BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA A. Pengertian Advokat - Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA A. Pengertian Advokat Menurut UU Advokat, advokat adalah orang yang berprofesi memberikan

  jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Maka dengan hal ini berarti cakupan advokat meliputi mereka yang melakukan pekerjaan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan, sebagaimana diatur didalam UU Advokat. Selanjutnya dalam UU Advokat dinyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi).

  Namun demikian, meskipun sama-sama sebagai penegak hukum, peran dan fungsi para penegak hukum ini berbeda satu sama lain.

  Menurut Jimly Asshiddiqie, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Dalam kekuasaan yudikatif, advokat menjadi salah satu lembaga yang perannya sangat penting, selain peran dari instansi kepolisian dan kejaksaan. Kepolisian dan kejaksaan adalah lembaga yang mewakili kepentingan pemerintah, sedangkan advokat mewakili kepentingan masyarakat. Dengan demikian secara umum, dalam sistem kehakiman di Indonesia, hakim ditempatkan sebagai pihak yang mewakili kepentingan negara, jaksa dan kepolisian mewakili kepentingan pemerintah, sedangkan advokat menjaga dan mewakili kepentingan masyarakat. Pada posisi inilah peran advokat menjadi penting karena dapat menjaga

  10 keseimbangan antara kepentingan negara dan pemerintah.

  Advokat merupakan suatu bentuk profesi terhormat sehingga ia sering disebut sebagai officium nobile yakni sebagai pemberi jasa yang mulia dalam hukum. Ia disebut mulia karena ia merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia dan yang mengupayakan pemberdayaan

  11 masyarakat dalam menyadarkan hak-hak fundamental mereka didepan hukum.

  Dalam menjalankan profesi, seorang advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan berperilakuan kurang terhormat. Advokat dikonsepsikan memiliki kedudukan yang subjektif dengan cara berpikir yang objektif. Kedudukan subjektif advokat ini sebab ia mewakili kepentingan masyarakat (klien) untuk membela hak-hak hukumnya. Namun, dalam membela hak-hak hukum tersebut, cara berpikir advokat harus objektif menilainya berdasarkan keahlian yang dimiliki dan kode etik profesi. Untuk itu, dalam kode etik ditentukan diantaranya, advokat boleh menolak menangani perkara yang menurut keahliannya tidak ada dasar hukumnya, dilarang memberikan informasi yang menyesatkan dan menjanjikan kemenangan kepada klien. Seorang advokat wajib berusaha memperoleh pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik- baiknya tentang kasus kliennya, sebelum memberikan nasihat dan bantuan

  10 11 Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Op.Cit., hlm.96.

  hukum. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang (candid) tentang

  12 untung ruginya (merus) perkara yang akan dilitigasi dan kemungkinan hasilnya.

  Sebagai pengemban profesi mulia, advokat dituntut untuk melaksanakan profesi hukumnya dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai moralitas umum

  13

  (common morality) seperti:

  1. Nilai-nilai kemanusiaan (humanity) dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan;

  2. Nilai-nilai keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya;

  3. Nilai kepatuhan atau kewajaran (reasonableness), dalam arti bahwa upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan didalam masyarakat

  4. Nilai kejujuran (honesty), dalam arti adanya dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari diri dari perbuatan yang curang;

  5. Kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya;

  6. Nilai pelayanan kepentingan public (to serve public interest), dalam arti bahwa di dalam pengembangan profesi hukum telah imberent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari di pegang teguhnya nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kredibilitas profesinya.

12 Irenna Becty, “Tinjauan Kode Etik Advokat”, http://hukum.bunghatta.ac.id/ tulisan.php?dw.7 (diakses pada tanggal 01 Februari 2015).

  13 Frans Hendra Winata, “Citra Advokat Sebagai Officium Nobile dan Peranan Organisasi Advokat ”, http://variaadvokat.awardspace.info/vol6/frans.pdf (diakses pada tanggal 01

  Syarat untuk menjadi pengacara (advokat) di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yaitu sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu hukum.

  Persyaratan lebih lanjut untuk menjadi advokat diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat : 1. warga negara Republik Indonesia; 2. bertempat tinggal di Indonesia; 3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; 4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; 5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

  6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; 7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat;

  8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

  9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi;

  Adanya ketentuan keharusan seorang advokat yang muda untuk melakukan magang selama 2 tahun terus menerus pada kantor advokat mempunyai maksud bahwa seorang advokat yang baru memerlukan persiapan diri sebelum terjun menjadi seorang advokat yang profesional. Persiapan yang dimaksud adalah :

  14 1.

