MUHAMMADIYAH and DERADIKALISASI TERORISM 123

MUHAMMADIYAH & FENOMENA
RADIKALISME - TERORISME DI INDONESIA

Alimatul Qibtiyah I Dyah Mutiarin I Hamim Ilyas
Hendar Riyadi I Moh. Shofan I Pipit Aidul Fitriyana I Saefudin Zuhri
Said Romadlan I Sri Rosviana I Zuly Qodir

Pengelola

Penanggung Jawab

Ahmad Syafii Maarif
Jeffrie Geovanie
Rizal Sukma

Pemimpin Umum
Pemimpin Redaksi
Wakil Pemimpin Redaksi
Dewan Redaksi

Muhd. Abdullah Darraz

Zuly Qodir
Khelmy K. Pribadi
Ahmad Najib Burhani
Ahmad–Norma Permata
Clara Juwono
Haedar Nashir
Hilman Latief
Luthfi Assyaukanie
M. Amin Abdullah

Sekretaris Redaksi

M. Supriadi

Redaktur Pelaksana

Khelmy K. Pribadi, Fitri Dzakiyyah
Pipit Aidul Fitriyana, Achmad Setiawan

Design Layout


Deni Murdiani

Keuangan

Henny Ridhowati, Titik Lestari

Sirkulasi

Awang Basri, Pripih Utomo

Alamat Redaksi

MAARIF Institute for Culture and Humanity
Jl. Tebet Barat Dalam II No. 6, Jakarta 12810
Telp +62-21 8379 4554 Fax +62-21 8379 5758
website : www.maarifinstitute.org
email : maarif@maarifinstitute.org
mujadid.rais@gmail.com
darrazophy@yahoo.com

Donasi dapat disalurkan melalui rekening :
Yayasan A. Syafii Maarif
BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara)
0114179273

Terbit Perdana Juni 2003

Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa
hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute for Culture and Humanity.
Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar
ilmiah yang telah ditetapkan oleh redaksi dengan panjang tulisan minimal 4000 kata (10 halaman, 1 spasi,
A4) dengan batas makismal 6000 kata (15 halaman). Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa
mengurangi atau menghilangkan substansi. Jurnal MAARIF terbit 2 kali setahun (Juni dan Desember).

1

Daftar Isi

Pengantar Redaksi :
Muhammadiyah & Fenomena

Radikalisme-Terorisme di Indonesia ........................................................ 3
Zuly Qodir
Tim Redaksi Jurnal MAARIF
Artikel Utama
Islam Kaffah Dalam Perspektif Tarjih .......................................................... 12
Hamim Ilyas
Muhammadiyah, Revolusi, Mazhab Pemikiran
Dan Aksi Untuk Mengawal Peradaban Bangsa .......................................... 34
Hendar Riyadi
Diskursus Gerakan Radikalisme Di Kalangan Tokoh Muhammadiyah .... 54
Said Romadlan
Muhammadiyah Dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah ......................................................... 73
Saefudin Zuhri
Muhammadiyah Dan Jalan Terbuka Menuju Radikalisme-Terorisme (?) ... 83
Moh. Shofan
Muhammadiyah-Aisyiyah Membendung Radikalisme Dan Terorisme ....... 94
Sri Rosviana
Madrasah Perempuan Berkemajuan (Mpb):
Upaya Menyebarkan Agama Damai ............................................................. 109

Alimatul Qibtiyah
Muhammadiyah Dan Pergerakan Politik Aliran...................................................... 128
Dyah Mutiarin
Riset
Muhammadiyah, Moderatisme Dan Gerakan Radikalisme:
Studi Kasus Di Surakarta ......................................................................... 142
Zuly Qodir
Khasanah
Oase di Tengah Konflik Poso:
Mosintuwu Institute Gerakan Perempuan Dan Perdamaian ...................... 163
Pipit Aidul Fitriyana dan Saefudin Zuhri
Profil Penulis ............................................................................................ 178
Profil MAARIF Institute dan Profil Media ............................................ 183
Petunjuk dan Format Penulisan Artikel ................................................ 192

