemandirian petani ini akan dilihat bagaimana kemandirian petani plasma di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi yang telah diberikan pelatihan pembinaan dan dampingan oleh pihak perusahaan PTPN

  VI Jambi. Apakah mampu mandiri secara teknis, sosial dan budaya, keuangan dan kelompok.

2.3 Alex Inkles dan David H. Smith : Manusia Modern

  Alex Inkles dan David Smith pada dasarnya juga berbicara tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan.

  Pembangunan bukan sekedar perkara pemasokan modal dan teknologi saja. Tetapi dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif untuk ini, dibutuhkan apa yang disebut Inkles sebagai manusia modern.

  Apakah manusia modern itu? Dalam buku mereka yang terkenal, Becoming Modern, kedua tokoh itu mencoba memberikan ciri-ciri dari manusia yang dimaksud, yang antara lain meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia menguasai alam dan bukan sebaliknya, dan sebagainya. Ciri-ciri yang diberikannya tentu saja ditambah lagi, atau dikurangi, atau dikritik ketepatannya. Dalam hal ini, Inkles dan Smith tidak berbeda dengan Weber dengan konsep etika protestannya, atau Mclelland dengan konsep n-Achnya. Bedanya, Inkeles dan Smith menguraikan secara lebih rinci dan menguji konsep-konsep ini dalam sebuah penelitian emperis yang meliputi penduduk di enam negara berkembang.

  Untuk tujuan buku ini, yang lebih penting adalah teori Inkeles dan Smith tentang proses pembentukan manusia modern. Pertama-tama, mereka menyatakan “kami beranggapan bahwa, bagaimanapun juga, manusia bisa diubah secara mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia yang tetap menjadi manusia tradisional dalam pandangan dan kepribadiannya hanya karena dia dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tradisional”. Artinya, dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia modern setelah dia mencapai usia dewasa.

  Dari hasil penelitiannya, Inkeles dan Smith menjumpai bahwa pendidikan adalah paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Kemudian, pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara kedua yang efektif. Penemuan ini mendukung pendapat Daniel Lerner yang menekankan pentingnya media massa sebagai lembaga yang mendorong proses modernisasi.

  Inkeles dan Smith kemudian menekankan faktor pengamatan kerja, terutama pengalaman kerja di pabrik, sebagai peran dalam mengubah manusia tradisional menjadi modern. Dengan kata lain, seorang manusia tradisional bisa diubah menjadi manusia modern bila dia diterjunkan dalam lembaga-lembaga kerja yang modern. Seorang yang bekerja di pabrik misalnya, dipaksa bekerja untuk menepati waktu, untuk membuat perencanaan, untuk bekerja sama dengan orang lain, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, Inkeles dan Smith menemukan bahwa seorang manusia tradisional yang diterjunkan dalam lembaga kerja yang modern bukan saja bisa melakukan adaptasi yang cepat (berbeda dengan persangkaan bahwa dia menjadi bingung dan kehilangan orientasi), tetapi dia juga bisa menyerap nilai-nilai kerja ini kedalam sikap, nilai dan tingkah lakunya. Dengan lain perkataan dia menjadi manusia modern.

  Untuk menjelaskan hal ini, Inkeles dan Smith mengambil teori Karl Marx menyatakan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh lingkungan materialnya.

  Hubungan manusia dengan alat produksinya memberi bentuk dan isi pada kesadarannya. Pendapat itu tampaknya dibenarkan oleh hasil penelitian Inkeles dan Smith, di mana manusia tradisional berubah menjadi manusia modern karena bekerja pada lembaga-lembaga kerja yang modern, seperti misalnya di pabrik- pabrik.

