WAKTU YANG TERPENGGAL WAKTU YANG TERPENGGAL

Cerita Pendek
WAKTU YANG TERPENGGAL
Oleh: Suhariyadi
Komunitas Sanggar Sastra UNIROW Tuban

KULIPAT waktu dengan tidur. Bus yang kutumpangi terasa seperti siput
berjalan. Jenuh mulai merayap. Novel yang sejak tadi menemaniku, huruf-hurufnya
sudah mulai memburam di mata. Musik dari HP juga sudah tak menarik lagi.
Penumpang di sampingku bahkan sudah semenjak tadi terlelap dalam mimpi.
Sedang perjalanan ini baru sepenggalan. Masih sepenggalan lagi yang mesti
kutempuh. Tidur satu-satunya cara mempercepat perjalanan.
Benar juga! Sepertinya bus baru saja meninggalkan batas kota Semarang.
Kini sudah memasuki gapura masuk kota tujuan perjalananku, Tuban. Aroma pesisir
mulai terasa saat melintasi gapura itu. Masih kuhafal bau amis, angin laut yang
kering, dan suhu panas seakan membakar badan. Sepuluh tahun kutinggalkan
aroma yang membesarkanku itu untuk merantau ke ibu kota. Tapi masih kuingat
tiga warna tanah kota kelahiranku itu. Tanah pasir di sebelah utara, tanah merah di
belahan tengah, dan tanah kapur di sebelah selatan. Jika dilihat dengan mata
burung, daerah Tuban mirip bendera putih-merah-putih yang membentang
membentuk wilayah. Tiga warna tanah itulah tempat aku hidup dan dibesarkan.
Masih belum hilang juga dari lidahku, sayur mangut dan becek menthok yang

pedas dan asin. Bagaimana keringat bercucuran saat menyantapnya, sambil kedua
bibir kumonyongkan dengan menyuarakan desahan karena menahan pedasnya.
Dan jika sore hari, terlihat di pinggir-pinggir jalan orang-orang santai duduk
melingkar, menikmati minuman toak yang menyentak. Kuingat senda gurau dan
cengkerama mereka tentang apa saja mirip sebuah Konferensi Kaki Lima. Banyak
hal yang mereka bicarakan; dari anggota DPR yang egois, mafia hukum, korupsi,
hingga maling jemuran tewas dikeroyok massa. Tidak kalah pedasnya pembicaraan
mereka itu daripada pedasnya sayur mangut dan becek menthok.
Tapi bukan untuk itu jika kali ini aku mesti kembali ke kota ini. Sepuluh tahun
lalu, saat kutinggalkan kota ini, kutinggalkan pula perasaan cinta pada seorang
gadis dengan sebuah janji. Janji sudah terlanjur diucapkan. Cinta sudah terlanjur
membara. Betapapun jauh jarak yang mesti kutempuh, janji mesti ditepati.
Betapapun telah lama waktu yang terlewati, janji tak mungkin diingkari. Apalagi
menyangkut perasaan cinta pada gadis pilihan, pantang untuk dipungkiri. Inilah
saatnya janji itu menjadi nyata. Sepuluh tahun bukan waktu yang pendek untuk
menanti. Sepuluh tahun terlampau lama untuk mengebiri hati.
Tapi kekhawatiran selalu ada. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup untuk
merubah segalanya. Bahkan hanya butuh waktu sehari untuk mengganti sebuah
negara monarkhi menjadi republik. Sehari bisa terjadi, kekuasaan presiden yang
dholim dilengserkan massa. Apalagi hanya untuk merubah sebuah hubungan.