2

Saefudin Zuhri

MUHAMMADIYAH DAN

DERADIKALISASI TERORISME DI
INDONESIA: MODERASI SEBAGAI
UPAYA JALAN TENGAH
Saefudin Zuhri
Abstrak
Deradikalisasi adalah strategi utama pemerintah Indonesia dalam
penanggulangan terorisme di Indonesa. Upaya ini disematkan
dalam tugas pokok Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT). Meski demikian, deradikalisasi banyak dikritik
masyarakat termasuk Muhamamdiyah. Moderasi adalah pilihan
terbaik menurut Muhammadiyah, bukan deradikalisasi. Moderasi
terkandung cara-cara soft yang memperhatikan aspek humanis dan
hak asasi manusia (HAM). Tulisan ini menjadikan teori perubahan
political spectrum untuk mengkaji deradikalisasi ataupun moderasi
yang diinisiasi dan dilakukan oleh Muhammadiyah. Oleh sebab
itu, moderasi tidak akan menyisakan persoalan baru jika dilakukan
karena memperhatikan substansi. Namun apakah moderasi dapat
mengubah spektrum politik seseorang?
Kata Kunci: Muhammadiyah, Deradikalisasi, Moderasi, Terorisme.


MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

73

Muhammadiyah Dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah

Pendahuluan
Terorisme masih menjadi momok yang sulit diatasi oleh banyak negara di
dunia, termasuk di Indonesia. Selain penyebabnya yang kompleks, pola dan
bentuknya juga beragam. Oleh sebab itu, bentuk penanganannya pun akan
bervariasi. Di Indonesia, penanggulangan terorisme tidak hanya dilakukan
dengan pendekatan keamanan (hard approach). Sepanjang tahun 2017, sudah
ada 172 tersangka kasus terorisme. Hal ini dilaporkan oleh Kepala Kepolisian RI
(Kapolri) Jenderal Pol Tito Karnavian. Ia menyebutkan, jumlah tersebut lebih
tinggi bila dibandingkan dua tahun sebelumnya yakni 163 di tahun 2016 dan
73 di tahun 2015. Dari 172 penindakan pelaku terorisme tersebut, sebanyak 10
di antaranya sudah mendapat vonis, 76 orang masih dalam proses persidangan,
68 orang masih dalam proses penyidikan, dan 16 orang tewas ditembak.
Jumlah ini tidak kunjung mereda meski sudah dilakukan penangkapan, upaya

lainnya adalah dengan cara soft approach yakni deradikalisasi. Pandangan
bahwa terorisme itu terus terjadi karena adanya ideologi yang melegitimasi
aksi teror, sebagai argumentasi dasar kenapa upaya deradikalisasi ini harus
dilakukan. Penangkapan dan penahanan saja tidak cukup, jika tidak dilakukan
penyadaran. Melalui Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 6 Tahun 2010, Negara
telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Badan
ini memiliki peran utama yang merumsukan dan menerapkan kebijakan
deradikalisasi.1
Selain koordinasi dengan kementerian dan lembaga Negara, Pepres No. 46
Tahun 2010 Pasal 36 ayat (1) mengamanatkan BNPT untuk melibatkan unsurunsur masyarakat, salah satunya adalah Muhammadiyah. Sebagai ormas yang
sudah berdiri dan menjadi salah satu perumus pendirian Negara Indonesia,
Muhammadiyah tentu memiliki kesamaan tujuan yakni menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Negara Indonesia (NKRI). Di sisi lain, dalam klausul isu
strategis yang telah dirumuskan dalam sidang Muktamar ke-47 Muhammadiyah
tahun 2015 di Makassar. Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya
warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung

1

74


Deradikalisasi menurut BNPT sebagai upaya mentransformasi keyakinan orang yang terpapar ideologi radikalterorisme menjadi lebih moderat, toleran, plural dan menghargai perbedaan dengan pendekatan multi dan
interdisipliner.BNPT menyusun strategi deradikalisasi secara masif dengan melakukan koordinasi antar instansiinstansi pemerintah terkait penanganan terorisme. Instansi pemerintah tersebut antara lain Kementerian Agama,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Ditjenpas dan Satgas
Bom Polri. Adapun strategi deradikalisasi secara khusus dilakukan oleh Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan
dan Deradikalisasi dalam bentuk program deradikalisasi.Tugas Deputi I secara khusus adalah merangkum program
deradikalisasi melalui pendekatan reedukasi, rehabilitasi, reintegrasi dan resosialisasi. Blueprint Deradikalisasi
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.2013, hal. 28., 2015, hal. 28., dan 2017, hal. 25.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

Saefudin Zuhri

perkembangan kelompok takfiri2 melalui pendekatan dialog, dakwah yang
terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interkasi sosial yang santun
(Draft Mukhtamar Muhamamdiyah ke-47 Makassar 2015). Muhammadiyah
yang memiliki asset dalam membangun Negara Indonesia tentu akan turut
berpartisipasi dalam upaya penanggulangan terorisme Indonesia.

