Respon Dunia Muslim terhadap Perkembanga (1)

Respon Dunia Muslim terhadap Perkembangan Terakhir di
Timur Tengah
Diajukan sebagai Syarat untuk Memperoleh Nilai Formatif Mata Kuliah Politik
Islam Global

Disusun oleh:
Acep Saepudin

(11141130000001)

Adinda Nasution

(11141130000011)

Amelia Khairunnisaa

(11141130000012)

Darma Yunita

(11141130000025)


Delonic Rined Regiaravin

(111411300000)

Nur Aliyah

(11141130000020)

Putri Larasati

(11141130000043)

Dosen Pengampu:
Eva Mushoffa, MHSPS.

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Timur Tengah menjadi suatu kawasan yang sering dilanda konflik dan

selalu menjadi perhatian dunia. Bahkan konflik antara Palestina dan Israel hingga
saat ini belum menemukan jalan keluar ataupun sebuah resolusi damai. Lalu pada
tahun 2010, dunia mulai memusatkan kembali perhatiannya pada masalah yang
melanda banyak negara di Timur Tengah yaitu Arab Spring.
Arab Spring yang muncul pada 2010 di Tunisia menyebar begitu cepat
hingga mempengaruhi banyak negara-negara di Timur Tengah. Kekacauan akibat
dari Arab Spring pastinya memberikan dampak bagi dunia dan khususnya dunia
Islam. Aksi protes dan penuntutan untuk diterapkannya demokrasi dari
sebelumnya otoriter membuat perubahan bagi sistem politik beberapa negara di
Timur Tengah yang dilanda Arab Spring. Selain itu, Arab Spring juga
memberikan dinamika akan hubungan bagi negara-negara Muslim.

Munculnya kekacauan akibat Arab Spring menimbulkan respon bagi
negara-negara teluk yang tergabung di Gulf Cooperation Council (GCC), serta
negara-negara lain seperti Iran, Turki, Indonesia, Brazil, India, dan Afrika Selatan.
Respon dari negara-negara tersebut sangatlah beragam dan terkadang cukup
kontroversial serta berstandar ganda.
Dinamika dan berbagai macam masalah yang terjadi di Timur Tengah dari
konflik Israel dan Palestina hingga fenomena Arab Spring membuat penulis
tertarik untuk menulis makalah ini. Tulisan ini akan merangkum masalah yang
terjadi dari konflik Palestina-Israel dan masalah Arab Spring serta hubungannya
bagi keadaan di dunia Islam dan negara-negara lainnya dikaji dengan perspektif
konstruktivisme dan liberalisme.
2.

Pertanyaan Masalah

Apa dampak Arab Spring bagi dunia Islam dan dinamika hubungan bagi negara
negara lainnya?

BAB II
ISI

1. Dinamika Konflik Internasional di Palestina
Pada tahun 1948, Gaza dikuasai oleh Mesir, sedangkan Tepi Barat dikuasai
oleh Jordan, dan yang mendiami kedua wilayah tersebut adalah warga Palestina. 1
Pada tanggal 14 Mei 1948, kaum Zionis dari bangsa Eropa dan Yahudi
mendeklarasikan berdirinya negara Israel. Sehari setelah pendeklarasian tersebut,
negara Arab seperti Mesir, Irak, Lebanon, Suriah, dan Palestina menyerbu negara
Israel. Ini adalah awal konflik Israel-Palestina yang kemudian dimenangkan oleh
Israel.2
Pada tahun 1947-1949, pasukan Arab masuk dalam konflik ini setelah
adanya pembantaian yang dilakukan Israel di Deir Yassin, yang korbannya adalah
anak-anak, perempuan dan laki-laki. Pada akhirnya, Israel memperoleh 78 persen
wilayah Palestina yang menyebabkan tiga-perempat juta warga Palestina
mengungsi dan penghapusan hal-hal yang berkaitan dengan Palestina dengan
digantikan oleh nama-nama Ibrani.3
Perang yang terjadi antara Palestina dan Israel adalah perebutan otoritas
tanah yang keduanya mengklaim atas tanah tersebut. Perang yang terjadi pada
tahun 1967 disebut dengan Perang Enam Hari antara Israel dengan negara Arab
yaitu: Mesir, Yordania, dan Suriah. Konflik ini semakin meluas hingga
keterlibatan Bangsa Arab dan faktor pemicu konflik yaitu persoalan antara agama
Islam dan Yahudi.4 Israel merebut Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah Arab di

Yerusalem Timur dalam perang tahun 1967 dan secara sepihak mencaplok
Jerusalem Timur setelahnya.5
1

BBC, Guide: Why are Israel and the Palestinians Fighting over Gaza?,
http://www.bbc.co.uk/newsround/20436092, 2015.
2
Moh Hamli, Konflik Israel-Palestina: Kajian Historis atas Kasus Perebutan Tanah antara Israel
dan Palestina (1920-1993), http://digilib.uin-suka.ac.id/9529/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR
%20PUSTAKA.pdf, 2013.
3
BBC, Loc. Cit.
4
Moh Hamli, Loc. Cit.
5
Maryati, Korban Tewas Akibat Konflik di Palestina Capai Angka Tertinggi,
http://www.antaranews.com/berita/487532/korban-tewas-akibat-konflik-di-palestina-capai-angkatertinggi, 2015.

