BAB I PENDAHULUAN - Tradisi marawis di pasar kliwon (studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Surakarta memiliki penduduk yang multirasial, meskipun demikian penduduk Jawa yang paling dominan. Seiring dengan pembangunan pada masa Keraton Surakarta, salah satu kebijakan yang dilakukan adalah mengembangkan wilayah sekitar keraton dalam kerangka kekuasaan. Pola pemukiman penduduk Surakarta tidak terlepas dari pola konsentris Kerajaan dan peraturan pemerintah kolonial. Semakin jauh pemukiman itu dari pusat Raja, hal itu menunjukkan semakin rendah derajatnya. Dengan demikian pola pemukiman pada masa kerajaan itu masih mengacu pada pembagian kelas sosial sentono dalem, abdi dalem dan kawulo dalem. Orang-orang yang tidak masuk dalam kelas sosial tersebut, maka pemukimannya berada didaerah tertentu dan terpisah dari penduduk pribumi. Pemetaan penduduk berdasarkan etnis di Surakarta dipertajam lagi pada masa pemerintahan Belanda setelah dapat menguasai Jawa.

Sebelum tahun 1899 telah ada peraturan dari pemerintah kolonial untuk golongan timur asing berupa penempatan pemukiman orang Arab dan Cina yang hanya dibolehkan di kampung-kampung tertentu dan golongan timur asing tidak boleh mendiami rumah orang Eropa atau bermukim di kampung-kampung orang pribumi. Pemerintah Belanda berusaha memisahkan orang-orang Asing dari

pergaulan dan kontak sosial dengan penduduk Jawa. Sebagai kelompok orang asing yaitu orang-orang Arab dan Cina yang berada di luar sistem sosial masyarakat Jawa, maka pemukimannya dikelompokkan di daerah tertentu serta terpisah dengan penduduk pribumi. Disatukannya atau didekatkannya dua perkampungan non-pribumi ini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah kolonial seperti wikjen dan passen stelsel yang digunakan untuk mempermudah pemerintah kolonial dalam mengawasi dan mengendalikan orang-orang pribumi serta juga memisahkan mereka dengan kaum pribumi (Warto, 1985: 105).

Pada tahun 1900 populasi penduduk Surakarta terdiri dari orang Eropa, Cina, Arab dan orang asing lainnya. Sebagai dampak kebijakan pemukiman bagi orang–orang Arab maka munculah kampung Arab yang di sebut dengan Pekojan tetapi, di Surakarta tidak terdapat Pekojan. Perkampungan orang-orang Arab di Surakarta berada di daerah Pasar Kliwon, tepatnya di sebelah timur Keraton. Tempat tersebut dinamakan dengan Perkampungan Arab (Sajid, 1984: 64). Kebanyakan dari mereka sebagai pedagang batik. Sedangkan perkampungan orang-orang Cina berada di sekitar pasar Gedhe meliputi Balong dan Warung Pelem yang kemudian dikenal dengan Pecinan. Kepala kampung Pecinan disebut Babah Mayor, sedangkan kepala kampung orang-orang Arab berpangkat Kapten. Orang-orang Banjarmasin yang menekuni pekerjaan jual beli emas di kelompokkan di Jayengan. Daerah ini kemudian dikenal dengan Banjaran. Orang- orang Belanda kebanyakan bertempat tinggal disekitar benteng “Vastenberg”. Mereka bertempat tinggal dalam loji-loji di sebelah timur Benteng yang kemudian dikenal dengan Lojiwetan. Sedangkan penduduk pribumi yang sebagian besar terdiri dari orang Jawa berada di berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur di seluruh kota. Mata pencaharian mereka dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan (Soerakarta of Solo 1921: 33 dalam Sariyatun, 2005: 42).

Pengelompokan penduduk dalam satu wilayah ini bertujuan untuk memudahkan pengurusan administrasi dan menjaga ketertiban. Semua bangsa asing dikenakan pajak bangsa asing, serta pembatasan waktu bertempat tinggal paling lama lima tahun. Aturan ini dilakukan agar nantinya tidak merepotkan negara Surakarta (Sajid, 1984: 65).

