BAB II LEGALITAS PERDAGANGAN MULTI LEVEL MARKETING DI INDONESIA A. Pengertian Multi Level Marketing - Analisa Yuridis Terhadap Praktik Money Game Dalam Transaksi Perdagangan Berbasis Multi Level Marketing

BAB II LEGALITAS PERDAGANGAN MULTI LEVEL MARKETING DI INDONESIA A. Pengertian Multi Level Marketing Multi Level Marketing atau biasanya disingkat menjadi MLM adalah

  sebuah bentuk pemasaran perdagangan modern yang menggunakan sistem penjualan langsung dari produsen ke konsumen secara berjenjang. Metode penjualan langsung ini dikenal dengan istilah direct selling. Sistem penjualan langsung merupakan aktivitas penjualan barang atau produk secata langsung kepada konsumen, dimana aktivitas penjualan tersebut dilakukan oleh seorang

  23 penjual langsung yang disertai penjelasan, presentasi dan demo produk.

  Sistem penjualan langsung (direct selling) sendiri memiliki dua bentuk

  24

  yaitu :

  1. Penjualan langsung satu tingkat yang dikenal dengan istilah Single Level

  Marketing dimana pemasaran barang dan/atau jasa dilakukan mitra usaha

  untuk mendapat komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri;

  2. Penjualan langsung berjenjang yang biasa dikenal dengan istilah Multi Level

  Marketing dimana pemasaran barang dan/atau jasa dilakukan mitra usaha

  untuk mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya. 23 24 R. Serfianto D., Iswi Hariyani, Cita Yustisia, Op. cit., hlm. 15-16.

  Single Level Marketing berbeda dengan Multi Level Marketing. Dalam

  sistem Single Level Marketing, penjual hanya mampu memiliki kaki terbatas antara 1-2 tingkat kedalaman vertikal. Misalnya, si A merekrut si B, lalu si B merekrut si C. Atas penjualan yang dilakukan oleh si B dan si C, maka si A berhak atas bonus karena ia membina dan merekrut kedua orang tersebut. Apabila si C merekrut si D, dan si D berhasil merekrut si E maka hanya si C yang mendapat bonus sementara si A tidak berhak mendapat bonus lagi. Hal ini berbeda dengan sistem Multi Level Marketing dimana bonus atas rekrutmen

  25 diberikan terus hingga membentuk jaringan vertikal yang besar.

  Menurut Peter J. Clothier, Multi Level Marketing adalah suatu metode penjualan barang secara langsung kepada pelanggan melalui jaringan yang

  26

  dikembangkan oleh para distributor lepas. Ada juga pendapat dari David Roller yang mengatakan Multi Level Marketing adalah sistem melalui mana sebuah induk perusahaan mendistribusikan barang dan/atau jasanya lewat suatu jaringan orang-orang bisnis yang independen. Orang-orang bisnis atau para wiraswasta ini kemudian mensponsori orang-orang lain lagi untuk mendistribusikan barang

  27 dan/atau jasa tersebut.

  Multi Level Marketing juga disebut sebagai pemasaran jaringan (network

marketing ) yang berarti sistem pemasaran dengan menggunakan jaringan kerja.

  Istilah pemasaran jaringan menunjuk pada metode dan mekanisme pemasarannya. Pemasaran jaringan merupakan salah satu cara yang dapat dipilih perusahaan atau 25 26 Ibid. , hlm. 17-18.

  Peter J Clothier, How to Make Big Money in Multi-Level Marketing (New York: New York Institute of Finance, 1989), hlm. 33. 27 David Roller, Menjadi Kaya Dengan Multi Level Marketing (Jakarta: PT. Gramedia produsen untuk memasarkan produknya kepada konsumen melalui pengembangan

  28 tenaga-tenaga pemasarnya secara independen, tanpa campur tangan perusahaan.

  Perkembangan metode penjualan Multi Level Marketing ini mulai masuk ke dalam bidang penghimpunan dana masyarakat. Sistem Multi Level

  

Marketing seharusnya hanya fokus mencari keuntungan dari penjualan produk,

  29

  bukan dari penghimpunan dana masyarakat. Dengan kata lain, apabila ditemukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat menggunakan sistem Multi

  

Level Marketing maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini merupakan Money

Game dan tidak mendapat jaminan dari pemerintah sebab menurut peraturan

  perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kegiatan penghimpunan dana masyarakat yang diakui hanya perusahaan jasa keuangan seperti perbankan, pasar

  30 modal, dan asuransi.

  Berikut adalah ciri-ciri perusahaan dengan sistem Multi Level Marketing

  31

  yang diakui di Indonesia, yaitu :

  1. Perdagangan dengan sistem Multi Level Marketing menunjukkan hasil kerja nyata melalui sistem yang diterapkan. Sistem yang diterapkan pun bersifat fleksibel bukan struktur binary seperti piramida;

  2. Memiliki barang dan jasa yang akan dipasarkan dan kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan;

  3. Harga produk yang dijual wajar dan sesuai dengan nilai dan benefit produk; 28 M. Fachrur Rozi, Budaya Industri Pemasaran Jaringan di Indonesia (Yogyakarta: Netbook Press, 2003), hlm. 13. 29 30 R. Serfianto D., Iswi Hariyani, Cita Yustisia, Op. cit., hlm. 19. 31 R. Serfianto D., Iswi Hariyani, Cita Yustisia, loc. cit.