Waktu sepuluh tahun terlampau banyak untuk itu. Kesetiaan akan menjadi kesiasiaan lantaran tergerus waktu. Kekhawatiran itu semakin memuncak lantaran
cibiran teman-temanku.
“Kau laki-laki konvensional di tengah kota yang penduduknya hampir semua
kosmopolitan. Kau bodoh dengan mentalmu itu. Ketinggalan zaman. Hidup yang
realistis saja. Apalah arti kesetiaan di tengah gemerlap citra kota Jakarta yang
menawan ini? Apalagi kedudukan telah berhasil kau raih. Jaminan materi melimpah
yang bisa kau dapat. Kau benar-benar bodoh meninggalkan semua itu demi gadis
desa. Bagaimana kalau sebaliknya yang terjadi pada gadis itu, setelah kau terlanjur
meninggalkan keberhasilanmu di sini? Sesal selalu di belakang, Bung! Waktu tak
mungkin kembali lagi.” Ujar teman sekantorku penuh nada sinis. Aku mafhum
terhadap isi otaknya yang materialistis itu.
“Kau materialistis. Hidup tidak sekedar meraih kebahagiaan material. Ada
yang lebih dari semua itu, cinta.” Jawabku sengit, tapi dia malah tertawa
menyakitkan hati.
“Apa yang kurang dari Cindy, Rani, Sisi, Kiki, dan cewek-cewek yang
segudang itu yang pernah merengek-rengek mengemis cintamu. Mereka cantik,
pintar, terpelajar, dan mau berkurban untuk memperoleh cintamu itu. Bahkan Cindy
yang mantan puteri Indonesia itu nyaris bunuh diri karena frustasi. Apakah itu
bukan cinta?”

“Bagaimana dengan perasaanku!?” Jawabku berharap temanku itu tersangkal
pendapatnya.
“Perasaanmu? Mereka sangat pantas untuk kau cintai.” Katanya tegas dan
aku merasa kecele atas harapanku itu.
“Bagaimana dengan perasaan gadis yang aku cintai di sana? Kesetiaanku tak
mungkin bisa ditukar oleh harta dan kecantikan yang lain.” Aku masih tak mau
kalah atas perdebatan ini. Aku harus menjaga kemurnian sikap dan perasaanku
selama ini. Selama ini aku jaga jangan sampai terkotori oleh virus kota kosmopolitan
Jakarta ini; termasuk pikiran temanku ini.
“Apakah sikapmu itu sama dengan sikap gadis yang kau cintai? Tak yakin
aku! Apalagi katamu, kau sudah dua tahun ini tak saling berkirim pesan.”
“Itulah kenapa aku mesti menemuinya.” Kataku mendinginkan panasnya
perbedaan di antara kami. Perdebatan ini rasanya tak akan pernah bisa usai. Bisabisa aku semakin tercemari pikiran kotor temanku itu.
“Kalau hanya untuk itu, kenapa mesti harus meninggalkan pekerjaan yang
telah kau raih selama ini!?”
“Aku sudah memutuskan untuk kembali ke daerahku.”
“Meski kau tak menemukan tambatan hatimu itu?”
“Meski aku tak menemukan gadis yang aku cintai itu.” Kataku menyudahi
perdebatan itu. Temanku terlihat bersungut-sungut atas kegagalannya. Wajahnya
tampak kecewa.

Adzan Subuh bergema saat bus berhenti di alun-alun kota. Tubuh yang
hampir terasa seperti kayu, seolah terbebas ketika kaki ini turun dari bus. Beberapa
abang becak mengerubungiku menawarkan jasanya. Bahkan di antara mereka ada

yang merebut tas dari tanganku. Terpaksa aku turuti pemaksaan itu. Dari atas
becak aku saksikan betapa kota ini telah berubah. Alun-alun kota begitu indah,
seolah berada di tengah pusaran peradaban kota. Di sebelah barat nampak
bangunan masjid yang megah. Di selatan, gedung pemerintahan terasa mewah
berlantai tiga. Sedang di sebelah timur, terletak pendopo kabupaten yang penuh
misteri kedalamannya. Di utara, terlihat hamparan laut dan sebuah pasar kota.
Sebuah tata kota dengan artefak sejarah yang dipertahankan, meski bangunan
yang ada telah meninggalkan sejarah masa lalunya. Perubahan kota ini telah terjadi
selama aku tinggalkan. Apakah gadisku juga sudah berubah?
Tak terasa becak yang aku tumpangi telah sampai di depan sebuah rumah.
Kulihat seorang perempuan baya sedang menyapu halaman. Dia menghentikan
kegiatannya saat melihat kedatanganku. Dia tergopoh-gopoh menyambut ketika
dilihatnya akulah yang datang.
“Antok!?” Jeritnya pelan seolah tak percaya siapa yang datang sepagi ini.
Aku salami dan kurangkul erat tubuh ibu. Kerinduan ini tak tertahankan lagi.
Tak bisa aku bayangkan, bagaimana kerinduan yang sama akan terjadi saat