Di Surakarta, orang-orang Arab menempati pemukiman yang dikenal dengan Pasar Kliwon. Pada masa dahulu, Pasar Kliwon merupakan pusat perdagangan hewan oleh penduduk yang ramai pada hari pasaran Kliwon. Kemungkinan besar dipilihnya Pasar Kliwon karena berdekatan dengan Keraton sehingga memiliki fasilitas kehidupan yang jauh lebih baik. Perkampungan itu selanjutnya berkembang mengikuti teori Louis Wirth dalam Warto (1985: 102), dalam proses migrasi individu-individu yang bermigrasi tersebut terdorong untuk mencari teman, saudara, keluarga atau kenalan yang telah terlebih dahulu Di Surakarta, orang-orang Arab menempati pemukiman yang dikenal dengan Pasar Kliwon. Pada masa dahulu, Pasar Kliwon merupakan pusat perdagangan hewan oleh penduduk yang ramai pada hari pasaran Kliwon. Kemungkinan besar dipilihnya Pasar Kliwon karena berdekatan dengan Keraton sehingga memiliki fasilitas kehidupan yang jauh lebih baik. Perkampungan itu selanjutnya berkembang mengikuti teori Louis Wirth dalam Warto (1985: 102), dalam proses migrasi individu-individu yang bermigrasi tersebut terdorong untuk mencari teman, saudara, keluarga atau kenalan yang telah terlebih dahulu

Kemunculan perkampungan etnis Cina maupun Arab ataupun suku lainnya, dilihat dari aspek perkembangan kota ada perbedaan antara perkampungan etnis pendatang di tengah kota dengan di perkampungan pesisir. Menurut Kuntowijoyo dalam Warto (1985: 102), perkampungan etnis asing di tengah kota dilihat dari aspek sosial dan budaya adalah kampung yang memiliki sifat eksklusif dan intensitas hubungan orang-orang asing dan keturunannya dengan penduduk setempat sangat terbatas. Sebaliknya di kota-kota pantai interaksi sosial antara orang asing dengan penduduk setempat lebih luas dan intensif dan keberadaan kampung asing tersebut tidak menunjukkan sisi eksklusifnya.

Berdasarkan penelitian Van den Berg (1989: 1) masyarakat keturunan Arab yang ada di Indonesia barasal dari Hadramaut. Hanya sedikit orang Arab yang datang ke Indonesia yang berasal dari Maskat, di tepian Teluk Persia dari Yaman, Hijaz, Mesir atau dari Pantai Utara Afrika. Jumlah mereka yang sedikit tersebut jarang ada yang menetap di Indonesia dan jikapun ada, mereka berbaur dengan orang Arab dari Hadramaut. Hadramaut merupakan sebuah lembah di negeri Yaman. Kedatangan orang-orang Arab di nusantara diawali dari Aceh, Palembang dan pada abad XIII (1820) sampai di pulau Jawa. Sejak tahun 1870, pelayaran kapal uap antara Timur jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat sehingga kedatangan orang-orang dari Hadramaut tersebut semakin meningkat. Menurut data statistik, saat itu di Pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya, di Madura hanya ada satu yaitu Sumenep (Berg, 1989: 72).

Sebagian besar dari orang-orang Hadramaut yang datang ke Indonesia merupakan pedagang yang dalam perjalanannya mereka membentuk jalur yang menghubungkan antara bagian timur benua Afrika seperti Sudan, Somalia dan Eritrea dengan bagian Selatan benua Asia seperti India dan Indonesia. Perjalanan mereka dengan mengikuti arah angin barat dan timur. Hal inilah yang memaksa mereka menunggu selama beberapa bulan untuk kembali ke Hadramaut, kampung halamannya. Selama masa penungguan inilah interaksi antara mereka dengan penduduk asli terjadi.