  Persiapan mental, maksud dari persiapan mental ini adalah mental yang berkaitan dengan penyesuaian kondisi dengan penegak hukum lain, misalnya polisi, jaksa maupun hakim.

  2. Persiapan pengalaman, maksud dari persiapan pengalaman ini adalah untuk mendapatkan pengalaman dalam melakukan pekerjaan seorang advokat, dikarenakan advokat adalah pekerjaan keterampilan sehingga untuk menjadi seorang advokat membutuhkan pengalaman.

  Advokat dalam melaksanakan tugasnya memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dalam UU Advokat, sebagai berikut :

  1. Pasal 14 menyebutkan bahwa advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

  2. Pasal 15 menyebutkan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

14 Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia (Jakarta : Sinar

  3. Pasal 16 menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.

  4. Pasal 17 menyebutkan bahwa dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  5. Pasal 18 menyebutkan bahwa : a.

  Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

  b. perkara

  Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

  6. Pasal 19 menyebutkan bahwa : a.

  Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

  b.

  Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.

  7. Pasal 20 menyebutkan bahwa : a.

  Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.

  b.

  Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.

  c.

  Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut

B. Fungsi dan Peranan Advokat

  Peran advokat tidak akan lepas dari masalah penegakan hukum di Indonesia. Profesi advokat memiliki peran penting dalam upaya penegakan hukum. Setiap proses hukum, baik pidana, perdata, tata usaha negara, bahkan tata negara, selalu melibatkan profesi advokat yang kedudukannya setara dengan penegak hukum lainnya. Dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama praktik mafia peradilan, advokat dapat berperan besar dengan memutus mata rantai praktik mafia peradilan yang terjadi. Peran tersebut dijalankan atau tidak bergantung kepada profesi advokat dan organisasi advokat yang telah dijamin 15 kemerdekaan dan kebebasannya dalam UU Advokat.

  Profesi advokat yang bebas mempunyai arti bahwa dalam menjalankan profesinya membela masyarakat dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran hukum tidak mendapatkan tekanan darimana pun juga. Kebebasan inilah yang harus dijamin dan dilindungi oleh undang-undang yaitu UU Advokat agar jelas status dan kedudukannya dalam masyarakat, sehingga bisa berfungsi secara maksimal. Advokat adalah profesi yang bebas (free profession) yang tidak tunduk pada hirarki jabatan dan tidak tunduk pada perintah atasan, dan hanya menerima perintah atau order atau kuasa dari klien berdasarkan perjanjian yang bebas, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, yang tunduk pada kode etik profesi advokat, tidak tunduk pada kekuasaan publik, seperti notaris yang merupakan jabatan

  16 publik, yang mempunyai kewajiban dan tanggung jawab publik.

  15 16 Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Op.Cit., hlm.96-97.

  17 Advokat memiliki banyak peranan dalam hukum, seperti: 1.

  Peran advokat sebagai penegak hukum Advokat itu berperan dalam mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus, mendorong yang tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan maupun ketertiban umum dan mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam menerapkan hukum dikarenakan salah satu asas penting dalam pembelaan, apabila advokat berkeyakinan seorang klien bersalah, maka advokat sebagai penegak hukum akan menyodorkan asas

  “clemency” atau sekedar memohon keadilan.

2. Peran advokat sebagai pengawas penegakan hukum Advokat itu berperan melakukan pengawasan terhadap penegakan hukum.

  Pengawasan ini dijalankan oleh perhimpunan advokat yang mencakup dua hal, yaitu : a.

  Internal, secara internal peran perhimpunan advokat harus dapat menjadi sarana efektif mengawasi tingkah laku advokat dalam profesi penegakan hukum atau penerapan hukum. Harus ada cara- cara yang efektif untuk mengendalikan advokat yang tidak mengindahkan etika profesi dan aturan-aturan untuk menjalankan tugas advokat secara baik dan benar.

  b.

  Eksternal, secara eksternal baik perhimpunan advokat maupun advokat 17 secara individual harus menjadi pengawas agar peradilan dapat berjalan

  Bagir Mannan, Peran Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa dalam Majalah Hukum No. 240 September 2005 (Jakarta: IKAHI, 2005) secara benar dan tepat. Bukan justru sebaliknya, advokat menjadi bagian dari upaya menghalangi suatu proses peradilan.

