FILM BANYUMAS SEBAGAI VIDEOGRAFI BUDAYA (1)

FILM BANYUMAS SEBAGAI VIDEOGRAFI BUDAYA DALAM PENGAJARAN
BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING DI PURWOKERTO
Teguh Trianton dan Septi Yulisetiani
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Email: [email protected] dan [email protected]

Abstrak: Artikel ini menjelaskan mengenai keberadaan Film Banyumas sebagai videografi
budaya untuk mengenalkan budaya Banyumas dalam pengajaran BIPA di Purwokerto.
Pengajaran BIPA tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman budaya Indonesia. Dalam konteks
pengajaran BIPA di Banyumas, yang dimaksud pemahaman budaya adalah pemahaman nilainilai kearifan lokal yang dianut dan berkembang pada masyarakat Banyumas. Pengenalan
budaya lokal dilakukan dengan menggunakan film Banyumas yang berperan sebagai videografi
budaya.
Kata kunci: Film Banyumas, Videografi Budaya, Pengajaran BIPA

A. Pendahuluan
Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) sebenarnya telah ada
sejak masa orde baru. Pengajaran BIPA dimulai darr negeri. Jepang merupakan negara
yang intens mendalami bahasa Indonesia. Tahun 1969 mendirikan Nihon-Indonesia
Gakkai atau Perhimpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Jepang. Anggota organisasi ini
terdiri dari kalangan akademisi Jepang yang mengajar bahasa dan berbagai aspek
tentang Indonesia di berbagai Universitas di Jepang. Sejarah pengajaran bahasa

Indonesia di Jepang tidak lepas dari sejarah berdirinya Tokyo University of Foreign
Studies (Tokyo Gaikugo Daigaku). Universitas yang didirikan pada tahun 1899 ini mulai
mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris
pada tahun 1922. Diikuti 3 tahun kemudian oleh Universitas Tenri yang mulai
mengajarkan bahasa Indonesia pada tahun 1925 (Mulyana, 2000, Alwi, 2011).
Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1991 menyelenggarakan Seminar BIPA.
Seminar ini merupakn respon positif terhadap perkembangan Bahasa Indonesia
tersebut. Tahun 1994 melalui forum internasional bertajuk Konferensi Internasional
Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIP-BIPA). Forun KIP-BIPA yang
pertama digelar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga pada Januari
1994. Namun kebijakan Pengajaran BIPA secara khusus, baru dibahas dalam Kongres
Bahasa Indonesia V tahun 1988, kemudian tahun 1993, dan tahun 1998 (Alwi, 2011).
Berbagai topik persoalan dikaji dan dibahas dalam forum ilmiah tersebut. Mulai
dari persoalan kurikulum, metode, bahan ajar, sampai persoalan sistem evaluasi
pengajaran BIPA. Persoalan tersebut dibahas dalam berbagai perspektif dan konteks
yang beragam, mengikuti perkembangan peradaban, teknologi informasi, dan
dinamika sosial. Hingga saat ini, ihwal pengajaran BIPA terus mengalami
perkembangan.
Salah satu persoalan yang mengemuka adalah mengenai keberhasilan
pengajaran BIPA. Keberhasilan pengajaran BIPA dapat dilihat dari dua aspek. Aspek

pertama adalah aspek kompetensi kebahasaan. Aspek yang kedua adalah pemahaman
1

budaya dalam berkomunikasi. Kompetensi kebahasaan dapat dilihat dari kualitas
keterampilan pemelajar dalam menyimak, membaca, menulis, dan berbicara.
Sementara aspek kedua menjadi anasir penentu penguasaan keterampilan berbahasa
untuk berkomunikasi.
Belajar bahasa sesungguhnya adalah upaya mempelajari kebudayaan tertentu.
Oleh karena itu, pemahaman budaya mutlak diperlukan dalam upaya pengajaran
keterampilan bahasa sebagai alat komunikasi. Seorang penutur bahasa kedua akan
mengalami persoalan dalam komunikasi dengan penutur asli bahasa tersebut. Ini
terjadi lantaran, setiap tindak komunikasi yang menggunakan bahasa, mensyaratkan
pemahaman konteks sosial budaya penutur bahaa tersebut. Semakin tinggi
pemahaman pemelajar terhadap budaya tertentu semakin minim terjadi gegar budaya
yang dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, dibutuhkan bahan ajar dan
media pengajaran BIPA yang efektif menumbuhkan pemahaman budaya tertentu.
Pengajaran BIPA tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman budaya Indonesia.
Budaya Indonesia terbentuk oleh puncak-puncak budaya daerah. Dalam konteks
pengajaran BIPA di Banyumas, yang dimaksud pemahaman budaya adalah
pemahaman nilai-nilai kearifan lokal yang dianut dan berkembang pada masyarakat