  Ciri-Ciri Bisnis MLM Yang Sehat,

  4. Perusahaan yang menerapkan sistem Multi Level Marketing berbentuk badan hukum dan selain memiliki SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) juga memiliki SIUPL (Surat Izin Usaha Penjualan Langsung) dan terdaftar sebagai anggota APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia).

B. Sejarah Lahirnya Multi Level Marketing

  Dalam sejarah industri ini, sistem penjualan langsung atau direct selling sudah dikenal sejak abad ke-18 di Amerika Serikat. Sistem ini dianggap pertama kali muncul dengan beroperasinya The California Perfume Company di New York tahun 1886 yang didirikan oleh Dave McConnel. Beliau kemudian yang menelurkan ide untuk mempekerjakan Albee sebagai California Perfume Lady yang pertama dengan cara menjual langsung kepada konsumen dari rumah ke rumah. Perusahaan ini kemudian berganti nama menjadi Avon The Company For

  

Women pada tahun 1939. Sejarah mencatat Albee ini dianggap sebagai pionir

  32

  metode penjualan direct selling yang dilakukan secara konsisten. Perusahaan ini pun terus bertumbuh hingga mampu membangun armada bisnisnya mencapai 10.000 tenaga penjual untuk memasarkan 117 jenis produk hingga ke mancanegara. Tak lama kemudian, banyak perusahaan-perusahaan di Amerika juga turut menerapkan sistem penjualan langsung. Perusahaan umumnya mengirimkan tenaga penjual (sales) ke kota-kota untuk menjual produk secara langsung kepada konsumen dari rumah ke rumah (knock on doors to market and

32 Lihat

  “Apa Beda Direct Selling dengan Multi Level Marketing”, INFO APLI, Edisi

  

sell products ) karena belum tersedia sarana seperti televisi, radio bahkan internet

  33

  untuk memperkenalkan suatu produk Sistem Multi Level Marketing mulai dibicarakan secara ilmiah sejak 1945 oleh dua profesor pemasaran dari Universitas Chicago yaitu Karl Ramburg dan

  Robert Metcalt. Sejak saat itulah, mulai bermunculan perusahaan yang menerapkan sistem Multi Level Marketing. Beberapa perusahaan Multi Level

  

Marketing yang cukup dikenal pada masa itu adalah Nutrilite, Shaklee

Corporation , Amway Corporation, dan lain-lain. Perusahaan Nutrilite yang sudah

  berdiri sejak 1934 di California, Amerika Serikat ini hadir dengan menerapkan sistem baru yaitu sistem pemberian komisi tambahan kepada distributor independen yang berhasil merekrut, melatih dan membantu anggota baru untuk ikut menjual produk Nutrilite. Metode ini memungkinkan seorang distributor terus merekrut anggota baru dengan kedalaman dan keluasan yang tidak terbatas. Hal inilah yang membawa perubahan pergeseran metode penjualan langsung dari sistem penjualan langsung satu tingkat (Single Level Marketing) menuju sistem

  34 penjualan langsung berjenjang (Multi Level Marketing).

  Pada tahun 1959, berdirilah Amway Corporation yang didirikan oleh dua orang mantan distributor Nutrilite yaitu Richard de Vos dan Jay van Andel.

  Mereka menggunakan sistem penjualan yang diterapkan Nutrilite. Produk yang mereka jual saat itu adalah LOC (Liquid Organic Cleaner), yaitu cairan pembersih serbaguna yang aman bagi lingkungan. Sistem Multi Level Marketing 33

  diakses pada tanggal 7 Januari 2015). 34 Jabbar Ibrahim, MLM Bikin Saya Kaya Raya (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,

  yang diterapkan ini kemudian membesarkan nama Amway, bahkan melebihi popularitas Nutrilite dan Shaklee. Hal ini terbukti dengan kehadiran Amway yang dikenal di sebelas negara di luar Amerika Serikat, yaitu Kanada (1962), Australia (1971), Irlandia (1973), Inggris (1973), Hongkong (1974), Jerman (1975), Malaysia (1976), Perancis (1977), Belanda (1978), Jepang (1979) dan Switzerland (1980). Amway kemudian membeli perusahaan Nutrilite pada tahun 1972 dan membuat salah satu lini produk yang diandalkan hingga kini. Kesuksesan Amway inilah yang menjadi kunci dalam mendorong berbagai jenis perusahaan berbasis

  

35

Multi Level Marketing di seluruh dunia.

  Perusahaan berbasis Multi Level Marketing di Indonesia sendiri diawali dengan berdirinya Creative Network International (CNI) pada tahun 1986 di Bandung. CNI menjual produk tunggal berupa makanan kesehatan Sun Chlorela buatan Jepang. Seiring dengan perkembangan usaha dan semakin banyaknya produk yang dipasarkan, CNI berhasil mengembangkan bisnisnya hingga ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura, India dan Amerika Serikat. Kesuksesan CNI sebagai perusahaan berbasis Multi Level Marketing inilah yang menjadi kunci lahirnya perusahaan-perusahaan lain di Indonesia yang menggunakan

  36 sistem Multi Level Marketing sebagai basisnya.

