BAB I PENDAHULUAN - Peningkatan Kemampuan Mengucapkan Konsonan Bilabial Anak Tuna Rungu Melalui Metode Oral Pada Siswa

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan salah satu kekayaan atau sumber daya yang harus dikembangkan, karena keunggulan bangsa pada masa depan sebagian ditentukan oleh kualitas pengembangan anak. Mereka merupakan penerus dan pemilik masa depan bangsa. Upaya yang paling strategis untuk mempersiapkan serta meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan. Semua anak di Indonesia berhak memgenyam pendidikan, tak terkecuali pada anak berkebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus banyak macamnya, antara lain: anak tuna netra, anak tunarungu, anak tunaghrahita, anak tunadaksa, anak tunalaras, anak berbakat dan lain-lain. Jadi anak tunarungu juga merupakan salah satu komponen dari anak berkebutuhan khusus. Mereka juga mempunyai hak untuk berkembang dengan mendapatkan pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain.

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan dilaksanakan dengan jalur yang terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pada pasal 32 mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus pada ayat (1) menjelaskan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa pendidikan dilaksanakan dengan jalur yang terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pada pasal 32 mengenai pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus pada ayat (1) menjelaskan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam

Anak tunarungu merupakan anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun secara keseluruhan yang disebabkan karena faktor-faktor tertentu sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Maksud dari memerlukan pendidikan khusus yaitu anak tunarungu memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya. Salah satu karakteristik yang dimiliki anak tunarungu adalah kemiskinan bahasa yang berakibat sulit mengerti ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti kiasan dan sulit mengartikan kata-kata abstrak.

Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Pada anak tunarungu tidak terjadi proses peniruan setelah masa meraban, poses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual. Selanjutnya dalam perkembangan bahasa dan bicara pada anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai kemampuan dan taraf ketunarunguannya.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan oleh manusia dalam mengadakan hubungan dengan sesamanya. Hal ini berarti bila sekelompok manusia memiliki bahasa yang sama, maka mereka akan dapat saling bertukar pikiran mengenai segala sesuatu yang dialami secara konkrit maupun yang abstrak. Dengan adanya kemampuan berbahasa yang kita miliki berarti kita mempunyai media untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Pada umumnya orang akan melihat mengenai ketidakmampuan anak tunarungu dalam berkomunikasi secara lisan (berbicara). Padahal masalah utama adalah bukan ketidakmampuannya dalam berbicara, melainkan akibat dari keadaan tersebut terhadap perkembangan kemampuan berbahasa yaitu ketidakmampuan mereka dalam memahami lambang bahasa dan aturan bahasa.

Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan-ungkapan yang mengandung kiasan dan juga sulit untuk mengartikan kata-kata yang abstrak. Padahal dalam proses belajar mengajar guru tidak hanya menyampaikan pelajaran mengenai hal-hal yang konkrit saja, namun terkadang juga hal-hal yang abstrak.

Melihat kondisi yang dialami anak tunarungu di atas, maka anak tunarungu membutuhkan suatu metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Tanpa adanya metode khusus yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran, maka penyampaian materi guru ke siswa hanya bersifat transfer saja.

Kualitas hasil pendidikan dapat ditentukan oleh berbagai faktor, salah satu faktor yang terpenting dan berpengaruh terhadap kualitas hasil pendidikan adalah proses pembelajaran. Didalam proses pembelajaran terdapat berbagai macam kegiatan diantaranya yaitu penyampaian materi pelajaran.

Proses belajar mengajar dikatakan berhasil apabila daya serap peserta didik terhadap materi yang disajikan dapat mencapai target yang telah ditentukan. Metode mengajar hendaklah berprinsip pada belajar aktif sehingga dalam proses belajar mengajar perhatian utama harus ditujukan kepada siswa yang belajar, karena itu guru harus mampu dan dapat menggunakan berbagai macam metode Proses belajar mengajar dikatakan berhasil apabila daya serap peserta didik terhadap materi yang disajikan dapat mencapai target yang telah ditentukan. Metode mengajar hendaklah berprinsip pada belajar aktif sehingga dalam proses belajar mengajar perhatian utama harus ditujukan kepada siswa yang belajar, karena itu guru harus mampu dan dapat menggunakan berbagai macam metode

Adapun salah satu metode yang tepat dalam pelaksanaan pembelajaran anak tunarungu terutama pada kelas persiapan diantaranya adalah metode oral. Metode oral merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya, karena pengetahuan yang dimilikiya adalah dibangun oleh siswa itu sendii dengan sedikit demi sedikit, yang hasilnya kemudian diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Kemampuan Mengucapkan Konsonan Bilabial Anak Tuna Rungu Melalui Metode Oral Pada Siswa Kelas persiapan SDLB Negeri Kota Magelang Tahun Pelajaran 2008/2009.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pembahasan masalah maka permasalahan pada penelitian ini dapat dirumuskan adalah: “Apakah metode oral dapat meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siswa kelas persiapan SDLB Negeri kedungsari Kota Magelang?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan bagian yang terpenting dalam pelaksanaan penelitian ilmiah. Adapun tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui apakah metode oral dapat meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada siswa kelas persiapan SDLB Negeri kedungsari Kota Magelang.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

a. Menambah khasanah pengetahuan dalam pendidikan luar biasa, khususnya dalam pengembangan kemampuan bahasa anak tunarungu terutama pada kelas persiapan agar mampu mengucapkan bunyi knsonan bilabial.

b. Menambah khasanah pengetahuan tentang penggunaan metode oral dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tuanrungu di SLB B kedungsari Magelang.

c. Sebagai acuan peneliti selanjutnya dengan variabel yang lebih konkret yang dapat dijadikan dasar untuk pemberian layanan pendidikan terutama untuk pengembangan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu pada saat peneliti berkecimpung di lapangan

