Sepenggal Kisah di Tanah Munti
Sepenggal Kisah di Tanah Munti
Sebelumnya tak pernah terbayangkan akan berada di tempat ini,
Muntigunung, Tianyar Barat, Kubu, Karangasem, Bali. Saya harus berada di
tempat dan orang-orang yang benar-benar asing buatku. Terbiasa dengan
suasana di Lombok yang mayoritas muslim dan situasi yang damai karena
berada diantara keluarga. Tetapi ada sedikit rasa lega saat mengetahui
rekan-rekan kerja satu kontrakan di Muntigunung adalah orang dari Lombok
semua. Mendengar apa yang harus saya lakukan di Muntigunung yaitu
mendampingi proses pembuatan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah) dan pelaksanaannya berdasarkan potensi yang dimiliki warga
atau singkatnya memberdayakan masyarakat melalui potensi yang ada di
sekitar mereka memberikan ketertarikan tersendiri buatku. Hal tersebut
merupakan tugas yang sangat luar biasa menurutku dan otomatis akan
memiliki banyak tantangan. Kesempatan ini sangat ingin saya manfaatkan
sebagai momen untuk mengembangkan jiwa social saya yang selama ini
masih sangat minim, belajar berkomunikasi dengan masyarakat dengan
harapan suatu saat nanti saya dapat mewujudkan cita-cita yang pernah
kuukir ketika SMA dulu, seorang sosiolog. Bisa jadi ini menjadi kesempatanku
juga untuk mengabdi pada negara kita, Indonesia (tidak harus mengajar di
sekolah sesuai gelar sarjanaku). Saat kembali ke Lombok nanti, bisa
mempraktekkannya di masyarakat tempat tinggalku dan dengan dukungan
kedua orang tuaku, membuat semuanya lengkap.
Now, I’m here. Pertama kali mendengar nama Muntigunung, saya
membayangkan daerah ini berada di antara banyak gunung, dengan jalan
yang seadanya. Tetapi, jika memang berada di gunung, kenapa tidak ada air?
Itulah pertanyaan yang muncul pertama kali di benak saya. Ketika sampai di
lokasi (Muntigunung) 19 Juli 2014, kesan pertama saya adalah gelap, Karena
saya sampainya pada malam hari. Bertemu langsung dengan teman-teman
kerja di kontrakan, sedikit meramaikan suasana sepi sejak memasuki wilayah
Kubu. Sepi dan gelap, begitulah pemandangan pertamaku di sini. Orang-
orang dikontrakan akan menjadi keluarga keduaku, belajar saling mengerti
dan menghargai satu sama lain untuk bisa saling berbagi. Kesan kedua saat
naik langsung (bahasa untuk ke Muntigunung adalah “naik”) bersama pak
Zainal dan Kak Yani ke daerah Muntigunung atau Munti adalah “Panas”.
Apalagi saat itu sedang dalam keadaan berpuasa (Bulan Ramadhan) jadi
terasa benar-benar sangat panas. Padahal itu merupakan kelompok yang
masih berada paling bawah yang akan saya damping di Munti (Bukit Catu),
dehidrasipun melanda.
Seorang fasilitator menurut bayangan saya itu seperti penunjuk arah,
sedangkan saya sendiri merasa belum tahu apapun tentang seorang
fasilitator. Fasilitator untuk pemberdayaan masyarakat merupakan hal baru
yang sangat ingin saya dalami dengan harapan kelak saya bisa memberikan
kontribusi di tempat saya sendiri.
Warga munti rata-rata sangat ramah, buktinya saja mereka selalu
senyum ramah ketika bertemu meskipun belum kenal. Perkenalan pertama
sebagai fasilitator di kelompok Bukit catu bersama pak Zainal dan kak Yani.
Keberadaan
saya
sebagai
fasilitator
menggantikan
fasilitator
yang
sebelumnya telah menikah mengundang berbagai pertanyaan dari warga,
salah satunya apakah saya juga akan menikah setelah sebulan memfasilitasi
kelompok dan tidak diberikan kembali ke munti lagi? Saya jawab InsyaAllah
tidak seperti itu, karena belum ada rencana menikah dalam waktu dekat.
Fasilitasi yang dilakukan pak Zainal di bukit catu memberikan banyak
gambaran kepada
saya bagaimana
menjadi seorang fasilitator yang
sebelumnya saya tidak terlalu mengerti. Gambaran yang saya dapatkan itu
adalah bahwa kita mendampingi dan memfasilitasi mereka untuk membuat
perencanaan pembangunan kelompok dalam jangka menengah. Memberikan
warga gambaran mengenai potensi yang mereka miliki untuk dapat
mengembangkan kehidupan mereka ke depannya.
Dalam proses fasilitasi saya merasa agak kesulitan, selain factor
bahasa yang tidak saya mengerti (Bahasa Bali), lokasi yang segalanya
berbeda dengan Lombok menjadi pemandangan baru buat saya; anjing yang
berkeliaran dan menggonggong selalu menyambut kedatangan kami, dan
banyak babi yang kebetulan sebelumnya tidak saya temui ketika di Lombok.
Semua hal baru ini menjadi tantangan yang harus bisa dilewati dengan baik.
Petualangan dimulai.
Setelah mengetahui salah satu kelompok dampingan saya, yaitu bukit
catu,
Kak
Yani
(Sri
Handayani)
mengajak
saya
keliling
kelompok
dampingannya keesokan harinya. Beberapa hari sebelum ke Muntigunung,
saya mendapatkan informasi mengenai kondisi di wilayah Muntigunung.