bertemu dengan gadisku nanti. Sepuluh tahun ternyata benar-benar waktu yang
lama. Kota ini telah sangat berubah. Ibu pun telah berubah; rambutnya memutih
dan tubuhnya tak tegar lagi. Lantas bagaimana rupa gadisku nanti? Cepat-cepat
aku hapus apa yang terlintas dalam benakku. Aku tak ingin ada perubahan sedikit
pun pada gadisku; selain dia tambah cantik. Dan aku benamkan bayangan
kekhawatiran itu ke atas ranjang kamarku. Aku senang saat kulihat kamarku tak
berubah. Ternyata masih ada yang tak berubah. Kuharap dia juga tak berubah.
“Ibu tahu khabar Sulastri?” Pertanyaan ini sudah semenjak pagi tadi ingin
kutanyakan. Tapi rasanya terlampau pagi pula untuk kusampaikan.
“Kau belum tanya khabar ibu, tapi sudah bertanya khabar Sulastri.” Jawab ibu
sambil tersenyum. Nampaknya ibu sangat paham apa yang kurasakan.
“Kulihat ibu sehat-sehat saja. Bahkan tambah cantik. Semakin tua semakin
cantik.” Godaku pada ibu.
“Tak kau lihat rambut ibu yang semakin memutih?”
“Kenapa tidak disemir, Ibu. Ibu akan sepuluh tahun kembali muda.”
“Kau bisa saja menyenangkan orang.”
Soal menyenangkan hari orang, akulah jagonya. Teman-teman di Jakarta
mengakuinya itu. Bahkan cewek-cewek yang kukenal, merasakan nyaman
berdekatan denganku. Lantas mereka jatuh cinta padaku. Bahkan ada yang hendak
bunuh diri lantaran aku tak terima perasaan cintanya itu. Perasaanku telah terlanjur

terbenam dalam cinta seorang gadis yang aku tinggalkan di kota ini. Tak ada yang
lain. Betapapun cantik, pintar, dan modern mereka, aku tak akan bergeming sedikit
pun. Benar kata temanku, aku seorang konvensional dalam soal cinta.
“Sudah banyak berubah selama kau di Jakarta.” Kata ibu mulai menceritakan
apa yang telah terjadi semenjak aku merantau ke Jakarta. Kekhawatiranku tiba-tiba
muncul kembali mendengar perkataannya. “Yang aku dengar, Sulastrimu itu.......”
“Menikah?” Potongku tak sabar. Ibu menceritakannya seperti siput berjalan.
Sedang otakku, singa terusik anaknya.

“Jangan kau potong cerita ibu. Sulastri belum menikah.” Kata ibu melanjutkan
kalimatnya yang terpotong tadi. Hatiku terasa lega mendengarnya. Sulastri benarbenar setia menantiku. Ibu menatapku sambil tersenyum. Aku cukup tahu apa yang
ada di balik senyum itu.
“Lalu, apanya yang telah berubah?”
“Kini dia milik banyak orang.”
“Maksud Ibu?” Hatiku terasa ganjil mendengar kata: “milik banyak orang.”
Sudah menjadi pelacurkah? Hanya pelacur, perempuan yang dimiliki banyak orang.
“Kau jangan berpikiran jelek,” tukas ibu seolah tahu apa yang berkecamuk di
benakku. Cara ibu bercerita terlalu ambigu. Hatiku seperti diaduk-aduk.
“Aku tak sabar mendengar cara ibu bercerita!”
“Bukan cerita ibu yang salah, tapi kau yang tak sabar.”