2. Secara Praktis

a. Bagi Sekolah. Bagi SLB B Kedungsari magelang metode oral dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untk lebih mengembangkan layaanan a. Bagi Sekolah. Bagi SLB B Kedungsari magelang metode oral dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untk lebih mengembangkan layaanan

b. Bagi Guru Bagi guru SdLBN Kedungsari Magelang dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk lebih mengembangkan kreaifitas dalam kegiatan pembelajaran terutama dalam pengembangan Kemampuan mengucapkan konsonan bilabial anak tunarungu dengan metode oral.

c. Bagi Siswa Siswa merasa situasi pembelajaran yang dilakukannya menyenangkan dan termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode oral dalam proses belajar mengajar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Tinjauan Tentang Anak Tunarungu

a. Pengertian Anak Tunarungu Menurut Halllahan dan Kauffman (dalam permanarian Somad dan Tati

Hernawati 1995:26) menyatakan: ”hearing impairment. A generic term indicating a hearing disability that may range in saverity from mild to profound it includes the subsets of deaf and hard of hearing. A deaf prerson in one whose hearing precludes succesfull prcessing of linguistic information through audition or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable succesfull processing of linguistic information through audition” .

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah yag umum menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan kurang mendengar. Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalaui pendengaran, baik memakai atau tidak memakai alat bantu dengar (ABM), sedangkan kurang dengar adalah seseorang yang biasanya dengan alat bantu dengar, sisa pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.

Menurut Mufti Salim (1994:18) “anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kehilangan sebagian atau keseluruhan alat pendengaran, sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak”.

Mardiati Busono (1993:18) mengemukakan, “anak tunarungu adalah anak yang lahir dengan sedikit pendengaran atau tidak dapat mendengar atau yang kehilangan pendengaran sejak awal masa kanak-kanak sebelum dapat berbicara dan berbahasa yang diperlukan”.

Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pada hakekatnya anak tunarungu adalah anak yang mengalami kondisi kekurangan atau kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya organ-organ pendengaran yang terjadi sebelum atau sesudah lahir, yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya terutama hambatan dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga memerlukan bimbingan da pelayanan khusus.

b. Karakteristik Anak Tunarungu Ketunarunguan pada seseorang tidak tampak jelas jika dibandingkan dengan ketunaan lain. Hal ini dikarenakan sepintas fisik mereka tidak mengalami kelainan. Anak tunarungu mempunyai karakteristik yang khas. Karakteristik anak tunarungu dapat dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, emosi serta sosial yang dikemukakan oleh Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995:35-39) adalah sebagai berikut:

1) Karakteristik Dalam Segi Intelegensi Intelegensi anak tunarungu pada dasarnya sama dengan anak yang normal pendengarannya. Anak tunarungu ada yang memiliki intelegensi tinggi, sedang dan rendah. Pada umumnya intelegensi anak tuna rungu normal atau rata-rata, akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, maka anak tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Anak tunarungu akan memiliki prestasi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal (mendengar) untuk materi pelajaran yang diverbalisasikan, tetapi untuk materi yang tidak diverbalisasikan, prestasi anak tunarungu akan seimbang dengan anak yang mendengar.

2) Karakteristik Dalam Segi Emosi dan Sosial Akibat ketunarunguan dapat menjadikan anak yang terasing dari pergaulan sehari-hari, kemudia keterasingan tersebut menimbulkan efek yang negatif seperti: (a) Egosentrisme yang melebihi anak normal (b) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas (c) Ketergantungan terhadap orang lain (d) Perhatian mereka sukar dialihkan (e) Mereka umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa

masalah (f) Lebih mudah marah dan tersinggung

3) Karakteristik dalam Segi Bahasa dan Bicara Kemampuan berbicara dan berbahasa anak tunarungu berbeda dengan anak yang mendengar, hal ini disebabakan perkembangan bahasa erat hubungannya dengan kemampuan mendengar. Kemampuan berbahasa anak tunarungu tidak akan berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara khusus, sehingga perkembangannya sering tertinggal 2-4 tahun dalam kemampuan membaca dan menulis jika diabndingkan dengan anak yang mendengar. Pada anak tunarungu mengalami kemonotonan dalam suara, irama, dan tekanan suara.

Karakteristik dalam segi bahasa menurut Moh Amin (1984:47) akibat ketunarunguan pada anak mengakibatkan kemiskinan bahhasa dan memiliki ciri khas sebagai berikut: (a) Biasanya memiliki ketidakampuan berbahasa (b) Miskin kosa kata (c) Sulit mengerti ungkapan-ungkapan bahasa yang mengandung arti

kiasan (d) Sulit mengartikan kata-kata abstrak (e) Kurang menguasai irama dan gaya bahasa

Berdasarkan pada karakteristik anak tunarungu tersebut, maka anak tunarungu memerlukan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi kemampuan yang dimilikinya, sehingga ia dapat mengerti dan memahami kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya terutama untuk katya-kata yang bersifat abstrak.

c. Penyebab Ketunarunguan Menurut Andreas Dwijosumarto (1995 : 33) faktor-faktor penyebab

ketunarunguan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Faktor Dalam Diri Anak (a) Disebabkan faktor keturunan dari salah satu atau kedua orang tuanya yang mengalami ketunarunguan (b) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit campak Jerman (Rubella). Penyakit Rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh buruk pada janin

(c) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah atau Toxaminia, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan janin

2) Faktor luar diri anak (a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misalnya anak terserang Herpes Implex, Jika infeksi ini menyerang pada kelamin ibu maka dapat menular pada saat anak dilahirkan. Demikian pula dengan alat kelamin lain dapat ditularkan melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif.

(b) Peradangan pada selaput otak (c) Peradangan pada selaput gendang (d) Peradangan telinga bagian tengah.

d. Klasifikasi Anak Tunarungu Pemberian layanan pendidiikan untuk anak tunarungu harus disesuaikan dengan tingkat ketunatunguannya da dilakukan dengan cara mengadakan klasifikasi.

