Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebijakan Hukum Pidana 1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni Policy atau dalam

  bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan Perundang- undangan dan pengaplikasian hukum/ peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran

  1 masyarakat (warga negara).

  Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.

  Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau

1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya

  2 staftrechtspolitiek. Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan

  politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto, istilah politik dipakai dalam berbagai arti antara

  3

  lain : 1.

  Perkataan politiek dalam bahasa Belanda, berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara;

  2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau berhubungan dengan negara.

  Menurut Mahfud, politik hukum sebagai legal policy yang akan atau

  4

  telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah yang meliputi : 1.

  Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi- materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

  2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

  “Selanjutnya, definisi politik hukum menurut Bellefroid, sebagai berikut: Politik hukum merupakan cabang dari salah satu cabang (bagian) dari ilmu hukum yang menyatakan politik hukum bertugas untuk meneliti perubahan-perubahan mana yang perlu diadakan, terhadap hukum yang ada atas memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib 2 hukum, dari ius contitutum yang telah ditentukan oleh

  Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Universitas Atmajaya (Yogyakarta, 1999), h. 10. 3 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian

Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminilisasi , Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2005), hlm : 11 kerangka landasan hukum yang dahulu, maka politik hukum berusaha untuk menyusun Ius constituendum atau hukum pada masa yang akan datang”.

  5

  “Menurut Utretch, politik hukum menyelidiki perubahan- perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum membuat suatu Ius constituendum (hukum yang akan berlaku) dan berusahan agar Ius constituendum itu pada suatu hari berlaku sebagai Ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru).

  6

  “ Menurut Padmo Wahjono, Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu, dengan kata lain politik hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa mendatang (Ius constituendum) .

7 Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan

  cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat

  5 Moh. Mahfud M.D, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media (Yogyakarta, 1999), h. 9. 6 Abdul Latif dan Hasbih Ali, Politik Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 22- 23. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thoari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum

  8 pidana atau politik hukum pidana.

  Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana. Menurut Sudarto, politik hukum adalah:

  1. Usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

  2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

  9 masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

  Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Kata sesuai dalam pengertian tersebut mengandung

  10 makna baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

  “Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman 8 tidak hanya kepada pembuat Undang-undang, tetapi juga kepada 9 Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 10.

  Barda Nawawi Arief,Op Cit, h. 24. pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan ”.

  11 Politik hukum pidana diartikan juga sebagai kebijakan menyeleksi atau melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan.

  Disini tersangkut persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana atau bukan, serta menyeleksi diantara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana pada masa mendatang. Oleh karena itu, dengan politik hukum pidana, negara diberikan kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana, yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan yang represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana.

  12 Politik hukum pidana pada dasarnya merupakan aktivitas yang

  menyangkut proses menentukan tujuan dan cara melaksanakan tujuan tersebut. Terkait proses pengambilan keputusan atau pemilihan melalui seleksi diatara berbagai alternatif yang ada mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun berbagai kebijakan yang berorientasi pada berbagai masalah pokok dalam hukum pidana.

  13 11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai …, Op Cit, h. 23. 12 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana ; Reformasi Hukum, PT.

  Gramedia Widiasarana Indonesia (Jakarta, 2008), h. 58-59. 13 Muladi dalam Syaiful Bakhri, Pidana Denda dan Korupsi, Total Media

  Dalam hal mencapai tujuan tertentu hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan sarana-sarana lainnya yang mendukung, yakni tahapan kebijakan hukum pidana, dalam mengoperasionalkan hukum pidana, melalui tahap formulasi kebijakan legislatif atau pembuatan peraturan Perundang-undangan, tahap perencanaan yang seharusnya memuat tentang hal-hal apa saja yang akan dilakukan, dalam mengadapi persoalan tertentu dibidang hukum pidana, dan kejahatan yang terjadi selalu berorientasi pada kebijakan penanggulangan kejahatan terpadu, sebagai upaya yang rasional guna pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus perlindungan

  14 masyarakat.

2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

  Dari definisi tentang kebijakan hukum pidana yang telah diuraikan sebelumnya, sekilas tampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan pembaharuan perundang-undangan hukum pidana yaitu substansi hukum, bahkan sebenarnya ruang lingkup kebijakan hukum pidana lebih luas dari pada pembaharuan hukum pidana. Hal ini disebabkan karena kebijakan

14 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media

  hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi /fungsionalisasi

  15

  hukum pidana yang terdiri dari : 1.

  Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana;

2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana; 3.

  Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.

  Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini, Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan- peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan

  

16

suatu mekanisme pelaksanaan pidana.

  Selanjutnya, A.Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana

  17

  ialah garis kebijakan untuk menentukan : 1.

  Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3.

  Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

  Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu, kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/funsionalisasi hukum pidana material (substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana

  18

  dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan : 1.

  Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana; 15 Barda Nawawi Arief, 16 Bunga Rampai …, Op Cit, h. 24. 17 Ibid, h. 28-29.

  Aloysius Wisnubroto, Op Cit, h. 12.

  2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

  3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

  Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap,

  19

  yakni : 1.

  Tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

  Berdasarkan hal di atas, kebijakan hukum pidana terkandung di dalamnya tiga kekuasaan/kewenangan, yaitu kekuasaan legislatif/formulatif berwenang dalam hal menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana yang berorientasi pada permasalahan pokok dalam hukum pidana meliputi perbuatan yang bersifat melawan hukum. Tahap aplikasi merupakan kekuasaan dalam hal menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum atau pengadilan, dan tahapan eksekutif/administratif adalah melaksanakan hukum pidana oleh aparat pelaksana/eksekusi pidana. 19 Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

  Kebijakan hukum pidana berkaitan dengan masalah kriminalisasi yaitu perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana dan penalisasi yaitu sanksi apa yang sebaiknya dikenakan pada si pelaku tindak pidana. Kriminalisasi dan penaliasi menjadi masalah sentral yang untuk penanganannya diperlukan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Kriminalisasi (criminalisation) mencakup lingkup perbuatan melawan hukum (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea) maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment). Kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip ultimum remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam kehidupan sosial berupa kriminalisasi yang berlebihan (oever criminalisation), yang justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis dalam hukum pidana

  20 formil untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan.

  Pada tahap selanjutnya, hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berwujud peraturan perundang-undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindak lanjuti usaha pelaksanaan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Pada tahap ini termasuk ke dalam bidang 20 Muladi, Kebijakan Kriminal terhadap Cybercrime, Majalah Media Hukum Vol. 1 penegakan hukum, dalam hal ini perlu diperhatikan komponen-komponen

  21 yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan kultur.

  Istilah penegakan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

  

enforcement dalam Black law dictionary diartikan the act of putting

something such as a law into effect, the execution of a law . Sedangkan

  penegak hukum (law enforcement officer) artinya adalah those whose duty it

  22

is to preserve the peace . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penegak

  adalah yang mendirikan, menegakkan. Penegak hukum adalah yang menegakkan hukum, dalam arti sempit hanya berarti polisi dan jaksa yang kemudian diperluas sehingga mencakup pula hakim, pengacara dan lembaga

  23 pemasyarakatan.

  Sudarto memberi arti penegakan hukum adalah perhatian dan penggarapan, baik perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang sungguh- sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang

  24

  mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara konsepsional, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai 21 Lihat Hakristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum : Menuju Upaya Sinergistis untuk

  

Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan, Jurnal Keadilan Vol. 3, No.6 Tahun 2003/2004. 22 Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, St. Paulminn West Publicing, C.O, 1999, h. 797. 23 Departemen Pendidkan dan Kebudayaan, Kamus Besar…, Op Cit, h. 912. rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

  25 mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

  Josep Golstein, membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3

  26

  bagian, yaitu; 1.

  Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu, mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht

  delicten ). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no

  enforcement; 2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal;

  3. Actual enforcement, dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement. Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law

  

application ) yang melibatkan berbagai sub-sistem struktural berupa aparat

25 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, PT.

  Raja Grafindo Persada (Jakarta, 2005), h. 5. kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk di dalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum.

  Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif,yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan eksekusi/administrasi). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui kebijakan hukum pidana.

  Kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan

  27 kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

  Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian tindak pidana dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar dalam memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataannya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional dan merupakan pendekatan yang inheren pada setiap kebijakan yang

  28 rasional.