“Baiklah. Teruskan cerita ibu, aku akan sabar mendengarnya.” Jawabku
semakin tak sabar. Cerita ibu benar-benar seperti cerita sinetron yang diolor-olor.
“Sulastri sekarang menjadi seorang ledhek yang terkenal. Ia cantik, suaranya
bagus, dan tubuhnya lemah gemulai, sangat menarik hati para lelaki yang
menontonnya. Dia nampaknya menikmati kepopulerannya itu.”
“Ledhek?” Hatiku pun semakin ganjil mendengar kata itu. Semenjak SMP
memang Sulastri pinter menyanyi dan menari. Wajahnya cantik, mirip artis Indah
Dewi Pertiwi. Tapi untuk menjadi seorang ledhek, tak bisa aku bayangkan. Kenapa
mesti menjadi ledhek? Kenapa tidak yang lain? Teller Bank misalkan. Bukankah
seorang teller Bank mesti cantik, pinter menyanyi, dan menarik? Bukankah bankbank kota ini gemar mengumpulkan para penyanyi untuk menjadi karyawannya?
Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benakku. Tak bisa aku bayangkan,
bagaimana keadaan Sulastri kini. Dia mesti berubah drastis. Apakah Sulantri
berubah menjadi manja, centil, dan kerling matanya itu, duh, mesti dibuat-buat
untuk menarik hati setiap laki-laki.
Tidak! Tidak akan kubiarkan dia terus menjadi ledhek. Bagaimana kata orang
nanti melihat istriku seorang ledhek. Ke sana-kemari dibonceng laki-laki. Pergi
malam hari, pulang pagi hari. Betapa orang-orang memandangnya penuh curiga.
Sementara aku, seperti tak bisa berbuat apa-apa atas profesinya itu. Belum lagi,
setiap malam aku sendirian menunggu bersama sepi. Ketaksabaranku semakin
membukit. Ingin aku segera menemuinya, menyampaikan ketidaksetujuanku, lantas

dia rela menjadi istriku dan hanya bermanja-manja padaku.
Sore itu aku sudah berdiri di depan pintu rumah Sulastri. Rumah yang
teramat kukenal 10 tahun lalu itu telah berubah sama sekali. Dulu rumah ini masih
sederhana. Dindingnya dari papan tua berwarna putih oleh gamping yang selalu
dilaburkan ke permukaannya. Di sana-sini terlihat mengelupas sehingga tampak
betapa tebalnya cat menutup permukaannya. Tapi kini sudah menjadi tembok
bercat biru muda. Dulu lantainya dari tegel, kini berubah keramik biru tua, harmonis
dengan warna dindingnya. Rumah itu begitu tinggi, kokoh, dan terkesan mewah.
Dari balik jendela kulihat lampu antik bergantung di tengah ruang tamu. Dulu hanya
sebuah bola lampu 10 wat bergantung dengan sawang menutup kabelnya. Sungguh
berubah menjadi mewah. Berubahkah pemiliknya juga?

“Mas Antok!” Jerit kecil menyentak telingaku. Seorang perempuan telah
berdiri di pintu dengan wajah yang teramat kukenal; Sulastri. Kesan pertama
membuat keyakinanku sedikit menebal. Sulastri memang berubah. Wajahnya itu
sudah tak selugu 10 tahun lalu. Ada polesan tergores di sana. Dan aku merasakan
lucu melihatnya, menutupi kerinduanku.
“Sulastri,” jawabku terasa kaku. Barangkali kalau aku melihat wajahku di
cermin, betapa tampak aneh. Senyum pun terasa lucu.
Dia menggeret tanganku ke dalam rumah sebelum aku benar-benar terasa