Motivasi kedatangan orang-orang Hadramaut tersebut ke Indonesia yang pertama , mereka terlibat dalam proses Islamisasi di Indonesia. Kedua, Motivasi perdagangan. Ada diantara orang-orang Hadramaut yang memegang posisi keagamaan yaitu sebagai Qadi (Qhadli) atau imam, merekapun sekaligus bekerja sebagai pedagang. Selanjutnya para pendatang dari Arab ini langsung berbaur dengan penduduk setempat yang mayoritas penduduk asli. Diantara penduduk asli tersebut, ada yang sudah memeluk agama Islam tetapi dalam kesehariannya masih sangat kental dengan budaya Jawa. Selanjutnya, antara pendatang dari Arab dengan penduduk setempat dapat terjalin hubungan yang harmonis. Sementara itu, orang-orang Arab di Indonesia dengan nyata telah mencapai asimilasi yang sempurna. Mereka berasimilasi dengan penduduk setempat karena memiliki satu faktor yang sangat mendukung. Faktor itu adalah kesamaan agama antara orang Arab dengan orang Pribumi. Satu hal yang membedakan antara penduduk asli dengan orang Arab hanyalah ciri-ciri fisik rasnya (Koentjaraningrat, 1993: 16).

Di Pasar Kliwon, orang-orang Arab memiliki tradisi dalam bidang seni budaya yang mereka bawa dari kampung halamannya, yaitu Hadramaut yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan . Menurut orang-orang Jawa, orang-orang keturunan Arab adalah orang-orang yang taat dalam menjalankan syariat Islam karena agama Islam berasal dari tanah Arab. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini mereka kembangkan kepada masyarakat setempat maupun masyarakat Surakarta pada umumnya. Setelah datangnya orang-orang Arab di Indonesia, maka Islamisasi berkembang dengan subur. Tidak terkecuali di Pasar Kliwon. Sebagai kaum muslim, orang-orang Arab mempunyai kewajiban untuk Di Pasar Kliwon, orang-orang Arab memiliki tradisi dalam bidang seni budaya yang mereka bawa dari kampung halamannya, yaitu Hadramaut yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan . Menurut orang-orang Jawa, orang-orang keturunan Arab adalah orang-orang yang taat dalam menjalankan syariat Islam karena agama Islam berasal dari tanah Arab. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini mereka kembangkan kepada masyarakat setempat maupun masyarakat Surakarta pada umumnya. Setelah datangnya orang-orang Arab di Indonesia, maka Islamisasi berkembang dengan subur. Tidak terkecuali di Pasar Kliwon. Sebagai kaum muslim, orang-orang Arab mempunyai kewajiban untuk

Pada perkembangannya, tradisi ini mengalami akulturasi dengan budaya masyarakat setempat. Sebelum munculnya tradisi orang Arab di Pasar Kliwon, penduduk setempat dalam memeluk agama Islam masih kental dengan budaya Jawa ataupun selain Islam. Pada perkembangannya, daerah ini menjadi pemukiman yang kental dengan suasana Islam. Selain itu, untuk menunjang dakwah Islam di daerah setempat maka dibangunlah masjid-masjid baik milik perorangan maupun secara gotong royong oleh masyarakat keturunan Arab tetapi tetap berfungsi sosial terhadap masyarakat sekitar. Masyarakat Arab sangat

menghormati tradisi yang berlaku, mereka memandang bahwa tradisi adalah sesuatu yang melekat dan hanya ada pada diri manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan. Sekalipun dalam kehidupan sosial telah membaur dengan masyarakat Jawa dan etnis lainnya yang menjadi bagian masyarakat di Pasar Kliwon.

Secara umum, saluran Islamisasi di Indonesia dilakukan dengan melalui lingkungan keluarga atau perkawinan, pendidikan di Pesantren, organisasi, media massa dan seni budaya. Di lihat dari sejarahnya, orang-orang Arab telah menduduki posisi yang strategis di dalam proses Islamisasi di Indonesia. Dalam rangka menyebarkan ajaran Islam, mereka menggunakan cara-cara yang tepat sehingga penduduk setempat mudah menerimanya. Banyak seni budaya yang di gunakan oleh para Wali ataupun orang-orang Arab untuk menyebarkan dakwah Islam antara lain dengan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Kesenian sebagai produk budaya merupakan salah satu kebutuhan manusia yang tidak dapat diabaikan sebab manusia mutlak memerlukannya. Kebutuhan pada seni merupakan perimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Salah satu kesenian yang dikembangkan oleh orang-orang Arab di Pasar Kliwon adalah Marawis.