  Pasca era krisis moneter hingga saat ini, perusahaan berbasis Multi Level

  

Marketing ini semakin bertumbuh pesat. Para pelaku usaha menggunakan

  momentum dan situasi krisis untuk menawarkan solusi bisnis bagi pemain asing maupun lokal seperti Amway, Avon, Tupperware, Sophie Martin, Oriflame, 35 36 Lihat “Pedoman Bisnis”, Amway, (Jakarta: PT. Amindoway Jaya , 2008), hlm. 38.

  Jabbar Ibrahim, op.cit., hlm. 15.

  

Herbalife , Greenlite, dan lain-lain. Sophie Martin adalah salah satu perusahaan

  dengan skema penjualan langsung yang tergolong sukses. Berdiri sejak tahun 1987, Sophie yang piawai merancang tas dan Bruno suaminya yang mempunyai kemampuan marketing yang mumpuni mencari peluang untuk memasarkan hasil keterampilan istrinya. Keahlian Sophie dalam merancang tas tidak terlepas dari pengalamannya yang pernah menjadi desainer handbag Christian Dior. Keahlian Sophie dalam mendesain produk fashion dan kepiawaian Bruno dalam meletakkan dasar-dasar manajemen menjadikan Sophie Martin berkembang pesat dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Perusahaan ini berhasil menjadi perusahaan penyedia produk fashion yang mempunyai peranan penting di Indonesia. Saat ini,

  

Sophie Martin sudah memiliki jaringan pemasaran dengan lebih dari 900.000

  anggota member, 400 unit pusat bisnis yang tersebar di seluruh Indonesia, serta 4 (empat) cabang di negara Filipina, Australia, Singapura dan Brunei Darussalam dengan beragam produk mulai dari fashion, aksesoris, pakaian, tas dan kosmetik.

  Produk-produknya berhasil memikat dan melekat kuat di hati masyarakat Indonesia.

  Hingga Juli 2014, tercatat lebih dari 160 perusahaan sudah mengantongi Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) dan hanya 86 perusahaan yang menjadi anggota APLI. Hampir separuh perusahaan yang belum bergabung dengan APLI tidak memenuhi persyaratan seperti SIUPL yang kadaluarsa dan/atau perusahaan sendiri tidak berkenan menjadi anggota APLI. Di samping itu, peraturan yang berlaku di Indonesia pun tidak mewajibkan sebuah perusahaan

  37

  berbasis Multi Level Marketing harus menjadi anggota APLI. Meski tidak diwajibkan menjadi anggota APLI namun menjadi keanggotaan APLI mampu memberikan kesan bagi konsumen bahwa perusahaan yang terdaftar memiliki reputasi yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang belum menjadi anggota APLI. APLI sendiri menjadi satu-satunya organisasi yang dipercaya oleh

  

World Federation of Direct Selling Associations (WFDSA) sebagai lembaga yang

  bertugas untuk mengawasi kinerja perusahaan berbasis Multi Level Marketing di Indonesia. Keanggotaan APLI sendiri berlaku untuk satu tahun dan setiap tahun akan diperpanjang setelah diteliti kembali persyaratan-persyaratan ini. Pada bulan Juni 2014, tercatat sudah ada 87 perusahaan berbasis Multi Level Marketing yang bergabung menjadi anggota APLI padahal jumlah perusahaan yang bergerak di

  38 bidang penjualan langsung ini jumlahnya diduga mencapai 262 perusahaan.

C. Ruang Lingkup Sistem Multi Level Marketing

  Ruang lingkup sistem Multi Level Marketing mencakup unsur produsen atau perusahaan, distributor, konsumen dan sistem kerja. Unsur-unsur ini akan dibahas satu per satu dalam uraian berikut:

  1. Produsen Produsen dalam sistem Multi Level Marketing merujuk pada pelaku kegiatan yang menggunakan sistem Multi Level Marketing sebagai basis untuk melakukan kegiatan perdagangannya. Perusahaan yang berbasis Multi Level

  

Marketing adalah unit kegiatan yang melakukan aktivitas pengolahan faktor-

37 Nefosnews, “Banyak Money Game Berkedok MLM, APLI Minta Masyarakat Jeli”. (diakses tanggal 21 Desember 2014). 38

  faktor produksi guna menghasilkan produk yaitu barang dan/atau jasa yang ditujukan kepada konsumen melalui mekanisme pemasaran Multi Level

  

Marketing . Produk yang diperdagangkan harus jelas karena inti dari aktivitas

  perdagangan Multi Level Marketing adalah penjualan barang dan/atau jasa secara

  39 langsung kepada konsumen.

  Produk-produk yang diperdagangkan di Indonesia dalam perusahaan berbasis Multi Level Marketing meliputi berbagai jenis, mulai dari produk suplemen kesehatan, peralatan kesehatan, peralatan rumah-tangga, produk perawatan tubuh, kosmetik, sampai kebutuhan non primer seperti cinderamata,

  40 peralatan konveksi, pembuatan jaringan website, dan lain-lain.