B. Tindak pidana Koperasi 1. Pengertian Koperasi

  Ide Koperasi lahir dalam era kejayaan kapitalisme. Jika kapitalisme berpijak pada paham tentang pentingnya peranan modal dalam kegiatan ekonomi, maka koperasi lebih mengutamakan peranan manusia dalam

  29 memupuk modal.

  “Koperasi berfungsi sebagai suatu badan usaha yang melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang- orang yang kurang mampu. Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu cooperatives; merupakan gabungan dua kata co dan operation dan dalam bahasa Belanda disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja

  30 bersama ”.

  Dalam Undang-undang RI No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. 28 Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel Pidana di Indonesia, Total Media (Yogyakarta, 2009), h. 155. 29 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 14.

  R.S Soeriaatmadja, memberikan definisi koperasi sebagai suatu perkumpulan dari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia, dengan tidak memandang haluan agama dan politik secara sukarela masuk, untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.

  Kalau diteliti lebih lanjut, adapun unsur-unsur yang terdapat dalam definisi tersebut adalah: a.

  Unsur demokrasi; b.

  Unsur sosial; c. Unsur tidak semata-mata mencari keuntungan. Terdapat 6 ciri Koperasi yaitu: a.

  Sebagai badan usaha yang pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan keuntungan ekonomis sehingga dapat bergerak disegala sektor perekonomian di mana saja dengan mempertimbangkan kelayakan usaha.

  b.

  Harus berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraannya.

  c.

  Sifat keanggotaanya sukarela tanpa paksaan.

  d.

  Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota memegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi sehingga anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. e.

  Pembagian pendapatan atau sisa hasil usaha di dalam koperasi didasarkan pertimbangan jasa usaha anggota kepada koperasi dibatasi, yaitu tidak melebihi suku bunga yang berlaku di pasar sehingga dengan demikian tidak didasarkan atas besarnya modal yang diberikan.

  f.

  Koperasi bersifat mandiri, memiliki kebebasan yang bertanggungjawab, memiliki otonomi, swadaya, serta mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri dan keinginan

  31 mengelola diri sendiri.

  Indonesia sebagai negara yang turut memajukan perekonomian bagi seluruh lapisan masyarakat dengan berlandaskan asas kekeluargaan juga dapat dilihat dengan jelas dalam definisi Koperasi oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in

32 Indonesia. Beliau mengemukakan bahwa koperasi adalah usaha

  bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Koperasi melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang melahirkan diantara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan. Koperasi menyatakan semangat 31 H. Budi Untung, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, h..3. 32 Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005,

  baru untuk menolong diri sendiri yang didorong oleh keinginan member i jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.

  Dalam pidato Mohammad Hatta pada tanggal 12 Juli 1951 disebutkan bahwa Perekonomian sebagai usaha bersama dengan berdasar kekeluargaan adalah koperasi, karena koperasilah yang menyatakan kerjasama antara mereka yang berusaha sebagai suatu keluarga. Sebagaimana orang sekeluarga bertanggungjawab atas keselamatan rumah tangganya, demikian pula para anggota koperasi sama-sama bertanggungjawab atas koperasi mereka. Makmur koperasinya makmurlah hidup mereka bersama, rusak koperasinya rusaklah pula hidup mereka bersama. Adapun yang dimaksud oleh Mohammad Hatta, Pasal 38 UUDS 1950 dalam pidato tersebut adalah

  Pasal 33 dalam UUD 1945 yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan dalam Pasal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam berdirinya suatu koperasi yang baik bagi masyarakat Indonesia.

  Koperasi di Indonesia pada hakikatnya, seperti yang diungkapkan oleh Charles Gide kalau mau berkembang dan tetap setia pada dirinya sendiri dan tidak menyimpang menjadi bentuk lain, maka nilai -nilai moral yang mendasarinya harus merupakan realita- realita hidup dalam kegiatan maupun tingkah laku orang-orang

  33

  koperasi. Jadi, dengan kata lain hakikat koperasi tidak ditentukan dari nama maupun hak badan hukum yang diperolehnya dari pemerintah, akan tetapi apakah asas dan prinsip-prinsipnya sudah merupakan kenyataan yang diterapkan dalam setiap kegiatannya serta tingkah laku koperasi dan anggotanya.