  Bahkan kedua peneliti ini menemukan bahwa perbedaan etnis dan perbedaan agama, yang dianggap sebagai faktor penting dalam mengubah tingkah laku manusia oleh para ahli ilmu sosial yang menekankan faktor kebudayaan, ternyata kurang berperan penting dalam pembentukan manusia modern. Lebih penting, seperti sudah diungkapkan di atas, adalah faktor pendidikan dan pengalaman kerja di lembaga kerja yang modern. (Arief, 2000: 34-36)

  Seperti yang dikatakan oleh Alex Inkeles pendidikan merupakan hal yang paling efektif untuk merubah manusia. Dalam penelitian ini Perusahaan PTPN VI Jambi memberikan pendidikan kepada petani plasma melalui pembinaan dan pelatihan kepada petani plasma mulai dari pelatihan manajemen hingga pelatihan teknis. Disini akan dilihat bagaimana hasil dari pelatihan dan pembinaan yang dilakukan Perusahaan kepada petani, apakah petani mampu menyerap pendidikan dan pelatihan yang diajarkan?, serta apakah petani mampu menerapkan apa yang telah diajarkan perusahaan, seperti penggunaan alat dan mesin pertanian untuk perkebunan kelapa sawit. Inkeles juga menyatakan bahwa manusia tradisional bila diterjukan pada lembaga kerja dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja dan menjadi manusia modern, disini akan dilihat apakah petani plasma yang dilibatkan oleh pihak perusahaan dalam pengelolaan perbunan kelapa sawit mulai dari penggunaan teknologi hingga melakukan perencanaan, pengambilan keputusan dan berdiskusi melalui kelompok tani oleh pihak perusahaan bisa merubah pola pikir petani sehingga petani menjadi lebih mandiri. Menurut Inkeles, manusia modern memiliki karakteristik sebagai berikut: memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan; menyatakan pendapat atau opini mengenai lingkungan sendiri atau kejadian yang terjadi jauh diluar lingkungan serta dapat bersikap demokratis, menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lalu, memiliki perencanaan dan pengorganisasian, percaya diri, perhitungan, menghargai harkat hidup manusia lain, lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi dan menjunjung tinggi suatu sikap bahwa imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya di masyarakat. (Nanang, 2011; 60- 61).

2.4 Perubahan Sosial : Difusi dan Transformasi Nilai

  A.Difusi Masyarakat yang paling inventif pun hanya menemukan sendiri sebagaian dari seluruh inovasi yang ada dalam masyarakat itu. Kebanyakan perubahan sosial pada masyarakat yang dikenal merupakan hasil dari proses difusi, yakni penyebaran unsur-unsur budaya dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. Difusi berlangsung baik di dalam masyarakat maupun antar masyarakat. Difusi terjadi manakala beberapa masyarakat saling berhubungan. Masyarakat juga dapat mengelakan diri dari difusi dengan cara mengeluarkan larangan dilakukannya kontak dengan masyarakat lain. (Suwarsono, 1990: 76)

  Difusi selalu merupakan proses dua-arah. Unsur-unsur budaya tidak dapat menyerap tanpa adanya kontak terntentu antar manusia dan kontak tersebut selalu melahirkan difusi pada kedua belah pihak. Dengan adanya sistem kebun plasma, maka antara pihak perusahaan dengan petani plasma terjadi kontak dan komunikasi, hal ini terjadi melalui pelatihan dan pembinaan yang dilakukan perusahaan kepada pihak petani plasma, dimana petani plasma menyerap nilai- nilai yang diajarkan oleh pihak perusahaan. Seperti pengajaran bagaimana cara menanam, memupuk dan merawat tanaman kelapa sawit dengan benar sesuai dengan standar operasional. Manakala terjadi kontak budaya antar dua masyarakat, maka pada umumnya masyarakat yang tingkat teknologinya sederhanalah yang lebih banyak menyerap unsur budaya masyarakat lainnya. Kelompok sosial berstatus rendah biasanya menyerap lebih banyak unsur budaya dari kelompok berstatus tinggi, bukan sebaliknya. Sepertinya halnya perusahaan dengan petani plasma. Dimana petani plasma lebih banyak menyerap nilai-nilai yang diajarkan perusahaan kepada petani, seperti penggunaan dan penerapan teknologi pertanian. Maka akan dilihat apakah petani mampu mengadopsi teknologi yang diajarkan oleh perusahaan kepada petani untuk meningkatkan hasil produksi mereka.

  Difusi merupakan suatu proses selektif. Sebuah kelompok menerima beberapa unsur budaya dari kelompok lainnya, dan pada saat bersamaan kelompok itu menolak unsur-unsur budaya dari kelompok lain tersebut. Difusi biasanya disertai dengan modifikasi tertentu terhadap unsur-unsur serapan.