  3. Peran advokat sebagai penjaga kekuasaan kehakiman Advokat berperan dalam menjaga kekuasaan kehakiman. Perlindungan atau jaminan kehakiman yang merdeka tidak boleh hanya diartikan sebagai bebas dari pengaruh atau tekanan dari kekuasaan negara atau pemerintahan. Kekuasaan kehakiman yang merdeka harus juga diartikan sebagai lepas dari pengaruh atau tekanan publik, baik yang terorganisasi dalam infra struktur maupun yang insidental. Tekanan itu dapat dalam bentuk melancarkan tekanan nyata, membentuk pendapat umum yang tidak benar, ancaman dan pengrusakan prasarana dan sarana peradilan. Tekanan tersebut dapat pula bersifat individual dalam bentuk menyuap penegak hukum agar berpihak. Advokat sebagai penegak hukum, terutama yang terlibat dalam penyelenggaraan kehakiman semestinya ikut menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat berjalan sebagaimana mestinya.

  4. Peran advokat sebagai pekerja sosial Advokat itu berperan dalam melakukan pekerjaan sosial. Pekerja sosial dalam hal ini adalah pekerja sosial di bidang hukum. Sebagaimana diketahui, betapa banyak rakyat yang menghadapi persoalan hukum, tetapi tidak berdaya. Mereka bukan saja tidak berdaya secara ekonomis tetapi mungkin juga tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka persoalan- persoalan hukum yang yang dihadapi rakyat kecil dan lemah yang memerlukan bantuan, termasuk dari para advokat. Pasal 22 UU Advokat dalam hal ini memaparkan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma- cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (pro bono legal aid).

  Dalam sistem peradilan pidana masing-masing penegak hukum sudah mempunyai tugas masing-masing. Polisi bertugas dibidang penyidikan, Kejaksaan bertugas di bidang penuntutan, dan hakim mempunyai tugas akhir memutuskan perkara. Sementara itu, advokat dalam menjalankan tugasnya berada pada posisi masyarakat. Advokat dan hakim harus membantu sesama. Hakim akan lebih mudah bekerja dan menjalankan tugasnya sehari-hari apabila para advokat yang ada bermutu atau berkualitas dalam menjalankan tugas sehari-hari.

  Advokat dalam membela kliennya mempunyai suatu hubungan yang sangat khusus dan khas antara advokat dan kliennya itu. Hal ini diakibatkan karena adanya suatu hubungan fiduciary antara advokat dan kliennya itu. Dalam hubungan antara advokat dan kliennya, ada suatu kepercayaan yang penuh (trust

  

& confidence ) yang diberikan oleh klien kepada advokat tersebut. Hubungan

fiduciary , yang menimbulkan tugas fiduciary (fiduciary duties) dari advokat ini

  merupakan ciri utama dan merupakan hal yang sangat penting bagi hubungan antara advokat dan kliennya. Yang dimaksud dengan tugas fiduciary dari seorang advokat adalah tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan hukum yang menerbitkan hubungan fiduciary antara advokat dan kliennya, yang menyebabkan advokat berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang advokat mempunyai tanggung jawab moral dan hukum yang sangat tinggi terhadap kliennya, dan advokat haruslah setiap saat mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas, dan kejujuran terhadap kliennya dengan derajat yang tinggi (high

  

degree ) dan tidak terbagi. Karena itu, advokat haruslah mengutamakan

  kepentingan kliennya melebihi dari kepentingan lain apa pun, termasuk melebihi kepentingan advokat itu sendiri. Jadi, kewajiban fiduciary dari advokat berhubungan bukan saja dengan kewajiban kepedulian (duty of care) yang mensyaratkan advokat memiliki kemampuan dan pengetahuan, tetapi mensyaratkan juga advokat untuk memiliki kewajiban berkepribadian, loyalitas,

  18 integritas, dan bersikap (conduct) yang bijaksana.

  Selain dalam proses peradilan, peran advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

  Selain tugas diatas, peran advokat dapat juga bersifat futuristik, yang berarti bahwa advokat itu ikut memikirkan dan memberikan sumbangan dalam strategi pembangunan hukum pada masa yang akan datang. Yang dimaksud dengan strategi pembangunan hukum adalah upaya dari kelompok sosial dalam suatu masyarakat untuk mengambil bagian dari pembentukan, penerapan dan 18 pelembagaan dalam proses politik. Peran ini disebut sebagai agent of

  

development , yaitu untuk turut serta dalam pembangunan hukum (law

development ), pembaharuan hukum (law reform), dan pembuatan formulasi

19 rumusan hukum (law shaping).

