BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Yang Digunakan Sebagai Sarana Praktik Pencucian Uang (Money Laundering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang memiliki kebutuhan dan kepentingannya yang berbeda-beda. Dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya di dalam masyarakat, sengketa

  maupun pelanggaran hukum banyak terjadi. Bagi orang yang memilih jalur litigasi sebagai jalan penyelesaiannya. Oleh karena itu, jasa advokat sangat dibutuhkan untuk menghindari pengurusan terhadap birokrasi pengadilan yang rumit dan berbelit-belit. Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum.

  Advokat merupakan salah satu penegak hukum yang jasanya adalah untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atau klien yang memiliki sengketa hukum. Advokat memiliki tugas, kewajiban, dan tanggung jawab yang luhur, baik terhadap diri sendiri, klien, pengadilan, dan Tuhan, serta demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Dalam sumpahnya, advokat bersumpah tidak akan berbuat palsu atau membuat kepalsuan, baik di dalam maupun di luar keuntungan seseorang atau itikad buruk seseorang, tetapi akan menjalankan fungsi advokat di dalam proses peradilan sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya.

1 Pada saat menjalankan tugasnya seorang advokat memiliki hak dan

  kewajiban. Hak dan kewajiban seorang advokat adalah menjalankan tugas dan fungsinya sesuai Kode Etik Advokat Indonesia, Undang

  • – Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat), dan peraturan perundang – undangan lainnya yang mengatur tentang advokat.

  Hubungan antara advokat dan kliennya dipandang dari advokat sebagai

  officer of the court , yang mempunyai dua konsekuensi yuridis, sebagai berikut:

  2 1.

  Pengadilan akan memantau bahkan memaksakan agar advokat selalu menuruti ketentuan undang-undang atau kepantasan kepada kliennya, antara lain membela kliennya semaksimal mungkin sesuai dengan kewajiban

  fiduciary yang disandangnya 2.

  Akan tetapi, di lain pihak, karena advokat harus membela kliennya semaksimal mungkin hampir-hampir tanpa kompromi, maka advokat haruslah hati-hati jika dia dihadapkan untuk membela kliennya semaksimal mungkin dengan tunduk sepenuhnya pada aturan hukum yang berlaku , seperti yang disebutkan dalam Canon 7 dari Code of Professional

  Responsibility

  dari advokat di Amerika Serikat bahwa advokat haruslah mewakili kliennya secara habis-habisan (zealous) dalam batas-batas hukum yang berlaku. “A lawyer should represent a client zealously within the bounds 1

  of the law

  ”. Jadi, meskipun advokat harus membela kepentingan kliennya secara habis-habisan, tetapi di lain pihak, sebagai officer of the court, dia tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan kliennya itu.

  Sebagai officer of the court, advokat harus tunduk dan patuh terhadap aturan yang ada di pengadilan. Dan lebih dari itu, advokat haruslah selalu bertingkat laku yang sesuai dengan kemuliaan dan kewibawaan pengadilan. Dia tidak boleh berperilaku tercela yang dapat mencoreng kewibawaan pengadilan

  3 tersebut.

  Pada pembukaan kode etik advokat menyatakan bahwa profesi advokat adalah suatu profesi terhormat (officium nobile). Kode etik mengenai advokat itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi atau menghambat kemandirian profesi, yang punya kewajiban mulia atau terpandang (officium nobile). Sebaliknya, kode etik advokat merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, teman sejawat, negara atau masyarakat, dan terutama kepada

  4 dirinya sendiri.

  Kode etik advokat harus dipatuhi oleh setiap advokat, didalam kode etik tersebut terdapat peraturan yang mewajibkan para advokat untuk menjaga rahasia dengan kliennya. Seperti yang dikutip dari Kode Etik Advokat Pasal 4 huruf h: “Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.” Jasa advokat akan diberi imbalan berupa legal fee atau honorarium. Honorarium yang diterima seorang advokat tidak memiliki batasan, yang artinya honorarium advokat tidak ada ditentukan jumlahnya dalam undang-undang maupun kode etik advokat. Nilai besarnya honorarium setiap advokat berbeda- beda meskipun atas suatu kasus atau perkara yang mirip sama. Yang terpenting ada persetujuan yang jelas antara advokat dengan calon kliennya, baik menyangkut fee maupun success fee yang akan diterima advokat. Dan seorang calon klien berhak untuk mengundurkan diri dari pembicaraannya, jika ia merasa tidak akan sanggup dapat membayar fee kepada seorang advokat. Demikian pula advokat berhak untuk menentukan sikapnya menyangkut fee yang akan diterima

  5 dari calon kliennya.