Memahami Deradikalisasi dalam Spektrum Politik

Terorisme adalah persoalan politik, ketika radikalisme yang mendasari seseorang
menjadi teroris tentu akan dikaji dari perspektif ilmu politik pula. Dalam
konsep spektrum politik, radikal memposisikan diri sebagai penentang status
quo.3 Konteks saat ini, Pancasila, sistem demokrasi dan NKRI sebagai dasardasar negara yang mapan dan sudah disepakati bersama oleh seluruh elemen
bangsa,akan digantikan dengan ideologi lainnya. Oleh sebab itu, deradikalisasi
akan berpijak pada konsep Leon P. Baradat (1994) mengenai radikal dan
perubahan spektrum politiknya.

Gambar 1: Skema Spektrum Politik dan Perubahan Spektrum Politik

Pada tataran implementasi, deradikalisasi seringkali tumpang tindih bahkan
tidak bisa diterjemahkan secara konkrit. Ini terjadi karena pada tataran
konseptual, deradikalisasi menjadi debatable dan banyak ditentang oleh
kalangan ormas Islam termasuk Muhammadiyah. Muhammadiyah memandang
deradikalisasi sebagai upaya mereduksi dan atau menghilangkan ideologi

2

Istilah takfiri (฀฀฀฀฀฀) merujuk pada kata “kafir”, artinya sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim
lainya (atau kadang juga mencakup penganut ajaran Agama Samawi lain) sebagai kafir dan murtad.Dalam

perkembangannya, ketika takfiri menjadi takfiriyah (takfirisme) bukan sekadar pengkafiran, melainkan pengkafiran
semua kelompok Muslim yang bukan kelompoknya, yang didasarkan pada upaya perumusan doktrin takfir yang
elaboratif dan indiskriminatif. Lihat Haedar Bagir, Tarkfiriisme: Asal-Usul dan Perkembangannya, makalah dalam
kajian Ciputat School, 2014.

3

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, hal. 808; Roger Scruton, Kamus Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013, hal. 791.; dan Leon P. Baradat, Political Ideologies: Their Origins and Impact (Fifth Edition), New Jersey:
Prentice Hall, 1994, hal. 16.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

75

Muhammadiyah Dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah

seseorang dengan ideologi lainnya.4 Sementara bagi BNPT, deradikalisasi
mengacu pada pengertian AS. Hikam yang memiliki dua makna; pemutusan
(disengagement) dan deideologisasi (deideolozation).5 Disengagement diarahkan
pada perubahan perilaku seperti keluarnya seseorang dari jaringan teroris atau
perubahan aturan hidup seseorang dan meninggalkan aturan kelompoknya.6
Sedangkan deideologisasi diarahkan untuk menghapus pemahaman ideologis
atas doktrin politik Islam dan menjadikan Islam sebagai nilai-nilai luhur yang
menyemai perdamaian.7 Orientasi deradikalisasi adalah mengubah spektrum
seseorang menjadi tidak lagi diposisi sebagai radikalis tetapi ke moderat.
Pada konteks orientasi, Muhammadiyah setuju dengan BNPT yakni menjadikan
seseorang tersebut dari radikalis menjadi moderat. Akan tetapi yang berbeda,
Muhammadiyah tidak setuju dengan de-radikalisasi, istilah ini mengingatkan
de-politization pada era Orde Baru. Untuk itu, Muhammadiyah menawarkan
konsep lain yang lebih soft yakni moderasi. Moderasi menjadi tawaran alternatif
yang menjunjung prinsip wasathiyah. Muhammadiyah memandang radikalisasi
dilawan dengan deradikalisasi dan radikalisme kontra deradikalisme, terdapat
pembongkaran atau penihilan terhadap radikalisme seperti suatu serum
antibodi, sehingga diharapkan radikalisme hilang atau tereliminasi. Paradigma
yang dipakai Muhammadiyah, meminjam padanan konsep Tariq Ali, terjadi
“clash of fundamentalism” atau benturan antardua paham ekstrem kaum
fundamentalis, yang satu cenderung serba tekstual-konservatif sedangkan yang
satunya lagi serba kontekstual-liberal.8
Baik Muhamadiyah ataupun BNPT, baik moderasi ataupun deradikalisasi samasama berupaya melakukan perubahan spektrum politik seseorang dari posisinya
yang radikal. Akan tetapi apakah dua konsep tersebut secara implementatif
berhasil mengubah spekrum politik seseorang?Baradat (1994) mengemukakan
empat motivasi seseorang melakukan perubahan spektrum politik. Pertama,
keuntungan baik materi atau non-materi. Kedua, usia. Ketiga, kecenderungan
psikologis seseorang terhadap suatu ideologi. Keempat, pandangan terhadap
nature of people.9