  Produk yang umumnya dijual perusahaan berbasis Multi Level Marketing ini memiliki manfaat dan nilai tertentu yang khas. Hal inilah yang menjadi daya saing terhadap produk-produk sejenis yang diperdagangkan perusahaan- perusahaan konvensional yang bukan berbasis Multi Level Marketing. Nilai atau

  41

  manfaat tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:

  a. Nilai jual, produk yang diperjualbelikan harus unik dan menarik sehingga membuat orang yang mendengarkan atau melihat menjadi tertarik. Sebuah produk yang baik untuk dijual adalah produk yang tidak terlalu banyak memiliki substitusi (produk pengganti) di pasaran;

  39 40 M. Fuad, Pengantar Bisnis (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 7. (diakses tanggal 23 Desember 2014). 41 MLM Leaders, The Secret Books of MLM (Jakarta: Mic Publishing, 2007), hlm. 189- b. Nilai manfaat, produk yang diperjualbelikan harus memiliki manfaat bagi penggunanya, dan apabila produk tersebut berbentuk jasa maka jasa yang diberikan dapat memberi manfaat bagi penggunanya;

  c. Nilai ekonomis, harga dari produk harus sesuai dengan fungsi dan manfaatnya sehingga nilai yang dibayarkan oleh konsumen setara dengan manfaat yang diperoleh dari produk tersebut, atau dengan kata lain harga produk tersebut harus bersifat realistis.

  2. Distributor Distributor dalam istilah ekonomi artinya adalah perantara yang menyalurkan produk dari pembuat barang yang dihasilkan oleh pabrik, produk tersebut dikirimkan ke pengecer atau pelanggan. Distributor adalah sebuah kegiatan pemasaran yang bertujuan untuk mempermudah penyampaian barang

  

42

dan jasa dari produsen kepada konsumen.

  Penggolongan distributor dalam kegiatan Multi Level Marketing adalah orang-perorangan yang bersedia bergabung menjadi mitra usaha dengan cara mendaftarkan diri melalui perjanjian tertulis antara perusahaan berbasis Multi

  

Level Marketing dengan dirinya sebagai pribadi, kemudian dilanjutkan dengan

penyertaan sejumlah uang sebagai biaya pendaftaran sebagai anggota.

  Keanggotaan distributor hanya berlaku setelah disetujui dan diakui perusahaan.

  Para distributor Multi Level Marketing dalam praktiknya lebih dikenal dengan istilah sales atau agen finansial. Istilah sales atau agen finansial sesungguhnya kurang tepat untuk dipergunakan karena istilah sales atau agen 42

   Wikipedia, “Distribusi”, finansial secara luas dapat diartikan sebagai pegawai tetap, pegawai lepas, pegawai harian, atau honorer yang mempunyai ikatan jam kerja dengan perusahaan dan memiliki upah kerja sebagai imbalan atas jasanya. Istilah ini jelas kurang tepat mengingat para distributor Multi Level Marketing ini umumnya tidak memenuhi unsur ”ikatan jam kerja dengan perusahaan”. Faktanya, distributor

  

Multi Level Marketing umumnya juga bekerja di perusahaan lain dan

  pekerjaannya sebagai distributor Multi Level Marketing hanya bersifat sampingan karena jam kerja yang bebas dan tidak ada ikatan jam kerja yang ditentukan perusahaan Multi Level Marketing. Distributor Multi Level Marketing juga tidak menerima imbalan berupa upah atau gaji yang diberikan secara berkala, akan tetapi ia hanya memperoleh penghasilan dalam bentuk komisi berdasarkan

  43 penjualan produk yang ia kerjakan.

  Distributor dalam setiap kinerjanya berhak memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk mengembangkan karirnya. Dalam praktik Multi Level

  

Marketing , pengembangan karir akan semakin baik seiring bekerjanya distributor-

  distributor yang ada dibawahnya. Dengan kata lain, setiap distributor memiliki kesempatan atau peluang yang sama untuk mengembangkan karirnya hingga posisi puncak. Kemungkinan untuk mencapai posisi puncak ini relatif lebih terbuka sebab jumlahnya tidak harus satu sebagaimana presiden direktur pada

  44 perusahaan-perusahaan non Multi Level Marketing.

43 Andrias Harefa, Menapaki Jalan DS-MLM (Yogyakarta: Gradien Books, 2007), hlm.

  9. 44

  3. Konsumen Konsumen dalam istilah ekonomi dapat diartikan sebagai orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi, apabila tujuan pembelian yang dilakukan itu adalah untuk dijual kembali maka ia bukan tergolong sebagai konsumen melainkan sebagai distributor.

  Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

  Ruang lingkup Multi Level Marketing yang termasuk konsumen adalah masyarakat pengguna atau pembeli produk Multi Level Marketing. Produk yang dibeli ini ditujukan untuk pemakaian pribadi atau orang lain dan bukan untuk dijual kembali. Konsumen sendiri dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu

  45

  :

  a. Konsumen non-distributor Seorang konsumen yang membeli dan menggunakan produk Multi Level

  Marketing melalui penjualan langsung yang dilakukan oleh seorang

  distributor perusahaan Multi Level Marketing. Seorang Konsumen non- distributor hanya mampu memperoleh produk Multi Level Marketing 45 melalui distributor perusahaan, sebab produk tersebut tidak dapat dibeli di tempat-tempat umum seperti pasar tradisional, pasar swalayan, toko, dan lain-lain. Umumnya konsumen non distributor ini mengetahui produk Multi

  Level Marketing dari distributor perusahaan yang juga menjadi kerabat atau anggota keluarga konsumen non-distributor.

  b. Konsumen distributor Peran awalnya adalah sebagai distributor produk Multi Level Marketing namun karena kebutuhannya secara pribadi maka ia menjadi konsumen bagi perusahaan Multi Level Marketing yang bersangkutan. Seorang konsumen distributor memiliki peluang yang lebih baik dalam memasarkan produk yang ia tawarkan sebab konsumen distributor ini dapat memberikan kesaksian dan bukti secara nyata dengan pemakaian produk yang ia gunakan. Hal ini akan lebih menarik minat calon konsumen dalam membeli suatu barang karena calon konsumen memiliki pertimbangan bahwa produk yang ditawarkan tersebut akan memberi manfaat bagi konsumen untuk membelinya.