Warganya yang jarang di rumah karena memilih kerja ke luar seperti
Denpasar atau Badung. Banyak anak yang putus sekolah, cuaca yang panas
seperti salah satu wilayah kering di Lombok, akses jalan kesana yang rusak,
dan yang paling mengerikan dipikiranku adalah tidak adanya air yang
menyebabkan warga buang air besar sembarangan. Kebayang bagaimana
warga yang hidup jauh dari air padahal nama tempatnya saja ada kata
“gunung”-nya, yaitu Muntigunung.
Saat berkeliling ke kelompok kak Yani, saya masih merasa baik-baik
saja. Kondisinya tidak seburuk yang kubayangkan. Pemandangan yang indah
dapat dinikmati dari gunungan tempat tinggal warga, terpikir bagaimana
kalau musim hujan ya? Pasti pemandangannya akan lebih menarik. Jalan
yang kering dengan debu yang sangat tebal, melewati sungai kering dan
kebun mente yang daunnya sudah mulai berkurang, benar-benar sangat
tandus.
Kami mampir di rumah salah seorang pengurus kelompok. Rumah yang
bagus untuk di tempat setandus ini, pikirku. Debu yang ada diteras rumah
itu, kandang sapi dan babi yang tak jauh dari rumah dengan bau khasnya
membuatku bertanya pada kak Yani, “apakah rata-rata warga seperti ini?”.
“iya, rata-rata seperti ini” kata kak Yani. Dalam hati aku berteriak, “apa
susahnya mereka membersihkan rumah dan kandang agar tidak sekotor
ini?”. Pengurus kelompok tersebut mengatakan kalau dia sedang sibuk dan
belum bisa memberikan kepastian waktu untuk melakukan pertemuan
menyusun draf RPJM. Hal tersebut disebabkan karena ada konflik antara
warga dan pak ketuanya, sementara dia tidak berani melangkahi keputusan
ketua kelompoknya. Di sepanjang perjalanan aku melihat warga dengan
tubuh penuh debu dan anak-anak yang berlumuran debu berlarian, aku
bergumam “ya Allah, sekering inikah tempat ini sampai tidak ada cukup air
untuk membersihkan diri mereka sendiri atau setidaknya anak-anak kecil
itu?”. Selain itu, setiap bertemu dengan warga harus senyum dan bilang
“sugro”. Aku agak risih dengan ini apalagi saat warga tidak meresponnya. Ini
akan menjadi saat yang tepat untuk berlatih menjadi lebih ramah.
Berkeliling ke kelompok dampinganku ditemani pak Zainal, dimulaai
dari kelompok Desa. Saat itu, sedang ada acara otonan anaknya pak Made
Tatua. Sudah menjadi hal yang biasa warga meminum tuak sampai mabuk
saat ada upacara atau acara. Seperti itu pula di rumah pak Made Tatua yang
lebih akrab dipanggil dengan pak Tatua. Pak Tatua bersama warga yang
lainnya sedang dalam keadaan teler. Teringat pesannya pak Bagus, beliau
mengatakan jangan heran jika melihat kaum laki-laki di sana kumpul mabuk
atau sabung ayam. Karena itu sudah menjadi kebiasaan mereka, tidak
seperti di Lombok. Saat datangpun langsung digonggong anjing di rumah
pak
Tatua.
Sebelumnya
aku
memiliki
pengalaman
yang
kurang
menyenangkan dengan anjing, jadi masih parno kalo ada anjing apalagi
sampai dikejar atau diikuti. Belum lagi saat melihat babi yang terikat
dibelakang sanggahnya, besar, kotor, dan tidur di atas kotorannya. Dalam
hati merasa jijik, tapi harus terlihat biasa saja dan tidak menghiraukan hal
tersebut sambil berkata dalam hati, “ini hanya karena aku belum terbiasa
melihat hal seperti ini”, dan tersenyum.
Sambutan tuan rumahnya sangat baik, meskipun dalam keadaan
mabuk mereka tetap bersikap sopan, hanya saja sedikit lebih cerewet dari
biasanya. Dan itu tidak menjadi masalah buatku. Aku diperkenalkan oleh pak
Zainal, agak kerepotan juga sih berbicara dengan orang yang sedang mabuk,
mereka tak henti-hentinya berbicara. Aku Cuma senyam-senyum dan
mengangguk saja, hahaha.
Di kelompok Tegal Suci berkunjung dan berkenalan dengan I Made
Cedang dan isterinya. Responnya cukup baik, dan pertanyaan yang samapun
muncul saat aku yang akan menjadi pendamping pengganti Heny, adiknya
kak Yani. “Jangan-jangan besok sebulan nikah lagi yang ini”, Tanya Made
Cedang. Aku Cuma bisa jawab, “InsyaAllah tidak secepat itu”. Made Cedang
dan isterinya terlihat kompak, apalagi saat dengar cerita pak Zainal
mengenai
bagaimana
Made
Cedang
yang
sangat
antusias
dengan
kedatangan teman-teman dari Mitra Samya.
Selanjutnya berkunjung ke kelompok Tegentegenan, tepatnya ke
rumah pak Jero Keweh, tetapi beliau sedang tidak ada di rumah. Setelah itu
ke rumahnya pak Made Ngampiag. Pak Ngampiag merupakan salah seorang
kader di kelompoknya. Di rumah pak Ngampiag aku melihat sapi diberi
makan dengan daun kayu jati yang direbus dan diberi garam. Sapi pak
Ngampiag gemuk sekali dengan memakan pakan itu. Katanya pak Ngampiag
sudah membuat WC, dan itu yang ingin dilihat oleh pak Zainal. Pak
Ngampiag terlihat malu-malu menunjukkan wc-nya. Saat pak Zainal terus
bertanya,”wc dimana? Katanya sudah buat, saya mau lihat dong”. Pak
Ngampiag dengan malu menjawab, “di sana, jauh. Gak usah dah dilihat,
nanti saja”. Tetapi pak Zainal tetap memaksa ingin melihatnya. Pak
Ngampiagpun tidak bisa mengelak lagi. Kami mengikutinya dari belakang
untuk melihat dimana wc yang sudah dibuatnya. Berjalan ke belakang
rumahnya menuju kebun mente di bawah rumah pak Ngampiag. Tak sabar,
pak Zainal bertanya lagi,”dimana sih wc-nya?”. Pak Ngampiag menunjukkan
ember berwarna putih yang tergantung di pohon mente, “ini tempatnya”.