semakin lucu. Aku cepat duduk di kursi ruang tamu untuk menutupi keanehan
dalam diriku. Sulastri mengikutinya di kursi depanku. Wajahnya tak sedetik pun
lepas dariku, seolah dia menantangku untuk melepaskan kerinduannya. Tapi tidak.
Aku menangkapnya dia semakin berani. Berbeda dengan dahulu yang malu-malu.
Perubahan kedua yang kutangkap dalam diri Sulastri. Polesan dan keberanian, dua
hal yang kumengerti ada pada seorang ledhek. Dulu aku bersama teman sering
melihat pertunjukan sinder. Aku cukup mengerti bagaimana pertunjukan itu
berlangsung.
“Kapan Mas Antok pulang?” Tanyanya sambil memainkan taplak meja
bermotif bunga-bunga itu. Apakah dia juga merasakan keanehan sepertiku?
“Tadi pagi,” jawabku, terasa lucu juga. Tak ada kalimat lain yang muncul
dalam benakku. Kaku.
“Bagaimana keadaan Mas Antok?”
“Baik. Kau?” Kataku sambil aku tekan kuat-kuat kekakuanku ke dalam hati
yang paling dalam. Kemarin aku bayangkan pertemuan ini begitu ramai.
“Banyak hal yang sudah berubah selama Mas Antok pergi ke Jakarta.”
Aku tahu perubahan itu, kataku dalam hati. Perubahan itu yang tak bisa aku
terima. Kau telah berubah menjadi lain. Kau tidak selugu dulu. Kau tidak secantik
dulu. Kau tidak semalu dulu. Kau..... Cepat aku hentikan perang batinku sebelum
benar-benar merusak pertemuan ini.

“Apa yang Kau pikirkan, Mas?” Tanya Sulastri melihat aku diam dalam
keramaian hati ini.
“Tidak. Aku sangat rindu padamu.” Spontan aku jawab sekenanya. Tak ada
lagi sebenarnya kerinduan yang kemarin begitu ramai dalam benakku. Perubahan
Sulastri itu sudah menghapusnya
“Aku juga. Tapi......” Sulastri tak meneruskan
ucapannya.
“Tetapi?” Aku mendorongnya untuk meneruskannya.
“Aku tahu apa yang Mas Antok pikirkan.”
“Pikirkan apa? Bukankah baru sepuluh menit kita bertemu?”
“Sejak tadi Mas Antok terlihat termenung. Tak seramai dulu.” Kata Sulastri
sambil mengalihkan tatapannya dariku. Kau juga tampak semakin mengerti orang
yang kau hadapi, kataku dalam hati. Kau semakin peka. Perubahan yang lain lagi
dari dirimu, Sulastri. Dan mata Sulastri tampak membasah. Wajahnya memburam.
“Jangan berprasangka. Sepuluh tahun waktu yang panjang yang bisa
menjadikan sebuah hubungan terasa berawal lagi.” Aku berpikir, saat inilah waktu
yang tepat untuk menyampaikan ketidaksetujuanku.

“Aku tidak percaya itu. Ada yang lain dalam diri Mas Antok.” Katanya sambil
menggigit bibirnya seolah ada sesuatu yang ditahannya. Mata Sulastri semakin