  Banyak konsumen distributor kemudian mengalami kendala dalam memperoleh produk yang ditawarkan oleh distributor Multi Level Marketing. Hal inilah yang kemudian memicu banyaknya konsumen yang tergolong sebagai konsumen non distributor sebelumnya ini ikut menjadi anggota Multi Level

  

Marketing dan menjadi konsumen distributor. Hal ini terjadi karena pertimbangan

  konsumen yang kesulitan mendapatkan produknya karena harus melalui distributor perusahaan dan harga barang yang cenderung lebih mahal dibandingkan menjadi anggota Multi Level Marketing. Dengan menjadi anggota

  

Multi Level Marketing secara otomatis konsumen ini dapat memperoleh

  46 barangnya lebih mudah dan dengan harga yang lebih murah.

  4. Sistem Kerja Sistem kerja perusahaan berbasis Multi Level Marketing dibangun berdasarkan konsep kemitraan. Kemitraan ini dibangun melalui distributor- distributor yang bergabung dari hasil perekrutan perusahaan secara mandiri maupun anggotanya. Distributor yang bergabung inilah yang akan membentuk sebuah jaringan pemasaran yang sistematis untuk melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen. Awal mulanya ketika mitra usaha bergabung di sebuah perusahaan berbasis Multi Level Marketing maka ia diwajibkan untuk membayar biaya pendaftaran (administrasi). Biaya pendaftaran ini umumnya terjangkau dan sebanding dengan hal yang diberikan perusahaan seperti pemberian starter kit, pelatihan dasar untuk menjual produk, dan lain-lain.

  Seorang distributor baru dapat memahami seluk beluk pekerjaannya setelah memiliki starter kit. Starter kit umumnya memuat penjelasan rinci produk yang ditawarkan oleh perusahaan, daftar harga, brosur/katalog produk, rancangan

  47

  bisnis, dan kisah-kisah orang yang berhasil dari perusahaan tersebut. Selain itu, pelatihan dasar dan lanjutan juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem Multi Level Marketing karena pelatihan merupakan bentuk support

  

system perusahaan dalam memacu kinerja para distributornya. Dengan adanya

  pemberian starter kit dan support system yang diberikan perusahaan maka terlihat 46 47 Ibid., hlm. 43.

  jelas bahwa kegiatan penjualan produk adalah hal yang utama. Hal ini berbeda dengan praktik Money Game dalam perdagangan berbasis Multi Level Marketing yang cenderung mengembangkan perekrutan anggota baru secara terus menerus dan mengabaikan penjualan produk. Dalam perusahaan berbasis Multi Level

  

Marketing yang murni, penjualan produk menjadi utama karena pendapatan

  perusahaan dan komisi para distributor bergantung pada jumlah unit penjualan

  48 produk yang berhasil ditawarkan ke konsumen.

  Ciri khas perusahaan berbasis Multi Level Marketing adalah adanya proses pengembangan jaringan distributor melalui proses rekrutmen anggota untuk memperluas jaringan distribusi produk perusahaan. Dengan adanya proses ini, seorang distributor mempunyai kesempatan untuk membangun, melatih dan membantu jaringan kelompok yang ia rekrut sebelumnya guna memasarkan produk kepada konsumen akhir. Untuk memacu dan memotivasi para distributor dalam memperluas jaringan kelompoknya maka perusahaan memberikan iming- iming berupa bonus uang tunai, pin penghargaan, kesempatan bertamasya ke mancanegara, rumah, mobil mewah, logam mulia, ataupun bentuk penghargaan- penghargaan lainnya. Dengan demikian, setiap distributor memiliki kesempatan yang sama dalam merekrut anggota dan meraih posisi puncak dalam perusahaan karena posisi puncak jumlahnya tidak terbatas seperti posisi dalam perusahaan

  49 konvensional.

  Tidak mengherankan apabila perusahaan berbasis Multi Level Marketing gencar mengadakan pelatihan secara rutin terhadap anggotanya mulai dari 48 49 Andrias Harefa, Op. cit., hlm. 194.

  kemampuan komunikasi, penguasaan teknologi, pemberian wawasan tambahan kepada distributornya. Perusahaan turut serta dalam membantu para distributornya untuk mengembangkan diri dan membangun jaringan pemasaran yang luas

  50 dengan harapan perusahaan dapat meningkatkan penjualan produknya.

  Konsep mitra usaha dalam sistem Multi Level Marketing dinamakan sebagai sistem duplikasi orang. Seseorang akan berhasil dalam bisnis ini bukan saja karena ia berhasil mengembangkan dirinya, tetapi ia juga harus berhasil mendidik para jaringan distributor yang ada dalam garis sponsorisasinya (vertikal) agar dapat bersama-sama berkembang dengannya. Sekalipun awalnya bisnis Multi

  

Level Marketing ini banyak dijalankan sebagai usaha paruh waktu, namun bagi

  mereka yang memiliki komitmen kuat untuk sukses dalam usaha ini maka ia harus berani mengutamakan waktu dan pikiran untuk menjual, mendidik dan melatih kelompok jaringan distributor yang ada di bawah garis sponsorisasinya untuk

  51 mencapai kesuksesan dalam perusahaan berbasis Multi Level Marketing.