Pada tahun 1993, diadakan kesepakatan damai Oslo yang menyatakan
bahwa tanah tersebut merupakan tanah Palestina. Tetapi semakin banyaknya tanah

yang direbut oleh Israel membuat Palestina melakukan pemberontakan yang
disebut dengan “Intifada” yang dimulai pada akhir September 2000.6
Pada tahun 2005, Israel menarik pasukannya dari Gaza. Tetapi Hamas
muncul sebagai pemenang dari Pemilu dan berusaha mengendalikan situasi di
sana. Hamas menginginkan wilayah Palestina kembali ke tangan Israel. Kemudian
Israel melakukan blokade di jalur masuk dan keluar perbatasan. 7 Lalu
dilancarkanlah serangan yang beranama “Operation Cast Lead” yang berjalan
hingga sebulan penuh.8
Total korban kematian dari tahun 1987-2011 atas konflik Israel dengan
Palestina ini menewaskan 7978 orang dewasa dan 1620 anak di bawah umur 18
tahun yang merupakan warga Palestina. Serta menewaskan warga Israel sebanyak
1503 orang dewasa dan 142 anak di bawah umur 18 tahun.9
2. Konstruktivisme dalam Melihat Konflik Palestina-Israel
Ide utama dalam konstruktivisme terletak pada elemen penting dari politik
internasional yang merupakan produk dari keadaan sosial dan proses sejarah.
Ketika dalam situasi tertentu, keputusan yang dikeluarkan oleh aktor bertentangan
dengan rasionalitas konvensional, konstruktivisme memainkan peranan penting
dalam menentukan kepentingan melalui norma-norma dan identitas dari kelompok
etnis tertentu di dalam suatu negara.10 Oleh sebab itu, norma-norma dan identitas
tersebut akan membentuk dan menentukan perilaku negara di dalam sistem

internasional, karena aktor akan cenderung berperilaku sesuai dengan norma yang
disepakati bersama.
Dalam konteks konflik yang terjadi di Palestina, konstruktivisme melihat
bahwa konflik tersebut merupakan konflik identitas dan agama yang dibangun
6

A Synopsis of the Israel/Palestine Conflict, http://www.ifamericansknew.org/history/.
BBC, Loc. Cit.
8
Awal Mula Gejolak Konflik Israel-Palestina, http://global.liputan6.com/read/2078375/awalmula-gejolak-konflik-israel-palestina, 2014.
9
Moh Hamli, Loc. Cit.
10
Jackson & Sorensen, Introduction to International Relations, Oxford University Press, London,
1999, hlm. 307.
7

atas perbedaan sejarah, norma, dan keyakinan. Perbedaan norma agama yang
dipegang oleh Israel dan Palestina melahirkan identitas keagamaan yang berbeda
pula, sehingga akan mempengaruhi kepentingan masing-masing negara yang akan

mempengaruhi perilaku atau tindakan aktor. Menurut Campbell, munculnya suatu
ancaman disebabkan oleh diskriminasi dari masyarakat yang mengintimidasi
masyarakat lainnya, sehingga menciptakan batas antara masyarakat.11 Hal tersebut
tampaknya sesuai dengan awal mula konflik yang terjadi di Palestina di mana
pencaplokan wilayah yang dilakukan oleh Israel yang dibantu oleh sekutunya
Amerika Serikat dilakukan untuk mengintimidasi Palestina melalui serangan
udara maupun darat.
Persoalan

identitas

sosial

yang

dikandung

oleh

konstruktivisme


memainkan peran penting dalam konflik Israel-Palestina.12 Identitas sosial yang
berbeda diantara Israel dan Palestina merupakan hasil dari konstruksi sosial yang
melahirkan kepentingan dari kedua pihak sehingga segala kebijakan yang dibuat
oleh aktor akan dipengaruhi oleh identitas sosial yang berbeda tersebut.
Kepentingan-kepentingan yang dilahirkan melalui proses konstruksi sosial
membuat Israel berperilaku agresif ke Palestina agar bisa mencapai keinginannya
untuk memperluas wilayah Israel. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan norma,
identitas, kepentingan, dan perilaku aktor dapat dilihat jelas dalam konflik IsraelPalestina.
3. Respon Gulf Cooperation Council (GCC) terhadap Arab Spring
Revolusi besar-besaran yang terjadi beberapa tahun belakangan pada
negara-negara Timur Tengah merupakan peristiwa yang disebut sebagai Arab
Spring ataupun dalam bahasa Arab disebut sebagai al-Thawrat al-Arabiyyah. Hal
ini merupakan serangkaian peristiwa besar dari gelombang revolusi, demonstrasi,
dan protes yang pemicunya dimulai pada 18 Desember 2010 di Tunisia. Dalam
peristiwa ini beberapa penguasa diktator mendapatkan protes dan dipaksa untuk
menggulingkan jabatannya seperti yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya.
11

Campbell D., Writing Security: United States Foreign Policy and the Politics of Identity,

University of Minnesota Press, Minneapolis, 1998.
12
.Muyo Harve, Understanding of the Neorealist, Constructionist and Relative Deprivation
Theories: A Phenomenological Study of the Israeli-Palestinian Conflict with Practice
Application of Integrative Negotiation, Global Journals Inc, USA, 2015.