  Sebagaimana yang telah disinggung terdahulu, setiap unsur budaya memiliki prinsip, bentuk, fungsi, dan makna. Salah satu atau bahkan semua segi tersebut dapat mengalami perubahan ketika suatu unsur budaya diserap. Maka melalui teoti difusi akan dilihat apakah ada terjadinya proses difusi antara perusahaan PTPN VI Jambi dengan petani plasma Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

  B. Transformasi Nilai

  Transformasi menurut Kuntowijoyo adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan.

  Transformasi merupakan perpindahan atau pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan. Kerangka transformasi budaya adalah struktur dan kultur. Sementara itu menurut Capra, transformasi melibatkan perubahan jaring-jaring hubungan sosial dan ekologis. Apabila struktur jaring-jaring tersebut diubah, maka akan terdapat didalamnya sebuah transformasi lembaga sosial, nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran.

  Transformasi budaya berkaitan dengan evolusi budaya manusia. Transformasi ini secara tipikal didahului oleh bermacam-macam indikator sosial. Transformasi budaya semacama ini merupakan langkah-langkah esensial dalam perkembangan peradaban. Semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses-proses kejadian, pertumbuhan, keutuhan dan integritas. (Elly dan Usman, 2011: 670)

  Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa transformasi adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan menyebabkan perubahan pada satu objek yang telah dihinggapi oleh sesuatu tersebut.Jadi transformasi dapat menyebabkan perubahan pada satu objek tertentu. Perubahan tersebut terjadi pula pada masyarakat yang mampu mentransformasi nilai-nilai budaya lokal.

  Dalam teori moral socialization atau teori moral sosialisasi dari Hoffman menguraikan bahwa perkembangan moral mengutamakan pemindahan (transmisi) norma dan nilai-nilai dari masyarakat kepada anak agar anak tersebut kelak menjadi anggota masyarakat yang memahami nilai dan norma yang terdapat dalam budaya masyarakat. Teori ini menekankan pada nilai dan norma yang tadinya terdapat dalam budaya masyarakat ditransformasikan atau disampaikan kepada masyarakat lain agar masyarakat secara umum memiliki dan memahami nilai-nilai budaya dan dapat dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=r ja&uact=8&ved=0CHkQFjAH&url=http%3A%2F%2Fjurnal.upi.edu%2Ffile%2F rasid_yunus.pdf&ei=PGsYU4OeAYmLrQfKzYDoCg&usg=AFQjCNHknqKgMc _-k6wQ0sJqhhkrIDIWkg)

  Transformasi tidak hanya perubahan berupa mekanisasi dan teknologi tetapi lebih jauh lagi berdampak pada kemampuan ekonomi dan sosial petani, seperti pada terjalin gotong royong dan mampunya petani dalam pembentukan kelompok tani. Penelitian ini akan melihat bagaimana transformasi yang terjadi antara pihak perusahaan dengan petani plasma. Transformasi bisa terjadi bila pihak yang menerima terbuka akan perubahan itu dan melalui perubahan itu apakah masyarakat mampu menghilangkan pikiran negatif sehingga mau menerima peruabahan itu sendiri. Pada teori transformasi nilai akan dilihat apakah ada terjadinya transformasi tentang nilai-nilai yang diajarkan oleh pihak perusahaan kepada petani melalui pelatihan dan pembinaan kepada petani, seperti bagaimana acara penggunaan teknologi, apakah petani mampu menerapkannya atau tidak. Apakah petani mampu menerapkan bagaimana cara penanaman, pemupukan dan perawatan tanaman kelapa sawit sesuai standar operasional seperti yang diajarkan oleh pihak perusahaan atau tidak?

2.5 Penelitian Terdahulu

  Salah satu pola yang dikembangkan untuk pengembangan Perkebunan Rakyat adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Perkebunan. Pola ini dianggap dapat membantu petani pekebun menjadi petani modern yang mengelola kebunnya secara agrobisnis. Pola ini pula diharapkan mampu mengurangi kesenjangan yang terjadi antara Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat. Pola PIR mulai dikembangkan sejak tahun 1977. Dari data sekunder yang diperoleh BPS, sampai dengan Desember 1995 tercatat 132 lokasi PIR dengan areal penanaman 923.218 Ha, dengan perincian Kebun Inti 296.180 Ha dan Kebun Plasma 627.038 Ha. Tetapi dari keseluruhan lokasi tersebut belum semuanya memberikan hasil yang baik. Salah satu lokasi PIR yang berhasil baik adalah PIR OPHIR di Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatera Barat.