  

D. Legalitas Hukum Transaksi Perdagangan Multi Level Marketing di Dunia

dan Indonesia

  Amerika Serikat merupakan negara pertama yang memperhatikan legalitas sistem perdagangan Multi Level Marketing pasca banyaknya praktik

  

Money Game yang dikhawatirkan dapat menganggu stabilitas perekonomian.

  Melalui U.S. Federal Trade Commision, kasus Amway pada tahun 1978 menjadi pembicaraan hangat pada masa itu. Amway diinvestigasi dan diperiksa secara resmi berkaitan dengan skema penjualan langsung yang diterapkan. Hasil 50 51 Andrias Harefa, Op. cit., hlm. 183-184.

  investigasi menunjukkan bahwa Amway bebas dari praktik Money Game maupun praktik skema piramida sehingga Amway merupakan perusahaan berbasis Multi

  

Level Marketing yang sah dan sistem penjualan yang diterapkan dapat

  52 dibenarkan.

  Pengadilan dalam putusannya mempertimbangkan bahwa dalam waktu kurang dari 20 tahun Amway berhasil mendirikan sebuah perusahaan pabrikasi yang besar dengan sistem distribusi yang efisien yaitu sistem Multi Level

  

Marketing . Amway juga mampu memperkenalkan produk-produk baru ke pasaran

  dan didukung para konsumen yang tetap setia menggunakan produk Amway. Para distributor juga terbukti mendapat keuntungan dari penyediaan sumber baru tersebut. Perusahaan Amway kemudian diakui dan dipahami sebagai salah satu perusahaan berbasis Multi Level Marketing yang sah. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa keberhasilan Amway telah mendorong tumbuhnya berbagai perusahaan berbasis Multi Level Marketing di seluruh dunia. Keputusan F.T.C.

  618 tentang Amway telah dijadikan landasan ideal bagi perusahaan berbasis Multi

  

Level Marketing yang hendak berkembang dan secara tidak langsung turut

  53 membantu pemberantasan skema piramida di Amerika Serikat.

  Beberapa negara bagian di Amerika Serikat mengenal berbagai istilah dalam mendefinisikan skema piramida dalam peraturannya. Terlepas dari nama yang digunakan oleh undang-undang, maksud dan tujuan pembuat undang-undang ini adalah sama yaitu untuk melarang rencana atau program yang pembagian komisi distributornya didapatkan berdasarkan rekrutmen anggota baru bukan 52

93 F.T.C. 618, In The Matter of Amway Corporation, Inc., Final Order, Opinion, etc., In Regard To Alleged Violation Of The Federal Trade Commision Act .

  53 berdasarkan pada produk penjualan kepada konsumen akhir. Meski memiliki beragam definisi namun dapat disimpulkan bahwa apabila sebuah perusahaan memenuhi salah satu unsur berikut maka perusahaan tersebut berpotensi

  54

  melanggar peraturan di Amerika Serikat. Berikut unsur-unsurnya:

  1. Adanya pembayaran sejumlah uang kepada perusahaan;

  2. Peserta menerima hak untuk menjual produk perusahaan;

  3. Peserta menerima imbalan dengan cara merekrut orang lain ke dalam program;

  4. Imbalan berupa komisi ini tidak berkaitan dengan penjualan produk kepada pengguna akhir.

  Hingga saat ini, belum ada departemen khusus yang menangani persoalan skema piramida di Amerika Serikat. Meski demikian, Federal Trade

  

Commission and Federal Courts menyatakan bahwa setiap undang-undang setiap

  negara bagian memiliki kerangka hukum yang sudah cukup untuk mengatur perusahaan berbasis Multi Level Marketing. Meski sudah ada peraturan di masing- masing negara bagian namun Keputusan Pengadilan Federal yang berkaitan dengan Koscot Inc. ini yang sering dijadikan dasar pemahaman untuk menilai apakah sebuah perusahaan berbasis Multi Level Marketing melakukan pelanggaran hukum atau tidak. Hal yang selalu dipertimbangkan hakim umumnya adalah dengan melihat apakah ada unsur penarikan uang pendaftaran yang tidak

54 R&R Law Group, “Legal Principles of Multilevel Marketing”, http://www.mlmlaw.

  

com/law-library/guides-reference/multilevel-marketing-primer/#top (diakses tanggal 7 Januari wajar dan/atau adanya unsur pembayaran komisi distributor yang didasarkan pada

  55 proses rekrutmen anggota bukan berdasarkan jumlah unit barang yang terjual.

  Perusahaan dalam aktivitasnya harus berhati-hati ketika mengembangkan jaringan pemasarannya sebab perusahaan harus memperhatikan secara seksama agar tetap berada dalam parameter hukum yang sesuai di Amerika Serikat. Produk hukum yang dirancang memang tidak dapat menjamin semua tantangan hukum.