Bahrain dan Suriah juga tidak terlepas dari serangkaian peristiwa ini yang mana
muncul aksi pemberontakan oleh sipil. Di Irak, Yordania, Kuwait, Maroko, dan
Sudan juga banyak bermunculan aksi protes dalam skala besar. Sedangkan di Arab
Saudi dan Oman aksi protes juga terjadi tetapi dalam skala yang relatif kecil.13
Bergejolaknya serangkaian peristiwa tersebut menimbulkan kekhawatiran
negara-negara teluk yang tergabung dalam koalisi yang disebut sebagai Gulf
Cooperation Council (GCC). Hal ini karena, ada beberapa negara yang tergabung
dalam GCC juga menjadi bagian dari peristiwa Arab Spring tersebut. Sehingga
GCC yang terdiri dari Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman dan Uni Emirat
Arab merasa perlu berperan dalam menangani Arab Spring agar kekacauan
tersebut tidak menyebar luas ke negara mereka sendiri. GCC sendiri dibentuk
dengan memiliki tujuan yaitu menyatukan kebijakan-kebijakan sektor ekonomi,
pertahanan, dan luar negeri di kalangan anggotanya guna mewujudkan stabilitas
kawasan Teluk.14

Sebagai respon atas kekacauan Arab Spring, GCC melakukan tindakan
dengan memberikan bantuan kepada negara anggotanya yang dilanda kekacauan
tersebut seperti Bahrain dan Oman. Kedua negara tersebut mendapatkan bantuan
sebesar 20 juta dollar dari negara-negara sekoalisinya di GCC. Arab Saudi bahkan
memberikan investasi sebesar 130 juta dollar untuk menciptakan lapangan kerja,
pembangunan tempat tinggal, serta tunjangan untuk para pengangguran.15
Selain memberikan bantuan secara ekonomi, GCC juga melakukan cara
lain dalam mengatasi Arab Spring yang terjadi di Bahrain, yaitu dengan
melakukan intervensi militer. GCC menerima perintah dari Manama (Ibu Kota
Bahrain) untuk meredam aksi protes yang terjadi di seluruh Bahrain. Arab Saudi,
Uni Emirat Arab, Oman, dan Qatar bergabung mengirim angkatan militer mereka
untuk melakukan intervensi militer di Bahrain.16
Sedangkan di Oman, GCC tidak sampai melakukan tindakan intervensi
militer dikarenakan Oman mampu dengan baik mengelola tuntutan reformis dan
13

Ibrahim N. Abusharif, Parsing Arab Spring, Northwestern University, Qatar,
http://www.qatar.northwestern.edu/docs/2014-Parsing-Arab-Spring.pdf, 2014.
14
N. Janardhan, GCC Response to Arab Spring: Continuity Amidst Change,
https://www.alarabiya.net/articles/2011/07/18/158083.html, 2011.
15
Ibid.
16
Musthafa
Abd
Rahman,
GCC
Bela
Bahrain,
Iran
Jengkel,
http://internasional.kompas.com/read/2011/03/16/03323622/gcc.bela.bahrain.iran.jengkel, 2011.

protes demonstran. Kekacauan Arab Spring yang terjadi di Oman juga tidak
berlangsung terlalu lama yakni awal muncul pada bulan Januari dan berangsungangsur berhenti pada bulan Mei dengan upaya pemerintah Oman berupa
penciptaan lapangan kerja, pengubahan sepertiga dari anggota Dewan Menteri,
penaikan upah minimum, menjanjikan untuk melakukan pemilihan pada Oktober
2011,

menjanjikan

untuk

menyelesaikan

masalah

yang terkait

dengan

pengangguran dan korupsi, dan memutuskan untuk membentuk sebuah komite
konstitusional

bertugas

mengawasi

perluasan

kekuasaan

legislatif

dan

administratif Dewan Syura Omani yang terdiri dari 84 anggota.17
4. Respon Iran terhadap Arab Spring
Sebelumnya banyak pengamat yang mengira bahwa Iran akan bersikap
pasif dengan peristiwa Arab Spring tersebut. Namun mengingat bahwa Iran
pernah mengalami protes serupa pada tahun 2009, maka Iran pun merespon Arab
Spring dengan cukup aktif. Sayangnya, respon Iran terhadap Arab Spring
merepresentasikan dualitas yang terdapat dalam tubuh Iran sendiri.18
Di dalam negara Iran terdapat kelompok pemerintah, kelompok oposisi
yang konservatif, dan kelompok oposisi yang reformis. Pemerintah dan kelompok
konservatif Iran memandang Arab Spring sebagai suatu perluasan alamiah dari
revolusi Iran pada 1979. Saat itu, Iran berevolusi dari negara monarki di bawah
kepemimpinan Reza Pahlevi menjadi negara republik yang dipimpin oleh
Ruhollah Khomeini. Mereka juga beranggapan bahwa Arab Spring ialah sebuah
pergolakan yang tidak bisa dilepaskan dari motif ideologi dan agama. Mereka
mempercayai bahwa Arab Spring merupakan langkah awal negara-negara di
kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara untuk melepaskan diri dari pengaruh
Amerika Serikat.19

17

Abdulkhaleq Abdullah, Repercussions of the Arab Spring on GCC States, Arab Center for
Research and Policy Studies, http://english.dohainstitute.org/file/get/5b1fafdb-19d4-4946-a18ef3115c6fd0aa.pdf.
18
Kayhan Barzegar, Iran's Interests and Values and the Arab Spring,
http://belfercenter.ksg.harvard.edu/publication/20954/Irans_interests_and_values_and_the_arab_sp
ring.html.
19
N.R. Keddie, Arab and Iranian Revolts 1979‒2011: Influences or Similar Causes?,
International Journal of Middle East Studies, 44, 2012, hlm. 150‒152.