Banyumas. Oleh karena itu, untuk mendukung keberasilan pengajaran BIPA,
dibutuhkan bahan dan media untuk mengenalkan budaya Banyumas dalam pengajaran
BIPA.
Salah satu bahan dan media yang efektif untuk mengenalkan budaya Banyumas
dalam pengajaran BIPA adalah videografi budaya. Videografi budaya yang dimaksud
adalah film Banyumas, yaitu film-film karya sineas muda Banyumas yang konsisten
mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
B. Pembahasan
Sebagai media komunikasi massa, film mempunyai beberapa peran dan fungsi
dalam masyarakat. McQuail (1987:3) merumuskan empat fungsi film, yaitu; (1) sebagai
sumber pengetahuan yang menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi
masyarakat dan dunia, gambaran dan citra realitas sosial, film juga menyuguhkan nilainilai dan penilaian normatif yang dibaurkan dengan hiburan. (2) Sebagai sarana
sosialisasi dan pewarisan nilai-nilai, norma-norma dan kebudayaan, (3) sebagai
wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan
bentuk seni dan simbol, melainkan juga dalam pengertian pengemasan tata cara,
mode, gaya hidup dan norma-norma, dan (4) sebagai sarana hiburan dan pemenuhan
kebutuhan estetika.
Dengan fungsi tersebut, film seperti menampilkan kenyataan (yang
direkonstruksi terlebih dahulu) layaknya realitas yang sesungguhnya terjadi. Film dapat
menjadi cermin mengenai kondisi sosial-budaya masyarakat yang ditampilkannya.

Seperti seorang pengajar di sebuah kelas yang acapkali membangun narasi untuk
menyuguhkan sepotong informasi pada audien, film juga merekonstruksi nilai-nilai
budaya dan menghadirkannya kembali dalam bentuk narasi cerita. Rekonstruksi
informasi yang dilakukan penajar di kelas tidak bebas nilai, setali tiga uang dengan film
yang mereproduksi realitas melalui sistem tanda yang juga tidak bebas nilai.

2

Hubungan film dan budaya bersifat timbal balik. Sama halnya dengan
komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang.
Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun
turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Film dan
budaya pun saling mempengaruhi. Di satu pihak, film sebagaimana media massa pada
umumnya merupakan cerminan kondisi masyarakat dimana media massa itu berada.
Nilai, norma dan gaya hidup yang berlaku pada masyarakat akan direproduksi dalam
film. Namun di pihak lain, film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai subtantif yang
dianut oleh masyarakat (Mulyana, 2004:107; Fiske, 2006).
1. Film sebagai Produk Budaya
Film adalah media untuk menyampaiakn pesan, bercerita dan berekspresi.
Seperti halnya karya sastra (novel, cerpen, drama, teater), di dalam film juga terdapat

cerita, adegan (scene), dialog, kejadian, konflik, tokoh, penokohan, dan setting. Salah
satu keunggulan film adalah mampu memvisualisasikan berbagai karakter manusia
sehingga dengan mudah dapat mengintervensi atau mempengaruhi pikiran penonton.
Di sinilah terlihat betapa film memiliki efektifitas dalam menanamkan nilai-nilai moral
sebagai bagian dari aspek pendidikan karakter bangsa.
Pada dasarnya, film (dalam konteks media massa) lewat sajian yang selektif dan
penekanan pada tema-tema tertentu akan menciptakan kesan (imaji) tertentu pada
penonton. Artinya, media massa, termasuk film, berkuasa mendefisinikan normanorma budaya masyarakat.
Budaya adalah tentang keberadaan (distinctiveness) kelompok-kelompok sosial
yang memberikan mereka identitas. Kebudayaan merupakan batasan (norma) dalam
hidup manusia. Di dalamnya terdapat respons manusia terhadap masyarakat atau
lingkungannya, dan dunia secara umum.
Kebudayaan oleh Koentjaraningrat (2009) disyaratkan memiliki tujuh unsur
esensial, yaitu bahasa, sebagai perwujudan budaya yang digunakan untuk
berkomunikasi. Kemudian sistem pengetahuan, sistem organisasi kemasyarakatan,
sistem peralatan hidup, dan teknologi. Berikutnya, sistem mata pencaharian, sistem
religi, upacara keagamaan, dan terahir adalah kesenian.
Kesenian merupakan unsur budaya yang mengacu kepada estetika yang berasal
dari ekspresi hasrat manusia. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi,
manusia menghasilkan berbagai corak kesenian, mulai dari yang sederhana hingga