  Oleh sebab itu, ada variabel berkaitan dengan definisi “Skema piramida” dalam peraturannya. Hal ini untuk menghindari perusahaan berbasis Multi Level

  

Marketing dianggap legal dalam satu negara namun ilegal di negara bagian

  lainnya. Selain itu, penekanan variabel berkaitan dengan definisi “Skema piramida” ini bertujuan untuk menghindari interpretasi hukum yang berbeda-beda dari sebuah undang-undang atau Keputusan Pengadilan Federal sebelumnya. Dengan adanya penekanan variabel ini maka perangkat hukumnya selalu terlihat

  

substance over form dan dapat mengurangi inkonsistensi antar negara bagian

  56 dalam menyusun peraturan.

  Kewenangan legalitas perdagangan berbasis Multi Level Marketing di negara Inggris berada di tangan The Department of Trade and Industry (DTI).

  Munculnya beragam masalah yang terjadi pada skema perdagangan di Inggris terlihat pada tahun 1960-an. Banyaknya korban akibat sebuah skema perdagangan yang cenderung hanya memberikan keuntungan bagi perusahaan membuat 55 R&R Law Group, http://www.mlmlaw.

  “Legal Principles of Multilevel Marketing”,

com/law-library/guides-reference/multilevel-marketing-primer/#top (diakses tanggal 7 Januari

2015). 56 R&R Law Group, “Legal Principles of Multilevel Marketing”, http://www.mlmlaw

  

.com/law-library/guides-reference/multilevel-marketing-primer/#top (diakses tanggal 7 Januari pemerintah Inggris harus turun tangan. Berikut beberapa pelanggaran yang

  57

  muncul saat itu:

  1. Skema perusahaan yang meminta para peserta untuk berpartisipasi dengan jumlah uang yang besar dalam skema untuk mendapat hak menjual produk perusahaannya dan disertai dengan janji pemberian bonus ketika peserta merekrut orang lain ke dalam skema;

  2. Tidak adanya kontrak tertulis yang menegaskan hak-hak peserta yang berpartisipasi dalam skema perdagangan tersebut;

  3. Tidak adanya cooling off untuk karyawan berupa hak bagi peserta untuk menjual kembali (buy back) produk perusahaan yang tidak terjual di pasaran;

  4. Perusahaan memberikan informasi yang tidak memadai atau menyesatkan berkaitan dengan sifat skema dan janji imbalan komisi untuk pesertanya.

  Sebuah perusahaan berbasis Multi Level Marketing dianggap sebagai usaha komersial yang sah sepanjang tidak bertentangan dengan Part XI of the Fair

  

Trading Act 1973 , The Pyramid Selling Schemes Regulations 1989, dan The

  58 Pyramid Selling Schemes (Amandment) Regulations 1990 . Secara umum,

  praktik perdagangan berbasis Multi Level Marketing yang diakui secara sah menurut hukum Inggris adalah skema perdagangan yang melakukan penjualan barang dan/atau jasa melalui skema yang beroperasi di lebih dari satu tingkat. Peserta yang bergabung dalam skema ini akan membeli barang dan/atau jasa dari orang atau perusahaan yang menjalankan skema atau dari peserta lain dan kemudian menjualnya kepada masyarakat umum. Terlepas dari keuntungan yang 57 Lorraine Conway, “Pyramid Selling and Similar Trading Schemes”, House of Commons Library , Research Paper 96/20, Januari 1996, hlm. 6. 58 mereka dapatkan dari barang yang terjual, peserta juga dapat menawarkan penghasilan tambahan dengan merekrut peserta baru untuk mendapat komisi

  59 penjualan yang dilakukan oleh peserta lain.

  Ada 3 (tiga) landasan hukum yang berkaitan dengan perusahaan berbasis

  

Multi Level Marketing . Hukum Inggris setidaknya mengklasifikasikan 4 (empat)

  delik pidana yang tercatat dalam Pasal 120 Part XI of the Fair Trading Act 1973 dimana dua diantaranya berkaitan dengan pelanggaran rekrutmen yang dilakukan secara persuasif oleh perusahaan yang kemudian disertai dengan suatu pembayaran sebagai partisipan baru dan dua delik pidana lainnya yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap isi perjanjian. Pasal 120 ini juga memberikan sanksi pidana secara tegas berupa hukuman denda maksimum sebes ar ₤ 5000 dan/atau 3

  (tiga) bulan penjara. Part XI of the Fair Trading Act 1973 merupakan peraturan yang dibuat dengan tujuan untuk melarang beberapa jenis skema perdagangan terlarang, khususnya kegiatan yang memungut biaya partisipasi sebagai anggota yang disertai dengan janji bonus apabila merekrut peserta baru ataupun kegiatan yang memungut lebih dari ₤ 200 untuk produk barang dan/atau jasa selama 7

  60 (tujuh) hari pertama dalam partisipasinya sebagai anggota.

  Kewenangan legalitas perdagangan berbasis Multi Level Marketing di Indonesia berada di tangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menjadikan dasar legalitas baru bagi setiap perusahaan berbasis

  

Multi Level Marketing . Dalam pasal 7 sampai pasal 10 Undang-undang

59 60 Ibid.

  Perdagangan ditegaskan tentang skema penjualan distribusi apa yang diperbolehkan dan diakui, siapa saja yang termasuk penjual resmi dan larangan tegas yang disertai sanksi akibat penggunaan praktik skema piramida dalam kegiatan perdagangan.