Di samping itu, kelompok reformis di Iran memandang Arab Spring
sebagai upaya pemenuhan hak-hak kebebasan serta usaha memperbaiki
perekonomian yang memburuk, pengangguran, kemiskinan, dan lain sebagainya
yang dikarenakan pemimpin diktator yang melakukan praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Jika kelompok konservatif memperbandingkan Arab Spring dengan
revolusi Iran tahun 1979, kelompok reformis justru mensejajarkannya dengan
“Green Revolution” sebagaimana yang dilakukan dalam pemilihan umum
parlementer Iran tahun 2009. “Green Revolution” itu sendiri merupakan protes
terhadap tuduhan kecurangan dalam Pemilu dan menyatakan dukungan kepada
calon oposisi Mir-Hossein Mousavi dengan simbol-simbol dukungan berwarna
hijau.20
Iran sangat mendukung mencuatnya “people power” di negara-negara
yang mengalami Arab Spring. Apalagi jika perlakuan rezim berkuasa
menyebabkan lebih banyak pertumpahan darah warga sipil. Namun di negara
lainnya seperti Suriah, Iran justru tidak mendukung protes terhadap pemerintahan
Suriah tersebut.21 Iran justru berpihak kepada pemerintah Suriah yang memang
sudah terbukti diktator. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan Iran
mendukung tindakan represif pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah, yaitu
faktor rasionalitas negara dan kepentingan nasional.22 Prinsip politik luar negeri
Iran lebih ditekankan pada kebencian terhadap Amerika Serikat dan Barat. 23
Selain itu, Suriah merupakan mitra strategis Iran sebagai penghubung Iran dengan
Hamas dan Hizbullah dan mitra dagang Iran yang pada Juli 2011 lalu sama-sama
menandatangani kerjasama perdagangan gas senilai $10 milyar.24
5. Respon Turki terhadap Arab Spring
Turki merupakan salah satu negara yang menjadi role model dalam hal
demokrasi. Kematangan demokrasi Turki salah satunya terlihat dari posisi Turki
20

Montefiore, All Revolutions Are Local, International Herald Tribune, 2011.
Ali Alfoneh, Middle Eastern Upheavals: Mixed Response in Iran, Middle East Quarterly, Vol.
18, No. 3, 2011, hlm. 35-39.
22
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional,
PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006.
23
Eva Patricia Rakel, The Iranian Political Elite, State and Society Relations, and Foreign
Relations since the Islamic Revolution, Duitsland, 2008.
24
Ibid.
21

sebagai negara yang menjadi kandidat anggota Uni Eropa. Turki juga aktif dalam
memberikan dukungan dalam bentuk retorik maupun pengawasan pemilihan
umum di kawasannya, terutama Balkan. Di bawah kepemimpinan Recep Tayyip
Erdogan, Turki juga konsisten memegang prinsip “zero problems with
neighbors”.25
Terlebih lagi, Turki turut andil dalam rangka demokratisasi di Afghanistan
dan Irak. Turki mengirim 1.799 pasukan dan mendanai sebesar 1.5 juta euro demi
mendukung NATO-ANA dalam menanggulangi Taliban. Turki pun kerap
mendanai Irak demi penegakkan Hak Asasi Manusia di Irak melalui International
Reconstruction Fund Facility for Iraq (IRFFI). Turki pun memiliki program yang
dinamakan “Istanbul Process” yang berfokus pada keamanan, demokratisasi,
stabilitas institusi, kesetaraan gender, konsensus sosial, pendidikan, masyarakat
sipil, dan transparansi.26
Untuk fenomena Arab Spring, Turki lebih memihak pada kubu yang protes
terhadap pemerintahan yang otoriter. Di Mesir, Erdogan ialah pemimpin negara
yang pertama meminta Presiden Hosni Mobarak untuk turun dari jabatannya. Di
Tunisia, Turki memilih untuk tetap diam sampai Ben Ali melarikan diri. Hal itu
dikarenakan Turki tidak mau bertindak gegabah yang nantinya dapat mengancam
kebijakan luar negeri dan hubungan bilateralnya dengan Tunisia.27
Turki lebih banyak diam dalam merespon Arab Spring di Libya. Turki
berfokus pada keselamatan ekspatriatnya di sana. Namun pada akhirnya, Turki
sepakat dengan NATO untuk menurunkan rezim Khadafi. Di Suriah, Turki merasa
dihadapkan pada situasi yang sangat rumit. Pada awalnya, Turki melakukan
pendekatan kepada rezim Bashar al-Assad dengan tujuan mereformasi rezimnya
menjadi demokratis. Namun setelah terjadinya pembantaian di Hama, Turki
mengirim perwakilannya untuk menyampaikan pesan bahwasanya Turki sudah
tidak bisa membendung amarahnya terhadap ketidakinginan rezim Assad untuk
bertransformasi.28
25

Ted Piccone dan Emily Alinikoff, Rising Democracies and the Arab Awakening: Implications
for Global Democracy and Human Rights, Brookings, 2012, hlm. 31.
26
Ibid., hlm. 32-33.
27
Ibid., hlm. 33-34.
28
Ibid., hlm. 35-36.