  Dalam pembangunan hukum (law development), advokat berperan untuk mendorong dan mengarahkan undang-undang dan perkembangan hukum kebiasaan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yan berkembang ke arah modernisasi. Dalam peran ini advokat harus membuka mata terhadap perkembangan di sekitarnya agar mereka dapat menyumbangkan pikirannya

  20 dalam pembangunan hukum.

  Dalam pembaharuan hukum (law reform), advokat berperan untuk merombak dan memperbarui hukum yang tertulis sesuai dengan peradaban dan kemajuan kesadaran dan aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Dalam peran ini advokat harus siap untuk melakukan penggantian atau amandemen undang-

  21 undang yang telah ada.

  Dalam pembuatan dan penyusunan formulasi hukum (law shaping), advokat berperan untuk membuat dan menyusun formalisasi hukum dalam undang-undang dan hukum kebiasaan, secara tegas dan jelas untuk melindungi

  22 hak asasi manusia dan keadilan sosial.

  Berdasarkan hal diatas, advokat seharusnya dapat memberikan andil atau berbuat secara konket dalam menentukan arah perkembangan hukum nasional 19 V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011), hlm.22. 20 21 Ibid 22 Ibid, hlm.23. yang disebut sebagai politik hukum, yang meliputi dua hal. Pertama adalah pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua adalah pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Hal ini terkait dengan jenis dan peraturan perundang-undangan sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa advokat dapat memberikan sumbangan pikiran pembentukan undang-

  23 undang sebagai bagian dari hukum.

C. Kode Etik Profesi Advokat

  Kode etik penting bagi profesi hukum karena profesi hukum merupakan suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama, serta memiliki izin untuk menjalankan profesi hukum. Apalagi mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang sama dan sama-sama memiliki monopoli atas keahlian di bidang hukum dan tentu saja tertutup bagi orang lain. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan diperkuat karena setiap klien merasa ada kepastian bahwa kepentingannya terjamin. Profesional hukum memberikan pengayoman dan rasa keadilan. Akibatnya, selain masyarakat mengetahui adanya hukum dan dapat memanfaatkan hukum, mereka pun merasa hukum adalah miliknya karena mereka merasa diayomi oleh hukum. Hukum pun

  23 mendapat pengakuan dan legitimasi dari masyarakat. Dengan begitu, kesadaran

  24 hukum dan kepatuhan pada hukum akan eksis dalam masyarakat.

  Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan. Etika Profesi adalah peraturan yang ditujukan kepada perseorangan yang menyandang pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian atau keterampilan tertentu. Pasal 322 KUHP, terdapat kategori-kategori orang yang karena jabatan atau pekerjaan dianggap wajib menyimpan rahasia. Rahasia pekerjaan, jika wajib simpan rahasia pekerjaan dalam keadaan apa pun dan bagaimana pun wajib menyimpan rahasianya, maka rahasia pekerjaan itu rahasia mutlak (absolut). Sebaliknya rahasia pekerjaan relatif (nisbi) jika wajib simpan rahasia pekerjaan itu harus membuka rahasianya, maka harus dikorbankan kepentingan yang lebih besar daripada kepentingan yang dilindungi oleh rahasia itu. Untuk sampai pada kesimpulan membuka rahasia itu bukan pekerjaan mudah, karena si wajib simpan rahasia itu akan mempertimbangkan mana yang hendak dikorbankan, yakni

  25 kepentingan yang lebih besar daripada yang dilindunginya.

  Setiap profesi, termasuk advokat menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan displin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilematik etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya sehari-hari. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat dikarenakan setiap klien akan mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik ibarat 24 25 Abdul Rahman, Diktat Etika Profesi Hukum, 2013, hlm.90.

  kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Aspek kepercayaan antara profesional dan klien ini menjadi pokok utama kajian Daryl Koehn dalam bukunya berjudul The Ground of Professional Ethics. Daryl menekankan janji publik seorang profesional yang sepihak, tak bersyarat, untuk melayani tujuan khusus dari kelompok orang tertentu memberi landasan pada otoritas kaum profesional yang mengesahkan kekuasaan mereka untuk memulai dan melaksanakan atau memberi hak atas tindakan yang mengubah kehidupan demi

  26 kepentingan klien.

  Menurut Sumaryono pembentukan kode etik memiliki tujuan tersendiri,

  27

  yaitu untuk : 1.

  Sebagai sarana kontrol sosial Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian dapat dicegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan kontrol melalui rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.

  26 27 Abdul Rahman, Op.Cit., hlm.43.

  Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti,

  2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota kelompok profesi. Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya. Hubungan antara pengemban profesi dan masyarakat, misalnya antara advokat dan klien, antara dosen dan mahasiswa, antara dokter dan pasien, tidak perlu diatur secara detail dengan undang-undang oleh pemerintah, atau oleh masyarakat karena kelompok profesi telah menetapkan secara tertulis norma atau patokan tertentu berupa kode etik profesi.

  3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya, sehingga memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan. Dengan demikian, kode etik dapat mencegah kesalahpahaman dan konflik, sebaliknya berguna sebagai bahan refleksi nama baik profesi. Kode etik profesi yang baik adalah yang dapat mencerminkan nilai moral anggota kelompok profesi sendiri dan pihak yang membutuhkan pelayanan profesi yang bersangkutan.

  Ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh seorang advokat, yaitu logika dan etika. Logika akan menuntun seorang advokat untuk memahami mana yang benar dan mana yang salah, sedangkan etika akan menuntun seorang advokat sehingga ia akan mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk, oleh karena itu kedua hal tersebut harus dimiliki dan tidak dapat dipisahkan dari seorang advokat profesional. Setiap advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, seta setia dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah profesi, yang pelaksanaanya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap advokat, tanpa melihat dari organisasi profesi mana yang ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan sumpah profesinya tersirat pengakuan dan kepatuhannya

  

28

terhadap kode etik advokat yang berlaku.

  Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang selain menjamin dan melindungi namun juga membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara, atau

  29 masyarakat, dan terutama kepada dirinya sendiri.

  Berkaitan dengan kode etik setiap organisasi, tidak terkecuali organisasi advokat, selalu memiliki kode etik yang dibuat sedemikian baiknya dan dijadikan sebagai landasan bertindak dan berperilaku bagi mereka dalam menjalankan profesi tersebut. Pada dasarnya kode etik itu akan dijadikan sebagai hukum dasar dalam setiap organisasi dan oleh karenanya akan berfungsi sebagai pembebanan

  28 29 Kelik Pramudy dan Ananto Widiatmoko, Op.Cit., hlm.97.

  kewajiban kepada setiap anggotanya dan sekaligus pemberian perlindungan

  30 hukum.

  Kode etik yang berlakukan oleh organisasi advokat sekarang ini merupakan bagian tak terpisahkan dari UU Advokat. Kode etik advokat dimaksudkan untuk mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksana profesi, untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi, serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional. Kode etik merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan, dan pengontrolan etos kerja

  31 anggota-anggota organisasi profesi.

D. Fungsi Kode Etik Profesi Advokat

  Sebenarnya kode etik tidak hanya berfungsi sebagai komitmen dan pedoman moral dari para pengemban profesi hukum ataupun hanya sebagai mekanisme yang dapat menjamin kelangsungan hidup profesi di dalam masyarakat. Pada intinya, kode etik berfungsi sebagai alat perjuangan untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perspektif ini pada umumnya berpengaruh pada sebagian advokat yang bergerak dalam bantuan hukum, khususnya bantuan hukum struktural. Oleh karena itu penekanan utama pandangan ini terhadap kode etik adalah bagaimana norma-norma etis di dalamnya dapat memberikan pedoman kepada seorang advokat untuk memperjuangkan hak-hak sosial yang berkemampuan untuk meningkatkan

  30 31 Ibid

  potensi survival golongan masyarakat lemah di tengah masyarakat yang kian

  32 kompleks dan penuh antagonisme.

  Subekti menilai bahwa fungsi dan tujuan kode etik adalah untuk menjunjung martabat profesi dan menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-

  33 perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materil para anggotanya.

  34 Fungsi kode etik profesi advokat dapat dikelompokkan : 1.

  Kode etik dalam hubungan dengan kepribadian advokat umumnya.

  Seorang sarjana hukum setelah lulus ujian khusus keadvokatan maka dia lalu disumpah jabatan. Sumpah jabatan tersebut mencerminkan kepribadian advokat atau pengacara, kepribadian lainnya adalah advokat bersedia memberikan nasehat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan tanpa membedakan kedudukan, warna kulit, suku, agama, keturunan, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.

  Advokat menjalankan tugasnya tidak semata-mata mencari imbalan materiil, tetapi terutama berjuang untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran dengan cara jujur dan bertanggung jawab.

  Advokat tidak dibenarkan melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasannya, derajat, martabat advokat dan harus senantiasa menjunjung tinggi profesi advokat sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).