“oh, ini tempat cuci tangannya, bagus ini. Terus tempat BAB-nya dimana?”
Tanya pak Zainal lagi. Pak Ngampiag berjalan lagi ke bawah, kamipun
mengikuti karena semakin penasaran. Kenapa tempat cuci tangannya jauh
dari tempat BAB. Pak Ngampiag berhenti berjalan dan menunjuk ke arah
bawah sambil berkata, “itu dia tempat BAB-nya”. Kami menoleh ke arah
bawah
sambil
bertanya
lagi,
“yang
mana
wc-nya?”.
Pak
Ngampiag
menunduk dan mengambil kerikil kemudian melemparkannya ke dua buah
batu besar yang tertanam di bawah sana. “itu tempat BAB-nya?”. Tanya pak
Zainal dengan nada heran. “iya, di sana” jawab pak Ngampiag polos. Aku tak
dapat menahan senyum sambil bergumam, itu bukan wc kalau BAB di sana
tetap saja namanya BABS. Pak Zainalpun sedikit tertawa dan menjelaskan
resiko buang air besar sembarangan.
Kelompok
Bais
Enjung
merupakan
satu-satunya
kelompok
dampinganku yang masuk ke wilayah muntigunung tengah. Di kelompok ini
banyak anggota kelompoknya yang memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan
ada yang sampai pendidikan S2. Sedangkan kelompok yang paling paling
banyak warganya adalah kelompok Asah.
Saat ikut sangkep di kelompok tegal suci, aku melihat warga yang
sangat patuh pada awig-awig kelompoknya. Setiap warga yang tidak ikut
sangkep membayar denda kepada kelompok, dimana denda tersebut akan
menjadi uang kas kelompok mereka. Saat purnama, semua warga yang
tinggal di luar muntigunung akan pulang melakukan upacara.
Sehingga
momen purnama menjadi lebih ramai dari hari biasanya karena setiap warga
yang dimana saja akan pulang ke rumahnya di muntigunung.
Seperti yang telah disampaikan oleh pak Joni, di Muntigunung terdapat
36 kelompok yang terbagi dalam 4 dusun, yaitu 7 kelompok di muntigunung
induk, 7 kelompok di muntigunung tengah, 7 kelompok di muntigunung
timur dan 15 kelompok di muntigunung barat. Kelompok dampinganku
kebanyakan berada di muntigunung induk dan memiliki akses jalan yang
jauh lebih baik daripada teman-teman pendamping yang lain.
Di waktu lain, aku ikut berkunjung ke kelompok dampingan kak Edie,
namanya Tangkuujuk. Jalannya subhanallah, jelek banget. Katanya jalan ke
kelompok ini cukup ekstrim, dengan jalan yang penuh dengan batu dan jalan
menanjak. Aku Cuma bisa bilang, “wow, jalannya rusak sekali”. Sampai di
rumah pak Jero Srianti selaku ketua kelompok, kami disambut sangat baik.
Wajah teduh Jero Srianti menambah keramahannya. Setiap kali mampir di
rumah pengurus kelompok disuguhkan teh atau kopi. Begitu juga di rumah
Jero Srianti. Beliau mengatakan dalam berkeluarga kita harus sama-sama
taat menjalankan ibadah, dan pada dasarnya agama itu sama, kita samasama menyembah Tuhan yang satu, hanya saja cara penyampaiannya yang
berbeda-beda. Agama itu selalu mengajarkan kebaikan dan sebagai manusia
ciptaan Tuhan kita seharusnya saling menghargai dan menjaga satu sama
lain. Wah, hebat juga pemikiran pak Jero ini. Selama ini kebanyakan aku
bertemu dengan orang-orang yang selalu merasa kayakinannya yang paling
benar dan fanatic dengan agamanya masing-masing tanpa menghiraukan
bahwa manusia adalah makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan
Yang Esa.
Aku merasa heran kenapa setiap berpapasan dengan orang, entah
pakai sepeda motor atau jalan kaki, lewat rumah warga, kenal atau tidak Kak
Edie selalu membunyikan klakson sambil senyum gak jelas. Dalam hati,
“apakah wajib seperti itu, kenapa tidak melihat jalan saja? Jalan rusak begini,
kalau jatuh bagaimana?”. Katanya memang harus begitu sama mereka di
sini biar leih terlihat akrab saja, kenal atau tidak. Aku juga harus seperti itu,
karena itu menjadi salah satu cara untuk pendekatan kepada warga
setempat.
Ketersediaan air menjadi masalah yang sangat besar di muntigunung.
Mereka harus membeli air dengan harga yang cukup mahal. Satu tanki air
dihargai Rp. 150.000, tetapi untuk wilayah yang tidak memiliki akses jalan
mobil seperti di kelompok Batu Gede, mereka membeli air dengan harga Rp.
150.000/tanki mobil dan harus menyewa pipa dengan biaya sewa sebesar
Rp. 750.000. Bagi warga yang kehabisan air sebelum waktunya, mereka
turun dari muntigunung untuk membeli air dengan menggunakan jirigen.
Perjuangan yang sangat luar biasa untuk memperoleh air. Sedangkan di
rumahku, air selalu terbuang sia-sia, dan mengalir dimana-mana. Di sini,
warga sangat susah mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari mereka.