  Pada era globalisasi, berbagai kejahatan baik yang dilakukan perseorangan maupun perusahaan dalam batas wilayah negara maupun melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat. Kejahatan dimaksud berupa perdagangan minuman keras, judi, perdagangan gelap senjata, korupsi, penyelundupan. Agar tidak mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai asal-usul dana kejahatan tersebut, maka pelakunya tidak langsung menggunakan dana dimaksud tapi diupayakan untuk menyamarkan atau menyembunyikan asal usul dana tersebut dengan cara tradisional, misalnya melalui kasino, pacuan kuda atau memasukkan dana tersebut ke dalam sistem keuangan atau perbankan. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh dari tindak pidana dimaksud dikenal dengan pencucian uang (money laundering).

  Pencucian uang telah didefinisikan sebagai “Penggunaan uang yang diperoleh dari aktivitas ilegal dengan menutupi identitas individu yang memperoleh uang tersebut dan mengubahnya menjadi aset yang terlihat seperti diperoleh dari sumber yang sah”. Secara lebih luas, pencucian uang dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan atau upaya dari pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari tindak pidana dengan memasukan harta kekayaan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan, khususnya sistem perbankan baik didalam maupun luar negeri, dengan maksud untuk menghindar diri dari tuntutan hukum atas kejahatan yang telah dilakukan dan mengamankan harta kekayaan hasil kejahatan dari sitaan

  6 aparat hukum.

  Saat ini dengan berkembangnya teknologi, keamanan perbankan dan ada dibentuknya berbagai lembaga pengawas transaksi keuangan yang mempersulit para pelaku tindak kejahatan untuk mencuci uang mereka sampai segala cara dilakukan mereka untuk melakukan pencucian uang. Bahkan sekarang sampai

  

legal fee (honorarium) advokat pun digunakan sebagai modus pencucian uang

para pelaku tindak kejahatan.

  Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian negara secara keseluruhan. Di Indonesia, tindak pidana pencucian uang ini diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

  2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU PPTPPU). Pada bulan Juni 2001, Indonesia masuk dalam Daftar Hitam Financial Action Task Force (FATF) sebagai negara yang tidak kooperatif dalam upaya pemberantasan Pencucian Uang (Non Cooperative

  

Countries or Territories/ NCCTs ). Hal ini disebabkan rentannya kebijakan

  pengaturan sektor industri keuangan dan belum adanya sarana yang memadai dalam mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang. Menanggapi kondisi tersebut maka Pemerintah Republik Indonesia kemudian turut menerapkan pendekatan anti money laundering regime sejak 17 April 2002 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang selanjutnya telah direvisi dengan Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang sekarang menjadi UU PPTPPU. Lahirnya UU PPTPPU ini memberi peluang bagi penegakan hukum terhadap “aktor-aktor intelektual” dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan melalui praktik pencucian uang, dan juga memberikan landasan berpijak yang kokoh bagi para aparat penegak hukum dalam upaya menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai dan merencanakan kejahatan seperti predicates crimes dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran uang yang mendanai suatu tindak

  7 kejahatan.

  Lalu, dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disebut PPATK) sebagai salah satu dari pelaksana UU PPTPPU yang berperan dalam upaya mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Sehubungan dengan itu, bersama-sama dengan instansi terkait, PPATK telah melakukan inventarisasi berbagai kendala dan hambatan yang terjadi untuk efektifitas pelaksanaan UU PPTPPU di masa mendatang.