  Dari berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan petani plasma, faktor keberhasilan pembinaan kelembagaan memegang peranan penting. Sebab selama masa pengelolaan Perusahaan Inti, peran penting kelembagaan mungkin belum terasa sekali. Pada masa pasca Konversi dimulai, petani plasma diharapkan mampu memanajemeni kebun plasmanya sendiri. Pada tahap inilah kelembagaan terasa manfaatnya.

  Namun dalam kenyataannya, kelembagaan petani disebagian besar lokasi PIR yang dikembangkan belum berfungsi dengan baik, seperti petani dengan kelompok tani, kelompok tani dengan kelompok tani, kelompok tani dengan KUD, dan KUD dengan perusahaan inti. Kondisi tersebut di atas masih ditambah dengan masalah kebun yang tidak terawat, produksi rendah, penanganan pasca panen yang kurang baik, rendemen rendah yang pada akhirnya mengakibatkan pendapatan petani menjadi rendah. Namun kondisi-kondisi negative di atas tidak terjadi di PIR OPHIR Pasaman, Sumatera Barat. Hal ini diduga disebabkan oleh pembinaan Kelembagaan Petani Plasma di PIR OPHIR Pasaman, berjalan cukup baik dan proses pembentukan masing-masing lembaga didasarkan pada kebutuhan dan keadaan dari para pelakunya, sehingga pada saat pasca koversi, petani plasma sudah mampu mandiri, dan lembaga-lembaga yang terkait sudah berfungsi dengan baik.

  Kondisi positif di PIR OPHIR Sumatera Barat ini menarik untuk dikaji. Berdasarkan uraian tersebut diatas rumusan masalahnya dapat di formulasikan sebagai berikut.

  a) Apakah Pembinaan Kelembagaan PIR di OPHIR berfungsi dengan baik, sehingga mempengaruhi kesejahteraan petani plasma b)

  Bagaimana proses pembentukan kelembagaan tersebut

  c) Kelembagaan apa saja yang terbentuk

  d) Model kelembagaan apa yang dapat dikembangkan dari kajian kelembagaan OPHIR

  Studi kasus ini bertujan untuk mengkaji dan menganalisa model kelembagaan petani plasma di PIR Ophir dan memberikan alternative model modifikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah Studi Kasus. Jumlah respondennya 15 orang ketua kelompok tani. Dan 45 orang petani plasma yang diambil secara acak. Data yang diperoleh dari studi kasus digunakan sbagai data primer, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Waktu penelitian dilaksanakan antara bulan Juni 1996 sampai dengan Agustus 1996 Metode analisis yang digunakan adalah analisa deskriptif dan perbandingan.

  Dari hasil penelitian yang diperoleh, PIR OPHIR Pasaman yang dibiayai pembangunan dan pembinaannya dari kredit bantuan pemerintah Jerman dan pemerintah Indonesia sebesar 66,56 milyar dan pembinaan petani serta kelembagaannya menerapkan metode Andragogi dan partisipatori melului kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, anjangsana dan dampingan lapangan oleh GTZ secara terus menerus selama 12 tahun.

  Metode ini diterapkan sejak merencanakan, mengorganisir, mengevaluasi, memotivasi samapi dengan mendorong partisipatif aktif para petani dalam wadah kelembagaan yang terbentuk yang dimulai dengan pembentukan kelompok tani hamparan. Dari hasil wawancara dengan pemimpin kelompok, koperasi dan pembinaan, ternyata proses pembinaan tersebut tidaklah mudah.

  Untuk memberikan pengertian tentang manfaat metode hamparan dengan pemilikan tanaman secara kelompok dan pemilikan tanah secara individu memerlukan waktu dan keuletan. Tetapi setelah satu kelompok tani memahami manfaat dari kesepakatan tersebut dan memberikan hasil yang positif, maka untuk kelompok tani berikutnya tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mengadopsi inovasi tersebut.

