Perdagangan atau Jual Beli Al Bai

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu
membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, baik dalam urusan diri
sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Namun sering kali dalam
kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam
urusan muamalah ini dan merugikan masyarakat. Untuk menjawab segala
problema tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaikbaiknya kepada kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam
Al-Qur’an dan hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya
pula agar hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan teratur.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang
setiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak mengetahui apakah
caranya sudah memenuhi syara’ ataukah belum. Kita perlu mengetahui
bagaimana cara berjual beli menurut syariat. Oleh karena itu, dalam makalah
ini, kami bahas mengenai jual beli, karena sangat kental dengan kehidupan
masyarakat. Disini pula akan kita bahas jual beli mudharabah, salam, istishna’
dan juga akan membahas mengeniai khiyar.
B. Rumusan Masalah
1.


Bagaimana pengertian dan dasar hukum jual beli?

2.

Apa macam- macam jual beli yang di perbolehkan?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui dasar dan hukum jual beli
2. Mahasiswa dapat mengetahui jual beli yang diperbolehkan
3. Mahasiswa dapat mengetahui aplikasi jual beli dalam lembaga kauangan
konvensional

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual-Beli
Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada
pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.

Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan
sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, almubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya, antara lain :
a . Menurut ulama Hanafiyah : J u a l b e l i a d a l a h ” p e r t u k a r a n h a r t a
(benda)

dengan

h a r t a berdasarkan

cara

khusus

(yang

dibolehkan).”
b . Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jual beli adalah “ pertukaran
harta dengan harta untuk kepemilikan.”
c . Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual beli adalah “

pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”
Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara
penjual ( yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang)
danpembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang
yang dijual).Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar
dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang
yang terbuat dari perak(dirham).
B. Dasar Hukum Jual-Beli
Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan
berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1. Al Qur’an
Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa :

2

29). “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(QS. Al-Baqarah : 275).

2. Sunnah
Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya
tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab,
’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang
mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari
Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli
yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.
3.

Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi
kebutuhan

dirinya,

tanpa

bantuan


orang

lain.

Namun

demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya
itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada
ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh).
Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi
sunnah, wajib, haram, dan makruh.
C. Rukun dan Syarat Jual-Beli
1. Shighat yaitu ucapan ijab(penyerahan) dan qabul (penerimaan).
Orang yang mengucapkannya telah akil balig dan berakal
Kabul sesuai dengan ijab
Ijab dan kabul sebaiknya dilakukan dalam satu majelis
2. Dua orang yang bertransaksi, yaitu penjual dan pembeli.
Penjual dan pembeli adalah orang yang merdeka, dewasa dan
mengerti.
Yang melakukan aakad itu adalah orang yang berbeda.

3. Obyek akad, yaitu harga dan barang.
Barang yang diperjualbelikan termasuk barang yang diperbolehkan
dan bermanfaat. Tidak boleh jual-beli

barang yang tidak ada

3

manfaatnya atau barang yang manfaatnya haram seperti khamr, babi,
dan yang lainnya.
Barang yang jual adalah milik penjual sendiri
Barang yang diperjualbelikan bisa diketahui lewat sifatnya atau
menyasikannya.
Barang yang diperjualbelikan bisa diserahterimakan. Tidak boleh
menjual burung di udara dan semisalnya.
Harganya harus jelas.1
D. Jual Beli Murabahah
1. Pengertian Murabahah
Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga
murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara

terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan
oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual
beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib almal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli
murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual
kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap
suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.
Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena
dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh.2
Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual
memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan
tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual.
Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk memberikan
pinjaman/kredit

pada

orang


lain

dengan

adanya

penambahan

interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas. Jual beli ini
1

Penerjemah: Nurul Mukhlisin dan Izzzudin Karimi, Intisari Fiqih Islami.
(Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta 2007) hal. 146-148
2
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta:Kencana, 2012) hal 136

4

menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan
nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual

yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang
diinginkan.3
Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan
pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark up profit.
Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran,
karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo
maka jumlah yang harus dibayar tetap sama. Mark up sebagai tingkat
keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam
memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan
tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli komoditi
dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A
dengan murabahah.4
2. Dasar Hukum Jual-Beli Murabahah
Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini
berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits
ataupun

ijma

ulama.


Di

antara

dalil

(landaan

syariah)

yang

memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut :5
a. QS. An Nisa : 29
       
.………       

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….”