  Meskipun dalam implementasi Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia masih terdapat berbagai kelemahan, akan tetapi dengan menimbang adanya perkembangan yang memadai dan berkelanjutan serta komitmen Pemerintah Indonesia dalam memberantas kejahatan Pencucian Uang, maka berdasarkan hasil sidang pleno FATF tanggal 11 Februari 2005 di Paris, Indonesia dinyatakan keluar dari daftar NCCTs karena mampu memenuhi syarat minimal suatu rezim anti-pencucian uang berdasarkan standar yang dikenal dengan istilah FATF 40+9

8 Recommendations .

  Pengaturan honorarium advokat sebagaimana tertuang dalam Pasal 21 UU Advokat, menyatakan kebolehan adanya honorarium ini tanpa adanya batasan atau tidak adanya standar suatu penetapan honorarium yang diterima advokat atas jasa hukum yang diberikan kepada kliennya. Pasal 21 UU Advokat dapat dikatakan menjadi landasan yuridis keabsahan honorarium. Namun bila tidak diatur secara tegas, penasehat hukum yang menerima pembayaran jasa hukum (legal fee) dari terdakwa tindak pidana pencucian uang atau korupsi dapat pula diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 5 UU PPTPPU. Pasalnya, dalam hubungan profesional antara advokat dengan klien, terdapat suatu hubungan yang sangat dekat. Sehingga, advokat patut menduga harta yang dimiliki kliennya adalah hasil tindak pidana. Namun, adanya ketentuan kode etik kerahasiaan advokat terhadap klien, tidak memungkinkan para advokat melaporkan harta yang dimiliki kliennya atas dugaan tidak pidana. Selain itu, telah terdapat beberapa kasus dimana tindak pidana pencucian uang dilakukan advokat bersama dengan kliennya. Honorarium yang diterima oleh seorang advokat dari kliennya digunakan sebagai mekanisme dalam proses melakukan tindak pidana pencucian uang, dimana advokat menjadi kaki tangan dari pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang.

  Berdasarkan Pasal 21 UU Advokat yang menyebutkan bahwa besarnya honorarium atas jasa hukum ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Tidak adanya pengaturan secara jelas oleh undang-undang terhadap batas pemberian honorarium kepada seorang advokat, menimbulkan suatu celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menjadikan honorarium advokat sebagai sarana praktek pencucian uang. Hal ini lah yang mendorong penulis untuk membahas atau mengangkat judul skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Tentang Pemberian Honorarium Advokat Sebagai Sarana Praktek Pencucian Uang (Money Laundering) ”.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini yaitu :

  1. Bagaimana fungsi kode etik advokat bagi advokat dalam menjalankan profesinya?

  2. Bagaimana honorarium advokat dimanfaatkan sebagai sarana praktik pencucian uang?

  3. Bagaimana akibat hukum bagi advokat yang menerima honorarium hasil tindak pidana pencucian uang?

  C. Tujuan dan Manfaat

  Secara umum tujuan utama penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Secara khusus lagi, tujuan penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang sudah dirumuskan. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui pengaturan kode etik advokat di Indonesia 2. Untuk mengetahui proses dan mekanisme bagaimana honorarium advokat dijadikan sarana money laundering

  3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban hukum bagi advokat yang menerima honorarium hasil tindak pidana pencucian uang Di samping tujuan di atas diharapkan juga skripsi ini memberi manfaat

  1. Secara teoritis, pembahasan ini bisa menjadi tambahan ilmu dalam hukum ekonomi. Dan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan dan pencegahan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia 2. Secara praktis, pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya, advokat dan mahasiswa pada khususnya untuk mengetahui honorarium advokat yang dijadikan sarana pencucian uang dan beserta dengan akibat hukumnya.

D. Keaslian Judul

  Terdapat judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu: 1. Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi Yayasan dalam Rangka Pencegahan

  Praktik Pencucian Uang Money Laundering, yang ditulis oleh Dwi Cesaria Sitorus, NIM 080200258, yang di dalamnya membahas tentang Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi dalam pencegahan praktek pencucian uang.

  2. Peran PPATK dalam Mengatasi Kejahatan Money Laundering di Indonesia, yang ditulis oleh Agusta Kanin, NIM 030200171, yang didalamnya membahas tentang upaya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memberantas kejahatan pencucian uang di Indonesia.

3. Kajian Hukum Terhadap Posisi Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan

  Dalam Pemberantasan Praktek Money Laundering, yang ditulis oleh Fitri Hadijah, NIM 030200072, yang didalamnya membahas tentang kajian hukum menyangkut posisi PPATK dalam memberantas praktek pencucian uang yang terjadi di Indonesia.