  Semakin beragam keanggotaan dari satu kelompok tani sebagai lembaga paling depan dari kelembagaan petani plasma PIR selesai, maka pembinaan selanjutnya diterapkan pada Koperasi Unit Desa. Pembinaan pada KUD relative lebih mudah. Karena anggotanya yang tergabung dalam kelompok tani telah lebih dahulu terkonsolidasi. KJUD adalah koperasi sekunder yang beranggotakan KUD- KUD merupakan tingkatan kelembagaan petani yang terakhir. Secara prinsip tidak terdapat kesulitan dalam pembinaan KJUB, hanya pada waktu pembentukannya melalui proses yang cukup sulit. Karena koperasi sekunder pada tingkat pedesaan belum pernah ada sebelumnya, yang ada adalah induk Koperasi Unit Desa (KUD) yang berkedudukan di Kabupaten/propinsi. Tetapi hal tersebut dapat diatasi oleh kegigihan pendirinya.

  Dengan berfungsinya kelompok tani, KUD dan KUJB memberikan dampak positif pada pengelolaan, perawatan dan produksi kebun plasma. Hal ini terlihat dari rata-rata produksi kebun plasma 25,32 ton/ha/tahun yang melampui rata-rata nasional yang hanya 22ton/ha/tahun. Dengan tingkat rata-rata produksi tersebut, maka rata-rata pendapatan yang direncanakan semula sekitar Rp. 262.500,-/kk/bln dapat meningkat menjadi Rp. 419.820,- sampai dengan Rp. 712.474,-/kk/bln.

  Indikasi lain mengenai keberhasilan petani PIR Ophir adalah kemampuan petani dalam mengembalikan kredit. Semula pengembalikan kredit direncanakan 15 tahun dalam pelaksanaannya dalam waktu 10 tahun petani PIR Ophir telah dapat melunasinya.

  Dari hasil studi kasus tersebut, dapat disebutkan bahwa model pembinaan kelembagaan petani plasma PIR Ophir berhasil baik. Pembinaan dengan menggunakana dampingan tenaga ahli fasilitator, pembiayaan yang memadai sebesar Rp. 8,06 milyar atau 12,20% dari total investasi. Pembinaan yang terus menerus selama 12 tahun dengan metode Androgogi dan partisipatori ternyata efektif. Model pembinaan kelembagaan petani pada pola PIR Ophir merupakan alternative yang kemungkinan dapat diterapkan pada PIR lainnya khususnya PIR perkebunan, khususnya denga komoditi kelapa sawit.

  Pada model PIR yang diusulkan, polanya hampir sama dengan pola PIR Ophir, bedanya model pembinaan kelembagaan PIR Ophir adalah partisipatori, sedangkan model pembinaan pada model yang diusulkan adalah partisipatori legalitas dengan menggunakan metode Androgogi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, studi banding sosialisasi dan lain-lain. pada PIR Ophir pembinaan terus menerus selama 12 tahun sedangkan pada model yang diusulkan hanya 5 tahun. Waktu yang diperlukan lebih singkat dangan anggapan pada model yang diusulkan tidak lagi mencari pola-pola dan cara-cara pembinaan kelembagaan karena sudah diperoleh dari pengalaman di PIR Ophir.

  Waktu pembinaan yang lebih singkat memungkinkan biaya yang diperlukan untuk pembinaan juga lebih sedikit. Kalau pada pola PIR Ophir biaya yang diperlukan sekitar 12,20% dari total invastasi maka pada model yang diusulkan hanya 5% dari total investasi. Dampingan yang digunakan pada model usulan menggunakan tenaga ahli dalam negeri.

  Secara dingkat dapat disimpulkan bahwa model Pembinaan Kelembagaan Petani Plasma PIR Ophir telah dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini dapat dilakukan karena berfungsinya lembaga-lembaga petani plasma dan sudah melembaganya aturan, pola dan norma petani di PIR Ophir tersebut.