mengembung. Setitik air jatuh dari relung matanya. “Aku yakin Mas Antok telah
mendengar tentang aku. Dan ketermenungan Mas Antok tadi, cukup bagiku untuk
memahami apa yang Mas pikirkan.”
Sulastri benar-benar semakin peka. Apakah profesinya itu menjadikan dirinya
seperti itu? Aku membenarkan ucapannya itu. Cerita ibu dan melihat diri Sulastri
saat ini, aku menjadi tak tenang. Aku tak ingin membohongi diriku sendiri kalau aku
takut pada sesuatu yang bakal terjadi. Takut pada perubahan hubungan cinta yang
sepuluh tahun aku jaga kesetiaannya. Betapa teman-teman di Jakarta telah
membuktikannya. Apakah mereka juga akan membuktikan kebenaran pendapatnya
tentang kesetiaan cinta itu omong kosong setelah sepuluh tahun terpisah?
“Aku tak ingin membohongimu dan membohongi diriku sendiri. Kau telah
berubah.”
“Bukan semata-mata perubahan dalam diriku yang berkecamuk dalam
pikiran Mas Antok. Aku yakin ada yang lain.” Jawab Sulastri mengejar pengakuanku;
kejujuran perasaanku. Sekali lagi aku membenarkan ucapannya itu.
“Kau semakin pintar memahami orang.” Sergahku seolah tak kuat lagi
menahan beban pikiranku ini.
“Sepuluh tahun terlalu cukup untuk menjadikan orang semakin dewasa.”
Jawab Sulastri sangat ketus. Ucapannya itu telah menohokku hingga aku benarbenar tak kuat lagi menahan galau pikiran ini.
“Aku memang tak siap menghadapi perubahanmu sekarang. Cerita ibu dan
penampilanmu sekarang, seolah menjadikan kepulanganku ini tak menemukan
gadisku lagi.”
“Karena aku seorang ledhek?”
“Salah satunya, dan perubahan-perubahan yang lain lagi dari dirimu.”
“Mas Antok tidak menerima perubahan itu? Tidak menerima aku sebagai
seorang ledhek?” Berondongan pertanyaan yang keluar dari mulut Sulastri senada
kemarahan. Kutangkap gadis yang kucintai dulu teramat jauh. Tinggal bayangan
yang ada dalam memoriku. Sedang gadis yang di depanku tampak bukan Sulastri
lagi.
“Ya.” Jawabku pelan hampir tak terdengar. Kutatap Sulastri untuk
menemukan apa reaksi atas sikapku itu.
“Ternyata bukan aku saja yang berubah. Mas Antok juga telah berubah. Dulu
Mas Antok sangat bijaksana, tapi sekarang teramat jauh. Mas Antok egois!”
Tangis Sulastri meledak. Dia berkata sambil berlari ke dalam. Dan aku tak
merasakan apa-apa melihat itu. Hambar. Sedikit pun tak terbersit rasa penyesalan
dan kasihan padanya. Hambar, sehambar hatiku merasakan ada perubahan juga
pada hubungan cinta ini. Aku tunggu Sulastri muncul kembali dari dalam. Kuamati
keadaan rumah ini untuk mengisi kesendirianku. Beberapa foto tampak
bergantungan di dinding. Foto kedua orang tuanya tampak lebih besar dari yang
lain. Di bawahnya pigura-pigura kecil terlihat foto Sulastri dalam beberapa pose.
Dan mataku terpaku pada sebuah foto dia sedang mengenakan toga. Di bagian