Apalagi
jika
kita
ingat
sebuah
puisi
yang
akupun
lupa
judul
dan
pengarangnya, air adalah sumber kehidupan. Warga muntigunung mampu
bertahan dengan kondisi seperti ini, jauh dari air. Untuk mendapatkan air
mereka harus mengeluarkan biaya dan tenaga yang besar. Tidak heran lagi
kenapa keadaan mereka seperti itu, tetapi sekarang sudah ada aliran air dari
danau meskipun masih belum maksimal. Setidaknya akan sangat membantu
untuk memenuhi kebutuhan warga. Adanya bantuan pembuatan cubing dari
dian desa juga sangat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan air
warga.
Sebagian besar warga memiliki pohon lontar dan mengolah air lontar
menjadi gula. Proses pengolahan air tuak tersebut memakan waktu yang
sangat lama, yaitu dari jam 7.00 pagi sampai jam 13.00. selama proses
memasak tuak, apinya tidak boleh mati. Sementara harga gula merah
perkilogram adalah Rp.10.000 dijual ke pengepul. Untuk mendapatkan air
tuak lontar, seorang bapak harus menaiki satu buah pohon lontar sebanyak
dua kali dalam sehari dan air tuak yang diperoleh akan diolah oleh isterinya
menjadi gula. Selain airnya, daun lontarpun dijjadikan bahan untuk anyaman
yang akan digunakan untuk sembahyangan warga setiap hari. Tidak sedikit
juga warga yang membuat anyaman lontar untuk dijual ke luar muntigunung
meskipun hanya sekali dalam enam bulan, yaitu saat galungan dan
kuningan. Aku juga sudah bisa membuat tebok hasil belajar dari isterinya
Made ceding, membuat canang, dan yang lainnya hasil belajar dari ibu-ibu
yang aku kunjungi. Rata-rata warga memiliki jiwa seni yang tinggi, dan itu
sangat membuatku tertarik.
Bulan September sampai oktober diprediksi akan menjadi puncak
musim kemarau panjang. Di muntigunung, musim kemarau lebih lama
daripada musim penghujan. Menurut penuturan Mangku Sudi, saat bulan
oktober mendekati musim penghujan akan banyak terjadi kebakaran. Aku
langsung bertanya, “apakah hutan akan terbakar karena kemarau panjang
seperti yang terjadi di riau? Terus nanti…” belum saja selesai kalimatku,
mangku Sudi langsung menyahut, “iya, akan banyak terjadi kebakaran
sampah”. Kami langsung menyambut dengan mengatakan maksudnya
membakar sampah, lelah menahan tawa. Banyak warga yang belum bisa
berbicara
menggunakan
bahasa
Indonesia,
kalaupun
bisa
struktur
kalimatnya berantakan dan menimbulkan pengertian yang lain di otakku,
tetapi keberaniannya untuk
tetap berbicara dengan orang lain sangatlah
perlu diberikan apresiasi, dengan arti lain aku yang akan dan harus bisa
bahasa bali.
Di balik semua itu, warga setempat sangat baik dan ramah. Senyum
sapa selalu keluar dari diri mereka ketika bertemu ataupun lewat dari rumah
mereka. Aku sudah terbiasa dengan gonggongan anjing selama tidak
menggigit dan dengan keliaran babi yang sudah menjadi pemandangan
biasa setiap hari. Banyak hal yang tidak aku temukan di Lombok dan aku
pelajari di sini. Pendekatan dengan warga untuk mengetahui keadaan
mereka menjadi hal baru yang kulakukan. Kehidupan sederhana dan
kepatuhan akan hokum adat dan alam menjadi hal yang mengagumkan
dalam kehidupan mereka. Meskipun di sini masih banyak pandanganpandangan masyarakat yang masih awam, terutama mengenai pendidikan
bagi perempuan.
Perempuan terlihat sangat kuat di tempat ini, aku menyebutnya
“wonder women”. Tidak sedikit mereka berjuang mengurus anak bahkan
sampai mencarinafkah buat anak dan suaminya. Pekerjaan yang tak ada
hentinya bagi kebanyakan perempuan di sini. Anak perempuan paling
banyak tingkat pendidikannya sampai SD atau SMP, setelah itu menikah atau
bekerja ke Denpasar atau badung. Menurut pandangan kebanyakan warga
muntigunung, perempuan nanti akan menikah dan dibawa oleh suaminya,
jadi buat apa sekolah tinggi-tinggi. kebanyakan anak perempuan yang
menikah diusia yang masih sangat dini, umur 13 atau 14 tahun mereka
sudah menikah kalau tidak sekolah.
Selain dari factor pendapat orang tua yang tidak mau menyekolahkan
anak perempuannya, alasan jarak sekolah juga menjadi kendala mereka
untuk bersekolah. Sekolah yang jauh dari tempat tinggal mereka mau tidak
mau memicu mereka untuk malas ke sekolah apalagi dengan suasana yang
panas, jalan yang rusak untuk dilalui. Selain masalah pendidikan, kesehatan
juga masih sangat minim untuk dijaga oleh warga. banyak warga yang masih
buang air besar sembarangan, meskipun sudah ada program STBM (sanitasi
total berbasis masyarakat). Warga memiliki wc tetapi tidak memiliki air
menjadi alasan yang sangat kompleks. Sampai saat ini, kebutuhan air warga
belum bisa terpenuhi secara merata meskipun sudah ada aliran air dari
danau dan sumur bor (belum bisa beroperasi dengan baik).
Banyak pengalaman sebagai pembelajaran yang akan aku dapatkan di
tempat ini. Kesempatan belajar dan terus belajar selalu tersedia sampai
nanti. Cerita ini hanya sebagian kecil dari banyak hal yang akan terjadi ke
depannya. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.