Eksistensi marawis dalam batasan ruang dan waktu akan mengalami perubahan yang merupakan kebudayaan yang dihayati dari masa ke masa, karena tradisi akan tetap ada dalam masyarakat yang berbudaya. Tradisi itu sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat di Pasar Kliwon karena tradisi dan peninggalan yang memiliki corak yang khas kepada kebudayaan bangsa perlu dipelihara dan untuk mengembangkan kesadaran sejarah (Depdikbud, 1978: 11). Munculnya Marawis pada masyarakat Arab di Pasar Kliwon telah ada sejak tahun 1970 an yang telah di bawa oleh seorang ulama dari Hadramaut bernama Habib Muhammad Al Mukhdori. Dalam prakteknya, orang-orang Arab tidak sekaligus memasukkan begitu saja ajaran Islam, tetapi menggunakan media yang dapat menarik masyarakat untuk masuk dan memeluk agama Islam yang disesuaikan dengan penduduk setempat, misalnya dengan menampilkan marawis dalam peringatan hari-hari besar Islam, seperti dalam peringatan Maulid Nabi Muhamad SAW yang dilaksanakan setiap tahun dalam masyarakat di Pasar Kliwon, memperingati orang yang sudah meninggal (khaul) dan pesta pernikahan.

Berpijak pada latar belakang di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam dalam sebuah karya ilmiah yang berjudul:

‘‘TRADISI MARAWIS DI PASAR KLIWON” (Studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan judul skripsi, yakni sebagai berikut:

1. Bagimanakah latar belakang munculnya tradisi marawis di Pasar Kliwon ?

2. Bagaimanakah pementasan tradisi marawis di Pasar Kliwon ?

3. Bagaimanakah dampak tradisi marawis terhadap kehidupan masyarakat setempat ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada perumusan masalah tersebutdi atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya tradisi marawis di Pasar Kliwon.

2. Untuk mengetahui pementasan tradisi marawis di Pasar Kliwon.

3. Untuk mengetahui dampak tradisi marawis terhadap kehidupan masyarakat setempat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat:

a. Untuk memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

b. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan kepada peneliti khususnya dan para pembaca pada umumnya mengenai budaya masyarakat Arab.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis atau aplikasinya, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

a. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar Sarjana Kependidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Pendidikan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Melengkapi koleksi penelitian ilmiah di Perpustakaan, khususnya mengenai Tradisi Marawis di Pasar Kliwon yang merupakan Studi tentang budaya masyarakat Arab di Surakarta.

c. Menambah bacaan di Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah maupun di Fakukltas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kebudayaan

a. Pengertian kebudayaan

Kebudayaan berasal dari bahasa latin ”Cultura” yang artinya, pengolahan, pemeliharaan, Cultura Animi yaitu pembentukan jiwa sama dengan peradaban. Istilah Cultura tumbuh dikalangan Romawi, untuk menyatakan pengertian sama dengan paideia yaitu pendidikan, perkembangan, peradaban, sampai pada abad ke- 19 pengertian kebudayaan menunjukkan bidang kesusastraaan yaitu kesenian. Dalam pengertian itu selalu terkait apa yag dinamakan peradaban dalam diri, pembentukan cita rasa dan pendapat atau gagasan (Taufik H. Idris, 1983: 11).