perwujudan kesenian yang kompleks, termasuk film. Dengan demikian, film
merupakan salah satu produk budaya yang di dalamnya memuat nilai-nilai budaya
tertentu sehingga dapat memberikan pemahaman konteksutal mengenai tatacara
masyarakat setempat dalam melakukan interaksi dan komunikasi.
2. Film Banyumas sebagai Videografi Budaya
Film Banyumas merupakan salah satu genre film indie yang berkembang di
Indonesia. Film indie merupakan film yang dibuat dengan biaya murah, dana terbatas,
teknologi sederhana oleh pencipta film amatir atau non-komersil. Meski demikian, film
indie merupakan karya sinematografi yang berfungsi sebagai cultural education. Ini
dapat terjadi lantaran film bukan semata-mata barang dagangan melainkan alat

3

penerangan dan pendidikan. Dengan demikian film juga efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai budaya (Amura, 1989: 132).
Nilai strategis film tidak hanya berperan sebagai hiburan, film berpotensi jadi
media edukasi, yang dapat mengomunikasikan pesan kebudayaan secara efektif,
bahkan mampu mempengaruhi perilaku seseorang. Inilah yang menjadi salah satu
spirit bagi para sineas pelajar di Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Banjarnegara yang
terus berkreasi dengan memproduksi film indie. Film karya mereka mampu berbicara

di berbagai kancah festival film regional dan nasional. Bahkan dengan membawa isu
kearifan lokal Banyumas beberapa film diantaranya pernah diputar pada ivent
perfilman tingkat internasional. Beberapa film karya sineas Banyumas yang telah
mendulang berbagai penghargaan yaitu film berjudul Peronika (2004) dan Senyum
Lasminah (2005), Pigura (2010), Kado Suket (2010), Endhog (2010) dan lain-lain.
Yang menarik dari geliat perkembangan dunia sinematografi banyumas adalah
keajekan (konsistensi) dalam mengangkat tema, wacana, dan budaya lokal. Konsistensi
itu pula yang menggiring film garapan sineas (film maker) Banyumas selalu mendapat
apresiasi dan penghargaan dalam ajang festival. Lokalitas isu telah dipilih sebagai
mainstream film-film Banyumas. Itu terlihat dari keajekan tema yang diusung.
Secara garis besar, keajekan film Banyumas dapat dilihat dari empat arus besar
tema. Pertama, penggunaan Bahasa Banyumas. Bahasa adalah salah satu unsur
penting untuk membangun plot. Kedua, setting atau latar film. Ketiga, atribut
(aksesoris) pendukung berupa simbol, ikon, dan indeks, yang muncul dalam scene.
Ketiganya dipadu dengan konflik-konflik sederhana namun mengena. Tema kehidupan
masyarakat kelas bawah itulah, anasir keempat yang mempertegas keajekan film
Banyumas (Trianton, 2008).
Konsistensi isu dalam film Banyumas menjadi menarik. Mengingat khasanah
budaya Banyumas saat ini mulai memudar, tergerus arus budaya asing. Di hadapan
pergeseran nilai budaya, posisi budaya lokal saat ini cenderung termarginalkan.

Keajekan pada unsur–unsur budaya lokal menjadi trademark film Banyumas.
Seperti halnya karya seni lain (teater, cerpen, novel, puisi, lukis dan musik) film
tidak lahir atas kekosongan budaya. Terdapat interdependensi antara film dan budaya
atau masyarakat (Mulyana, 2004). Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman, menyebutkan bahwa film diarahkan antara lain untuk pelestarian dan
pengembangan budaya bangsa, peningkatan kecerdasan bangsa, pengembangan
potensi kreatif di bidang perfilman, dan penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan
norma-norma kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Budaya dapat mempengaruhi (inspirasi) film dan pada gilirannya film juga
mempengaruhi budaya. Sebagai produk budaya, keberadaan film Banyumas
menyimpan potensi sebagai media domunetasi budaya atau videografi budaya
(cultural videography). Videografi merupakan media komunikasi yang cukup efektif
dalam rangka pelestarian dan perayaan keragaman budaya lokal. Sehingga, videografi
sangat efektif sebagai media informasi, persuasi, dokumentasi, internalisasi nilai
budaya, dan wadah berekspresi, serta berapresiasi.
Sebagai videografi budaya, film Banyumas memiliki fungsi antara lain; pertama,
merekam dan mengabadikan varian-varian budaya lokal untuk memperkaya literatur
budaya nasional. Kedua, media informasi untuk mempromosikan (mengkampanyekan)