  Pada model yang disulkan karena pola dan cara-cara pembentukan kelembagaan petani plasma dama dengan yang terjadi di PIR Ophir maka yang terjadi di Ophir diharapkan dapat diperoleh lebih baik pada model yang akan di kembangkan. (Basdabella,1996)

2.6 Hipotesis

  Hipotesis dapat didefenisikan sebagai suatu pernyataan tentang hubungan logis antara dua variabel atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diuji kebenarannya. Hipotesis nol yang dilambangkan dengan H adalah sebuah proposisi yang menyatakan hubungan yang defenitif dan eksak atau dua variabel atau lebih. Perlu diperhatikan bahwa secara umum, hipotesis nol dirumuskan sebagai hubungan kosong dalam arti korelasi ataupun perbedaan antara populasi variabel-variabel itu tidak ada atau sama dengan nol. Hipotesis alternatif yang dilambangkan dengan H

  1 atau H A yang merupakan kebalikan dari

  hipotesis nol adalah sebuah pernyataan yang menjelaskan adanya korelasi atau perbedaan antara populasi dari dua variabel atau lebih (Sukaria, 2011 : 94-104).

  H

  1 = Terdapat korelasi positif antara penerapan sistem perkebunan inti-plasma yang dilakukan oleh PTPN VI Jambiterhadap kemandirian petani kelapa sawit.

  H = Tidak terdapat korelasi positif antara penerapan sistem perkebunan inti- plasma yang dilakukan oleh PTPN VI Jambi terhadap kemandirian petani kelapa sawit.

2.7 Defenisi Konsep

  Dalam penelitian ilmiah, disamping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah suatu penelitian, konsep juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya digunakan penelitian untuk menindak lanjuti sebuah kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalah penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini, antara lain adalah :

  1. Sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini menggambarkan suatu kejadian- kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.

  

  2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)adalah pola pengembangan perkebunan rakyat dengan sistem kemitraan yang memadukan kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dalam satu sistem kerjasama terpadu atau koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar bertindak sebagai inti dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat sebagai plasma. Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri juga berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi kebun plasma untuk diolah lebih lanjut

3. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang ditetapkan sebagai pelaksana proyek PIR.

  (http://h0404055.wordpress.com/2010/04/05/inti-plasma-pir-trans-dan- kkpa-perkebunan-kelapa-sawit/).

  4. Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan.

  

  5. Petani Plasma adalah adalah petani yang memiliki lahan kebun plasma dan terdaftar sebagai anggota KUD. (http://webcache.googleusercontent.com)

  6. Pengembangan adalah upaya mengembangkan suatu kondisi masyarakat secara berkelanjutan dan aktif berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai.

  7. Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya.

  8. Mutualisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang saling menguntungkan kedua pihak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Simbiosis)

2.8 Operasional Variabel

  Operasional Variabel digunakan untuk melihat variabel-variabel yang menjadi kajian penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembangunan sistem kebun plasma yang mempengaruhi pengembangan kemandirian petani kelapa sawit. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian petani kelapa sawit binaan PTPN VI Jambi.

  Defenisi operasional adalah spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur atau memanipulasi variabel. Defenisi operasional memberikan batasan atau arti suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan peneliti untuk mengukur variabel tersebut (Sarwono, 2006 : 12). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.

  Variabel Bebas (X) Variabel bebas sebagai pengaruh atau penyebab dari variabel lain.

  Variabel bebas merupakan variabel yang diukur, dimanipulasi, atau dipilih oleh peneliti untuk menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang di observasi (Sarwono, 2006 : 54). Variabel dalam penelitian ini adalah sistem kebun inti- plasma. Adapun yang menjadi indikator variabel bebas dalam penelitian ini, yaitu:

  1. (X1) Manajemen

  2. (X2) Permodalan 3.

  Pembinaan dan pengembangan SDM (X3) 4. (X4)

  Teknologi 5. (X5)

  Pemasaran 2.

  Variabel Terikat (Y) Variabel terikat adalah akibat dari variabel yang mendahuluinya, Variabel terikat adalah variabel yang memberikan reaksi jika dihubungkan dengan variabel bebas. Variabel terikat adalah variabel yang variabelnya diamati dan diukur untuk menentukan pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas (Sarwono, 2006 : 54).

  Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian petani plasma kelapa sawit binaan PTPN VI Jambi.

  Adapun yang menjadi indikator variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu: 1. (Y1)

  Kemandirian teknis 2. (Y2)

  Kemandirian sosial dan budaya 3. (Y3)

  Kemandirian keuangan 4. (Y4)

  Kemandirian kelompok

  Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y) Sistem Kebun Inti-plasma Kemandirian Petani Kelapa Sawit

  • Manajemen
  • Permodalan -Kemandirian Teknis -Pembinaan SDM -Kemandirian Sosial -Tekno
  • Kemandirian Keuangan -Pemasaran -Kemandirian Keuangan

  2.9 Bagan Operasional Variabel

Kosep Variabel X Indikator

  Sistem Kebun Inti- Manajemen 1.

  Bantuan penyusunan Plasma studi kelayakan 2. Sistem Prosedur,

  Organisasi dan manajemen

  3. Menyediakan tenaga konsultan dan advisor Permodalan 1.

  Pemberian informasi sumber-sumber kredit

  2. Tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai sumber lembaga penjaminan

  3. Mediator terhadap sumber-sumber pembiayaan 4. Informasi dan tata cara penyertaan modal 5. membantu akses permodalan

  Pembinaan dan 1.

  Pendidikandan Pengembangan SDM pelatihan 2.

  Magang 3. Studi banding 4. Konsultasi

  Teknologi 1.

  Membantu perbaikan, inovasi dan ahli teknologi pada penanaman dan pemeliharaan kebun sawit

  2. Membantu Pengadaan sarana dan prasarana produksi sebagai unit percontohan

  3. Membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas 4. Membantu pengembangan desain dan rekayasa produk 5. Membantu meningkatkan efesiensi pengadaan bahan baku

  Pemasaran 1.

  Membantu akses pasar

  2. Memberikan bantuan informasi pasar

  3. Memberikan bantuan promosi

  4. Mengembangkan jaringan usaha

  5. Membantu melakukan identifikasi pasar dan perilaku konsumen

  6. Membantu peningkatan mutu produk dan nilai tambah

  Kemandirian Petani Variabel Y Indikator

  Kemandirian Teknis Pengajaran pengembangan kemampuan pertanian dalam :

  1. Penamaman 2.

  Pemupukan dengan komposisi yang sesuai 3. Pemeliharaan tanaman

  Kemandirian Sosial dan 1.

  Mampu mendorong Budaya kebersamaan petani untuk bercocok tanam 2.

  Mampu saling bergotong royong Kemandirian Keuangan 1.

  Mampu membentuk koperasi dengan modal petani dan memanajemennya sendiri 2. Mampu memanajemen keuangan rumah tangga secara mandiri

  Kemandirian Kelompok 1.

  Mampu membentuk kelompok dan asosiasipetani 2. Kelompok aktif dan mampu berdiskusi mengenai masalah tanaman dan masalah yang dihadapi anggota kelompok

  3. Berbagi informasi antar anggota kelompok

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan - Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 1 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. MOTIVASI BEALAJAR BAHASA MANDARIN 1. Definisi Motivasi Belajar - Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Gambaran Motivasi Belajar Bahasa Mandarin Siswa SMA Methodist 2 Medan

1 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Infeksi - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik FKG USU tentang Standard Precautions pada Pasien HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan TBC pada Tahun 2015

0 1 22

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik FKG USU tentang Standard Precautions pada Pasien HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan TBC pada Tahun 2015

0 0 5

Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan 2.1.1 Pengertian Perilaku Kesehatan - Hubungan Perilaku Pencegahan Terhadap Kejadian HIV Pada Kalangan LSL Di Klinik IMS Dan VCT Veteran Medan Tahun 2015

0 0 28

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Pendukung Keputusan - Implementasi Metode System Development Life Cycle (SDLC) dan Algoritma Profile Matching untuk Penentuan Karyawan Berprestasi

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi Kurang - Pengaruh Pemberian cookies Substitusi Tepung Tempe terhadap Pertumbuhan Anak Batita Gizi Kurang di Kelurahan Pakuan Baru Kota Jambi Tahun 2013

0 0 24

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton - Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

0 0 30