Seiring dengan sanksi yang diberikan oleh Liga Arab terhadap Suriah,
Turki pun mulai memberlakukan hal serupa kepada Suriah. Turki meningkatkan
tekanan

regional

dan

internasional

terhadap

administrasi

Suriah

dan

memberlakukan sanksi ekonomi serta skorsing untuk kerjasama strategis Turki
dengan Suriah. Pemerintah Turki akan memberlakukan semua itu sampai
kekuatan di Turki menjadi kekuatan administratif yang demokratis.29
Sedangkan di Bahrain dan Yaman, Turki seolah kehilangan minat untuk
memimpin proyek demokratisasi dan Hak Asasi Manusia. Namun Turki masih
berusaha untuk memediasi segala konflik yang terjadi di kedua negara tersebut.
Berkat peran Turki dan organ-organnya, Erdogan menjadi pemimpin yang paling
populer pada masa-masa Arab Spring.30
6. Respon Indonesia terhadap Arab Spring
Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai negara paling demokratis di
dunia. Uniknya lagi, demokrasi di Indonesia bernafaskan nilai-nilai Asia yang
masih kental dengan budaya timur, tidak seperti demokrasi Amerika Serikat yang
sangat liberal. Indonesia juga telah membuktikan konsistensi demokrasinya
dengan penolakan secara tegas terhadap junta militer serta diadakannya konsensus
terkait separatisme Timor Leste.31
Namun sejauh ini, kebijakan demokratisasi Indonesia berfokus pada
jangkauan regional. Hal itu dibuktikan dengan posisi Indonesia di ASEAN
sebagai negara yang paling mengedepankan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, Indonesia juga turut andil dalam penyambutan terhadap pemilihan
umum di Myanmar pada tahun 2010. Indonesia juga menjadi tuan rumah untuk
Bali Democracy Forum serta membentuk ASEAN Intergovernmental Commission
on Human Rights (AICHR).32
Dengan fakta tak terelakkan tentang demokrasi di Indonesia, negaranegara Arab yang mengalami Arab Spring menjadikan Indonesia sebagai “guru”
29

Ibid., hlm. 36.
Ibid., hlm. 37-38.
31
Ibid., hlm. 18-20.
32
Ibid., hlm. 19.
30

demokrasinya. Mesir pasca jatuhnya rezim Hosni Mubarak mendapatkan surat
dari Presiden Susilo Bambang Yuhoyono yang berisikan tentang pesan,
pandangan, dan rekomendasi Indonesia untuk demokrasi Mesir berdasarkan
pengalaman Indonesia. Selain itu, Indonesia juga diminta untuk mengawasi proses
pemilihan umum di Mesir.33
Di negara-negara lain yang terkena Arab Spring, Indonesia tidak bertindak
terlalu aktif, namun akan tetap membagikan ilmunya jika diminta. Di Tunisia,
Indonesia mengawasi berjalannya proses pemilihan umum setelah dimintai
pertolongan. Di Libya, Indonesia mengeluarkan pernyataan resmi bahwa PBB
harus menyelesaikan permasalahan Libya tanpa menggunakan kekerasan.
Indonesia bersama Turki juga menjadi partner untuk meredakan konflik di Libya
pada tahun 2011 sampai akhirnya Khadafi turun.34
Terhadap Arab Spring di Suriah, Indonesia tidak banyak berkomentar
sampai akhirnya terjadi peningkatan korban kekerasan. Indonesia meyakini bahwa
pendekatan dengan kekerasan tidaklah menyelesaikan masalah. Justru dialoglah
yang dapat menghasilkan solusi yang damai. Indonesia pun mendukung Human
Rights Council di Suriah pada Agustus 2011 dan Desember 2011.35
Dalam merespon Arab Spring di Bahrain dan Arab Saudi, Indonesia
bertindak lebih hati-hati. Hal tersebut dikarenakan banyak sekali tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di Bahrain dan Arab Saudi. Para warga negara Indonesia
tersebut haruslah dipastikan keamanannya, sehingga Indonesia tidak boleh
bertindak gegabah. Di samping menjamin keselamatan para tenaga kerja,
Indonesia juga tak ingin respon mereka terhadap Arab Spring di Bahrain dan Arab
Saudi akan merenggangkan hubungan ekonomi di antaranya.36
7. Respon Brazil terhadap Arab Spring
Brazil dalam konteks Arab Spring memiliki peran yang hampir tidak
terlihat karena pada saat itu Brazil lebih memilih soft way untuk menghadapi
33

Ibid., hlm. 20.
Ibid., hlm. 21.
35
Ibid.
36
Ibid., hlm. 21-22.
34

gejolak yang terjadi dibeberapa negara Arab dengan menerapkan prinsip nonintervensi terutama pada Mesir. Brazil yang memiliki kekuatan demokrasi serta
menjunjung Hak Asasi Manusia, di sisi lain memanfaatkan momen Arab Spring
demi citra Brazil di kalangan internasional. Ketika kepemimpinan Mubarok
lengser di Mesir, Brazil semakin menegaskan dukungannya terhadap

Mesir.