bawah foto itu terdapat tulisan: “Wisuda Sarjana Seni Institut Seni Surakarta, Solo,
23 Maret 1995”. Perubahan lain lagi yang baru kumengerti dalam diri Sulastri.
Kutinggalkan dia saat baru dua tahun lulus SMA. Dia tak berniat untuk kuliah.
Ayahnya sakit-sakitan dan tak mampu membiayainya. Setahun kemudian ayahnya
meninggal. Sedang Ibunya telah meninggal terlebih dahulu. Sulastri hidup sebatang
kara dan bekerja menjadi seorang guru tari sekolah dasar. Tapi kini, dia sudah
menjadi seorang sarjana seni. Duh, perubahan apa lagi yang belum kutahu?
Di antara foto-foto itu, ada fotoku bersama Sulastri yang sudah mulai kabur
gambarnya; sedikit kecoklat-coklatan. Kuingat foto itu dibuat sehari sebelum
keberangkatanku ke Jakarta. Sulastri menangis saat itu. Sementara aku melipurnya
dengan sebuah janji: Kita akan meneruskan hubungan ini hingga ke jenjang
pernikahan, apapun yang terjadi. Kesetiaan adalah segala-galanya. Janji ini juga
tertulis dalam foto itu.
“Kau masih ingat janjimu itu, Mas Antok?” Pelan suara Sulastri terdengar dari
belakang badanku. Tak kusadari dia telah berdiri di belakang.
Aku balikkan badanku dan kulihat Sulastri tak menangis lagi. Dia tersenyum.
Wajahnya tak berpolesan lagi. Wajahnya telah terguyur air ketika berlari ke dalam
tadi. Rambutnya terlihat masih sedikit basah. Pakaiannya juga sudah diganti
dengan blues batik gedhog. Dia sengaja merubah penampilannya. Tadi kulihat TShirt dan jean dikenakan hingga terlihat terlampau seksi di mataku. Polesan
wajahnya terlihat mencolok. Kini, kulihat dia benar-benar Sulastri seperti sepuluh
tahun lalu. Sederhana. Lembut. Malu-malu. Ternyata dia belum lupa menjadi gadis
yang kucinta dulu.
“Bagaimana penampilanku, Mas?” Tanyanya sambil kedua tangannya
menarik rok ke samping dan berputar seperti seorang peragawati. Aku tersenyum.
Ada perasaan kecele dalam diriku, tapi aku cuma bisa menerka maknanya.
Aku pegang kedua pundaknya. Aku amati dari ujung kaki hingga rambutnya.
Ketika kutarik tubuhnya hendak kupeluk, dia menolak. Semburat warna merah di
wajah Sulastri. Ternyata dia masih malu-malu seperti dulu.
“Kau tak rindu padaku?” Tanyaku terasa mencair kekakuanku tadi. Aku seolah
tetap seperti dulu dengan keberanian dan keramaian cinta. Seolah usiaku belum
berkepala tiga seperti sekarang. Dan gadis yang malu-malu itu adalah Sulastri yang
baru lulus SMA-nya.
“Maafkan aku telah membuat Mas Antok gusar.” Ujar Sulastri sambil
menatapku dalam. Sedang aku tak tahu maksud perkataannya itu.
“Maksudmu?”
“Aku tahu Mas Antok akan ke sini. Ibu tadi meneleponku dan bercerita
tentang ketaksabaran Mas Antok melihatku. Aku tahu Mas Antok penasaran pada
apa yang telah Mas Antok dengar tentangku. Jadi aku buat penampilanku tidak
seperti dulu lagi. Aku ingin mengetahui, apakah Jakarta telah merubah Mas Antok
menjadi lelaki yang lain.”
“Apa yang kemudian kau lihat dalam diriku?”

“Mas Antok ternyata tak berubah. Mas Antok masih seperti dulu. Tradisional
dan sederhana. Makanya aku cepat-cepat pergi ke dalam untuk merubah
penampilanku seperti biasanya.”
“Jadi tadi semua hanya aktingmu?”
“Aku tak pernah berubah, Mas. Aku masih seperti dulu. Juga perasaanku.”
“Lantas profesimu itu?”
“Mas Antok tidak setuju dengan profesi itu?”
“Aku belum siap menerima perubahan, bukan aku tidak setuju.” Kataku
menjaga perasaan Sulastri tentang apa yang telah dia lakukan.
“Aku sudah berhenti menjadi ledhek, Mas. Sudah banyak yang lebih muda
dan pintar. Aku sudah berumur 30 tahun. Sudah waktunya untuk memberi
kesempatan yang muda-muda. Aku hanya ingin menjadi guru tari.”
Aku sudah tak mendengar lagi cerita Sulastri. Aku paksa memeluk tubuhnya
dengan rapat. Kerinduanku tak terbendung lagi. Ternyata perasaan ini belum
berubah hambar, juga hubungan ini. Sulastri membalas pelukannku dengan rapat
pula. Kami seolah tak ingin berpisah lagi. Ternyata bukan profesinya itu yang
membuatku sedih dan takut, tapi layaknya Malin Kundang yang kecele melihat
betapa ibunya tak sama lagi dengan bayangannya saat dia pergi meninggalkannya.
Malin telah melupakan satu hal, ibunya tak mungkin berubah meskipun waktu telah
memenggal hubungan dia dengan ibunya itu, selain tubuh yang semakin tua. Tapi
aku bukan Malin.

Tuban, 14 Januari 2012