Klasifikasi anak tunarungu menurut Samuel Akirk yang dikutip oleh Permanarian Somad (1995:29) adalah sebagai berikut:

1) 0 dB : Menunjukkan pendengaran yang optimal

masih menunjukkan

pendengaran yang normal

3) 27 – 40 dB : Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (terglong tunarungu ringan)

4) 41 – 45 dB : Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi kelas,membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergoong anak tunarungu sedang)

5) 56 – 70 dB : Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat masih mempunyai siswa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunuarungu agak berat)

6) 71 – 90 dB : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang- kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu mendengardan latihan bicara scara khusus (tergolong 6) 71 – 90 dB : Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang- kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu mendengardan latihan bicara scara khusus (tergolong

7) 91 dB ke atas Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengarannya untuk prses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli (tergolong tunarungu berat sekali)

Permanarian Somad (1995:32) juga mengelompokkan anak tunarungu berdasarkan pada anatomi fisiologisnya, yaitu:

1) Tunarungu hantaran (konduksi), ialah ketunarunguan yanng disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran berfungsi. Dapat segera diatasi atau dikurangi secara efektif melalui amplifikasi atau alat bantu dengar.

2) Tunarungu syaraf (Sensorineural), ialah tunarungu yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada lobus temporali.

3) Tunarungu campuran, adalah kelainan pendengaran yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran.

Berdasarkan pada klasifikasi anak tunarungu tersebut penggunaan metode oral dapat dilakukan pada semua anak tunarungu, namun dalam penelitian ini peningkatan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada anak tunarungu kelas persiapan yang mempunyai taraf ringan dan sedag serta tidak memiliki kelainan yang lain (kelainan ganda).

2. Tinjauan Tentang Mengucapkan Konsonan Bilabial

a. Pengertian Konsonan Bilabial Bunyi bahasa konsonan terbentuk karena aliran udara dari paru-paru dihalangi oleh salah satu alat ucap yang ada dalam tenggorokan atau rongga mulut. Rintangan udara itu ada yang seluruhnya ada pula yang hanya sebagian a. Pengertian Konsonan Bilabial Bunyi bahasa konsonan terbentuk karena aliran udara dari paru-paru dihalangi oleh salah satu alat ucap yang ada dalam tenggorokan atau rongga mulut. Rintangan udara itu ada yang seluruhnya ada pula yang hanya sebagian

1) Konsonan bilabial yaitu terjadi apabila dua bibir tertutup dimana keduanya berfungsi sebagai artikulatir dan artikulasi, bunyi bahasa yang dihasilkan yaitu: b, p, m, dan w

2) Konsonan Labio Dental yaitu gigi atas sebagai titik artikulasi dan gigi bawah sebagai titik artikulatirnya menghasilkan bunyi bahasa f dan v

3) Konsonaan opiko-denal yaitu ujub lidah sebagai artikulator yang dipertemukan dengan gigi atas sebagai titik artikulasi menghasilkan bunyi bahasa t, z san s

4) Konsonan opiko palatal yaitu ujung lidah sebagai artikulator yang dipertemukan dengan langitlangit keras sebagai artikulasinya, menghasilkan bunyi bahasa d, n , l dan r

5) Konsonan alatal yaitu bagian lidah tengah sebagai artikulator dan langit- langit keras sebagai titik artikulasi, menghasilksn bunyi bahasa c, j, ny, sy, dan y

6) Konsonan velar apabila belakanglidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasi, bunyi bahasa yang dihasilkan g, k , ng dan kh

7) Glotal yaitu celah antara dua pita suara yang tertutup rapat, menghasilkan bunyi hamzah seperti bunyi k yang diucapkan disentakkan yaitu dalam 7) Glotal yaitu celah antara dua pita suara yang tertutup rapat, menghasilkan bunyi hamzah seperti bunyi k yang diucapkan disentakkan yaitu dalam

b. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu Perkembangan bahsa anak tunarungu pada awalnya tidak berbeda dengan perkembangan anak normal.karena bahasa sangat dipengaruhi oleh pendengarannya sehingga perkembangan terhambat.

Katryn P. Meadow dalam Edja Sadjaah (1995 ;48) mengungkapkan bahwa perkembangan bahasa anak tunarungu tampak sebagai berikut:

1) Keterbatasan bahasa atau kecakapan bahasa anak dibedakan atas perolehan bahasa dari lingkungan keluarganya, yaitu apakah orang tuanya tuli atau mendengar. Hal ini akan mempengeruhi penggunaan bahasa anak untuk berkomunikasi dengan orang lain. Apabila lingkungan keluarganya menggunakan isyarat maka bahasa yang digunakan oleh anakpun akan menjadi terbatas hanya pada isyarat, dan sebaliknya jika lingkungan keluarganya menggunakan bicara untuk berkomunikasi maka anak juga akan menggunakan bicara untuk berkomunikasi dengan orang lain.

2) Kecakapan berbahasa lebih banyak menggunakan bahasa isyarat yang dipelajari melalui kontak dengan teman sebayanya dan akhirnya berkembang menjadi bahasa isyarat formal bagi dirinya secara nyata. Bahasa tulisannya menggunakan kalimat ysng pendek-pendek.

3) Anak tunarungu mengalami kesulitan dalam menyusun bentuk dan struktur kalimat. Anak tunarungu juga mengalami keterbatasan dalam mengerti tanda-tanda baca, seperti kalimat berita, perintah dan tanya.

4) Kemampuan bahasa tulis, apabila diadakan evaluasi maka kebanyakan dari anak tidak memiliki pernbendaharaan kata yang cukup untuk kepentingan akademis yang lebih tinggi.

Mufti Salim (1984 : 13) mengungkapkan bahwa piola perkembangan bahasa-bicara anak tunarungu adalah sebagai berikut:

1) Pada awal meraban anak tunarungu tidak mengalami hambatan karena hal ini merupakan kegiatan alami dari pernafasan dan pita suara, barui saat akhir meraban mulai terjadi perbedaan perkembangan. Pada anak normal, meraban merupakan kenikmatan karena anak dapat mendengarkan suara yang dikeluarkannya. Pada anak tunarungu hal tersebut tidak terjadi. Dengan demikian meraban sebagai awal perkembangan bicara terhenti.

2) Pada masa meniru anak tnarungu terbatas pada peniruan visual, yaitu gerak da isyarat, karena itu ada yang berpendapat bahwa bahasa isyarat merupakan bahasa ibu anak tunarungu, sedangkan bahasa bicara merupakan hal yang asing baginya.

3) Perkembangan bahasa bicara selanjutnya pada anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif, sesuai dengan taraf ketunarunguannya dan kemapuan-kemapuan yang lain.

Myklebust dalam Lani Bunawan dan cecilia (2000:40) mengungkapkan bahwa ”pemerolehan bahasa anak tunarungu berbeda dengan anak normal. Pemerolehan bahasa anak normal berawwal dari adanya pengalaman atau situasi bersama antara bayi dengan ibunya dan orang yang ada di sekitarnya (lingkungan). Aak tidak diajarkan kata-kata kemudian diberitahukan artinya, melainkan melalui pengalamannya ia belajar menghubungkan antara pengalaman dan lambang bahasa yang diperoleh melalui pendengarannya”.

Proses ini merupakan dasar dari berkembangnya bahasa batini (inner language ). Baru setelah itu baru anak memahami hubungan antara lambang bahasa dengan benda atau kejadian yang dialaminya, da terbentuklah bahasa reseptif anak. Setelah bahasa reseptif terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata sebagai awal kemampuan bahasa ekspresif. Semua kemammpuan ini berkembang melalui pendengaran. Baru setelah anak memasuki usia sekolah, penglihatan berperan dalam dalam perkembangan bahasanya, yaitu melalui kemampuan membaca (bahasa reseptif melalui penglihatan) dan kemampuan menulis (bahasa ekspresif melalui penglihatan)

Perolehan bahasa pada anak tunarungu dimulai dari pengalaman melalui penglihatannya (membaca ujaran). Membaca ujaran ini digunakannya karena menghubungkan antara hal-hal yang bersifat visual dengan pengalaman sehari-hari, sehingga membaca ujaran ini merupakan dasar dari pengembangan bahsa batini yang dimilikinya. Bahasa batini yang dimiliki anak tunarungu akan terdiri dari kata-kata sebagaimana tampil pada gerak dan corak bibir sebagai pengganti bunyi bahasa berupa vokal, konsonan dan inotasi pada anak mendengar. Sama seperti pada anak mendengar, pada anak Perolehan bahasa pada anak tunarungu dimulai dari pengalaman melalui penglihatannya (membaca ujaran). Membaca ujaran ini digunakannya karena menghubungkan antara hal-hal yang bersifat visual dengan pengalaman sehari-hari, sehingga membaca ujaran ini merupakan dasar dari pengembangan bahsa batini yang dimilikinya. Bahasa batini yang dimiliki anak tunarungu akan terdiri dari kata-kata sebagaimana tampil pada gerak dan corak bibir sebagai pengganti bunyi bahasa berupa vokal, konsonan dan inotasi pada anak mendengar. Sama seperti pada anak mendengar, pada anak

c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu Kemampuan bahasa dan bicara merupakan hasil proses psiko-fisis

(Mahar Mardjono dalam Tarmansyah, 1996:49). ”Aktivitas bahasa dan bicara dimulai dari pross mental, dimana seseorang bermaksud untuk menerima simbol atau menyampaikan suatu konse yang dimiliki melalui modalitas bahasa dan bicara. Adanya keinginan dan konsep merupakan suatu proses psikis. Sedangkan menerima dan mengekspresikan simbol merupakan suatu proses fisik”.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara menurut Tarmansyah dalam Enny Zubaidah(2002:23) adalah sebagai berikut:

1) Kondisi Jasmani Dan Kemampuan Motorik Seorang anak yang mempunyai kondisi fisik sehat, tentunya akan mempunyai kemampuan gerak yang lincah, dan penuh energi. Sehingga anak akan bergairah dan lincah dalam bergerak, anak memiliki rasa keingintahuan terhadap benda-benda yang ada di sekitarnya. Benda- benda tersebut dapat diasosiasikan menjadi sebuah pengertian, dan pengertian tersebut dilahirkan dalam bentuk bahasa. Anak dengan kondisi fisik normal mempunyai konsep yang lebih lengkap dibanding dengan anak yang kondisi fisiknys terganggu. Sehingga kemampuan bahasa dan bicaranya juga akan berbeda.

2) Kesehatan Umum Kesehatan umum yang baik menunjang terhadap perkembangan anak, termasuk dalam perkembangan bahasa dan bicara. Anak yang sehat akan mengenal lingkungannya secara utuh, namun anak yang mengalami gangguan kesehatan secara umum tentunya tidak akan diperolehnya.

Tarmansyah lebih lanjut mengemukakan bahwa ”adanya gangguan kesehatan pada anak, akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan bicara. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkurangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dari Tarmansyah lebih lanjut mengemukakan bahwa ”adanya gangguan kesehatan pada anak, akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan bicara. Hal ini terjadi sehubungan dengan berkurangnya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dari

3) Kecerdasan Kecerdasan pada anak meliputi fungsi mental intelektual, dikemukakan dalam Tarmansyah bahwa anak yang memiliki kategori intelegensi tinggi akan mampu berbicara lebih awal. Begitu sebaliknya anak yang mempunyai kecerdasan rendah akan terhambat dalam kemampuan berbahasa dan bicaranya. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa kecerdasan atau intelegensi berpengaruh terhadap kemampuan bahasa dan bicara.

4) Sikap Lingkungan Proses pemerolehan bahasa anak diawali dengan kemampuan mendengar, kemudian meniru suara yang didengar dari lingkungannya (keluarga, tetangga, sekolah dan lainnya). Proses semacam ini anak tidak akan mampu berbahasa dan berbicara jika anak tidak diberikan kesempatan mengungkapkan apa yang pernah didengarnya. Setelah itu berangsur-angsur anak akan mampu mengekspresikan pengalamnnya (dari mendengar, melihat, membaca dan sebagainya) anak mengungkapkan kembali dalam bentuk bahasa lisan

5) Sosial Ekonomi Sosial ekonomi seseorang akan berdampak pada hal-hal yang berkaitan dengan berbahasa dan berbicara, misalnya pengaruh dari pendidikan, fasilitas di rumah dan di sekolah, pengetahua, pergaulan, makanan dan sebagainya.

Makanan mempengaruhi kesehatan. Makanan bergizi akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan sel otak. Dalam otak inilah semua rangsangan dari luar akan dicerna, yang kemudian melahirkan respon dalam bentuk bahasa. Anak yang perkembangan sel otaknya kurang menguntungkan karena gizi yang kurang baik, tentu akan kurang berdampak positif bagi perkembangan bahasa dan bicaranya. Demikian juga pengaruh dari pendidikan yang tinggi, fasilitas yang memadai, dan pergaulan yang menguntungkan. Semuanya akan menguntungkan. Semuanya akan memberikan pengaruh positif bagi perkembangan bahasa dan bicara.

6) Kedwibahasaan Kedwibahasaan (bilingualism) adalah kondisi dimana seseorang berada d lingkungan yang menggunakan dua bahasa atau lebih. Kondisi yang demikian akan dapat mempengaruhi pada perkembangan bahasa dan bicara anak.

7) Neurologis Faktor neurologis yang mempengaruhi perkembangan bahasa bicara meliputi: (a) Susunan syaraf (pusat dan perifer)

Merupakan sarana untuk mempersiapkan seseorang dalam melakukan kegiatan. Jika tidak respek terhadap sesuatu, berarti tidak akan melakukan sesuatu pula. Ini berarti perkembangan bahasa dan bicara anak tidak mengalami perkembangan sebagaimana mestinya.

(b) Fungsi susunan syaraf Jika susunan syarafnya tidak berfungsi, maka dengan sendirinya akan mempengaruhi dalam perkembangan bahasa dan bicara.

(c) Peranan susunan syaraf Susunan syaraf yang ebrperan terhadap perkembangan bahasa dan bicara ini antara lain yang mensyarafi otot pengunyah, otot wajah dan kepala, otot reflek batuk, otot penelan, otot pernafasan, otot lidah, otot pangkal lidah, dan otot lain yang berada disekitar organ bicara. Dari otot yang mensyarafi orga bicara tersebut berperan maka perkembangan bahasa dan bicaranya baik.

(d) Syaraf yang berhubungan dengan organ bicaranya Syaraf ini mempunyai peran dalam menghubungkan syaraf otak dengan anterior horn di spinal cord, yaitu syaraf yang mempengaruhi gerakan otot pernafasan yang diperlukan untuk bicara.

Menurut Mohammad Efendi (1993:39-41) faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara adalah berkenaan dengan kondisi internal anak (fisik dan psikis) dan kondisi eksternalanak (lingkungan). Aspek tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Kondisi Fisiologis Kondisi fisiologis adalah kemampuan dari organ-organ yang terkait dalam menjalankan fungsinya untuk mendukung terhadap kelancaran anak dalam meneliti rugas perkembangan bicara dan abahsanya. Organ-organ tersebut meliputi susunan syaraf (sensomotoris), kondisi organ pendengaran dan organ bicara. Syaraf sensoris berfungsi sebagai koordinator dari pikiran dan organ-organ dengan pola tindakan. Syaraf motoris berfungsi sebagai pengendali terjadinya mekanisme bicara. Organ pendengaran berfungsi sebagai tranmisi rangsang bunyi bahasa yang berasal dari lingkungan sekitar yang selanjutnya diteruskan ke otak, sdangkan organ bicara yang meliputi bibir, gigi, lidah, pita suara, langit-langit, rongga mulut/hidung, kerongkongan, sistem ernafasan merupakan elemen bicara yang berfungsi sebagai pembentukan artikulasi bicara.

2) Kondisi Psiklogis Faktor psikologis yang mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa anak meliputi: minat, kecerdasan dan minat yang cukup kepada apa yang di lihat serta keinginan untuk berkomunikasi dengan orang disekitarnya, merupakan modal utama bagi anak dalam perolehan bahasa.

3) Kondisi Lingkungan

Pada tahun-tahun pertama keberadaan anak memang lebih banyak ada di lingkungan keluarga, oleh karena itu lingkungan keluarga hendaknya mengupayakan penciptaan situasi yang kondusif untuk memberikan kontribusi positif bagi perkembangan bicara dan bahasa anak. Peran aktif lingkungan keluarga dalam emmberikan stimulan verbal dapat mendorong anak untuk lebih meningkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas bicara dan bahasanya.

d. Kemampuan Bahasa Anak Tunarungu Anak tunarungu dapat dikatakan terampil atau mampu berbahasa baik apabila anak tersebut telah meguasai:

1) Kemampuan fonologik, yaitu menguasai bunyi-bunyi bahasa yang meliputi segmental dan bunyi supersegmental. Bunyi segmental adalah bunyi yang dapat kita ruas-ruaskan atau kita penggal, sedangkan supersegmental adalah bunyi yang menyertainya.

2) Kemampuan semantik, yatu kemampuan untuk menguasai kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibangun atas ketampilan fonologik sesuai makna yang dikandung.

3) Kemampuan sosial, yaitu menguasai kontak dengan lingkungannya dengan media wicara yang ditandai oleh kemampuan menggunakan tata cara dn sopan santun berbahasa yang meliputi situasi untuk mengatakan sesuatu, pemilihan yang tepat untuk mengatakannya.

Berdasarkan uraian tersebut maka anak tunarungu dikatakan mampu menguasai bahasa apabila telah memenuhi ketiga hal di atas yang meliputi kemampuan fonologik, semantik, dan kemampuan sosial. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia kemampuan bicara merupakan salah satu komponen yang ada dalam pelajaran tersebut. Kemampuan bicara tersebut meliputi artikulasi

(ketepatan artikulasi anak sesuai dengan kemampuan dan kesehatannya), kelancaran (kesinmbungan ide dan hukum bahasa Indonesia) dan irama.

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada anak tuna rungu dengan menggunakan metode oral, dimana metode ini merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Agar anak tunarungu mampu berbicara dituntut adanya partisipasi dari orang-orang sekelilingnya yaitu dengan melibatkan anak tunarungu bucara secara lisan dalam setiap kesempatan. Dengan diberikannya kesemapatan padanya bicara maka secara tidak langsung anak termotivasi membiasakan bicara secara lisan

3. Tinjauan Tentang Metode Oral

a. Pengertian Metode Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada anak didik. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, disamping mengembangkan pribadinya.

Menurut Suryo Subhroto (1997 : 148) menjelaskan bahwa “pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada murid-murid yang merupakan proses pengajaran (proses bealajar mengajar) itu dilakukan oleh guru disekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu. Cara-cara demikianlah yang dimaksud sebagai metode dalam pembelajaran di sekolah”.

Kenyataan telah menunjukkan bahwa manusia dalam segala hal selalu berusaha mencari efisiensi-efisiensi kerja dengan jalan memilih dan menggunkakan suatu metode yang dianggap terbaik untuk mencapai tujuannya. Demikian pula halnya dalam lapangan pengajaran di sekolah. Para Kenyataan telah menunjukkan bahwa manusia dalam segala hal selalu berusaha mencari efisiensi-efisiensi kerja dengan jalan memilih dan menggunkakan suatu metode yang dianggap terbaik untuk mencapai tujuannya. Demikian pula halnya dalam lapangan pengajaran di sekolah. Para

Jadi jelaslah bahwa metode adalah cara, yang dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Makin tepat metodenya, diharapkan makin efektif pula pencapaian tujuan tersebut. Tetapi khususnya dalam bidang pengajaran disekolah, ada beberapa faktor lain yang ikut berperan dalam menentukan efektifnya metode mengajar, anatara lain adalah faktor guru itu sendiri, faktor anak dan faktor situasi (lingkungan belajar).

Menurut Edja Sajaah & Dardjo Sukarja (1995:145) ”berbagai metode dan pendekatan yang digunakan dalam mengaplikasikan teknik-teknik berbicara sudah banyak dilaksanakan dengan tujuan keberhasilan dalam pembinaan sehingga anak tunarungu mampu berbicara walaupun ia tuli. Ia mampu mengaplikasikannya dalam proses belajarnya untuk kepentingan omunikasi yang lebih luas ataupun untuk kepentingan kehidupanyya. Bicara pada hakekatnya merupakan wujud berbahasa secara lisan (verbal)”.

b. Metode Oral Metode oral merupakan salah satu cara untuk melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar. Agar anak tunarungu mampu berbicara dituntut adanya partisipasi dari orang-orang sekelilingnya yaitu dengan melibatkan anak tunarungu bucara secara lisan dalam setiap kesempatan. Dengan diberikannya kesemapatan padanya bicara maka secara tidak langsung anak termotivasi membiasakan bicara secara lisan.

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa anak tunarungu mengalami masa meraban sebagai bagian dari kesseluruhan perkembangan aktifitas motoriknya. Tetapi mereka tidak dapat mengembangkan kemampuan merabanitu melalui eksplorasi sampai menjasi suatu kemampuan bicara.

Menurut pengertian Prof. Ewing dalam buku Ortopedagogik Anak Tunarungu (Andreas Dwidjosumarto, 1995:142) “suara meraban mereka tidak terlalu berbeda dengan anak yang mendengar sampai usia 12 bulan. Setelah usia tersebut, bila anak mendengar mulai mengucapkan kata-kata, sedangkan bayi yang tunarungu akan menjadi bisu. Konsonan yang biasa diucapkan sewaktu merabanakan hilang satu per satu akhirnya huruf vokal akan hilang juga”.

Para ahli menganjurkan adanya deteksi dan bimbingan dini dalam penanganan anak tunarungu. Hal yang terpenting adalah harus ada hubungan yang erat antara pengamatan dengan eksplorasi aktif yang mendasari sebelumnya. Hanya dengan demikian bicara akan menjadi suatu kecakapan yang merupakan bagian integral dalam totalitas kemampuan komunikasi anak.

Dalam bukunya Andreas Dwidjosumarto (1995 : 141) untuk keberhasilan hal tersebut Van Uden menganjurkan menerapkan prinsip Cybernetik (uman balik, yaitu prinsip yang menekankan perlunya suatu pengontrolan diri). Setiap gerak organ bicara yang menimbulkan bunyi, dirasakan dan di amati sehingga hal itu akan memberi umpan balik terhadap gerakannya yang akan menimbulkan bunyi selanjutnya”.

Metode yang berdasarkan prinsip Cybernetik ini dinamakan metode reaktif. Dengan metode ini belumlah cukup menjadi syarat agar anak bisa bicara dengan baik, sebab yang penting adalah dimilikinya suatu gambaran psikis tentang bicaranya sendiri. Mereka harus menghayati gerak otot organ bicaranya dan juga kesadaran pada gerak mulutnya sewaktu bicara. Untuk keperluan tersebut diperlukan cermin, cermin ini bukan hanya untuk mengamati gerak mulut pelatih (guru) tetapi yang terutama adalah mengamati gerak mulutnya sendiri, hal ersebut tentu saja memerlukan latihan. Bila anak memiliki kebiasaan untuk mengamati gerak mulutnya pada cermin waktu ia bicara, maka ia akan mampu membayangkan dirinya untuk berbicara tanpa cermin. Hal ini tentu akan bermanfaat sekali bagi kemampuan membaca ujarannya.

B. Kerangka Berpikir

Kondisi awal kemampuan pengucapan konsonan bilabial anak tunarungu sebelum guru menggunakan metode oral kemudian dievaluasi hasilnya 7 siswa dari 9 siswa belum tuntas dengan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) =

65. Banyaknya siswa yang belum tuntas menunjukkan bahwa kemampuan mengucapkan konsonan bilabial masih rendah. Atas dasar kondisi yang belum menggembirakan tersebut, guru atau pengajar harus tanggap dan instropeksi diri untuk memperbaiki kondisi tersebut dengan melakukan inovasi pembelajaran dengan menggunakan metode oral yang dapat meningkatkan kemampuan mengucapakan konsonan bilabial pada anak tunarungu menjadi lebih baik.

Kemampuan Awal Kemampuan Pengucapan

Menggunakan

Pengucapan

Konsonan Bilabial Metode Oral Konsonan Bilabial Anak Tunarungu

Anak Tunarungu

Rendah Meningkat

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, hipotesis penelitian ini adalah: ”Melalui Metode Oral ada peningkatan kemampuan pengucapan konsonan bilabial pada anak tunarungu kelas persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang”.

BAB III METODE PENELITIAN

1. Waktu dan Tempat Penelitian

i. Tempat Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas ini di laksanakan di SDLB Negeri Kedungsari Magelang, yang dilakukan pada peserta didik Kelas persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang pada semester genap tahun pelajaran 2008/2009.

ii. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) siklus yaitu siklus I dan siklus II yang dilaksanakan pada:

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

MEI JUNI NO

1 Penulisan proposal

2 Persetujuan proposal v

oleh pembimbing

3 Perijinaan penulisan v

skripsi tingkat prodi, Jurusan, FKIP

4 Penulisan Bab I,II,III

5 Persetujuan

Bab v

I,II,III

oleh

pembimbing

6 Perijinan Penelitian

7 Pelaksanaan v v v v v penelitian

8 Penulisan Bab IV v v v dan V

9 Konsultasi dan v v v persetujuan Bab IV dan

V oleh pembimbing

10 Persetujuan total v v skripsi

oleh pembimbing

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah berupa orang, benda, proses, kegiatan dan tempat (Suharsimi Arikunto, 2005: 89). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SDLB Negeri Kedungsari Magelang tahun pelajaran 2008/2009 Kelas Persiapan yang berjumlah 7 siswa yang belum tuntas. Adapun data siswanya sebagai berikut:

Tabel 2. Data PreTest Siswa Kelas Persiapan SDLB Negeri Kota Magelang

No Subyek

Prestasi Ucapan

Keterangan

Konsonan Bilabial Pre Test

1 An

53 Belum Tuntas

2 Sn

55 Belum Tuntas

3 Ang

47 Belum Tuntas

4 Pt

63 Belum Tuntas

5 Fi

50 Belum Tuntas

6 Fj

46 Belum Tuntas

60 Belum Tuntas Keterangan hasil Pre Test:

7 Jn

i. An memperoleh nilai 53, karena dia hanya dapat mengucap 5 kata dengan cukup jelas yaitu kata mata, bola, topi, pita serta tomat dan 1 kata topi kurang jelas dari sepuluh kata yang diberikan pada saat pre test

ii. Sn memperoleh nilai 55, dia telah dapat mengucapkan kata ubi, hitam, bola dan mata dengan jelas dan dua kata yaitu kata tomat dan atap kurang jelas

iii. Ang mendapat nilai 47, karena Ang dapat mengucapkan 5 kata kurang jelas pada kata mata, bola, pita, ubi, dan tomat iv. Pt memperoleh nilai 63, dia dapat mengucap 5 kata dengan jelas dan 1 kata kurang jelas v. Fi memperoleh nilai 5,0, karena dia dapat mengucapkan 5 kata dengan jelas vi. Fj mendapat nilai 46, karena ia dapat mengucap 5 kata dengan kurang jelas vii. Jn memperoleh nilai 60, sebab ia dapat mengucapkan 6 kata yaitu mata, tomat, ubi, topi, bola, dan pita.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah guru sebagai informan kunci dan siswa sebagai informan serta sumber data yang lain yaitu Kepala Sekolah, buku panduan siswa, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kondisi lapangan SDLB Negeri Kedungsari Magelang yang dijumpai guru sekaligus pendidik.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik atau metode pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Menurut Suharsimi Arikunto macam metode pengumpulan data dalam penelitian antara lain: angket, wawancara, pengamatan (observasi), tes dan dokumentasi.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

i. Observasi

Metode observasi secara mendalam, untuk mengumpulkan data tentang kegiatan siswa selama proses tindakan. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif.

ii. Dokumentasi

Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data identitas siswa dan data yang berkaitan dengan prestasi belajar siswa pada kelas dan semester sebelumnya.

iii. Tes

Siswa sebelum mendapatkan perlakuan dalam pembelajaran pada siklus I diadakan penilaian melalui tes berupa pre-tes, dan siswa yang sudah mendapatkan perlakuan dalam pembelajaran pada siklus I diadakan penilaian melalui tes berupa Siswa sebelum mendapatkan perlakuan dalam pembelajaran pada siklus I diadakan penilaian melalui tes berupa pre-tes, dan siswa yang sudah mendapatkan perlakuan dalam pembelajaran pada siklus I diadakan penilaian melalui tes berupa

E. Validitas Data

Untuk mendapatkan validitas data dalam penelitian ini diperoleh melalui trianggulasi sumber data dan pengumpulan data. Kesuitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam pengucapan konsonan bilabial maka guru membuat tes lisan.

F. Analisis data

Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis diskriptif :

1) Hasil belajar dianalisis dengan analisis deskriptif komparatif yaitu membandingkan hasil belajar (nilai tes) antar siklus.

2) Observasi maupun wawancara dengan analisis deskriptif berdasarkan hasil observasi dan refleksi

G. Indikator Kinerja

Peningkatan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial pada anak tunarungu melalui metode oral kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria ketuntasan.

Untuk ketuntasan belajar ada dua kategori ketuntasan yaitu kategori perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor 65% Untuk ketuntasan belajar ada dua kategori ketuntasan yaitu kategori perorangan dan secara klasikal. Berdasarkan petunjuk pelaksanaan belajar mengajar yaitu seorang siswa telah tuntas belajar bila telah mencapai skor 65%

H. Prosedur Penelitian

Penelitian tindakan kelas (PTK) melalui empat tahapan utama sebagai berikut: (1) perencanaan (planning), (2) tindakan (acting), (3) pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting), empat tahap kegiatan ini disebut satu siklus pemecahan masalah. Secara visual tahapan pada setiap siklus penelitian tindakan kelas dapat dilihat seperti pada gambar di bawah ini :

PLANNING (Perencanaan)

REFLECTING ACTING

(Refleksi) (Tindakan)

OBSERVING

(Pengamatan)

Gambar 1. Tahapan Siklus Penelitian Tindakan Kelas Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas terdiri dari 2 (dua) siklus yaitu siklus I dan siklus II.

1. Pelaksanaan Siklus I

a. Perencanaan ( Planning)

1) Menyiapkan Rencana Persiapan Pembelajaran (RPP)

2) Menyiapkan media berupa cermin, tisu dan gambar

3) Menyiapkan rancangan pembelajaran:

a) Guru mengajak anak baris didepan kelas berjajar-jajar sambil menghitung gerak sampai 8 hitungan

b) Tahap kedua anak-anak saling berhadapan berjabat tangan dan menyebut nama sendiri-sendiri.

c) Materi · Konsonan M

Awal, pada kata Mata Tengah, pada kata Tomat Akhir, pada kata Hitam

· Konsonan B Awal, pada kata Bola Tengah, pada kata Ubi

Akhir, pada kata Rebab · Konsonan P

Awal, pada kata Pita Tengah, pada kata Topi Akhir, pada kata Atap

4) Melaksanakan tes lisan

5) Direncanakan 4 kali pertemuan

b. Pelaksanaan Tindakan (Acting)

Pelaksanaan tindakan yang dilakukan peneliti untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan konsonan bilabial bagi siswa Kelas Persiapan SDLB Negeri Kedungsari Magelang melalui metode oral. Langkah-langkah pelaksanaannya meliputi:

1) Guru melakukan berdoa bersama dengan dilanjutkan apersepsi yaitu memancing siswa untuk mengungkapkan sesuatu hal yang telah dialami atau dilihat oleh siswa.

2) Mengadakan test lisan untuk mengetahui kondisi awal siswa sebelum diberi tindakan.

3) Guru menginformasikan materi pelajaran yang akan dipelajari siswa yaitu tentang konsonan bilabial berupa huruf m, b dan p yang terletak di awal, tengah dan akhir. Contoh: · Konsonan M

Awal, pada kata Mata Tengah, pada kata Tomat Akhir, pada kata Hitam

· Konsonan B Awal, pada kata Bola Tengah, pada kata Ubi

Akhir, pada kata Rebab · Konsonan P

Awal, pada kata Pita

Tengah, pada kata Topi Akhir, pada kata Atap

4) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran

5) Guru menjelaskan materi dengan menggunakan metode oral dan media berupa cermin, tisu dan gambar

6) Peserta didik diberi kesempatan untuk mengamati dan menirukan apa yang telah disampaikan oleh guru.

7) Siswa secara individu bergantian untuk mengucapkan konsonan bilabial dengan benar.

8) Guru menuliskan hasil percakapan yang disertai dengan gambar di papan tulis

9) Guru memberikan kesempatan tanya jawab kepada peserta didik

10) Penarikan kesimpulan oleh siswa dan pembahasan hasil oleh guru

11) Melakukan penilaian yang sebenarnya melalui tes untuk mengukur kondisi akhir siswa setelah diberi tindakan (komponen penilaian yang sebenarnya).

12) Melakukan refleksi di akhir pertemuan agar siswa merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu (komponen refleksi sebagai langkah akhir dari pembelajaran).

Dokumen yang terkait

PENGARUH VARIASI TEKANAN PENGEPRESAN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN FISIK KOMPOSIT TEPUNG KANJI - KULIT KACANG TANAH (Cassava Starch) - (Arachis Hypogaea)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang keberadaannya paling melimpah di atas permukaan bumi, yaitu meliputi 70 dari permukaan bumi dan berjumlah kira-kira 1,3 - 1,4 juta ribu km3 . Namun dari sekian besar

0 0 94

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perencanaan dan perancangan interior amusement centre di Surakarta ( restaurant, bar dan kafe area )

0 2 40

BAB I PENDAHULUAN - Tradisi marawis di pasar kliwon (studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta)

1 4 88

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Identifikasi bakat olahraga siswa putra kelas VII SMP se-Kecamatan Sapuran Kabupaten Wonosobo Tahun Ajaran 2007/2008

0 0 45

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan dosis pupuk kandang ayam dan konsentrasi em-4 terhadap pertumbuhan kacang tunggak (vigna unguiculata l. walp.)

1 4 33

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Penerapan model garch dan jaringan saraf tiruan backpropagation dalam peramalan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan)

0 1 36

Perancangan desain tekstil fasion untuk membangun citra positif anak muda Melalui lirik lagu band Gigi

1 2 19

Implementasi Sistem Pembelajaran Moving Class Pada SMA Negeri 1 Sragen Tahun Ajaran 20082009

0 0 15

47 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis pengembangan agroindustri berbahan baku akar wangi di kabupaten garut

0 5 81