  Melalui Kemendag RI, pemerintah juga mengeluarkan beberapa peraturan dibawah undang-undang berkaitan dengan perusahaan berbasis Multi Level

  Marketing . Regulasi itu meliputi:

  61

  1. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung;

  2. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 47/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Permendag Nomor 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan dengan Sistem Penjualan Langsung;

  3. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;

  4. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 13/M-Dag/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung;

  5. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan; 61

  6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 73/MPP/Kep/3/2000 tentang Ketentuan Kegiatan Usaha Penjualan Berjenjang; dan

  7. Fatwa Dewan Syariah Nasional

  • – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 75/DSN/MUI/VII/2009 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS).

  Apabila sebuah perusahaan berbasis Multi Level Marketing hendak mendapatkan izin dari pemerintah maka perusahaan tersebut bukan hanya wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan mempunyai akta Perseroan Terbatas melainkan juga wajib memiliki Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) sesuai amanat Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 32/M- DAG/PER/8/2008.

  Untuk mendapatkan izin SIUPL, maka perusahaan wajib mengajukan permohonan izin dan kemudian mempresentasikan rencana bisnisnya terlebih dahulu di Departemen Perdagangan dan turut dihadiri pengurus organisasi Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). Sejak ada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 55/M-DAG/PER/10/2009, proses untuk mendapatkan SIUPL ini semakin panjang karena selain harus mendapat rekomendasi dari Departemen Perdagangan dan saran dari APLI, permohonan juga harus dikirim ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk disetujui dan kemudian

  62

  memberikan keputusan. Perlu dipahami bahwa, hukum positif di Indonesia menegaskan bahwa tidak semua perusahaan boleh menghimpun dana masyarakat 62 dan melakukan pengelolaan investasi atas penghimpunan tersebut. Kegiatan penghimpunan dana hanya terbatas pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Inilah sebabnya proses perizinan untuk mendapatkan SIUPL oleh perusahaan yang hendak bergerak dengan sistem Multi Level Marketing ini membutuhkan jalan panjang dan berliku dengan mendapat rekomendasi dari berbagai lembaga negara.

  Proses yang rumit dan panjang ini kemudian membuat banyak perusahaan berbasis Multi Level Marketing di Indonesia yang tidak mengurus izin SIUPL. Perusahaan tersebut hanya mempunyai izin SIUP dan Akta Perusahaan yang menunjukkan bahwa perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas. Dalam Pasal

  5 Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 46/M-DAG/PER/10/2009 ditegaskan bahwa SIUP tidak berlaku untuk kegiatan usaha perdagangan yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SIUP, kegiatan penghimpunan dana masyarakat dengan menawarkan janji keuntungan yang tidak wajar dan kegiatan yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti penjualan berjenjang, penjualan dengan sistem waralaba, kegiatan ekspor-

  63 impor, dan lain-lain.

  Dialihkannya kewenangan penerbitan SIUPL dari Departemen Perdagangan ke BKPM sebenarnya adalah upaya pemerintah dalam mempermudah pelayanan dalam proses perizinan. Sejak berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 55/M-DAG/PER/10/2009 dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan suatu perizinan dan non-perizinan di Indonesia 63 maka dibentuklah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang bernaung dibawah BKPM. Dengan adanya penyelenggaraan ini, diharapkan para perusahaan yang hendak mendapatkan SIUPL ini mampu mengurus permohonan izin SIUPL dari tahap permohonan sampai dengan terbitnya dokumen perizinan dalam satu tempat

  64 yaitu di BKPM.

  Sayangnya, meskipun kehadiran PTSP ini diharapkan dapat menjawab hambatan para pengusaha dalam mengurus izin, kenyataannya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam laporannya pada bulan November 2014, mencatat ada 262 perusahaan yang menghimpun dana masyarakat tanpa izin khusus dan layanannya tidak berada dalam pengawasan OJK. Setelah ditelusuri, sebanyak 218 penawaran investasi tersebut tidak memiliki kejelasan izin dari otoritas berwenang.

  Sedangkan, 44 sisanya berada dibawah naungan sejumlah otoritas, seperti Kementerian Koperasi dan UMKM, Badan Pengawasan Perdagangan Komoditi

  65 Berjangka, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Hukum dan HAM.

  Berkaitan dengan APLI, organisasi ini merupakan sebuah wadah kesatuan bagi seluruh perusahaan yang bergerak di bidang penjualan langsung (Direct Selling). Organisasi ini bersifat independen, tidak berafiliasi dengan kegiatan politik praktis, dan profesional dalam mengawasi perusahaan untuk melakukan sistem penjualan langsung yang murni. Setiap perusahaan Multi Level

  

Marketing tidak berkewajiban menjadi anggota APLI, yang wajib bagi perusahaan

  adalah memiliki izin SIUPL. Meski tidak diwajibkan, menjadi anggota APLI mampu memberikan kesan bagi konsumen bahwa perusahaan yang terdaftar 64 65 Ibid., hlm. 168-169.

  Kontan,

  

“OJK Rilis Daftar Investasi Yang Diduga Bermasalah”, memiliki reputasi yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang belum menjadi anggota APLI. APLI sendiri menjadi satu-satunya organisasi yang dipercaya oleh World Federation of Direct Selling Associations (WFDSA) sebagai lembaga yang bertugas untuk mengawasi kinerja perusahaan berbasis

  

Multi Level Marketing di Indonesia. Dalam rekrutmen anggota, APLI dikenal