  Berdasarkan hakikat tersebut maka dapat kita lihat bahwa koperasi memiliki tujuan, sifat, nilai dan prinsip-prinsip serta jenis koperasi. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut: a.

   Pengertian Koperasi

  Koperasi pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu unsur ekonomi dan unsur sosial. Karena koperasi merupakan suatu sistem dan sebagaimana diketahui sistem itu merupakan himpunan komponen komponen atau bagian yang saling berkaitan yang secara bersama sama berfungsi mencapai tujuan.

  Tujuan yang dimaksud adalah tujuan ekonomi atau dengan kata lain bahwa koperasi harus berdasarkan motif ekonomi yaitu mencari keuntungan, sedangkan unsur sosial lebih untuk menerangkan kedudukan anggota dalam organisasi, hubungan antar sesama anggota dan hubungan anggota dengan pengurus, bukan dalam arti kedermawanan. Unsur sosial juga ditemukan dalam cara koperasi yang demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha kepada anggota secara proposional dengan jasanya, serta menolong diri

  34 sendiri.

  b. Sifat Koperasi

  Koperasi memiliki sifat kerjasama, yaitu antara orang-orang yang termasuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan yang ingin meringankan beban hidup atau beban kerja. Persamaan koperasi dengan bentuk usaha lain adalah sama-sama mengejar suatu keuntungan kebendaan (stoffelijk voordeel). Perbedaannya adalah bahwa biasanya koperasi didirikan oleh orang-orang yang benar- benar memerlukan sekali kerjasama ini untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki dengan mendapat cukup keuntungan, tetapi mereka berusaha untuk memperbesar keuntungan tersebut.

  c. Nilai dan Prinsip-Prinsip Koperasi

  Koperasi melandaskan nilai-nilai menolong diri sendiri, bertanggungjawab kepada diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas. Berdasarkan pengaruh para pendirinya, para anggota 34 Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2004, Pekoperasian: Sejarah, Teori, koperasi percaya pada nilai-nilai etis: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli pada orang lain.

2. Pengertian Tindak Pidana Koperasi

  Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain, tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa

  35 pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.

  Kata tindak pidana merupakan terjemahan dari “delik” yang berasal dari

  36 bahasa Latin yakni delictum.

  Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukanbahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Sutan Remi Sjadeini mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika pelaku itu melakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana 35 36 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.Cit, h.1.

  Leden Marpaung, 2003, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Terhadap maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh

  37 ketentuan pidana.

  Seiring dengan perkembangan era globalisasi di segala bidang kehidupan termasuk perkembangan ekonomi, keuangan, perdagangan, perbankan dan sosialisasi yang pesat, telah membawa implikasi hukum tertentu bagi Indonesia. Pertama, bagaimana peranan hukum yang harus dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia untuk masa kini dan mendatang. Kedua, peranan hukum mana yang perlu dan mendesak dikedepankan untuk mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum dana masyarakat

  38 era globalisasi.

  Koperasi sebagai suatu badan hukum tidak bisa terlepas dari kemungkinan melakukan suatu perbuatan pidana. Tindak pidana merupakan suatu konsep yuridis yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Dalam pengertian lain, tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

  37 Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, h. 26-27. 38 Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa

  39 pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar perbuatan tersebut.

  Koperasi mempunyai kedudukan yang kuat dan sangat penting di dalam sistem perekonomian nasional Indonesia, karena koperasi merupakan sokoguru perekonomian Indonesia, hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Pasal tersebut secara implisit menunjukan bahwa kedudukan koperasi sangat penting, karena koperasi merupakan badan usaha yang berdasarkan azas kekeluargaan tersebut. Sehingga koperasi diyakini dapat diandalkan untuk menopang perekonomian Indonesia.

  Namun sampai saat ini penyalahgunaan koperasi kerap sekali terjadi, terutama dilakukan oleh para pengurusnya, sehingga akhirnya secara langsung akan merugikan anggotanya dan secara tidak langsung akan merugikan pemerintah. Penyalahgunaan koperasi maksudnya adalah penggunaan asset-asset koperasi oleh pihak-pihak tertentu, biasanya oleh pengurus, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dan bukan untuk tujuan kemajuan atau keuntungan koperasi.