Bukan hanya perihal demokrasi, namun juga perihal kerja sama ekonomi.37
Ekonomi begitu sangat penting bagi Brazil di wilayah Afrika karena Brazil
menjadi negara terbesar ketiga di Afrika dalam hal kerjasama ekonomi secara
keseluruhan. Afrika pun menjadi wilayah terbesar yang menjadi konsumen bagi
Brazil.38 Akan tetapi, Brazil dianggap gagal karena ketika turun tangan menangani
konflik di Suriah, Brazil gagal dalam menyuarakan kedamaian dalam Security
Council di PBB.
8. Respon India terhadap Arab Spring
Sama halnya dengan Brazil, India dalam Arab Spring juga memanfaatkan
kekuatannya sebagai negara demokrasi untuk tampil di kalangan internasional
dengan tujuan menjunjung kedamaian internasional. India menggunakan prinsip
non-intervensi dalam menyikapi beberapa negara yang terlibat dalam Arab
Spring. India berusaha untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri Mesir dan
hal ini sebenarnya dianggap pasif oleh beberapa kalangan. Akan tetapi setelah
lengsernya kepemimpinan Mubarok, India dan Mesir membangun kerja sama
bilateral terutama dalam membantu Mesir berproses dalam transisi demokrasi
dinegaranya.39
Selain dengan Mesir, India pun berpartisipasi dalam vote di Security
Council PBB mengenai sanksi terhadap Libya, namun India memilih untuk tidak
mengambil langkah intervensi. Sama halnya ketika India diminta oleh PBB untuk
terlibat dalam intervensi yang akan dilakukan PBB dalam Human Rights Council
Resolution untuk mengakhiri pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
banyak terjadi di dalam konflik Suriah. India memilih abstain dalam persetujuan
37

Ibid., hlm. 4-10.
Ibid.
39
Ibid.
38

tersebut bersama beberapa negara lainnya seperti Angola, Bangladesh, Kamerun,
Filipina dan Uganda dan menempuh soft diplomacy demi kepentingan politik dan
ekonomis mereka di Suriah.40
9. Respon Afrika Selatan terhadap Arab Spring
Tidak seperti Brazil dan India, dalam menyikapi beberapa tragedi Arab
Spring terutama konflik yang terjadi di Libya, Afrika Selatan ikut menyetujui
resolusi

kedua

Security

Council

untuk

mengintervensi

Libya

dengan

menggunakan penyerangan dengan dalih menyelamatkan masyarakat sipil dan
menerapkan no-fly zone atau pelarangan penerbangan di kawasan Libya itu
sendiri.41 Dalam intervensi tersebut jelas NATO memiliki peran dalam tindakan
intervensi yang dilakukan, semangat NATO untuk melakukan intervensipun bukan
karena alasan kemanusiaan namun lebih kepada kepentingan pribadinya untuk
mengambil alih cadangan minyak negara itu kemudian melakukan destabilisasi
perusahaan minyak nasional serta akhirnya memprivatisasikan sumber minyak di
Libya.42
Namun dalam konteks Suriah, Afrika Selatan memilih abstain dalam
perundingan Security Council untuk melakukan intervensi terhadap Suriah. Akan
tetapi, sebelumnya Afrika Selatan telah melakukan pendekatan melalui dialog
dengan pemerintahan Suriah berkaitan dengan penerapan sistem demokrasi di
Suriah.

Afrika

Selatan

terus

melakukan

dialog

dengan

Suriah

agar

pemerintahannya mau menerapkan beberapa sistem demokrasi seperti multi-partai
dan segera melakukan reformasi. Langkah non-intervensi yang dipilih oleh Afrika
Selatan terhadap Suriah adalah karena Suriah telah menjadi eksportir minyak
seperempat di Afrika Selatan.43
Selain itu, tindakan Afrika Selatan hampir sama dengan di Mesir yaitu
melakukan non-intervensi. Lagi-lagi alasannya adalah karena kerja sama ekonomi
yang dijalin antara Afrika Selatan dengan Mesir melalui projek “Cape to Cairo”
dimana kedua negara tersebut akan melakukan integrasi ekonomi dengan 26
40