3

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2010) hal 104-105
4
Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003) hal 57
5
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar….., hal 106-107

5

Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara
transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga
(riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda
dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga,
namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk
keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip
kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian
yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan
kewajiiban masing-masing.
b. QS. Al Baqarah : 275
…..      …… 
“...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”

Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli
secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi.
Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan
dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam
praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu jual
beli dan tidak mengandung unsur ribawi.
c. Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda:
"Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.alBaihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)
Hadits ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum.
Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah
harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika
melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual
beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan,
mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan
kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara
sepihak.
3. Syarat-Syarat Murabahah dan Ketentuan Umum Murabahah

6

a. Syarat Murabahah yaitu :6
1) Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum
atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela).
2) Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi
sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak
termasuk dalam kategori barang haram.
3) Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system
pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad
resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.
b. Ketentuan Umum Murabahah diantaranya sebagai berikut :7
1) Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah
dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2) Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga
pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual
beli.
3) Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun
presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu
syarat sah murabahah.
4) Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat
kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak
pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5) Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama)
haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara
murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua
dengan pembeli murabahah.
4. Penerapan Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Cara operasi bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank
konvensional, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik

6

Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS (Jakarta : Muamalat
Institute 1999). hal 42
7
Ah.Azharudin Latifh, Fiqih Muamalat, (Jakrata: UIN Jakarta 2005) hal 119-120

7

lainnya yang menurut syariat islam tidak dibenarkan. Bank ini memang
tidak menggunakan konsep bunga seperti bank konvensional lainnya.8
Produk dalam bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin
(murabahah), dalam produk ini terjadi transaksi antara pembeli (nasabah)
dan penjual (bank). Bank dalam hal ini membelikan barang yang
dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan spesifikasinya) dan
menjualnya kepada nasabah dengan harga plus keuntungan. Jadi produk
ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama
diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau
pinjaman? Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual
uang dengan benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam
terminologi islam. Nasabah menerimanya dalam produk yang diinginkan
melalui bank, produk ini biasanya modal kerja dan berjangka pendek.9
Murabahah merupakan salah satu bentuk penghimpun dana yang
dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha. secara
umum, nasabah pada perbankan syariah mengajukan permohonan
pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut akan dilunasi oleh pihak
bank syariah kepada penjual, sementara nasabah bank syariah melunasi
pembiayaan bank tersebut kepada bank syariah dengan menambah
sejumlah margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang
terdapat pada perjanjian murabahah yang telah disepakti sebelumnya
antara nasabah dengan bank syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat
melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan cara
kredit.10
E. Jual-Beli Salam
1. Pengertian Salam
Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang
penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya
8

Sofyan Syafri, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2004) hal 94-95
Ibid., hal 95
10
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafka, 2010) hal
26-27
9

8

disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu,
sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.11 Jual beli salam ialah
menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat,
barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.
2. Dasar Hukum Salam
Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan
hadits:
a. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan
ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari
ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin
untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitabNya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.
b. Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke
Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buahbuahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata:
“Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk
jangka waktu yang diketahui.”
Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara
tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR
Ibnu Majah)12
3. Rukun, Syarat, dan Sifat Akad Salam
11

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafndo Persada, 2004) hal 143
12
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:
Gema Insani,2001)hal 108-109

9

Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan
syaratnya. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:13
a. Muslam atau pembeli
b. Muslam ilaih atau penjual
c. Modal atau uang
d. Muslam fiihi atau barang
e. Sighat atau ucapan
Syarat-syarat salam sebagai berikut:
a. Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan
terlebih dahulu.
b. Barangnya menjadi utang bagi penjual
c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang
dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus
sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang
waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun
bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu.
e. Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya
dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan
perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti
harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda.
f. Disebutkan tempat menerimanya.14
4. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa
Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada
pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya.
Misalnya :
a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang,
yang dalam jual beli biasa tidak perlu.

13
14

Ibid., hal 109
Mardani, fiqih…, hal 114

10

b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual
dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.
c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat
ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli
biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang
dilarang oleh Al Quran dan hadits.
d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat
kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau
dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual
beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan
kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.15
5. Aplikasi Salam di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)
Salam

adalah

transaksi

jual

beli

dimana

barang

yang

diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara
tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip
jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan
waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada
bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah
itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan
oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.
Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan
talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya
secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran.
Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya
15

Ibid., hal 116

11

transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti
pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali
secara tunai atau secara cicilan.16
F. Jual-Beli Istihna’
1. Pengertian Istishna’
Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara
pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang
menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui
orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi
yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah
pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan
sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis
khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam
bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’
mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.17
2. Dasar Hukum Istishna’
Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa
istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw.
bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang
diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a.
bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau
memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak
tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di
atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku
tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di
bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya
16
17

Ibid., hal 123
Muhammad Syafii Antonio, bank syariah…, hal 113

12

dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.”
Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)
Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta
dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ashshana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman
Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah
mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat
dibutuhkan.
3. Syarat dan Rukun Istishna’
Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:18
a. Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas
barang yang dipesan.
b. Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan
c. Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual
harus sesuai permintaan pemesanan.
d. Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat
yang disepakati
e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawarmenawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.
f. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka
pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk
melanjutkan atau membatalkan pemesanan.
Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:
a. Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus
memunyai hak membelanjakan harta.
b. Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama
suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.
c. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.