  Tindak pidana koperasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pengelola/pengurus, terhadap orang lain yang telah bekerja sama dengan koperasi, tindak pidana koperasi yang dimaksudkan, dilakukan oleh pengerus maupun anggota koperasi, dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompok dalam koperasi tersebut.

3. Tindak Pidana yang dapat dilakukan oleh Pengurus Koperasi

  Ada beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus koperasi, baik secara bersama-sama maupun sendiri, demi kepentingannya, atau kelompok yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana, dan dalam melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang sering terjadi adalah tindak pidana perbankan, penggelapan dalam jabatan, dan beberapa tindak pidana yang diatur dalam KUHP.

  Terkait dengan tindak pidana perbankan, terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak Pidana Perbankan” dan kedua,

  “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh

  40 orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.

  Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan- kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang mendefinisikan secara populer, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).

  Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu Pertama. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian).

40 Istilah “Tindak Pidana Di Bidang Perbankan dipergunakan oleh Brigjen Pol Drs.

  

HAK Moch Anwar, SH dan Prof Mardjono Reksodiputro, SH, MA. Lihat, HAK Moch

inwar, Tindak Pidana di Bidang Perbankan, (Bandung: Alumni,1986). Lihat juga Marjono

Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku

a. Peraturan Di Dalam KUHP

Pasal 372 KUHP

  “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memilikibarang sesuatuyang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling bany ak sembilan ratus rupiah.” Dari rumusan penggelapan sebagaimana diuraikan diatas, jika diuraikan maka unsur-unsur sebagai berikut :

a) Unsur Objektif 1) Perbuatan Memiliki

  Memiliki adalah melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan

  41 dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat ”.

41 R. Soesilo dalam KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi

  Perbuatan memiliki itu pada umumnya terdiri atas setiap perbuatan yang menghapuskan kesempatan untuk memperoleh kembali barang itu oleh pemilik yang sebenarnya dengan cara-cara seperti menghabiskan, atau memindah tangankan barang itu, seperti memakan, memakai, menjual, menghadiakan, menukan, dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh kembali barang itu seperti pinjam-meminjam, menjual dengan hak membeli kembali termasuk juga dalam pengertian memiliki, bahkan menolak pengembalian atau menahan barang itu dengan menyembunyikan sudah dapat dikatakan sebgaia perbuatan memiliki.

2) Sesuatu Benda

  Pada perbuatan penggelapan, barang yang menjadi objek penggelapan adalah hanya terhadap benda-benda yang berwujud dan bergerak saja, perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya, tidak mungkin dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengetian benda yang ada dalam dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan erat degan benda itu yang sebgai indikatornya adalah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat melakukakannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada

  42 benda-benda yang tidak berwujud dan tetap.

3) Yang Sebagian atau Keseluruhan Milik Orang Lain

  Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak milinya tidak dapat menjadi objek penggelapan. benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan. orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek pengelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu melainkan siapa saja asalkan bukan pentindak sendiri. Arres HR menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak diisyaratkan bahwa

  43 menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu.

  42 43 Adami Chazawi, Op. Cit. h. 77.

  H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Khusus (KUHP Buku II), Alumni, Bandung,

4) Yang Berada Dalam Kekuasaan Bukan Karena Kejahatan

  Dalam unsur ini pelaku harus sudah menguasai barang dan barang itu oleh pemilinya dipercayakan kepada pelaku, hingga barang ada pada pelaku secara sah bukan karena kejahatan, hubungan yang nyata antara pelaku dan barang diwujudkan dengan barang ada di bawah kekuasaannya pelaku bukan karena suatu kejahatan, sedangkan pada pencurian barang ada dalam kekuasaan pelaku karena kejahatan dengan perbuatan mengambilnya. Unsur ini dapat terdiri atas perbuatan meminjam, menerima untuk disimpan, menerima untuk dijual, menerima untuk diangkat.

b) Unsur Subjektif 1) Dengan Sengaja

  Unsur kesengajaan bagian dari kesalahan yang dalam teori hukum Pidana kesalahan mengandung 2 bentuk, yakni kesengajaan dan kelalaian, dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan sadar hingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau dalam arti lain berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbuatannya serta sadar akan akibat yang timbul dari perbuatannya itu atau apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam rumusan tindak pidana seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu perbuatan dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatannya.