4


keragaman budaya lokal. Ketiga, sebagai ruang apresiasi, dan pilihan alternatif untuk
mem presentasikan pesan-pesan moral tentang perlunya menghargai
multikulturalisme.
3. Film Banyumas sebagai Bahan Ajar BIPA
Film dalam praktek komunikasi bisa dikatakan sebagai sebuah pesan yang
disampaikan kepada komunikan. Sedangkan makna tidak terdapat pada pesan
melainkan pada penerima pesan. Padahal efektifitas komunikasi memiliki standar yang
beragam, ia dapat diukur dengan cara berbeda-beda tergantung apa tujuan dari proses
komunikasi itu sendiri. Bagaimana tanda itu dipersepsi oleh penerima atau interpretasi
sehingga terjadi komunikasi yang efektif (Irawanto, 2004; Alex, 2006)
Film sebagai karya seni terbukti memiliki kemampuan kreatif. Ia mempunyai
kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap
realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah realitas yang dibangun oleh
pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau unsur-unsur budaya yang terdapat di
dalam masyarakat. Atau sebaliknya, realitas rekaan yang ditampilkan dalam film
kemudian menjadikan sebuah bentukan ’budaya’ yang diikuti oleh penonton
(Sumarno, 1996: 29).
Oleh sebab itu, dalam konteks penenalan budaya Banyumas, keberadaan film
karya sineas muda Banyumas dapat dijadikan alternatif bahan pemelajaran unsur

budaya setempat melalui pengajaran BIPA. Kemudian, agar film Banyumas yang
berfungsi sebagai videografi budaya lokal tersebut dapat digunakan sebagai bahan dan
media pengajaran BIPA, maka diperlukan subtitle (teks terjemahan) pada setiap dialog
yang muncul pada scene (adegan). Subtitle dapat dibuat sesuai dalam bahasa
Indonesia dan bahasa asal peserta pengajaran BIPA.
Dengan memahami anasir budaya setempat, maka para pelajar dan
mahasiswa asing yang tengah mengikuti program pengajaran BIPA dapat menguasai
konteks sosial budaya dalam praktek berkomunikasi sehair-hari. Dengan demikian,
keberhasilan pengajaran BIPA dapat tercapai.
C. Simpulan
Pembelajaran BIPA merupakan proses yang kompleks karena melibatkan
banyak aspek yang saling berkaitan. Salah satu persoalan yang mengemuka adalah
mengenai keberhasilan pengajaran BIPA. Keberhasilan pengajaran BIPA dapat dilihat
dari dua aspek. Aspek pertama adalah aspek kompetensi kebahasaan. Aspek yang
kedua adalah pemahaman budaya dalam berkomunikasi. Kompetensi kebahasaan
dapat dilihat dari kualitas keterampilan pemelajar dalam menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara. Sementara aspek kedua menjadi anasir penentu penguasaan
keterampilan berbahasa untuk berkomunikasi.
Pengajaran BIPA tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman budaya Indonesia.
Dalam konteks pengajaran BIPA di Banyumas, yang dimaksud pemahaman budaya

adalah pemahaman nilai-nilai kearifan lokal yang dianut dan berkembang pada
masyarakat Banyumas. Untuk mendukung keberasilan pengajaran BIPA, maka
pengenalan budaya dapat dilakukan dengan menggunakan film Banyumas yang
berperan sebagai videografi budaya.

5

DAFTAR REFERENSI
Alwi, Hasan. 2011. Butir-Butir Perencanaan Bahasa, Kumpuln Makalah Hasan Alwi. (Ed.
Moeliono, dkk.). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Amura. 1989. Perfilman Indonesia dalam Era Baru. Jakarta: Lembaga Komunikasi
Massa Islam Indonesia.
Denis McQuail. 1996. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga.
Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies. Cetakan ke-3. Bandung:
Jalasutra.
Irawanto, Budi. 1999. Film, Ideologi, dan Militer; Hagemoni Militer dalam Sinema
Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. (Revisi. cet. IX) Jakarta: Rineka
Cipta.
Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyana, Yoyo. 2000. Menata Model Mengajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang
Mendunia. Mimbar Pendidikan. Bandung: University Press, UPI.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi, cetakan ketiga. Bandung. PT. Remaja
Rosdakarya.
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT.Gramedia.
Trianton, Teguh. 2008. Nativisme dalam Film Indie Banyumas. Semarang. Harian Pagi
Suara Merdeka edisi 17 April 2008.

Makalah ini dipresentasikan dalam Konferensi BIPA Tahunan (Ke-BIPA-an I) Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, Sabtu, 14 Mei 2016 dan dimuat dalam Prodising.

6