Akulturasi Islam dengan kebudayaan aceh

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aceh merupakan sebuah negeri yang terletak di ujung paling barat
Indonesia atau di sebelah barat pulau Sumatra. Menurut sejarah disinilah Islam
diperkenanlkan, pada tahun 1345 M, negeri ini telah pula dikunjungi oleh
seorang pelaut dari maroko yaitu ibnu batutah. Ketika mereka sampai di Aceh
pada masa itu, mereka melihat bahwa penduduk negeri Aceh telah memeluk
agama Islam dan kerajaan yang terkenal dengan nama kerajaan Islam
Samudera Pasai yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Sultan Malik
Al-Lahir. Pada abad ke-15, Aceh telah menjadi salah satu dari lima kerajaan
Islam terbesar di dunia. Di antaranya : Kerajaan Islam Turki Ustmaniyah di
Istanbul, Kerajaan Islam Maroko di Afrika utara, kerajaan Islam Isfahan di
Timur Tengah, Kerajaan Islam di India, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam
di Asia Tenggara.1
Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar
abad ke-13 Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh
pada bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad
ke-13 Masehi di Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7

Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara sudah melakukan
hubungan dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur
Tengah. Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara
berasal dari Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa oleh para saudagar ke
Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu.2

1

Muhammad AR, Akulturasi Persaudaraan Islam Model Dayah Aceh, (Kementrian
Agama RI, 2010), hal. 2
2
Ibid : hal. 4

1

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan
norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama
lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, ada dua hal yang perlu
diperjelas: Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas

budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut
dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya
disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau lokal tradition (tradisi lokal)
atau juga Islami Cate, bidang-bidang yang “Islami”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin asli Islam yang permanen, atau
setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar.
Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan
dan syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak
umat Islam. Tradisi kecil (tradisi lokal, Islami) adalah realm of influencekawasan-kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition).
Tradisi lokal ini mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian
budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia,
dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.3
Dalam istilah lain proses akulturasi dan asimilasi antara Islam dan
budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius,
yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif
terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan
baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa
pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara
lain: mampu bertahan terhadap budaya luar, mempunyai kemampuan
mengakomodasi


unsur-unsur

budaya

luar,

mempunyai

kemampuan

mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli dan memilliki
kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya. 4
3
4

Ibid : hal. 5
Ibid : hal. 12


2

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks
inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat
Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak
otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian
terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini
kemudian melahirkan “Akulturasi dan Asimilasi budaya”, antara Islam dan
budaya Aceh.5

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses masuknya Islam ke Aceh ?
2. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan ?
3. Bagaimana keragaman kebudayaan Aceh ?
4. Apa pengertian akulturasi dan asimilasi ?
5. Bagimana akulturasi Islam dengan kebudayaan Aceh ?
6. Bagimana asimilasi Islam dengan kebudayaan Aceh ?


5

Antony Reid, Menuju Sejarah Sumatra Antara Indonesia dan Dunia, (Jakarta : Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal. 380-382

3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Proses Masuknya Islam ke Aceh
Proses masuknya agama Islam ke Aceh dapat diketahui dari berbagai
sumber sejarah diantaranya :
1. Bukti dari dalam Aceh
Bukti dari dalam daerah Aceh itu sendiri yaitu berdirinya Kerajaan
samudra pasai, tepatnya di daerah Aceh. Kerajaan Samudra Pasai tercatat
dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama. Mengenai awal dan
tahun berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi
menurut pendapat dikatakan bahwa sebelum Samudra Pasai berkembang,
sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureulak (Perlak) pada

pertengahan abad ke-9. Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan,
tetapi setelah keamanannya tidak stabil maka banyak pedagang yang
mengalihkan kegiatannya ke tempat lain yakni ke Pasai, akhirnya Perlak
mengalami kemunduran.6
Dengan kemunduran Perlak, maka tampillah seorang penguasa
lokal

yang

bernama

Marah

Silu

dari

Samudra

yang


berhasil

mempersatukan daerah Samudra dan Pasai, dan kedua daerah tersebut
dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudra Pasai. Kerajaan Samudra
Pasai terletak di Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan
dengan Selat Malaka. 7
Dengan posisi yang strategis tersebut, Samudra Pasai berkembang
menjadi kerajaan Islam yang cukup kuat, dan di pihak lain Samudra Pasai
berkembang sebagai Bandar transito yang menghubungkan para pedagang
Islam yang datang dari arah barat dan para pedagang Islam yang datang
dari arah timur. Keadaan ini mengakibatkan Samudra Pasai mengalami
6
7