Ted Piccone dan Emily Alinikoff, Op. Cit., hlm. 6-10.
Ibid., hlm. 23-30.
42
Ibid.
43
DIRCO, South Africa is Concerned about the Situation in Syria, www.dfa.gov.za, 2011.
41

negara di Afrika Selatan dan akan menghasilkan pendapatan pertama sekitar 1
triliyun dolar AS.44
10. Dampak Arab Spring bagi Dunia Islam
Arab Spring pada khususnya memberikan dampak ekonomi dan politik
bagi dunia Islam. Dampak ekonomi dapat terlihat di Yaman yang pasca Arab
Spring mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan kemiskinan. Kendati
pemerintahan dan lansekap demokratis sudah terbentuk, krisis ekonomi membuat
proses Yaman dalam menuju kesejahteraan menjadi terhambat.45
Arab Spring juga menimbulkan beberapa perubahan dalam dinamika
perpolitikan dunia Arab akibat tuntutan-tuntutan yang dituntut oleh pihak yang
melakukan protes. Di satu sisi, Arab Spring membawa angin segar bagi negaranegara muslim bahwasanya Islam dan demokrasi itu berniscaya untuk saling
beriringan. Di sisi lain, pada praktiknya, Arab Spring justru menunjukkan
kegagalan demokrasi dalam dunia Islam. Seperti misalnya di Mesir, sentimen
Islamis, militer, dan sekuler-liberal justru makin terpecah. Lalu di Libya, Yaman,
dan Suriah, pasca Arab Spring semakin menunjukkan perpecahan sektarian dan
tribalisme.
11. Liberalisme dalam Memandang Fenomena Arab Spring
Manusia

diberikan

akal

sehingga

manusia

tersebut

yang

akan

menggerakan dirinya sendiri apakah ia ingin melakukan kejahatan atau kebaikan
yang akan berdampak pada moralitas yang nyata dan ideal. Manusia diberikan
kebebasan untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan kebebasan yang
semestinya agar bisa mempengaruhi orang lain untuk bertindak baik pula.46
Berdasarkan perspektif liberalisme, institusi perdamaian yang ditawarkan
oleh Immanuel Kant demi mencapai dan menjaga perdamaian telah dicoreng oleh
pemerintahan Bashar Al-Assad. Salah satu institusi tersebut yaitu konstitusi setiap
negara harus berbentuk republik dan diharapkan negara dengan sistem republik
akan memberikan peluang untuk terciptanya perdamaian yang semakin besar
44

South Africa Departement of Trade and Industry, Statistic by Country, www.thedti.gov.za.
Apriadi Tamburaka, Revolusi Timur Tengah, Narasi, Yogyakarta, 2011, hlm. 9.
46
Immanuel Kant, Perpetual Peace and Other Essays, Hackett Publishing, Indianapolish, 1983,
hlm. 7.
45

karena kebijakan politiknya akan ditentukan oleh kehendak warga negaranya,
bukan menurut kehendak seorang diktator.47
Seharusnya rakyat Suriah mendapatkan kebebasan untuk menjalankan
kehidupannya agar dapat menciptakan perdamaian yang tentunya diinginkan oleh
semua orang di dunia. Negara yang berperan sebagai aktor utama untuk menjaga
perdamaian telah gagal menciptakan perdamaian untuk warga negaranya. Negara
yang

mewakili

kepentingan

masyarakat

sudah

seharusnya

menciptakan

perdamaian dan memberikan kebebasan kepada individu untuk menyuarakan
aspirasinya.

47

Ibid., hlm. 13.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Respon dunia Muslim terhadap perkembangan terakhir di Timur
Tengah begitu beragam. Dimulai dari dinamika konflik internasional di
Palestina yang tensinya terus mengalami naik turun sampai perkembangan
konstelasi politik di Timur Tengah pasca revolusi dunia Arab (Arab
Spring) yang terjadi sejak akhir 2010. Respon negara-negara teluk yang
tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC) serta Iran, Turki,
Indonesia, Brazil, India, dan Afrika Selatan sangat beragam dalam
menelihat fenomena Arab Spring. Dampak yang dihasilkan dari Arab
Spring merembet pada sektor ekonomi dan politik yang tentunya
menghasilkan sisi positif dan negatifnya yang berbeda-beda di setiap
negara.
Teori Konstruktivisme yang digunakan untuk melihat konflik
internasional di Palestina menunjukan adanya perbedaan-perbedaan dari
aspek norma serta nilai-nilai yang dianut oleh Israel dan Palestina yang
berbenturan melahirkan perbedaan identitas yang berujung pada perbedaan
kepentingan.

Melalui

perbedaan

kepentingan

tersebutlah

sangat

mempengaruhi perilaku aktor dalam bertindak. Sementara itu,

Suriah

sebagai salah satu negara yang terkena dampak Arab Spring, dilihat dari
teori Liberalisme menunjukkan adanya pelanggaran-pelanggaran HAM
yang terjadi d isana. Rakyat Suriah sudah seharusnya secara lahiriah
mendapatkan kebebasan seperti yang dicita-citakan oleh kaum liberalis.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan E-book
Campbell, D. 1998. Writing Security: United States Foreign Policy and the
Politics of Identity. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Jackson & Sorensen. 1999. Introduction to International Relations. London:
Oxford University Press.
Kant, Immanuel. 1983. Perpetual Peace and Other Essays. Indianapolish: Hackett
Publishing.
Montefiore. 2011. All Revolutions Are Local. International Herald Tribune.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2006. Pengantar
Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Piccone, Ted dan Emiliy Alinikoff. 2012. Rising Democracies and the Arab
Awakening: Implication for Global Democracy and Human Rigths.
Brookings.
Rakel, Eva Patricia. 2008. The Iranian Political Elite, State and Society Relations,
and Foreign Relations since the Islamic Revolution. Duitsland.