76

4

Haedar Nashir: Muhammadiyah tidak akan Masuk Gerakan Deradikalisasi, dalam Saefudin Zuhri, Deradikalisasi
Terorisme, Menimbang Perlawanan Muhammadiyah dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Daulat Press, 2017.

5

AS. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme, Jakarta: PT Kompas Media Nusantraa,
201., hal. viii.

6

Agus Surya Bakti, Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan Lokal Melawan Radikalisasi dan
Terorisme, Jakarta: Daulat Press, 2016, hal. 162.

7

Muhammad AS. Hikam, Op.Cit.

8

http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/19/moderasi-sebagai-jalan-ketiga.

9

Baradat, Op.Cit., Hal. 31-32.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

Saefudin Zuhri

Moderasi Sebagai Pilihan
Deradikalisasi banyak ditentang oleh banyak kalangan Muhammadiyah. Ini
tidak hanya pada tataran konsep dan implementasi dari deradikalisasi, tetapi
juga pada persoalan terorismenya. Anggapan terorisme di Indonesia adalah
bagian dari konspirasi, salah satunya diungkapkan oleh Ketua Umum Pemuda
Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak. Ketika melihat pola penanganan
terorisme, terutama pada aspek penindakan oleh Densus 88. Ia melihat adanya
potensi konspirasi besar sebagai wujud state terrorism, “yang menjadi perhatian
penting adalah pola pemberantasan, pola deradikalisasi harus dilakukan dalam
bingkai hukum. Selama ini kita anggap usaha pemberantasan terorisme di
Indonesia dilakukan di luar bingkai hukum dan cenderung melanggar HAM”.10
Berdasarkan pernyataan tersebut, penindakan dipandang sebagai bagian dari
deradikalisasi. Ini berbeda dengan pemaknaan deradikaliasi dari pemerintah
yang hanya pada skala tertentu. Deradikalisasi sebagai suatu proses yang
dilakukan melalui metode sistematis dalam rangka reintegrasi sosial yang
diterapkan terhadap orang atau kelompok orang yang terpapar paham radikal
terorisme, dengan tujuan untuk menghilangkan dan membalikkan proses
radikalisasi yang telah terjadi (RUU Terorisme Perubahan 2017). Dalam
pemaknaan lain, deradikalisasi sebagai upaya mentransformasi keyakinan
orang yang terpapar ideologi radikal-terorisme menjadi lebih moderat, toleran,
plural dan menghargai perbedaan dengan pendekatan multi dan interdisipliner
(agama, sosial, budaya, dan lainnya). Atas dasar itu, upaya deradikalisasi
lebih berorientasi pada perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran dan
keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program
jangka panjang (Blueprint Deradikalisasi, 2017).11
Sekretaris Umum PP Muhammaidyah, Abdul Mukti memberikan penjelasan
lebih implementatif. Moderasi yang digagas Muhammadiyah dengan
deradikalisasi yang menjadi acuan negara dalam penanganan terorisme pada
dasarnya memiliki orientasi yang sama, tetapi secara psikologis berbeda.
Moderasi atau moderasi beragama punya langkah prefentif sekaligus kuratif.
Bahkan, pemakaian pertama istilah deradikalisasi adalah Amerika Serikat,
dan justru saat ini Amerika Serikat sudah meninggalkan istilah itu. Peneliti
Pusat Kajian Radikalisme dan Terorisme, Adhe Bhakti juga mengonfirmasi
10

Dahnil adalah salah satu dari 13 tim evaluasi penanganan kasus terorisme. Ia bersama Busyro Muqoddas, Bambang
Widodo Umar, Salahudin Wahid, Trisno Raharjo, Ray rangkuti, Haris Azhar, Siane Indriani, Hafid Abbas, Manager
Nasution, Frans Magnis, Magdalena SItorus, dan Todung Mulya Lubis. Lihat http://keamanan.rmol.co/Dahnil-AdaPotensi-Konspirasi-Di-Balik-Penanganan-Terorisme.

11

Blueprint Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, 2017, hal. 25.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

77

Muhammadiyah Dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah

perubahan tersebut. Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya sudah
banyak mengevaluasi penggunaan istilah-istilah di isu terorisme. Violent
extremism menjadi istilah yang banyak digunakan. Hal ini karena ada banyak
istilah yang tidak sesuai dengan konsepnya. Ketika konsep keliru maka akan
berdampak pada implementasinya. Deradikalisasi bertujuan untuk melawan
radikalisasi. Radikalisasi tidak semua muncul menjadi terorisme.
Hal senada juga di sampaikan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nasir.
Menurutnya Muhammadiyah secara tegas menolak radikalisme atau ekstrimisme
apapun bentuknya, termasuk terorisme dan tindakan teror. Para pelaku teror
yang mengatasnamakan Islam, tentu tidak bisa di sangkal adanya. Akan tetapi
pemaknaan mereka pada doktrin-doktrin agama justru tidak mencerminkan
substansinya. Pada sisi lain, deradikalisasi yang dilakukan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) justru ingin melawannya dengan hal
yang tidak cukup substantive, bahkan cenderung sekedar menjalankan proyek
semata. Moderasi menjadi pilihan karena pikiran seseorang menjadi radikal
tidak semata-mata karena doktrin agama yang radikal dan revolusioner.Ada
persoalan-persoalan dasar yang luput dilihat, yakni ketidakadilan (injustice) di
banyak bidang.
Ketidakadilan memang masih menjadi pekerjaam rumah pemerintah yang
belum selesai. Misalnya persoalan mayoritas dan minoritas tidak melulu tertuju
pada perbandingan jumlah suku dan agama. Alasan kalangan radikalisme dan
terorisme adalah kerinduan untuk hidup sejahtera, adil dan makmur. Alasan
ini terkesan absurd tetapi faktanya, mereka menyalahkan sistem dan praktikpraktik liberalisme yang menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi serta
politik.Pada satu kasus, minoritas orang kaya mendominasi mayoritas orang
miskin. Data dari Credit Suisse Global Wealth Report memperlihatkan, 1 persen
orang kaya Indonesia menguasai 49.3 persen kekayaan Negara. Jika dinaikkan,
10 persen orang kaya menguasai 75,7 peren kekayaan Negara.12 Tidak hanya itu,
persoalan politik dan hukum yang tahun 2016 terjadi rententan Aksi Bela Islam
menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat pada penegakkan hukum di
Indonesia. Oleh sebab itu, Muhammadiyah melihat terorisme di Indonesia
dimulai dari penegakkan keadilan, pemihakan pemerintah kepada rakyat
Indonesia, bukan segelintir orang. Di sini lain, pemerintah melakukan moderasi
pemikiran bersama-sama elemen masyarakat termasuk Muhammadiyah.

12

78

http//www.independent.co.uk. diakses pada 1 Januari 2018.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

Saefudin Zuhri

Penanggulangan Radikalisme-Terorisme
Muhammadiyah tidak berdiam diri terkait terorisme. Pada satu sisi,
Muhammadiyah mengakui bahwa ada kemiripan dengan kalangan doktrindoktrin radikalisme-terorisme khususnya terkait pemurnian aqidah. Tetapi
di sini lain, Muhammadiyah beda dalam praktik dan pemahamannya.
Muhammadiyah adalah perumus, penentu dan penjaga NKRI dan Pancasila.
Maka sampai kapanpun, peran-peran Muhammadiyah tidak sama sekali
bertentangan dengan Negara akan tetapi penting bagi Muhammadiyah untuk
konsisten mengkritisi pemerintah, sebagaimana peran civil society.
Muhammadiyah berperan dalam pencegahan paham radikalisme melalui sektor
internal dan eksternal. Pada sektor internal ada dua ranah. Pertama adalah
ranah struktural. Muhammadiyah menginstuksikan pimpinan Muhammadiyah
sampai ke ranting-ranting untuk meneguhkan ideologi Islam berkemajuan
dan mewujudkan Darul Ahdi wa Syahdah. Ortom-ortom (organisasi otonom)
Muhammadiyah juga turut memperkuat basis kaderisasi dengan pembinaan
yang humanis. Selain itu juga memaksimalkan kinerja lembaga-lembaga dan
majelis-majelis dalam struktural khususnya dalam pemberdayaan umat melalui
sektor Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Salah satu contoh kegiatan ini
adalah Madrasah Perempuan Berkemajuan (MPB) yang diinisiasi oleh PP
Aisyiyah. Dalam kegiatan ini doktrin-doktrin kunci dibahas dalam madrasah
ini, seperti pemaknaan jihad dalam perspektif perempuan, khilafah dalam
pandangan Muhammadiyah, dan penegasan Darul Ahdi Wasyahadah.
Kedua, ranah kultural. Muhammadiyah memasukan Islam berkemajuan dan
mengaktualisasikan Darul Ahdi wa Syahdah dalam penyampaian materi-materi
pelajaran di sekolah-sekolah, pesantren-pesantren, panti-panti asuhan, majelismajelis pengajian, dan kampus-kampus milik Muhammadiyah. Selain peneguhan
di internal, Muhammadiyah juga turut terlibat diri dalam ranah dialog-dialog
keumatan dan kemanusian lintas agama dan peradaban baik dalam skala
nasional ataupun internasional. Ketiga, ranah politik. Muhammadiyah sering
mengkritisi kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah termasuk
program deradikalisasi agar dalam pelaksanaan program tersebut berorientasi
pada substansi, bukan project oriented. Muhammadiyah juga mendorong
advokasi terhadap korban-korban penindakan kekerasan aparat pemerintahan
atas nama pemberantasan terorisme terhadap masyarakat.13

13

Saefudin Zuhri, Ibid, hal. 97.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

79

Muhammadiyah Dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah

Apa yang dilakukaan oleh Muhammadiyah tersebut, perlu dikaji kembali
apakah akan menurunkan tensi penyebaran paham radikalisme dan terorisme
di Indonesia.Ini yang menjadi tugas lebih lanjut. Baradat mengajukan syarat
untuk mengubah spektrum politik dari radikal menjadi moderat. Moderat
di sini mengacu pada tujuan muhammadiyah yakni moderasi. Peran strategis
Muhammadiyah belum masuk kepada kelompok yang memang terpapar
paham radikalisme dan terorisme. Kegiatan hanya mengacu pada pola-pola
pencegahan karena sasarannya masih di kalangan yang belum terpapar misalnya
program kegaitan untuk narapidana terorisme (napiter), mantan napiter atau
pun keluarganya.Ini patut diperhatikan. Deradikalisasi sasaran utamanya
adalah mereka, sedangkan moderasi masih belum ditentukan turunan
implementasinya.
Baradat (1994) mengingatkan bahwa deradikalisasi ataupun moderasi sama-sama
berupaya mengubah spektrum politik seseorang agar tidak lagi radikal. Untuk
itu, empat motivasi harus dilihat dalam upaya-upaya ini. Pertama, keuntungan
baik materi atau non-materi. Ada keuntungan-keuntungan yang diterima oleh
kalangan radikal sehingga mereka meninggalkan spektrum tersebut. Tuntutantuntutan keadilan sosial, ekonomi dan politik adalah contoh keuntungan nonmateri dan materi yang dapat menjadi motivasi perubahan spektrum.
Kedua, usia. Meskipun usia mempengaruhi seseorang pada posisi spectrum akan
tetapi tidak dominan dalam melihat kondisi dan motivasi radikalisme dan
terorisme yang ada di Indonesia. Ketiga, kecenderungan psikologis seseorang
terhadap suatu ideologi. Ini upaya yang dominan dilakukan oleh banyak
kalangan, baik pemerintah termasuk di dalamnya ada BNPT, civil society seperti
NU, Muhammadiyah, dan LSM-LSM yang bergerak di isu Counter-Violent
Extremisme (CVE). Kecenderungan-kecenderungan psikologi pada suatu ideologi
dimulai dari pemahaman dan perasaan keberpihakan. Ideologi radikal mudah
diterima oleh kalangan yang menginginkan perubahan pada hidupnya. Misalnya
mengenai ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini, dipandang oleh kalangan
radikal harus digantikan sebab dianggap liberalisme menjadi penyebab utama
ketimpangan-ketimpangan yang muncul saat ini. Dan keempat, pandangan
terhadap nature of people. Pandangan ini muncul karena keyakinannya atas apa
yang ia lihat. Ia akan menjadi baik bila melihat kondisi sosial masyarakat yang
peduli, toleran dan damai.

80

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

Saefudin Zuhri

Penutup
Moderasi menjadi pilihan Muhammadiyah dalam merespon pola penanganan
dan penanggulangan radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia.
Deradikalisasi dipandang oleh Muhammadiyah sebagai upaya mengurangi atau
menghilangkan paham radikalisme dan terorisme seseorang dengan cara yang
ekstrem. Dengan kata lain, ekstrem dilawan dengan ekstrem. Oleh sebab itu,
moderasi adalah cara lain yang dianggap lebih baik. Muhammadiyah secara
kelembagaan secara tegas menolak adanya radikalisme dan terorisme hadir di
Indonesia. Akan tetapi cara-cara yang harus dilakukan harus memperhatikan
prinsip-prinsip kemanusiaan yang hakiki. Perlu dicari dan dipertimbangkan
akar-akar penyebab seseorang menjadi radikal. Muhammadiyah melihat
penyebab utama radikalisme dan terorisme di Indonesia adalah ketidakadilan
baik di bidang ekonomi, sosial ataupun politik. Sehingga ada tiga cara yang
dilakukan Muhamamdiyah yakni internal struktural, yakni upaya-upaya
penguatan internal pada Darul Ahdi Wasyahadah. Kemudian upaya kultural
yakni penguatan-penguatan ideologi Islam rahmatan lil ‘alamin ke akar rumput
dan masyarakat umum. Dan terakhir adalah dengan proses-proses advokasi
ke rahan politik untuk mengkritisi pemerintah untuk mengurangi dan
menghilangkan kesenjangan ekonomi, pemberantasan korupsi, penegakan
hukum yang adil dan pemberdayaan masyarakat yang optimal.

Daftar Referensi
Buku dan Jurnal
Bagir, Haedar. Tarkfiriisme: Asal-Usul dan Perkembangannya, makalah dalam
kajian Ciputat School, 2014.
Bakti, Agus Surya. Deradikalisasi Nusantara: Perang Semesta Berbasis Kearifan
Lokal Melawan Radikalisasi dan Terorisme, Jakarta: Daulat Press, 2016.
Baradat, Leon P. Political Ideologies: Their Origins and Impact (Fifth Edition), New
Jersey: Prentice Hall, 1994.
Blueprint Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Edisi 2013.
Blueprint Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Edisi revisi,
2015.

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017

81

Muhammadiyah Dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia:
Moderasi Sebagai Upaya Jalan Tengah

Blueprint Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Edisi revisi,
2017.
Hikam, AS. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisme,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantraa, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Scruton, Roger Kamus Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Zuhri, Saefudin. Deradikalisasi Terorisme, Menimbang Perlawanan Muhammadiyah
dan Loyalitas Nahdlatul Ulama, Daulat Press, 2017.

Website
http//www.independent.co.uk. diakses pada 1 Januari 2018.
http://keamanan.rmol.co/Dahnil- Ada-Potensi-Konspirasi-Di-BalikPenanganan-Terorisme.
http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/19/moderasi-sebagai-jalanketiga.

82

MAARIF Vol. 12, No. 2 — Desember 2017