A. Hasymy , “Izhharul Haq” (Banda Aceh : 2008), hal. 56
Ibid : hal. 57

4


perkembangan yang cukup pesat pada masa itu baik dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya.8
a) Kehidupan Politik
Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu
bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah
tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang
musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo,
melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa
raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh
wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu
Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 –
1326). Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang
juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini
pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab.
Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batulah seorang utusan dari
Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan
pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India
dan patihnya bergelar Amir. Pada masa selanjutnya pemerintahan
Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan

Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang
begitu jelas.9
b) Kehidupan Ekonomi
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai
berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan
demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat
Malaka. Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas
pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain. Samudra

8
9

Ibid : hal. 57
Ibid : hal. 65

5

Pasai berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Malik alTahir II. Hal ini juga sesuai dengan keterangan Ibnu Batulah.
Menurut cerita Ibnu Batulah, perdagangan di Samudra Pasai
semakin ramai dan bertambah maju karena didukung oleh armada laut

yang kuat, sehingga para pedagang merasa aman dan nyaman
berdagang di Samudra Pasai. Komoditi perdagangan dari Samudra
yang penting adalah lada, kapur barus dan emas. Digunakan untuk
kepentingan perdagangan sudah dikenal uang sebagai alat tukar yaitu
uang emas yang dinamakan Deureuham (dirham).
c) Kehidupan Sosial Budaya
Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa dampak pada
kehidupan sosial, masyarakat Samudra Pasai menjadi makmur. Di
samping itu juga kehidupan masyarakatnya di warnai dengan semangat
kebersamaan dan hidup saling menghormati sesuai dengan syariat
Islam. Hubungan antara Sultan dengan rakyat terjalin baik. Sultan
biasa melakukan musyawarah dan bertukar pikiran dengan para ulama,
dan Sultan juga sangat hormat pada para tamu yang datang, bahkan
tidak jarang memberikan tanda mata kepada para tamu. Samudra Pasai
mengembangkan sikap keterbukaan dan kebersamaan. Salah satu bukti
dari hasil peninggalan budayanya, berupa batu nisan Sultan Malik alSaleh dan jirat Putri Pasai, dengan memadukan budaya Islam dengan
budaya India.10
2. Bukti dari luar Aceh
a) Berita Arab
Para pedagang arab darang ke Aceh sejak zaman Sriwijaya

(abad ke 7) dan menguasai jalur perdagangan wilayah Indonesia
bagian barat.

10

Ibid : hal. 66

6

b) Berita Marco Polo
Dalam perjalanan tugas kembali ke Eropa menuju cina, Marco
Polo singgah di Sumatra bagian utara. Di daerah tersebut ia
menemukan kerajaan Islam, yaitu kerajaan samudra dengan ibu
kotanya pasai.
3. Saluran Penyiaran Islam di Aceh
a) Perdagangan : melalui pedagang –pedagang Arab, Persia dan Gujarat,
maka masyarakat Indonesia mengenal Islam.
b) Perkawinan : adanya pedagang-pedagang yang menetap mendirikan
perkampungan maka sebagian dari mereka menikah dengan wanitawanita Indonesia.
c) Pendidikan : adanya/didirikannya pondok-pondok pesantren (dayah)
maka menampung pemuda dari berbagai daerah untuk menimba ilmu
agama Islam.
d) Dakwah : pemuda yang sudah tamat dari pesantren, mulai berdakwah
menyebarkan ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
e) Kesenian : melalui pertunjukkan Seudati, Rapa’I, Saman dan seni
PMTOH ( cerita yang disampaikan oleh seorang penyair Aceh yang
berisikan kisah para rasul ) maka Islam disebarkan oleh para teungku
atau mubaliqh.
B. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan Berasal dari kata sansekerta “buddhayah”, yang
merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi” yang berarti budi atau akal.
Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan budhi atau akal. Culture merupakan istilah bahasa asing
yang sama artinya dengan kebudayaan11, berasal dari kata latin “colere” yang
berarti mengolah atau mengerjakan. Kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan
11