  Sedangkan dalam skripsi ini yang dibahas adalah analisis yuridis mengenai adanya praktek pencucian uang yang menggunakan honorarium advokat sebagai mekanisme pencucian uang, dimana adanya kerahasiaan yang kuat antara seorang advokat dengan kliennya menyebabkan tidak memungkinkan para advokat melaporkan harta yang dimiliki kliennya atas dugaan tindak pidana. Juga tidak ada diatur undang-undang tentang jumlah honorarium yang dapat diterima seorang advokat atas imbalan jasanya menyebabkan dapat terjadinya

  

kongkalikong antara advokat dengan kliennya karena jumlah honorarium advokat

  tersebut disetujui kedua belah pihak yang memungkinkan honorarium seorang advokat dijadikan mekanisme dalam praktik pencucian uang yang menjadikan advokat sebagai kaki tangan dari pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut.

  Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kerahasian advokat dengan kliennya, honorarium advokat yang tidak diatur oleh undang-undang, pencegahan praktek pencucian uang serta peraturan-peraturan yg berkaitan dengan judul tersebut, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakan atau media cetak maupun media elektronik. Sehubung dengan keaslian judul skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

  Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat

E. Tinjauan Kepustakaan

  Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah :

  1. Pengertian advokat

  Pasal 1 Kode Etik Advokat Indonesia meyebutkan bahwa advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.

  Advokat adalah penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (hakim, jaksa, dan polisi). Advokat merupakan suatu bentuk profesi terhormat sehingga ia sering disebut sebagai officium nobile yakni sebagai pemberi jasa yang mulia dalam hukum. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian, kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan.

  2. Pengertian kode etik advokat Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat mengatur dan memberi kualitas kepada pelaksana profesi, untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi profesi, serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik profesional.

3. Pengertian pencucian uang (money laundering)

  Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal. Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi kejahatan (crime organization) maupun individu yang melakukan tindakan

  9 korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya.

  Pasal 1 ayat (1) UU PPTPPU menyebutkan bahwa : “Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

  Undang ini.” 4. Pengertian transaksi mencurigakan

  Pasal 1 ayat (5) UU PPTPPU menyebutkan bahwa : “Transaksi keuangan mencurigakan adalah: a.

  Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa bersangkutan; b.

  Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk mengindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang- undang ini; c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.”

F. Metode Penelitian 1.

  Jenis dan sifat penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan melakukan penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma- norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, digunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian dengan hanya menggunakan data-data sekunder. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini bersifat deskriptif. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu, asas-asas atau suatu peraturan- peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanannya, serta menganalisa secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan yang mengatur

  2. Data penelitian Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian hukum normatif maka data-data yang dipergunakan adalah data berupa bahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang seperti : a.

  Bahan hukum primer yaitu : bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dalam skripsi ini antara lain yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Kode Etik Advokat Indonesia, dan peraturan-peraturan lainnya.

  b.

  Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.

  c.

  Bahan hukum tertier yaitu : kamus, bahan dari internet dan lain-lain bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik pengumpulan data

  Dalam penulisan skripsi ini, digunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi. Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Penelitian yang dilakukan ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet maupun sumber teoritis lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi yang diajukan.

4. Analisa data

  Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas- asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan, membuat sistematika dari data tersebut sehingga akan menghasikan kualifikasi tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula, selanjutnya semua data diseleksi, diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.

G. Sistematika Penulisan

  Sistem penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bagian yang tersebut dengan bab, dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih ada konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

  Secara sistematis penulisan menempatkan materi pembahasan keseluruhannya kedalam 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan secara ringkas latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

  BAB II KODE ETIK PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA Dalam bab ini akan dibahas mengenai fungsi kode etik profesi advokat di Indonesia, mencakup pengertian advokat, kelemahan kode etik advokat dan cara penegakannya.

  BAB III PEMBERIAN HONORARIUM ADVOKAT YANG DIGUNAKAN SEBAGAI SARANA PRAKTIK PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengertian berserta sejarah pencucian uang, tipologi dan dampak pencucian uang serta dibahas tentang penetapan jumlah honorarium advokat.

  BAB IV AKIBAT HUKUM BAGI ADVOKAT YANG MENERIMA HONORARIUM HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Dalam bab ini akan dibahas mengenai implementasi undang- undang terhadap honorarium advokat, akibat hukum bagi advokat dan peran PPATK dalam mengawasi honorarium..

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran.