Toar dan Lumimuut Keturunan Pertama di T

Toar dan Lumimuut, Keturunan Pertama di
Tanah Minahasa
Ini adalah kisah tentang manusia-manusia pertama di tanah Malesung (Minahasa). Cikal bakal
orang-orang Minahasa. Kisah ini bermula dari daerah di sekitar Pegunungan Wulur
Mahatus di Minahasa bagian Selatan. Pegunungan Wulur Mahatus dikelilingi oleh pantai yang
sangat luas dan indah. Di tepian pantai itu ada dua buah batu karang yang amat besar. Batu - batu
karang tersebut terlihat seperti hidup dan selalu bertambah besar setiap tahunnya, seakan batu itu
bernafas dan bertumbuh.
Sebelumnya memang tanah Minahasa sebetulnya sudah didiami oleh banyak penduduk
terdahulu, yaitu para leluhur Minahasa lainnya, tapi oleh karena di mata Empung (Tuhan) bahwa
mereka itu sudah banyak berdosa, maka Empung Opo Wanatas (Tuhan Yang Maha Kuasa) pun
akhirnya menurunkan banjir besar menutupi seluruh dataran Minahasa, menghempas dan
membasmi semua yang bernafas, sampai tidak ada lagi yang tersisa.
Semua leluhur terdahulu di tanah Minahasa punah oleh banjir Ampuhan. Banjir besar yang tidak
mengenal ampun. Setelah banjir besar itu, bumi Minahasa menjadi kembali belum berbentuk
seperti sedia kala dan acak-acakan tak beraturan. Belum ada kehidupan manusia lagi di tanah
Minahasa yang sudah disapu banjir Ampuhanitu.
Belum ada tatanan sosial maupun adat apapun. Belum ada peradaban. Belum ada keteraturan dan
keseimbangan.
Empung, Sang Pencipta melihat bahwa tidak baik kalau tanah Minahasa terbiarkan, tak
berpenghuni, dan tak ada yang merawatnya. Banjir memang sudah diturunkan untuk menghapus

semua leluhur terdahulu di Minahasa oleh karena kelakuan dan tindakan mereka sendiri. Akan
tetapi Empung Sang Pencipta masih menaruh harapan bahwa bila tanah Minahasa kembali
dihidupkan, pasti akan jauh lebih baik keadaannya terdahulu. Empungmenentukan sikap untuk
memberikan kehidupan lagi di tanah Minahasa. Memberikan Minahasa kesempatan hidup dan
bertumbuh. Memberikan kesempatan lagi bagi tanah Minahasa untuk bangkit serta menunjukkan
sikap hormat mereka pada Sang Empung.
Pada suatu siang, matahari bersinar sangat terik, sehingga mulai membuat tanah yang gembur
dan lembek akibat banjir nampak mulai mengering secara perlahan-lahan. Di tengah teriknya
matahari yang menyinari bumi tersebut, tiba-tiba batu karang besar yang ada di tepian pantai
mengeluarkan bunyi yang menggelegar, dan suara gelegarnya terdengar sampai ke berbagai
pelosok tanah Minahasa yang masih kosong itu. Batu karang itu lalu terpecah-pecah menjadi

kepingan-kepingan kecil, kemudian dari balik pecahan itu muncul asap tebal membungkus
sesosok wanita setengah baya yang cantik jelita. Wanita itu keluar dari pecahan batu karang itu.
Itulah manusia pertama di bumi Minahasa. Dia banyak dikenal sebagai seorang dewi, karena
tidak dilahirkan dari rahim manusia manapun melainkan oleh takdir Sang Empung (Tuhan Maha
Pencipta).
Konon, Empung memang sengaja menciptakan manusia pertama itu wanita agar supaya dapat
mengelola dan berkembang biak di tanah Minahasa. Wanita adalah lambang kesuburan dan
kehidupan. Wanita pertama itu bernama Karema, dewi yang menjelma menjadi manusia utuh.

Setelah terlahir ke ‘Bumi Minahasa’, Karema hidup hanya sendirian saja di tanah yang luas itu
selama bertahun-tahun. Kemanapun pandangan ia arahkan, maka yang terlihat hanyalah hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Karema pun menjadi tidak tahan hidup sendirian seperti itu, tanpa teman
bicara atau teman bergaul. Ia bersedih hati. Ia kesepian. Ia bermuram durja berhari-hari lamanya.
Saat itu hewan-hewan yang hidup di sekitar pegunungan Wulur Mahatus kabarnya dapat
berbicara bahasa yang dimengerti manusia, demikian sebaliknya. Manusia dapat berbicara
dengan hewan. Ular adalah salah satu hewan penunggu pegunungan Wulur Mahatus yang paling
ganas. Ular ini lalu berkata kepada Karema bahwa kehadirannya sebetulnya sangat tidak diterima
dan disukai.
Ular lalu bersikap kasar dan mencoba untuk mengusir Karema, dan berkata lantang bahwa lebih
baik Karema mati saja karena bakalan hidup sendirian tanpa teman di Wulur Mahatus
itu. “Empung tidak akan mungkin menolongmu,” demikian kata sang ular. Karema menatap
tajam ular tersebut sembari berseru, “Aku tetap percaya Wailan Wangko (Tuhan Maha Besar)
akan mendengar seruan minta tolongku…” Dan sejak saat itu terpatrilah pertikaian antara ular
dan manusia.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang berkata, “Kenapa engkau bersedih hati wahai
wanita…” Karema pun keluar dari dalam goa dimana ia tinggal selama ini, menengadahkan
kepalanya ke atas dan berseru nyaring, “Ooh, Kasuruan Opo e Wailan Wangko…” Karema pun
berseru-seru kepada Opo Wailan Wangko (Tuhan Yang Maha Besar) meminta teman hidup untuk
menemaninya selama ia hidup di tanah Minahasa.

Setelah Karema menaikkan doa dengan bersungguh hati, Empungrupanya mendengar doa yang
dipanjatkan dengan sungguh hati itu, lalu mengabulkannya dengan segera. Diiringi bunyi
gemuruh dan gema suara dari langit, tiba-tiba batu karang yang tersisa satu itu bergetar hebat,
mengeluarkan cairan seperti keringat dan kemudian pecah berkeping-keping. Dari balik pecahan
itu ada asap yang membumbung tinggi, kemudian dari balik asap itu munculah seorang
perempuan muda yang wajahnya sangat cantik rupawan. Karema menatap gadis itu dengan
gembira, lalu berkata, “Kamu tercipta dari batu berkeringat, maka aku menamaimu
Lumimuut.”Dialah manusia ke-dua di Minahasa, juga adalah seorang wanita.

Setelah hadirnya Lumimuut yang jauh lebih muda dari Karema, hati Karema pun bergembira dan
wajahnya tak muram lagi. Ia sangat ceria dan merasakan kesenangan yang meluap. Tidak
sendirian serta kesepian lagi. Ia berjanji pada Empung dan juga pada Lumimuut sendiri, bahwa ia
akan menjadikan Lumimuut itu sebagai anaknya sendiri, akan merawat dan menjaganya sampai
tua nanti.
Lumimuut adalah wanita ke-dua yang tercipta dari batu karang, tanpa ayah dan ibu kandung.
Makanya Lumimuut juga dianggap seorang dewi yang dititipkan untuk bumi Minahasa.
Hari demi hari dilalui Karema dan Lumimuut selalu tanpa terpisahkan. Mereka selalu bersamasama. Mereka berdua saling mengasihi satu sama lain. Mereka juga mengusahakan tanah tempat
dimana mereka berdiam secara baik. Beragam jenis tanaman mereka tanam dan kelola dengan
bijaksana. Ada beberapa tanaman yang di kemudian hari ternyata masih tetap menjadi
kebanggaan para leluhur Minahasa, generasi-generasi setelah mereka. Ada pohon saguer (aren),

pohon asa (jelaga), tumbuhan ‘daong nasi’, tumulawak, kencur, pohon katu, pohon ‘daong
tikar’, dan pohon bulu ikang.
Karema dan Lumimuut terikat kasih persaudaraan ibu dan anak yang sangat kuat, mereka hidup
saling menolong, mendukung, dan membagi kasih satu sama lain. Nilai-nilai mulia yang
tertanam dalam diri Karema dan Lumimuut ini menjadi harta amat berharga bagi keturunanketurunan mereka nanti. Karema dan Lumimuut menciptakan kesuburan luar biasa di tanah
dimana mereka berpijak. Apapun yang mereka sentuh pastilah akan hidup dan berkembang
secara baik.
Di belahan bumi yang lain juga rupa-rupanya telah terjadi penciptaan-penciptaan manusia
lainnya. Mereka lalu kemudian bertambah-tambah banyak jumlahnya, lalu kemudian mereka
kawin satu sama lain, dan melahirkan banyak keturunan.
Berita tentang kehidupan di luar tanah Minahasa itu akhirnya sampai juga ke pegunungan Wulur
Mahatus dan diketahui oleh Karema serta Lumimuut.
Hal tersebut membuat Karema dan Lumimuut bertanya-tanya dan kembali terguncang hatinya.
Mereka berpikir bahwa kalau sekiranya hanya mereka berdua yang hidup di tanah Minahasa,
tidak mempunyai keturunan sama sekali, lalu apa yang akan terjadi bila mereka berdua sudah
tiada nanti? Tentu bumi Minahasa akan kembali kosong dan hancur berantakan. Tidak ada
generasi yang akan mewarisi mereka. Sementara di luar sana, penduduk bumi terus bertambah
banyak keturunannya.
Di suatu pagi yang cerah, Karema terbangun lebih pagi dari biasanya, ia kemudian berdoa
kepada Empung; Wailan Wangko; Opo Wananatas, meminta belas kasihan Tuhan agar supaya

Lumimuut anaknya itu diberi karunia agar bisa hamil dan mempunyai banyak keturunan,
bagaikan banyaknya pasir di laut. Supaya kelak Bumi Minahasa dipenuhi oleh keturunan
Lumimuut.

Karema kemudian mengadakan upacara penyembahan untuk meminta keturunan. Pada upacara
itu ia sendirilah yang bertindak sebagai seorang Pendeta. Upacara tersebut dikenal
sebagai ‘upacara agama’ Rumages.
Dalam
upacara
tersebut,
mereka
berdua
meminta
dengan
sungguh-sungguh
pengasihan Empung supaya Lumimuut diberkahi dengan kehamilan, dan kelak akan punya
banyak keturunan. Karema lalu meminta Lumimuut mengikuti semua petunjuk yang dia
perintahkan, “Yah I rondorna si Lumimu’ut, sumaru timu’ Sendangan”(Lumimuut disuruh
menghadap Tenggara). Namun ternyata tidak ada apapun yang terjadi.
Lalu Karema meminta Lumimuut menghadap arah yang lain lagi, yaitu Timur Laut. “A sia

Sumaru un amian Sendangan.” Tetap saja tidak ada apa-apa yang terjadi dalam diri Lumimuut.
Karema tidak putus asa dan putus harapan. Ia terus berdoa dan meminta. Lumimuut kemudian
disuruh Karema untuk coba menghadap Tuhan ke arah Barat Laut. “Un Amian
Talikuzan.” Tetap tidak terjadi apa-apa.
Karema terus berdoa dan meminta, ia terus mengganti arah menghadapnya si Lumimuut.
Keringat dan air mata meleleh membasahi wajah Karema, ia sungguh berdoa dan berharap pada
Sang Empung.
Akhirnya, kesungguhan dan hati yang penuh harap dari Karema membuahkan hasil. Doanya
dikabulkan. Setelah lama berdoa, terdengar suara dari langit, “Aku akan memberkati anakmu,
si Lumimuut itu, ia akan mengandung dan melahirkan. Keturunannya kelak banyaknya
bagaikan pasir di laut dan bintang di langit,” lalu serempak seketika itu juga terlihatlah bahwa
telah ada tanda-tanda kehamilan dalam diri Lumimuut. Anugerah pengasihan Empungsudah
tercurah atas diri Lumimuut. Ia pun mengalami kehamilan, tanpa pernah bersetubuh dengan
siapapun.
Selama berbulan-bulan Karema menjaga Lumimuut dan kehamilannya dengan penuh kasih
sayang dan pengorbanan yang membara. Ia merawat dan memenuhi semua kebutuhan dan
keinginan Lumimuut selama ia hamil. Terkadang Karema harus pergi jauh ke dalam hutan untuk
mencari bahan makanan dan obat-obatan untuk Lumimuut. Siang dan malam Karema terus
menjaga dan menemani Lumimuut, sampai tibalah saatnya Lumimuut untuk melahirkan.
Pada saat tiba harinya bagi Lumimuut untuk melahirkan, Karema sudah mempersiapkan segala

sesuatunya dengan sempurna. Ramuan-ramuan tradisional sudah disiapkan untuk membantu
persalinan Lumimuut.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Lahirlah seorang bayi laki-laki yang sangat tampan dan
sehat badannya. Keheningan malam di pegunungan Wulur Mahatus dipecah oleh tangisan keras
seorang bayi laki-laki. Ia dibaringkan di atas jerami dan hanya dibungkus dedaunan lebar.
Lumimuut menamai anaknya itu Toar. Laksana anak Dewa Matahari.

Toar kemudian tumbuh menjadi anak laki-laki yang pintar dan perkasa (tuama). Ia hidup dan
bergaul dengan banyak binatang liar di sekitar hutan Wulur Mahatus. Ia sangat terampil dalam
berburu, dan bahkan oleh ibunya sendiri ia dijuluki ‘raja hutan’ oleh karena ia dapat
menaklukkan dengan mudah hewan-hewan seperti anoa, babi rusa, ular, kera, dan hewan lainnya
yang hidup berdampingan di pegunungan itu.
Karema juga menurunkan semua kepintaran dan pengetahuan yang dimilikinya kepada Toar
cucunya itu. Ia mengajarkan tentang adat dan kepercayaan pada Sang Empung. Ia juga
mengajarkan Toar tentang pengobatan tradisional memanfaatkan tumbuhan alam dan dari hasilhasil laut. Karema juga membentuk karakter cucunya itu untuk menjadi seorang pemimpin
ksatria yang tak mengenal takut.
Semakin hari Toar semakin bertambah dewasa, ia tumbuh menjadi lelaki kuat dan pintar serta
tangguh. Dalam kesehariannya Toar selalu berbakti kepada ibunya, dan juga neneknya. Setiap
pagi ia pergi masuk hutan untuk berburu. Ia juga pergi ke laut untuk mencari tangkapan ikan. Ia
lalu secara perlahan mampu juga mendirikan rumah untuk ditinggali mereka bertiga, dengan

menggunakan batang-batang pohon, bambu, dan daun kelapa, serta semua apapun yang dapat
ditemuinya di hutan. Setelah rumah buatannya jadi, mereka bertiga pindah dan tidak lagi tinggal
di dalam goa.
Dengan kehadiran Toar, kelangsungan hidup Lumimuut dan Karema menjadi lebih baik dan
terjamin. Toar selalu ada saat dibutuhkan. Ia memang benar-benar telah menjadi lelaki dewasa
yang dapat selalu diandalkan. Kebahagian Karema dan Lumimuut semakin bertambah-tambah.
Di tengah-tengah kebahagiaan yang mewujud itu, mereka tak pernah lupa untuk senantiasa
menaikkan ucapan syukur kepada Sang Empung atas semua berkat yang sudah mereka peroleh.
Toar semakin bertambah besar, keingintahuannya akan dunia luar pun semakin besar pula. Ia
menjadi tidak tahan lagi jikalau hanya hidup terus menerus di sekitar pegunungan Wulur
Mahatus saja. Ia merasa dirinya seperti terkukung dalam kerangkeng alami di hutan itu. Padahal
hatinya ingin sekali untuk dapat mengunjungi tempat-tempat lain yang ada di tanah Minahasa
yang begitu luas, belum lagi ke tempat-tempat lain di luar Minahasa.
Rupa-rupanya, dalam hal ini, Karema juga memiliki pemikiran yang sama dengan Toar. Lalu
kata Karema kepada Toar dan juga Lumimuut, “Dunia ini semakin tua, umur kita juga tentu
akan bertambah tua. Kini sudah saatnya kalian berdua keluar dari tempat ini. Kunjungi dan
kelilingilah belahan dunia yang lain, dan temukanlah nilai-nilai kehidupan di sana untuk
kalian bawa pulang.”
Di samping itu, Karema juga meminta mereka berdua untuk mencari pasangan hidup masingmasing. Karema kemudian mengatakan,“Tidak baik kalau seorang perempuan hidup seorang
diri saja, begitu juga adalah tidak baik seorang laki-laki tanpa pasangan hidup. Berkelanalah

kalian dan carilah pasangan hidup supaya kelak kalian beroleh keturunan.”

Toar dan Lumimuut menyambut gembira apa yang diutarakan Karema. Mereka lalu
mempersiapkan diri, menyiapkan semua perbekalan untuk perjalanan panjang tersebut. Namun
sebelum mereka meninggalkan penggunungan Wulur Mahatus, Karema memberikan mereka dua
buah tongkat dari kayu sebagai tanda bagi mereka berdua.
Tongkat tersebut dibuat sama panjang, untuk Toar dibuat dari batang pohon Tuis, dan untuk
Lumimuut terbuat dari batang pohon Tawaang. Karema lalu berpesan, “Kalian harus
mengembara mengelilingi dunia, tidak hanya di Minahasa saja, melainkan juga pergilah
sampai ke ujung bumi sejauh yang kalian mampu. Bawalah kedua tongkat ini, kalau
sekiranya kalian bertemu dengan siapa saja yang membawa tongkat yang sama dan juga
ukurannya sama, maka itu berarti kalian masih terikat keluarga, namun apabila tongkatnya
tidak sama panjang maka kalian boleh membentuk rumah tangga dengan orang tersebut,
oleh karena itu berarti kalian tidak ada hubungan keluarga dengan orang itu.” Karema lalu
memberikan tongkat-tongkat tersebut kepada Toar dan Lumimuut. Ia memeluk mereka berdua
dan mempersilakan mereka untuk pergi.
Toar dan Lumimuut berpamitan dengan Karema. Setelah itu mereka berdua lalu berpisah jalan,
Toar berjalan menuju Utara dan Lumimuut mengambil jalan ke Selatan. Dalam perjalanan
pengembaraan tersebut tanpa disadari tongkat Tuis di tangan Toar bertumbuh dan semakin
bertambah panjang, sedangkan tongkat Tawaang yang dibawa oleh Lumimuut tetap sama dan

tidak bertambah panjangnya.
Dalam perjalanan pengembaraan tersebut, Toar mendapat banyak sekali ujian dan tantangan. Ia
harus berhadapan dengan banyak binatang buas. Terkadang ia mesti melewati lembah, ngarai,
dan sungai yang dipenuhi onak dan duri. Kulit tangan dan kaki Toar sampai mengelupas dan
terasa sakit luar biasa. Tetapi Toar tidak pernah menyerah. Ia adalah lelaki tangguh (cikal
bakal tuamaMinahasa sejati) yang terkenal pantang menyerah menghadapi rintangan dan
tantangan apapun yang menghalang di depan mata.
Dengan bekal pengetahuan pengobatan menggunakan obat-obat tradisional yang diwariskan
Karema, ia mampu membuat obat untuk luka-lukanya sendiri tanpa bantuan siapapun. Ia hanya
perlu beristirahat barang sejenak dan mengobati luka-lukanya. Setelah pulih, ia kembali
melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, di belahan yang lain, perjalanan Lumimuut jauh lebih
mudah dan mulus. Tidak banyak rintangan berarti yang dihadapi Lumimuut dalam
pengembaraannya.
Setelah berbulan-bulan lamanya pengembaraan mereka, tanpa diduga Toar bertemu Lumimuut,
ibunya, di sebuah hutan di kawasan Tingkolongan yang gelap.
Dengan hanya diterangi sinar bulan, Toar sekilas melihat wajah ibunya yang cantik rupawan itu.
Lumimuut pun akhirnya bertatap pandang dengan Toar, namun saat itu ia sama sekali tidak
mengenali wajah anaknya yang sudah ditumbuhi jambang dan kumis lebat. Wajah Toar juga
sudah berubah warna akibat terbakar sinar matahari.


Toar kemudian bertanya, “Apakah kamu memegang tongkat yang sama dengan yang aku
pegang?” Lumimuut mengangkat tongkat yang dia bawa dan ternyata tongkat mereka tidak
sama panjang ukurannya. Toar pun mengajak Lumimuut untuk menikah supaya dapat
menghasilkan anak cucu sesuai pesan Karema. Seketika Lumimuut sadar bahwa yang berbicara
di hadapannya itu sesungguhnya adalah anaknya sendiri. Ia terpekur diam.
Lumimuut tidak langsung mengiyakan permintaan Toar, tetapi ia justru mengajak Toar untuk
kembali menemui Karema supaya nanti diberikan pengertian dan pendapat mengenai apa yang
harus mereka lakukan. Toar menyetujui, maka kembalilah mereka ke pegunungan Wulur
Mahatus untuk meminta pendapat Karema.
Berbulan-bulan lamanya waktu kembali mereka tempuh untuk pulang menemui Karema. Setelah
bertemu Karema, maka dua tongkat yang dibawa mereka itu kembali dibandingkan dan
disandingkan, ternyata memang Karema dapat melihat secara jelas bahwa keduanya tidak sama
panjang ukurannya.
Karema menyuruh mereka berdua untuk mendekat, lalu berkatalah Karema, “Karia u ngaran ni
Wa’ilan, yah nima zei’ mo u ma’ina’ an nio”(Dengan nama Yang Maha Mulia, kamu berdua
tidak lagi sebagai ibu dan anak). Karema melanjutkan, “Akaz I nania wo mange, ya Tou sana
awu-mo kamu.” (Mulai sekarang dan seterusnya, kamu berdua sudah menjadi suami-istri).
Karema berdoa supaya suami-istri baru ini hidup dalam kehidupan yang penuh berkat dan tetap
terus dalam pengasihan Opo Wailan Wangko. Karema sebagai Pendeta dan orang dituakan yang
kemudian menikahkan Toar dan Lumimuut.
Karema lantas mengajak Toar dan Lumimuut untuk pergi ke daerah di sekitar pegunungan
Lolombulan dan Sinonsayang, karena di sanalah ia hendak mengadakan upacara pemberkatan
pernikahan Toar dan Lumimuut. Untuk mengabadikan penyatuan sebagai suami istri antara Toar
dan Lumimuut, maka Karema melukiskannya pada sebuah batu abadi, yang bernama Watu
Lutau. Batu itu masih dapat disaksikan oleh keturunan-keturunan Toar Lumimuut sampai saat
ini. Lukisan Karema pada batu itu adalah gambaran tentang sepasang kekasih (Toar-Lumimuut)
sedang bergandengan tangan. Tempat itu kemudian menjadi desa Lutau / Tinondeyan /
Tondei.Tempat yang menjadi saksi dipersatukannya Toar dan Lumimuut oleh Karema.
Karema saat itu bertindak sebagai Pendeta, ia lalu memberkati Toar dan Lumimuut, lalu
kemudian ia sendiri menetapkan sebuah janji untuk hidup bersama kedua suami-istri baru ini
sampai batas akhir hidup mereka. Karema adalah ibu (orang tua) dan Pendeta bagi kehidupan
suami-istri baru itu. Ia terus mendampingi sampai Toar dan Lumimuut beranak-cucu.
Keturunan Toar Lumimuut bertambah-tambah banyaknya bagaikan pasir di laut, persis seperti
janji Empung Wailan Wangko. Pertama-tama adalah Makarua Siouw (dua kali sembilan) anakanak mereka, kemudian Makatelu Pitu (tiga kali tujuh) cucu-cucu mereka, begitu seterusnya
mereka menurunkan buyut-buyut, cece-cece, Pasiowan Tewu (Sembilan kali tiga) dan keturunan
demi keturunan itu mulai menyebar memenuhi bumi Minahasa. Dari Miangas sampai Molosipat.
Dari ujung Timur sampai ujung Barat, dan dari ujung Utara sampai ujung Selatan.

Para leluhur keturunan Toar Lumimuut ini berkembang dengan pesat, dan menyebar dengan
cepat pula. Tatanan peradaban dan sosial mulai terbentuk, namun ternyata di antara para leluhur
keturunan pertama tersebut terjadi perselisihan dan perpecahan. Para Tona’as kemudian sepakat
untuk bertemu dan membicarakan hal tersebut secara damai dengan memilih sebuah tempat
netral.
Maka sesuai waktu yang sudah mereka sepakati bersama, diaturlah pertemuan
di Awuan (Tonderukan Utara). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu atau Pinawetengan
um-posan. Akhirnya kesepakatan pun diambil, yaitu keturunan-keturunan selanjutnya dari Toar
Lumimuut dibagi menjadi tiga kelompok besar, Tonsea, Tombulu, dan Tontemboan. Tempat di
mana mereka bertemu kemudian dinamai Watu Pinabetengan (Batu Membagi).
Toar dan Lumimuut sendiri setelah menetap cukup lama di sekitar pegunungan Wulur Mahatus,
mereka kemudian bermigrasi, pindah dan menetap di daerah Likupang untuk sekian lamanya,
lalu berpindah lagi ke Kanonang. Di tempat inilah Toar dan Lumimuut menghabiskan sisa hidup
mereka, wafat, dan dikuburkan. Keberadaan mereka terus dikenang secara turun temurun. Toar
dan Lumimuut dianggap sebagai leluhur pertama orang-orang Minahasa masa kini. (Tamat)

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24