Desy Anwar, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, (Surabaya : Amelia, tampa tahun),

hal.73

7

artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat12, dan kemampuankemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Adapun
budaya adalah tindakan atau kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyrakat
yang yang masih ada nilai adat istiadatnya. Sedangkan budaya menurut
Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia
dengan belajar. Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan
yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani,
bertukang, berrelasi dalam masyarakat adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak
saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran
yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja dan
pandangan hidup. Pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial
bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap
Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka
memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.
Dapat disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan Islam timbul dari
proses interaksi manusia dengan kitab (Al-Qur’an) yang diyakini sebagai hasil
daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup
pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
C. Keragaman Kebudayaan Aceh
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki
aneka ragam budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan
dan perayaan/kenduri. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terdapat
delapan sub suku yaitu Suku Aceh, Gayo, Alas, Aneuk Jamee, Simeulu,
Kluet, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis mempunyai budaya yang
sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Suku Gayo dan Alas merupakan
12

Adat Istiadat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan,
norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah yang
mengikuti pasang naik atau pasang surut situasi masyarakat.

8

suku yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah dan Aceh
Tenggara.13
Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang
melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh
berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem
kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar
masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang.
Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom
yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.14
Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh
karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur
masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Corak
kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun
telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni tari
yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan seudati
tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab, seperti yang
banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara,
perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam bentuk
hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.15
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang
berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus
(dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain
itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui
dengan dongeng.16
Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat
Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan
bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara
Aji Purnomo, “Kebudayaan Aceh”, di akses dari http://4jipurnomo's.Blog.htm.com.
pada tanggal 07 November 2013 Pukul 15:20 WIB
13

14

Zakaria Ahmad, Petunjuk Singkat Meseum Negeri Aceh, (Banda Aceh : Konikklijk
Instituut, 1982), hal. 24-26
15
Ibid : hal. 26
16
Ibid : hal. 28

9

lain tari saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan
rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan,
penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan
dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian
bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang
juga tidak terlupakan dari masa ke masa.17
D. Pengertian Akulturasi dan Asimilasi
1. Pengertian Akulturasi
Akulturasi adalah sebuah Penerimaan atau pengambilan satu atau
beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau lebih
kebudayaan yang saling berhubungan dan saling bertemu. Sedangkan
menurut Koentjaraningrat, Akulturasi merupakan proses sosial yang timbul
apabila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing sedemikian rupa
sehingga unsur-unsur kebudayaan itu lambat laun diterima dan diolah ke
dalam kebudayaannya, tanpa menghilangkan sifat khas kepribadian
kebudayaan asli.18 Proses akulturasi dapat berjalan sangat cepat atau lambat
tergantung persepsi masyarakat setempat terhadap budaya asing yang
masuk. Apabila masuknya melalui proses pemaksaan, maka akulturasi
memakan waktu relatif lama. Sebaliknya, apabila masuknya melalui proses
damai, akulturasi tersebut akan berlangsung relatif lebih cepat.19
a) kontak kebudayaan yang menimbulkan proses akulturasi
Bentuk-bentuk dari kontak kebudayaan yang menimbulkan proses
akulturasi diantaranya:
1) Kontak dapat terjadi antara seluruh masyarakat, antara bagian-bagian
saja dari masyarakat, dapat pula antara individu-individu dari dua
kelompok.
17

Ibid : hal. 30
Koentjaraningrat, “Pengertian Akulturasi Menurut Para Ahli”, di akses dari
http://pardonsimbolon.blogspot.com , pada tanggal 01 November 2013 Pukul 14:10 WIB
19
Muhammad AR, op. cit. hal 12-13
18

10

2) Kontak dapat pula terjadi antara golongan yang bersahabat dan
golongan yang saling bermusuhan
3) Kontak dapat pula timbul antara masyarakat yang menguasai dan
masyarakat yang dikuasai, secara politik dan ekonomi
4) Kontak kebudayaan dapat terjadi antara masyarakat yang sama besar
ataupun berbeda besarnya.
5) Kontak kebudayaan dapat terjadi antara aspek-aspek yang materil dan
non materil dari kebudayaan yang sederhana dengan yang kompleks,
dan antara kebudayaan yang kompleks dengan yang kompleks juga.
2. Pengertian Asimilasi
Asimilasi adalah proses sosial tingkat lanjut yang timbul apabila
terdapat golongan-golongan manusia yang mempunyai latar belakang
kebudayaan yang berbeda-beda, saling berinteraksi dan bergaul secara
langsung dan intensif dalam waktu yang lama, dan kebudayaan-kebudayaan
golongan tersebut masingmasing berubah sifatnya yang khas menjadi unsurunsur kebudayaan yang baru, yang berbeda dengan aslinya. Sedangkan
menurut Koentjaraningrat, Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi
pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari
unsur – unsur kebudayaan golongan – golongan itu masing – masing
berubah menjadi unsur – unsur kebudayaan campuran.20 Asimilasi terjadi
sebagai usaha untuk mengurangi perbedaan antarindividu atau antar
kelompok guna mencapai satu kesepakatan berdasarkan kepentingan dan
tujuan-tujuan bersama. Menurut Koentjaraningrat, proses asimilasi akan
timbul apabila ada kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan saling
berinteraksi secara langsung dan terusmenerus dalam jangka waktu yang
lama, sehingga kebudayaan masing-masing kelompok berubah dan saling
menyesuaikan diri. Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga
persyaratan berikut:
20