Sebelumnya tak pernah terbayangkan akan berada di tempat ini,
Muntigunung, Tianyar Barat, Kubu, Karangasem, Bali. Saya harus berada di
tempat dan orang-orang yang benar-benar asing buatku. Terbiasa dengan
suasana di Lombok yang mayoritas muslim dan situasi yang damai karena
berada diantara keluarga. Tetapi ada sedikit rasa lega saat mengetahui
rekan-rekan kerja satu kontrakan di Muntigunung adalah orang dari Lombok
semua. Mendengar apa yang harus saya lakukan di Muntigunung yaitu
mendampingi proses pembuatan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah) dan pelaksanaannya berdasarkan potensi yang dimiliki warga
atau singkatnya memberdayakan masyarakat melalui potensi yang ada di
sekitar mereka memberikan ketertarikan tersendiri buatku. Hal tersebut
merupakan tugas yang sangat luar biasa menurutku dan otomatis akan
memiliki banyak tantangan. Kesempatan ini sangat ingin saya manfaatkan
sebagai momen untuk mengembangkan jiwa social saya yang selama ini
masih sangat minim, belajar berkomunikasi dengan masyarakat dengan
harapan suatu saat nanti saya dapat mewujudkan cita-cita yang pernah
kuukir ketika SMA dulu, seorang sosiolog. Bisa jadi ini menjadi kesempatanku
juga untuk mengabdi pada negara kita, Indonesia (tidak harus mengajar di
sekolah sesuai gelar sarjanaku). Saat kembali ke Lombok nanti, bisa
mempraktekkannya di masyarakat tempat tinggalku dan dengan dukungan
kedua orang tuaku, membuat semuanya lengkap.
Now, I’m here. Pertama kali mendengar nama Muntigunung, saya
membayangkan daerah ini berada di antara banyak gunung, dengan jalan
yang seadanya. Tetapi, jika memang berada di gunung, kenapa tidak ada air?
Itulah pertanyaan yang muncul pertama kali di benak saya. Ketika sampai di
lokasi (Muntigunung) 19 Juli 2014, kesan pertama saya adalah gelap, Karena
saya sampainya pada malam hari. Bertemu langsung dengan teman-teman
kerja di kontrakan, sedikit meramaikan suasana sepi sejak memasuki wilayah
Kubu. Sepi dan gelap, begitulah pemandangan pertamaku di sini. Orang-
orang dikontrakan akan menjadi keluarga keduaku, belajar saling mengerti
dan menghargai satu sama lain untuk bisa saling berbagi. Kesan kedua saat
naik langsung (bahasa untuk ke Muntigunung adalah “naik”) bersama pak
Zainal dan Kak Yani ke daerah Muntigunung atau Munti adalah “Panas”.
Apalagi saat itu sedang dalam keadaan berpuasa (Bulan Ramadhan) jadi
terasa benar-benar sangat panas. Padahal itu merupakan kelompok yang
masih berada paling bawah yang akan saya damping di Munti (Bukit Catu),
dehidrasipun melanda.
Seorang fasilitator menurut bayangan saya itu seperti penunjuk arah,
sedangkan saya sendiri merasa belum tahu apapun tentang seorang
fasilitator. Fasilitator untuk pemberdayaan masyarakat merupakan hal baru
yang sangat ingin saya dalami dengan harapan kelak saya bisa memberikan
kontribusi di tempat saya sendiri.
Warga munti rata-rata sangat ramah, buktinya saja mereka selalu
senyum ramah ketika bertemu meskipun belum kenal. Perkenalan pertama
sebagai fasilitator di kelompok Bukit catu bersama pak Zainal dan kak Yani.
Keberadaan
saya
sebagai
fasilitator
menggantikan
fasilitator
yang
sebelumnya telah menikah mengundang berbagai pertanyaan dari warga,
salah satunya apakah saya juga akan menikah setelah sebulan memfasilitasi
kelompok dan tidak diberikan kembali ke munti lagi? Saya jawab InsyaAllah
tidak seperti itu, karena belum ada rencana menikah dalam waktu dekat.
Fasilitasi yang dilakukan pak Zainal di bukit catu memberikan banyak
gambaran kepada
saya bagaimana
menjadi seorang fasilitator yang
sebelumnya saya tidak terlalu mengerti. Gambaran yang saya dapatkan itu
adalah bahwa kita mendampingi dan memfasilitasi mereka untuk membuat
perencanaan pembangunan kelompok dalam jangka menengah. Memberikan
warga gambaran mengenai potensi yang mereka miliki untuk dapat
mengembangkan kehidupan mereka ke depannya.
Dalam proses fasilitasi saya merasa agak kesulitan, selain factor
bahasa yang tidak saya mengerti (Bahasa Bali), lokasi yang segalanya
berbeda dengan Lombok menjadi pemandangan baru buat saya; anjing yang
berkeliaran dan menggonggong selalu menyambut kedatangan kami, dan
banyak babi yang kebetulan sebelumnya tidak saya temui ketika di Lombok.
Semua hal baru ini menjadi tantangan yang harus bisa dilewati dengan baik.
Petualangan dimulai.
Setelah mengetahui salah satu kelompok dampingan saya, yaitu bukit
catu,
Kak
Yani
(Sri
Handayani)
mengajak
saya
keliling
kelompok
dampingannya keesokan harinya. Beberapa hari sebelum ke Muntigunung,
saya mendapatkan informasi mengenai kondisi di wilayah Muntigunung.
Warganya yang jarang di rumah karena memilih kerja ke luar seperti
Denpasar atau Badung. Banyak anak yang putus sekolah, cuaca yang panas
seperti salah satu wilayah kering di Lombok, akses jalan kesana yang rusak,
dan yang paling mengerikan dipikiranku adalah tidak adanya air yang
menyebabkan warga buang air besar sembarangan. Kebayang bagaimana
warga yang hidup jauh dari air padahal nama tempatnya saja ada kata
“gunung”-nya, yaitu Muntigunung.