Jurnal dan Artikel Ilmiah
Abdullah, Abdulkhaleq. “Repercussions of the Arab Spring on GCC States”,
dalam Paper of Arab Center for Research and Policy Studies. Diakses
pada

29

November

2016,

pukul

20:25

WIB,

dari

http://english.dohainstitute.org/file/get/5b1fafdb-19d4-4946-a18ef3115c6fd0aa.pdf
Abusharif, Ibrahim N. 2014. “Parsing Arab Spring”, dalam Occasional Paper
Series. Qatar: Northwestern University. Diakses pada tanggal 29

November

2016,

pukul

20:00

WIB,

dari

http://www.qatar.northwestern.edu/docs/2014-Parsing-Arab-Spring.pdf
Alfoneh, Ali. 2011. Middle Eastern Upheavals: Mixed Response in Iran, dalam
Middle East Quarterly, Vol. 18, No. 3.
Barzegar, Kayhan.

Iran's Interests and Values and the Arab Spring.

http://belfercenter.ksg.harvard.edu/publication/20954/Irans_interests_and_
values_and_the_arab_spring.html.
Dikshit, Sandeep. 2011. India Can Help Build Democracy in Arab World. Diakses
pada tanggal 30 November 2016, pukul 06:00 WIB, dari dalam
www.thehindu.com.
DIRCO. 2011. South Africa is Concerned about the Situation in Syria. Diakses
pada tanggal 30 November 2016, pukul 21:30 WIB, dari www.dfa.gov.za.
Hamli, Moh. 2013. Konflik Israel-Palestina Kajian Historis atas Kasus Perebutan
Tanah antara Israel dan Palestina (1920-1993). Diakses pada tanggal 30
November

2016,

pukul

18:30

WIB,

dari

http://digilib.uin-

suka.ac.id/9529/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf.
If Amerincans Knew. A Synopsis of the Israel/Palestine Conflict. Diakses pada 30
November

2016,

pukul

19:00

WIB,

dari

http://www.ifamericansknew.org/history/.
Janardhan. 2011. GCC Response to Arab Spring: Continuity Amidst Change.
Diakses pada tanggal 29 November 2016, pukul 20:15 WIB, dari
https://www.alarabiya.net/articles/2011/07/18/158083.html
Keddie, N.R. 2012. “Arab and Iranian Revolts 1979-2011: Influences or Similar
Causes?”, dalam International Journal of Middle East Studies, 44.
Muyo, Herve. 2015. “Understanding of the Neorealist, Constructionist and
Relative Deprivation Theories: A Phenomenological Study of the IsraeliPalestinian Conflict with Practice Application of Integrative Negotiation”,

dalam Global Journals Inc, Volume 15, Issue 7, Version 1.0. USA: Nova
Southeastern University.
Saidy, Brahim. 2014. GCC’s Defense Cooperation: Moving towards Unity.
Diakses

pada

29

November

2016,

pukul

20:20

WIB,

dari

http://www.fpri.org/article/2014/10/gccs-defense-cooperation-movingtowards-unity/
Slaughter, Anne-Marie. 1995.

“Liberal International Relations Theory and

International Economic Law”, dalam American University Journal of
International Law and Policy No. 1.
South Africa Departement of Trade and Industry. Statistic by Country. Diakses
pada

tanggal

30

November

2016,

pukul

21:35

WIB,

dari

www.thedti.gov.za.

Berita
BBC. 2015. Guide: Why are Israel and the Palestinians fighting over Gaza?.
Diakses pada tanggal 30 November 2016, pukul 18:45 WIB, dari
http://www.bbc.co.uk/newsround/20436092.
BBC Indonesia. 2015. Kebakaran di Israel Berhasil Diatasi, Palestina Membantu
Padamkan Api. Diakses pada tanggal 30 November 2016, pukul 18:50
WIB, dari http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38132745.
Hidayat, Fikria. 2012. Ingat, 1.477 Bocah Palestina Telah Tewas!. Diakses pada
tanggal

30

November

2016,

pukul

18:40

WIB,

dari

http://internasional.kompas.com/read/2012/11/19/13043985/Ingat.1.477.B
ocah.Palestina.Telah.Tewas.
Liputan 6. 2014. Awal Mula Gejolak Konflik Israel-Palestina. Diakses pada
tanggal

30

November

2016,

pukul

18:50

WIB,

dari

http://global.liputan6.com/read/2078375/awal-mula-gejolak-konflik-israelpalestina.

Maryati. 2015. Korban Tewas Akibat Konflik di Palestina Capai Angka Tertinggi.
Diakses pada tanggal 30 November 2016, pukul 18:35 WIB, dari
http://www.antaranews.com/berita/487532/korban-tewas-akibat-konflikdi-palestina-capai-angka-tertinggi.
Rahman, Musthafa Abd. 2013. GCC Bela Bahrain, Iran Jengkel. Diakses pada 29
November

2016,

pukul

20:19

WIB,

dari

http://internasional.kompas.com/read/2011/03/16/03323622/gcc.bela.bahra
in.iran.jengkel