Koentjaraningrat, op.cit. di akses tanggal 01 November 2013 Pukul 14:10 WIB

11

a. terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
b. terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan
dalam waktu yang relatif lama.
c. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan
menyesuaikan diri.
Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan
bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok.
Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
a) Syarat Asimilasi
Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut.
1) Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda.
2) Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan
dalam waktu yang relatif lama.
3)

Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan
menyesuaikan diri.

b) Faktor-faktor yang mendorong atau mempermudah terjadinya
asimilasi adalah sebagai berikut
1) Toleransi di antara sesama kelompok yang berbeda kebudayaan
2) Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi
3) Kesediaan menghormati dan menghargai orang asing dan kebudayaan
yang dibawanya.
4) Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan universal
6) Perkawinan antara kelompok yang berbeda budaya
c) Faktor penghalang terjadinya asimilasi
Faktor-faktor umum yang dapat menjadi penghalang terjadinya
asimilasi antara lain sebagai berikut :
1) Kelompok yang terisolasi atau terasing (biasanya kelompok minoritas)
2) Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan baru yang dihadapi

12

3) Prasangka negatif terhadap pengaruh kebudayaan baru. Kekhawatiran
ini dapat diatasi dengan meningkatkan fungsi lembaga-lembaga
kemasyarakatan
4) Perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada
kebudayaan kelompok lain. Kebanggaan berlebihan ini mengakibatkan
kelompok yang satu tidak mau mengakui keberadaan kebudayaan
kelompok lainnya.
E. Akulturasi Islam dengan Kebudayaan Aceh
Akulturasi sebagai suatu proses sosial yang timbul manakala suatu
kelompok manusia dengan budaya tertentu dihadapkan dengan unsur dari
suatu budaya luar. Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh
budaya Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya
yang berlaku. Seperti Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati,
seudati inong. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab,
seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat
upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra dalam
bentuk hikayat yang bernuansa Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.21
Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang
berasimilasi. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih),
dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu
dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui
dengan dongeng.
Di dalam perjalanannya, suatu budaya memang lazim mengalami
perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak budaya di suatu daerah
berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak
dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar.
Hubungan antara para pendukung dua budaya yang berbeda dalam waktu
yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya
pihak pemberi dan penerima.
21

Zakaria Ahmad, Op.Cit. hal. 24-26

13

Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua budaya yang
bertemu tersebut. Mula-mula unsur-unsurnya masih dapat dikenali dengan
mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada
dalam kebudayaan induknya. Pertemuan dan akulturasi antara Islam dan
budaya Aceh terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Tidak
dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan
tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Faktor
pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan budaya
pemberi dan penerima. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid,
Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil
budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga
terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu dipikirkan bagaimana
pengembangannya pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya
materi memang harus dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan
kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan
kearifan-kearifan budaya yang sudah ada.
F. Asimilasi Dalam Budaya Aceh
Setiap

bangsa

mempunyai

corak

kebudayaan

masing-masing.

Kekhasan budaya yang dimiliki suatu daerah merupakan cerminan identitas
daerah tersebut. Aceh memiliki banyak corak budaya yang khas. Kebudayaan
juga merupakan warisan sosial yang yang hanya dapat dimiliki oleh
masyarakat yang mendukungnya. 22
Hal itu terjadi karena sebelum Islam masuk ke Aceh, kehidupan
masyarakat Aceh sudah dipengaruhi oleh unsur hindu. Setelah Islam masuk
unsur-unsur hindu yang bertentangan dengan Islam dihilangkan, namum
tradisi yang dinilai tidak menyimpang tetap dipertahankan. Semua kota-kota
hindu tersebut setelah Islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan

22

Aboe bakar Atjeh dalam makalahnya pada seminar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II,
Agustus 1972.