2) Melawan Hukum

  Maksud memiliki dengan melawan hukum adalah, bahwa sebelum melakukan perbuatan, ia sadar bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu melawan hukum formil dan hukum materil, melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, sedangkan melawan hukum materil ialah bertentangan dengan asas-asas

  44 hukum didalam masyarakat.

Pasal 374 KUHP

  “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang pengguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Faktor-faktor yang memberatkan pelaku didasarkan pada lebih besarnya kepercayaan yang diberikan pada orang yang menguasai benda yang digelapkan. Beberapa jenis kepercayaan digunakan sebagai masalah-masalah yang memberatkan penggelapan dalam bentuk pokok, yaitu hubungan pelaku yang diberi kepercayaan dengan orang lain yang memberikan kepercayaan dalam suatu lingkungan.

  Unsur-unsur yang memberatkan adalah

  a) Hubungan kerja

  Yang dimaksudkan dengan hubungan kerja adalah pekerjaan yang terjadi karena suatu perjanjian kerja.

  b) Mata Pencaharian

  Yang dimaksudkan, adalah penggelapan yang dilalukan dikarenakan jabatannya didalam pekerjaannya, c) mendapat upah khusus

  Yang dimaksudkan adalah, bahwa seseorang mendapat upah tertentu berhubungan dengan kepercayaan yang diberikan karena perjanjian oleh sebab diserahkan suatu benda.

Pasal 378 KUHP

  “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Unsur-unsur dalam pasal 378 terbagi menjadi dua yaitu : 1.

   Subjektif a.

  Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Unsur ini menunjukkan bahwa pelaku melakukan penipuan dengan sengaja dan mempunyai niat untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri atau orang lain.

  Keuntungan tidak hanya berupa harta kekayaan saja, namun juga dapat berupa sesuatu yang memberi keuntungan non- materiil, seperti pembebasan piutang.

  b.

  Secara melawan hukum. Unsur Melawan Hukum ini merupakan perbuatan dimana pelaku menyadari bahwa perbuatan yang ia lakukan tersebut dilarang oleh hukum, namun dengan sengaja ia tetap melakukan perbuatan tersebut

2. Objektif a.

  Menggerakkan orang lain.Unsur ini ditujukan kepada orang yang menjadi korban, tujuan pelaku menggerakkan hati korban untuk memberikan keuntungan kepadanya berupa sesuatu barang/uang, atau memberikan utang, atau menghapus piutang.

  b.

  Menggunakan berbagai cara. Unsur ini merupakan berbagai bentuk upaya atau cara yang dilakukan pelaku terhadap korban untuk mencapai tujuannya. 1)

  Nama Palsu: nama palsu adalah nama yang bukan merupakan nama aslinya atau sebenarnya.

  2) Martabat Palsu: Martabat palsu atau kedudukan palsu merupakan kedudukan atau jabatan yang digunakan pelaku,untuk menunjukan bahwa dirinya mempunyai hak atau wewenang tertentu.

  3) Tipu Muslihat: Satochid Kartanegara mengemukakan, tipu muslihat ialah tindakan-tindakan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kepercayaan orang atau memberi kesan pada orang yang digerakkan, seolah-olah keadaannya sesuai dengan kebenaran.

  4) Rangkaian Kebohongan: Maksud yaitu kata-kata atau ucapan-ucapan yang menyesatkan atau berbeda dengan kenyataannya diucapkan secara meyakinkan agar dipercaya

  45 oleh korban atau orang yang digerakkan tersebut.

b) Peraturan Di Luar KUHP:

  1)

  Pasal 46 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan :

  1. Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurangkurangnya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah).

  2. Dalam hal kegiatan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan badan dimaksud dilakukan baik terhadap badan badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang 45 memberikan perintah melakukan perbuatan itu atau yang

  P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik

  • – Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 167.
bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

  2)

  Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang “Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berhaga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).

Dokumen yang terkait

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 72

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Hak Guna Usaha Dalam Undang-Undang Pokok Agraria - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsistensi Pengaturan Hak Guna Usaha dalam Hukum Tanah Indonesia

0 0 68

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 8

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pie

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

0 0 5

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Hukum Pidana terhadap Pengurus Koperasi Yang dengan Sengaja Menimbulkan Kerugian pada Koperasi

0 0 27