  32 Advokat, http://bendalbendol.blogspot.com/2010/06/advokat.html (diakses pada tanggal 26 Februari 2015). 33 Haposan Naibaho, “Advokat dan Kode Etik”, http://haposanrendynaibaho. blogspot.com/p/advokat.html (diakses pada tanggal 26 Februari 2015). 34

  Advokat dalam menjalankan tugasnya harus bersikap dan sopan santun terhadap pejabat, penegak hukum, sesama advokat dan masyarakat, namun dia wajib mempertahankan hak dan martabat advokat di mimbar manapun juga.

2. Kode etik dalam hubungan advokat dan klien

  Menjaga dan mempertahankan hubungan baik dengan klien adalah tugas utamanya seorang advokat. Karena di samping klien merupakan sumber penghasilan, profesi advokat juga merupakan jasa. Kepercayaan dari pencari keadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan itu sangat penting. Jangan sampai kepercayaan yang diberikan itu hilang hanya karena klien merasa diabaikan kepentingannya apalagi advokat menyalahgunakan kepercayaan klien.

  Advokat wajib mengurus kepentingan klien terlebih dahulu daripada kepentingan pribadi advokat dan khususnya dalam menangani perkara-perkara perdata harus diutamakan menempuh jalan perdamaian. Kode etik juga tidak membenarkan seorang advokat memberikan janji-janji kepada klien bahwa perkaranya akan dimenangkan atau janji-janji lain yang bersifat memberikan harapan. Advokat hanya boleh menjanjikan bahwa perkaranya akan diurus sebaik- baiknya dengan mengarahkan segala daya kemampuannya guna memenangkan perkara. Kode etik juga melarang menentukan syarat-syarat guna membatasi hak- hak kliennya untuk menyerahkan pengurusan perkaranya kepada advokat lainnya. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinan tidak ada dasar hukumnya. Yang paling utama seorang advokat harus senantiasa memegang teguh rahasia jabatan tentang ikhwal yang dberitahukan kepadanya oleh klien secara kepercayaan dan wajib menjaga rahasia itu meskipun telah berakhir hubungan advokat dan klien yang bersangkutan.

  3. Kode etik dalam hubungan dengan rekan sejawat Rekan sejawat adalah mereka yang bersama-sama menjalankan satu profesi yang sama dalam hal ini maksudnya adalah advokat lain, baik teman dalam kantor maupun di luar kantor. Sebagai sesama rekan sejawat, advokat harus dengan kesejawatan berdasarkan sikap menghargai dan saling mempercayai, baik dalam tutur kata dan tulisan maupun tindakan harus berdasarkan sopan santun. Apabila terdapat perbedaan pendapat itu adalah hal yang wajar dalam urusan kepengacaraan asal diajukan dengan rasa hormat menghormati dan menghargai alasan satu dengan lainnya.

  Keberatan atas perilaku rekan sejawat yang dianggap bertentangan dengan kode etik, harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa. Seorang advokat juga tidak diperkenankan untuk menarik seorang klien dari rekan sejawat. Apabila klien hendak berganti advokat, maka advokat yang baru dipilih hanya dapat menerima perkara setelah mendapat keterangan dari advokat yang lain bahwa klien telah memenuhi semua kewajiban terhadapnya termasuk honorarium.

  4. Kode etik dalam bertindak menangani perkara Surat menyurat antara rekan sejawat di dalam suatu perkara pada umumnya tidak dapat dibenarkan untuk ditunjukkan kepada hakim, kecuali dianggap perlu untuk menunjukkan itikad buruk dari pihak lawan. Surat-surat yang dibubuhi dengan catatan “Sans Prejudice” sama sekali tidak dibenarkan ditunjukkan kepada hakim.

  Ketika suatu perkara sedang berjalan di muka pengadilan, advokat hanya dapat menghubungi hakim bersama-sama advokat pihak lawan dan dalam menyampaikan surat menyurat tersebut advokat pihak lawan diberikan tebusan. Advokat tidak diperkenankan menambah catatan-catatan pada berkas di dalam maupun didala m sidang meskipun hanya bersifat “ad-informandum” atau keterangan tambahan, jika hal itu tidak diberitahukan terlebih dulu kepada advokat pihak lawan dengan memberikan waktu yang layak, sehingga rekan sejawat tersebut dapat mempelajari catatan yang bersangkutan.

  Jika advokat mengetahui bahwa seseorang mempunyai advokat, maka hubungan dengan orang tersebut mengenai perkara seseorang tertentu, hanya dapat dilakukan melalui advokat yang bersangkutan dan jika harus berbicara dengan klien dari seorang rekan sejawat tentang soal lain, maka ia tidak dibenarkan menyinggung atau mengkaitkan dengan perkara dalam mana klien tersebut dibantu oleh rekan sejawat yang bersangkutan.

  5. Kode etik dalam hubungan advokat terhadap hukum/undang-undang, kekuasaan umum dan para pejabat pengadilan Pada lafal sumpah jabatan advokat, terdapat kewajiban seorang advokat untuk menghormati kekuasaan umum, badan peradilan dan pejabat lainnya. Sikap atau tindakan jika tidak menghormati badan peradilan dan para pejabatnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan melecehkan atau lazin dinamakan sebagai “Contempt of Court”.

  Rakernas Mahkamah Agung Tahun 1986 mengelompokkan perbuatan advokat yang dapat dianggap sebagai Contempt of Court :

  35 1.

  Secara lisan atau tertulis telah mengeluarkan pernyataan atau pendapat yang merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana;

  2. Memperlihatkan sikap yang tidak hormat terhadap majelis pengadilan atau pejabat peradilan lainnya;

  3. Mengabaikan kepentingan dari si peminta bantuan hukum; 4.

  Menggunakan kata-kata yang tidak pantas terhadap undang-undang atau pemerintah.;

  5. Bertingkah laku dan berbuat yang tidak layak terhadap pihak-pihak yang berperkara atau pembelanya.

E. Cara Penegakan Kode Etik Advokat Sama halnya dengan penegakan hukum adalah penegakan kode etik.

  Penegakan kode etik adalah usaha melaksanakan kode etik sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan kode etik yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali. Karena kode etik adalah bagian dari hukum positif, maka norma-norma penegakan hukum undang-undang juga berlaku pada penegakan kode etik advokat.

36 Supaya kode etik profesi dapat berfungsi sebagai mana mestinya, maka

  paling tidak ada dua syarat yang harus dipenuhi. Pertama, kode etik itu harus 35 Ropaun Rambe, Op.Cit., hlm.49-50. 36 dibuat oleh profesi itu sendiri. Kode etik tidak akan efektif, apabila di drop begitu saja dari atas, dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barangkali bisa membantu juga dalam merumuskannya, tetapi pembuatan itu sendiri harus dilakukan oleh profesi itu sendiri. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi self-regulation (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi itu sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Kedua, syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pelanggar kode etik. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban melapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Namun demikian, dalam praktek kontrol ini kerap kali tidak berjalan dengan mulus. Karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam setiap anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang

  37 melanggar.

  Penegakan kode etik advokat perlu dilakukan agar dapat berfungsi dengan baik dan efektif, karena itu harus ada badan atau alat yang bertugas membina dan mengawasinya. Dalam suatu organisasi advokat untuk hal pengawasan tersebut biasanya ditugaskan kepada suatu badan atau dewan kehormatan profesi. Badan 37 ini selain menjaga aturan kode etik profesi itu dipatuhi seluruh anggota, juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penertiban atau tindakan yang bersifat administratif terhadap anggota-anggotanya yang melanggar kode etik profesi tersebut. Tindakan yang bersifat administratif ini dapat berupa hukuman yang paling ringan seperti teguran dan mungkin saja berupa hukuman yang paling berat seperti pemecatan dari keanggotaan organisasi advokat, hukuman yang dijatuhkan ini ditentukan sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang dilakukan advokat

  38 tersebut.

  Namun, tindakan administratif yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidaklah selalu efektif, bila anggota yang telah dikenakan sanksi administratif tidak mau secara sukarela mentaatinya lalu kemudian pindah menjadi anggota advokat lainnya. Hal ini merupakan kelemahan umum organisasi profesi advokat Indonesia. Selain itu, ada juga kelemahan lain seperti pada advokat yang melanggar kode etik profesi, apabila advokat tersebut tidak masuk kedalam suatu organisasi atau Asosiasi Advokat maka Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak dapat menjangkau atau mengambil tindakan

  39 administratif terhadap advokat yang bukan merupakan anggotanya.

  Dari kelemahan itu, maka Dewan Kehormatan Organisasi Advokat menyadari bahwa pengawasan yang dilakukan tidaklah efektif. Hal itu menyebabkan pembuat undang-undang memberikan kekuasaan dan kewenangan

  38 39 Ibid, hlm.51.

  kepada Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman untuk melakukan pengawasan

  40

  terhadap advokat. Undang-Undang yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1.

  Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyebutkan bahwa Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan notaris.

  2. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyebutkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri mengadakan pengawasan atas pekerjaan penasehat hukum dan notaris didaerah hukumnya dan melaporkan hasil pengawasannya kepada Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.

3. Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman RI, tanggal 6 Juli 1987 No.KMA/005/SKB/VII/1987 dan No.

  MPR.08.05 tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum.

  Pada garis besarnya SKB tersebut mengatur tentang hal-hal berikut:

  a)

  Bab I tentang ketentuan umum Isi bab I ini, memuat beberapa pengertian istilah yang disebut dalam Surat Keputusan Bersama (SKB), seperti misalnya pengertian “pengawasan”, “penasehat hukum”, “organisasi profesi” dan lain-lain. Arti pengawasan disini menurut SKB adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Ketua Mahkamah Agung dan 40 Menteri Kehakiman yang bertujuan untuk menjaga agar para penasehat hukum dalam menjalankan profesinya tidak mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya, tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tidak melanggar sumpah jabatan dan tidak melanggar norma kode etik profesinya.

  b)

  Bab II tentang ruang lingkup pengawasan Isi bab II ini, disebutkan bahwa Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman merupakan pengawasan tertinggi terhadap Penasehat Hukum, namun dalam pengawasan sehari-hari tugas itu diserahkan kepada Ketua Pengadilan Setempat. Ketentuan itu dapat dibaca dalam pasal 2 dari SKB tersebut yang isinya antara lain menyebutkan : 1)

  Pengawasan sehari-hari atas penasehat hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat dan selanjutnya secara hirarkis dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung, dan Menteri Kehakiman. 2)

  Pengawasan tersebut ayat (1) dilakukan sejajar dengan pengawasan menurut jalur justisial yang diatur dalam perundang-undangan.

  3) Pengawasan tersebut ayat (1) bersifat membimbing dan membina yang di antaranya diwujudkan dengan diadakannya pertemuan berkala oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan para penasehat hukum atau organisasi profesi Penasehat Hukum didaerahnya.

  Untuk membantu tugas pengawasan dari Ketua Pengadilan Negeri dapat pula ditunjuk seorang hakim atau lebih hakim pengawas penasehat hukum pada tiap Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sudah ada hakim pegawas penasehat hukum sekaligus pengawas notaris.

  c)

  Bab III tentang alasan dan bentuk penindakan Isi bab III ini, sesuai dengan Pasal 3 dari SKB telah merumuskan dan memperinci pelanggaran-pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administratif terhadap penasehat hukum. Sanksi administratif tersebut bertujuan untuk menegakkan kode etik profesi dan peraturan yang berlaku. Pelanggaran yang dapat dikenakan penindakan atau sanksi administrasi menurut ketentuan Pasal 3 SKB adalah:

  1) Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya. 2)

  Berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawannya atau kuasanya.

  3) Berbuat, bertingkah laku, bersikap, bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat kepada hukum, undang-undang, kekuasaan umum, pengadilan dan pejabatnya.

  4) Berbuat hal-hal yang bertentang dengan kewajiban atau bertentangan dengan kehormatan dan martabat profesinya.

  5) Melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Bentuk sanksi administratif terhadap pelanggaran, ketentuan Pasal 3 SKB tersebut kita jumpai dalam ketentuan Pasal 4, yakni :

  1) Teguran dengan lisan atau tertulis. 2)

  Peringatan keras dengan surat 3)

  Pemberhentian sementara dari jabatannya selama 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan.

  4) Pemberhentian sementara dari jabatannya lebih dari 6 (enam) bulan

  5) Pemberhentian dari jabatannya sebagai penasehat hukum.

  d)

  Bab IV tentang tata cara penindakan dan pembelaan diri Isi Bab IV ini, tidak hanya mengatur tentang tata cara penindakan dan pembelaan diri penasehat hukum yang terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang diatur dalam Pasal 3 SKB namun juga mengatur tentang pejabat atau instansi yang menangani serta tata kerja dan perangkat kewenangannya masing-masing. Pejabat atau instansi yang menangani dan memproses dan memutus pelanggaran tersebut dalam Pasal 3 SKB, pada tingkat I(pertama) adalah Ketua Pengadilan Negeri, apabila putusan tingkat I(pertama) itu diajukan keberatan, maka Ketua Pengadilan Tinggi yang akan memeriksa dan memutuskan lagi dalam Instansi ke-2(Kedua) dan jika masih diajukan keberatan maka Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutuskannya dalam instansi terakhir. Dalam hal Ketua Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengenakan sanksi (pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap) terhadap advokat maka usul penindakan itu harus disampaikan kepada Menteri Kehakiman (Vide Pasal 17, 18 dan