18

Mardani fqih,…, hal 125-126

13

G. Khiyar
1. Pengertian Khiyar
Kata al-Khiyar dalam bahasa Ara berarti pilihan. Secara terminologi,
para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, antara lain menurut
Sayyid Sabiq:
‫ال ْلغَا ِء‬
َ ‫ال ْم‬
ِ ْ ‫ضا ٍء أَ ِو‬
ِ ْ َ‫اَ ْل ِخيَا ُرهُ َوطَلَبُ خَ ي ِْر ْالَ ْم ِر ِمن‬
“khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau
membatalakan (jual beli)”.
M. Abdul Mujieb mendefinisikan: “khiyar ialah hak mmeilih atau
menentukan pilihan anatra dua jhal bagi pembeli dan penjual, apakah
akad jual beli akan diteruskan atua dibatalkan”.19
Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang
mellakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang
mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu
transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Jadi hak khiyar itu ditetapkan
dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihakpihak yang melakukan jual-beli.20
2. Macam-macam khiyar
Macam-macam khiyar ada yang bersumber dari syara’ , seperti
khiyar majlis, aib, dan ru’yah. Selain itu ada yang bersumber dari kedua
belah pihak yang berakad, seperti khiyar syarat dan ta’yin.21
a. Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad
untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam
majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah badan.
b. Khiyar ‘Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan
jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat
suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan, dan cacat pada objek
19

Abdul Rahman G. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat,
(Jakarta : Kencana 2010) hal 97
20
Ibid., 98
21
Ibid., hal 105

14

yang diperjualbelikan, dan ccat itu tidak diketahui pemiliknya
ketika akad berlangsung.
c. Khiyar Ru’yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeliuntuk
menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap
suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.
d. Khiyar Syarat, yaitu khiyar (hak pilih) yang dijadikan syarat oleh
keduanya

sewaktu

terjadi

akad

untuk

meneruskan

atau

membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian
hari. Lama syartanya yang diminta paling lama tiga hari.
e. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan
barang yang berbeda kualitas dalam jual beli.

BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
Hukum jual beli pada dasarnya diperbolehkan oleh ajaran islam.
Kebolehan ini didasarkan kepada kepada firman Allah yang terjemahannya
sebagai berikut :‘’ janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan
jalan batal melainkan dengan jalan jual beli, suka sama suka...”(Q.S An-Nisa’
: 29) Dan Hadist Nabi SAW, yang artinya sebagai berikut : “ Bahwa nabi
SAW ditanya tentang, mata pencaharian apakah yang paling baik ?
jawabnya : seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual

15

beli yang bersih”.(H.R. Al-Bazzar) Dalam pada itu ulama sepakat mengenai
kebolehan berjual beli ini sebagai salah satu usaha yang telah dipraktekkan
semenjak masa Nabi SAW hingga saat sekarang ini.
Rukun dan Syarat
Untuk syah nya jual beli yang dilakukan diperlukan beberapa rukun dan
syarat yang harus dipenuhi, yaitu : penjual dan pembeli dengan syarat
Berakal, bagi yang gila, bodoh dan lainnya tidak syah melakukan jual beli,

(

Kehendak sendiri, bukan karena dipaksa, Keadaannya tidak mubazir
(pemboros), orang pemberos hartanya dibawah wali, Barang-barang yang
terlarang diperjualbelikan, Keharaman memperjualbelikan barang-barang
tersebut didasarkan kepada hadist nabi SAW, yang artinya sebagai berikut:
“dan sesungguhnya allah, apabila mengharamkan makan sesuatu kapada
suatu kaum, maka mengharamkan pula harganya.

Daftar Pustaka
Abdul Rahman G. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. 2010 . Fiqh Muamalat,
Jakarta : Kencana
Achsien, Iggi H. 2003. Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Ali, Zainuddin. 2010. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani

16

Azharudin , Latifh Ah.. 2005. Fiqih Muamalat, Jakrata: UIN Jakarta
Djuwaini,Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka
Belajar
Hasan , M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana
Penerjemah: Nurul Mukhlisin dan Izzzudin Karimi, 2007. Intisari Fiqih Islami.
Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta
Syafri , Sofyan. 2004. Akuntansi Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS . 1999.

Jakarta :

Muamalat Institute

17