Saat berkeliling ke kelompok kak Yani, saya masih merasa baik-baik
saja. Kondisinya tidak seburuk yang kubayangkan. Pemandangan yang indah
dapat dinikmati dari gunungan tempat tinggal warga, terpikir bagaimana
kalau musim hujan ya? Pasti pemandangannya akan lebih menarik. Jalan
yang kering dengan debu yang sangat tebal, melewati sungai kering dan
kebun mente yang daunnya sudah mulai berkurang, benar-benar sangat
tandus.
Kami mampir di rumah salah seorang pengurus kelompok. Rumah yang
bagus untuk di tempat setandus ini, pikirku. Debu yang ada diteras rumah
itu, kandang sapi dan babi yang tak jauh dari rumah dengan bau khasnya
membuatku bertanya pada kak Yani, “apakah rata-rata warga seperti ini?”.
“iya, rata-rata seperti ini” kata kak Yani. Dalam hati aku berteriak, “apa
susahnya mereka membersihkan rumah dan kandang agar tidak sekotor
ini?”. Pengurus kelompok tersebut mengatakan kalau dia sedang sibuk dan
belum bisa memberikan kepastian waktu untuk melakukan pertemuan
menyusun draf RPJM. Hal tersebut disebabkan karena ada konflik antara
warga dan pak ketuanya, sementara dia tidak berani melangkahi keputusan
ketua kelompoknya. Di sepanjang perjalanan aku melihat warga dengan
tubuh penuh debu dan anak-anak yang berlumuran debu berlarian, aku
bergumam “ya Allah, sekering inikah tempat ini sampai tidak ada cukup air
untuk membersihkan diri mereka sendiri atau setidaknya anak-anak kecil
itu?”. Selain itu, setiap bertemu dengan warga harus senyum dan bilang
“sugro”. Aku agak risih dengan ini apalagi saat warga tidak meresponnya. Ini
akan menjadi saat yang tepat untuk berlatih menjadi lebih ramah.
Berkeliling ke kelompok dampinganku ditemani pak Zainal, dimulaai
dari kelompok Desa. Saat itu, sedang ada acara otonan anaknya pak Made
Tatua. Sudah menjadi hal yang biasa warga meminum tuak sampai mabuk
saat ada upacara atau acara. Seperti itu pula di rumah pak Made Tatua yang
lebih akrab dipanggil dengan pak Tatua. Pak Tatua bersama warga yang
lainnya sedang dalam keadaan teler. Teringat pesannya pak Bagus, beliau
mengatakan jangan heran jika melihat kaum laki-laki di sana kumpul mabuk
atau sabung ayam. Karena itu sudah menjadi kebiasaan mereka, tidak
seperti di Lombok. Saat datangpun langsung digonggong anjing di rumah
pak
Tatua.
Sebelumnya
aku
memiliki
pengalaman
yang
kurang
menyenangkan dengan anjing, jadi masih parno kalo ada anjing apalagi
sampai dikejar atau diikuti. Belum lagi saat melihat babi yang terikat
dibelakang sanggahnya, besar, kotor, dan tidur di atas kotorannya. Dalam
hati merasa jijik, tapi harus terlihat biasa saja dan tidak menghiraukan hal
tersebut sambil berkata dalam hati, “ini hanya karena aku belum terbiasa
melihat hal seperti ini”, dan tersenyum.
Sambutan tuan rumahnya sangat baik, meskipun dalam keadaan
mabuk mereka tetap bersikap sopan, hanya saja sedikit lebih cerewet dari
biasanya. Dan itu tidak menjadi masalah buatku. Aku diperkenalkan oleh pak
Zainal, agak kerepotan juga sih berbicara dengan orang yang sedang mabuk,
mereka tak henti-hentinya berbicara. Aku Cuma senyam-senyum dan
mengangguk saja, hahaha.
Di kelompok Tegal Suci berkunjung dan berkenalan dengan I Made
Cedang dan isterinya. Responnya cukup baik, dan pertanyaan yang samapun
muncul saat aku yang akan menjadi pendamping pengganti Heny, adiknya
kak Yani. “Jangan-jangan besok sebulan nikah lagi yang ini”, Tanya Made
Cedang. Aku Cuma bisa jawab, “InsyaAllah tidak secepat itu”. Made Cedang
dan isterinya terlihat kompak, apalagi saat dengar cerita pak Zainal
mengenai
bagaimana
Made
Cedang
yang
sangat
antusias
dengan
kedatangan teman-teman dari Mitra Samya.
Selanjutnya berkunjung ke kelompok Tegentegenan, tepatnya ke
rumah pak Jero Keweh, tetapi beliau sedang tidak ada di rumah. Setelah itu
ke rumahnya pak Made Ngampiag. Pak Ngampiag merupakan salah seorang
kader di kelompoknya. Di rumah pak Ngampiag aku melihat sapi diberi
makan dengan daun kayu jati yang direbus dan diberi garam. Sapi pak
Ngampiag gemuk sekali dengan memakan pakan itu. Katanya pak Ngampiag
sudah membuat WC, dan itu yang ingin dilihat oleh pak Zainal. Pak
Ngampiag terlihat malu-malu menunjukkan wc-nya. Saat pak Zainal terus
bertanya,”wc dimana? Katanya sudah buat, saya mau lihat dong”. Pak
Ngampiag dengan malu menjawab, “di sana, jauh. Gak usah dah dilihat,
nanti saja”. Tetapi pak Zainal tetap memaksa ingin melihatnya. Pak
Ngampiagpun tidak bisa mengelak lagi. Kami mengikutinya dari belakang
untuk melihat dimana wc yang sudah dibuatnya. Berjalan ke belakang
rumahnya menuju kebun mente di bawah rumah pak Ngampiag. Tak sabar,
pak Zainal bertanya lagi,”dimana sih wc-nya?”. Pak Ngampiag menunjukkan
ember berwarna putih yang tergantung di pohon mente, “ini tempatnya”.
“oh, ini tempat cuci tangannya, bagus ini. Terus tempat BAB-nya dimana?”
Tanya pak Zainal lagi. Pak Ngampiag berjalan lagi ke bawah, kamipun
mengikuti karena semakin penasaran. Kenapa tempat cuci tangannya jauh
dari tempat BAB. Pak Ngampiag berhenti berjalan dan menunjuk ke arah
bawah sambil berkata, “itu dia tempat BAB-nya”. Kami menoleh ke arah
bawah
sambil
bertanya
lagi,
“yang
mana
wc-nya?”.
Pak
Ngampiag
menunduk dan mengambil kerikil kemudian melemparkannya ke dua buah
batu besar yang tertanam di bawah sana. “itu tempat BAB-nya?”. Tanya pak
Zainal dengan nada heran. “iya, di sana” jawab pak Ngampiag polos. Aku tak
dapat menahan senyum sambil bergumam, itu bukan wc kalau BAB di sana
tetap saja namanya BABS. Pak Zainalpun sedikit tertawa dan menjelaskan
resiko buang air besar sembarangan.
Kelompok
Bais
Enjung
merupakan
satu-satunya
kelompok
dampinganku yang masuk ke wilayah muntigunung tengah. Di kelompok ini
banyak anggota kelompoknya yang memiliki pendidikan yang tinggi, bahkan
ada yang sampai pendidikan S2. Sedangkan kelompok yang paling paling
banyak warganya adalah kelompok Asah.
Saat ikut sangkep di kelompok tegal suci, aku melihat warga yang
sangat patuh pada awig-awig kelompoknya. Setiap warga yang tidak ikut
sangkep membayar denda kepada kelompok, dimana denda tersebut akan
menjadi uang kas kelompok mereka. Saat purnama, semua warga yang
tinggal di luar muntigunung akan pulang melakukan upacara.
Sehingga
momen purnama menjadi lebih ramai dari hari biasanya karena setiap warga
yang dimana saja akan pulang ke rumahnya di muntigunung.
Seperti yang telah disampaikan oleh pak Joni, di Muntigunung terdapat
36 kelompok yang terbagi dalam 4 dusun, yaitu 7 kelompok di muntigunung
induk, 7 kelompok di muntigunung tengah, 7 kelompok di muntigunung
timur dan 15 kelompok di muntigunung barat. Kelompok dampinganku
kebanyakan berada di muntigunung induk dan memiliki akses jalan yang
jauh lebih baik daripada teman-teman pendamping yang lain.
Di waktu lain, aku ikut berkunjung ke kelompok dampingan kak Edie,
namanya Tangkuujuk. Jalannya subhanallah, jelek banget. Katanya jalan ke
kelompok ini cukup ekstrim, dengan jalan yang penuh dengan batu dan jalan
menanjak. Aku Cuma bisa bilang, “wow, jalannya rusak sekali”. Sampai di
rumah pak Jero Srianti selaku ketua kelompok, kami disambut sangat baik.
Wajah teduh Jero Srianti menambah keramahannya. Setiap kali mampir di
rumah pengurus kelompok disuguhkan teh atau kopi. Begitu juga di rumah
Jero Srianti. Beliau mengatakan dalam berkeluarga kita harus sama-sama
taat menjalankan ibadah, dan pada dasarnya agama itu sama, kita samasama menyembah Tuhan yang satu, hanya saja cara penyampaiannya yang
berbeda-beda. Agama itu selalu mengajarkan kebaikan dan sebagai manusia
ciptaan Tuhan kita seharusnya saling menghargai dan menjaga satu sama
lain. Wah, hebat juga pemikiran pak Jero ini. Selama ini kebanyakan aku
bertemu dengan orang-orang yang selalu merasa kayakinannya yang paling
benar dan fanatic dengan agamanya masing-masing tanpa menghiraukan
bahwa manusia adalah makhluk yang sama-sama diciptakan oleh Tuhan
Yang Esa.
Aku merasa heran kenapa setiap berpapasan dengan orang, entah
pakai sepeda motor atau jalan kaki, lewat rumah warga, kenal atau tidak Kak
Edie selalu membunyikan klakson sambil senyum gak jelas. Dalam hati,
“apakah wajib seperti itu, kenapa tidak melihat jalan saja? Jalan rusak begini,
kalau jatuh bagaimana?”. Katanya memang harus begitu sama mereka di
sini biar leih terlihat akrab saja, kenal atau tidak. Aku juga harus seperti itu,
karena itu menjadi salah satu cara untuk pendekatan kepada warga
setempat.
Ketersediaan air menjadi masalah yang sangat besar di muntigunung.
Mereka harus membeli air dengan harga yang cukup mahal. Satu tanki air
dihargai Rp. 150.000, tetapi untuk wilayah yang tidak memiliki akses jalan
mobil seperti di kelompok Batu Gede, mereka membeli air dengan harga Rp.
150.000/tanki mobil dan harus menyewa pipa dengan biaya sewa sebesar
Rp. 750.000. Bagi warga yang kehabisan air sebelum waktunya, mereka
turun dari muntigunung untuk membeli air dengan menggunakan jirigen.
Perjuangan yang sangat luar biasa untuk memperoleh air. Sedangkan di
rumahku, air selalu terbuang sia-sia, dan mengalir dimana-mana. Di sini,
warga sangat susah mendapatkan air untuk keperluan sehari-hari mereka.
Apalagi
jika
kita
ingat
sebuah
puisi
yang
akupun
lupa
judul
dan
pengarangnya, air adalah sumber kehidupan. Warga muntigunung mampu
bertahan dengan kondisi seperti ini, jauh dari air. Untuk mendapatkan air
mereka harus mengeluarkan biaya dan tenaga yang besar. Tidak heran lagi
kenapa keadaan mereka seperti itu, tetapi sekarang sudah ada aliran air dari
danau meskipun masih belum maksimal. Setidaknya akan sangat membantu
untuk memenuhi kebutuhan warga. Adanya bantuan pembuatan cubing dari
dian desa juga sangat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan air
warga.
Sebagian besar warga memiliki pohon lontar dan mengolah air lontar
menjadi gula. Proses pengolahan air tuak tersebut memakan waktu yang
sangat lama, yaitu dari jam 7.00 pagi sampai jam 13.00. selama proses
memasak tuak, apinya tidak boleh mati. Sementara harga gula merah
perkilogram adalah Rp.10.000 dijual ke pengepul. Untuk mendapatkan air
tuak lontar, seorang bapak harus menaiki satu buah pohon lontar sebanyak
dua kali dalam sehari dan air tuak yang diperoleh akan diolah oleh isterinya
menjadi gula. Selain airnya, daun lontarpun dijjadikan bahan untuk anyaman
yang akan digunakan untuk sembahyangan warga setiap hari. Tidak sedikit
juga warga yang membuat anyaman lontar untuk dijual ke luar muntigunung
meskipun hanya sekali dalam enam bulan, yaitu saat galungan dan
kuningan. Aku juga sudah bisa membuat tebok hasil belajar dari isterinya
Made ceding, membuat canang, dan yang lainnya hasil belajar dari ibu-ibu
yang aku kunjungi. Rata-rata warga memiliki jiwa seni yang tinggi, dan itu
sangat membuatku tertarik.
Bulan September sampai oktober diprediksi akan menjadi puncak
musim kemarau panjang. Di muntigunung, musim kemarau lebih lama
daripada musim penghujan. Menurut penuturan Mangku Sudi, saat bulan
oktober mendekati musim penghujan akan banyak terjadi kebakaran. Aku
langsung bertanya, “apakah hutan akan terbakar karena kemarau panjang
seperti yang terjadi di riau? Terus nanti…” belum saja selesai kalimatku,
mangku Sudi langsung menyahut, “iya, akan banyak terjadi kebakaran
sampah”. Kami langsung menyambut dengan mengatakan maksudnya
membakar sampah, lelah menahan tawa. Banyak warga yang belum bisa
berbicara
menggunakan
bahasa
Indonesia,
kalaupun
bisa
struktur
kalimatnya berantakan dan menimbulkan pengertian yang lain di otakku,
tetapi keberaniannya untuk
tetap berbicara dengan orang lain sangatlah
perlu diberikan apresiasi, dengan arti lain aku yang akan dan harus bisa
bahasa bali.
Di balik semua itu, warga setempat sangat baik dan ramah. Senyum
sapa selalu keluar dari diri mereka ketika bertemu ataupun lewat dari rumah
mereka. Aku sudah terbiasa dengan gonggongan anjing selama tidak
menggigit dan dengan keliaran babi yang sudah menjadi pemandangan
biasa setiap hari. Banyak hal yang tidak aku temukan di Lombok dan aku
pelajari di sini. Pendekatan dengan warga untuk mengetahui keadaan
mereka menjadi hal baru yang kulakukan. Kehidupan sederhana dan
kepatuhan akan hokum adat dan alam menjadi hal yang mengagumkan
dalam kehidupan mereka. Meskipun di sini masih banyak pandanganpandangan masyarakat yang masih awam, terutama mengenai pendidikan
bagi perempuan.
Perempuan terlihat sangat kuat di tempat ini, aku menyebutnya
“wonder women”. Tidak sedikit mereka berjuang mengurus anak bahkan
sampai mencarinafkah buat anak dan suaminya. Pekerjaan yang tak ada
hentinya bagi kebanyakan perempuan di sini. Anak perempuan paling
banyak tingkat pendidikannya sampai SD atau SMP, setelah itu menikah atau
bekerja ke Denpasar atau badung. Menurut pandangan kebanyakan warga
muntigunung, perempuan nanti akan menikah dan dibawa oleh suaminya,
jadi buat apa sekolah tinggi-tinggi. kebanyakan anak perempuan yang
menikah diusia yang masih sangat dini, umur 13 atau 14 tahun mereka
sudah menikah kalau tidak sekolah.
Selain dari factor pendapat orang tua yang tidak mau menyekolahkan
anak perempuannya, alasan jarak sekolah juga menjadi kendala mereka
untuk bersekolah. Sekolah yang jauh dari tempat tinggal mereka mau tidak
mau memicu mereka untuk malas ke sekolah apalagi dengan suasana yang
panas, jalan yang rusak untuk dilalui. Selain masalah pendidikan, kesehatan
juga masih sangat minim untuk dijaga oleh warga. banyak warga yang masih
buang air besar sembarangan, meskipun sudah ada program STBM (sanitasi
total berbasis masyarakat). Warga memiliki wc tetapi tidak memiliki air
menjadi alasan yang sangat kompleks. Sampai saat ini, kebutuhan air warga
belum bisa terpenuhi secara merata meskipun sudah ada aliran air dari
danau dan sumur bor (belum bisa beroperasi dengan baik).
Banyak pengalaman sebagai pembelajaran yang akan aku dapatkan di
tempat ini. Kesempatan belajar dan terus belajar selalu tersedia sampai
nanti. Cerita ini hanya sebagian kecil dari banyak hal yang akan terjadi ke
depannya. Sampai jumpa di cerita selanjutnya.