14

itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya
Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan Ulim dengan Meurah Dua), reruntuhan
di Ladong. Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas
reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal
sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya
kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.
Asimiliasi adat dan budaya itulah kemudian melahirkan budaya adat
dan budaya Aceh sebagaimana yang berlaku sekarang. Sebuah ungkapan
bijak dalam hadih maja disebutkan, “Mate aneuék meupat jeurat, gadoh adat
pat tamita.”23 Ungkapan ini bukan hanya sekedar pepatah semata. Tapi juga
pernyataan yang berisi penegasan tentang pentingnya melestarikan adat dan
budaya sebagai pranata sosial dalam hidup bermayarakat. Adat dan
kebudayaan juga mewariskan sebuah hukum non formal dalam masyarakat,
yakni hukum adat yang merupakan hukum pelengkat dari hukum yang
berlaku secara umum (hukum positif). Disamping tunduk kepada hukum
positif, masyarakat juga terikat dengan hukum dan ketentuan adat.
Aceh memiliki kekhasan tersendiri dalam hukum adat dengan
berbagai lembaga adatnya yang sudah ada semenjak zaman kerajaan. Hukum
adat tersebut telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam, sehingga sukar
dibedakan antara hukum dan adat itu sendiri.24 Seperti tercermin dalam hadih
maja, hukôm ngôn adat lagèë zat ngôn sifeut, syih han jeut meupisah dua.25
Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat
pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat.
Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa
hadih maja

23

26

seperti adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala,

Bahasa Aceh yang artinya mati anak tahu dimana dikuburkan, hilang adat kemana mau

dicari.
24

A. Hasmy, 59 Tahun Aceh Di Bawah Pemerintahan Ratu,(Jakarta : Bulan Bintang,
1976), hal. 45
25
Bahasa Aceh yang artinya hukum dengan adat sperti zat dengan sifat, yang tidak bisa
dipisahkan kedua-duanya.
26
Hadih maja adalah ajaran atau doktrin atau kata-kata berhikmat dari orang-orang tua

15

kanun bak Putrôe Phang, reusam bak Lakseumana27 (hukom ngon adat lagee
dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata
puteh).28 Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari
perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh.
Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekkah,
Semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. 29

27

adat bak Poteu Meurohôm (pemegang kekuasaan politik/adat adalah sultan), hukom
bak Syiah Kuala (pemegang kekuasaan hukum adalah ulama), kanun bak Putrôe Phang
(pemegang kekuasaan pembuat Undang-undang adalah putri pahang sebagai lambang dari rakyat),
reusam bak Lakseumana (yaitu segala peraturan yang dibuat oleh pimpinan angkatan perang pada
waktu negara dalam bahaya atau dalam keadaan perang)
28
Hukum dengan adat seperti zat dengan sifat dan hukum adat tidak bisa dipisahkan
seperti mata hitam dengan mata putih
29
Ibid : hal. 123

16

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara
mulai berkenalanan dengan “ tradisi ” Islam, meskipun frekuensinya tidak
terlalu besar. Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para
saudagar Muslim di beberapa tempat di Asia Tenggara. Daerah yang
pertama kali menjadi tempat masuknya Islam di kepulauan Indonesia
adalah di pantai Aceh, karena tempat ini merupakan tempat strategis
sebagai persinggahan para saudagar muslim, dan disamping berdagang
juga menyiarkan agama Islam.
2. Proses masuknya agama Islam ke Aceh pada umumnya ialah berdagang
dan menyiarkan agama Islam sejarahnya dapat diketahui dari berbagai
sumber sejarah diantaranya yaitu bukti dari dalam dan dari luar Aceh. Dari
dalam yaitu berdirinya Kerajaan samudra pasai, tepatnya di daerah Aceh,
Sumatra. Kerajaan Samudra Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan
Islam yang pertama di Aceh. Sedangkan bukti dari luar Aceh yaitu para
pedagang arab darang ke Aceh sejak zaman Sriwijaya (abad ke 7) dan
menguasai jalur perdagangan wilayah Indonesia bagian barat, dan dalam
perjalanan tugas kembali ke Eropa menuju cina, Marco Polo singgah di
Sumatra bagian utara. Di daerah tersebut ia menemukan kerajaan Islam,
yaitu kerajaan samudra dengan ibu kotanya pasai.
3. Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya budaya dan
kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan.
Namun,

tetap

dengan

ciri-ciri

tersendiri.

Hasil

akulturasi

juga

memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan
kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap
kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas
warisan-warisan budaya Indonesia. Hal ini perlu dikemukakan dan
ditekankan,

mengingat

banyak

warisan

budaya

yang

terancam
17

keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian
masyarakat Aceh sendiri.

18