Sejak abad ke- 9 pengertian kebudayaan merupakan istilah untuk menunjukkan segala hasil karya manusia berkaitan dengan pengungkapan bentuk. Dalam hubungan dengan alam, kebudayaan menunjukkan segala penggarapan manusia dari hasil alam dan dirinya. Kebudayaan meliputi perlengkapan hidup, peralatan, bahasa, negara, hukum, ilmu pengetahuan dan agama (Ensiklopedia Indonesia, 1991: 52). Pengertian tentang kebudayaan juga di kemukakan oleh Gunawan Wiradi (1991: 265), bahwa kebudayaan adalah:

Himpunan keseluruhan dari semua cara manusia berfikir, berperasaan dan perbuatan serta segala yang dimiliki manusia sebagai anggota masyarakat yang dapat dipelajari dan dialihkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebudayaan merupakan konsep abstrak, artinya hanya ada dalam angan-angan manusia, sedangkan manifestasinya atau perwujudtannya yang merupakan hasil kebudayaan dapat berupa hal-hal yang kongkrit dan nyata, dapat berupa hal-hal yang badani (material) juga mampu bersifat immaterial.

R. Soekmono (1983: 17), mengartikan kebudayaan sebagai dimensi manusia dari manusia itu sendiri, artinya kebudayaan manusia terwujud dari perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan sebagai ciptaan manusia dibedakan menjadi dua segi, yaitu: (1) segi kebudayaan yang R. Soekmono (1983: 17), mengartikan kebudayaan sebagai dimensi manusia dari manusia itu sendiri, artinya kebudayaan manusia terwujud dari perkembangan norma hidup manusia dan lingkungan. Kebudayaan sebagai ciptaan manusia dibedakan menjadi dua segi, yaitu: (1) segi kebudayaan yang

Koenjtaraningrat (1974: 12), mengatakan bahwa budaya berasal dari bahasa Sanskerta ” budhaya” kata ini adalah bentuk jamak dari ”budhi” yang berarti ”budi atau akal”. Kata ”budi” sering dirangkaikan dengan ”akal” sehingga menjadi akal budi yang mempunyai arti kepandaian. Dari pengertian diatas maka kebudayaan selalu berkaitan dengan tingkah laku manusia karena manusia makhluk yang berkebudayaan. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna, yang mempunyai akal budi sejak dilahirkan. Akal budi dan jiwa inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya, misalnya manusia mempunyai jiwa dan kebudayaan, sedangkan yang lainnya tidak mempunyai jiwa ataupun kebudayaan. Suatu hal yang membedakan antara manusia dengan mahkluk Tuhan yang lainnnya adalah jiwa dan kebudayaan.

Kluckhon dalam Sidi Gazalba (1968: 37), menyatakan bahwa kebudayaan mengandung arti pola-pola kehidupan yang diciptakan dalam perjalanan sejarah, eksplisit dan implisit, rasional, irasional dan non irasional yang terwujud pada setiap waktu sebagai pedoman yang berpotensi pada perilaku manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat E.B. Taylor yang dikutip oleh Soerjono Soekanto (1990: 188), mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Berdsarkan pernyataan tersebut di atas dapat diketahui bahwa kebudayan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia yang tertuang dalam wujud-wujud tertentu, yang dapat dinikmati oleh semua orang dan dipergunakan bagi kelangsungan hidup manusia.

b. Wujud Kebudayaan

Dalam menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan. Menurut Munandar Sulaiman (1987: 25), bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: (1) Dalam menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan. Menurut Munandar Sulaiman (1987: 25), bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: (1)

c. Unsur Kebudayaan

Untuk memudahkan pemahaman tentang kebudayaan yang sangat luas, maka secara teoritik kebudayaan di bagi ke dalam beberapa unsur. Koentjaraningrat (1983: 2), membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh unsur yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dari organisasi masyarakat, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, (7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur kebudayan masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam sub unsur-unsurnya. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut dapat ditemukan dalam kebudayaan di manapun di dunia, baik yang hidup di masyarakat pedesaan yang kecil maupun masyarakat perkotaan yang besar dan komplek serta memiliki jaringan yang luas.

Pada hakekatnya, Islam selalu mengangkat harkat dan martabat manusia dan kemausiaan. Seni budaya yang dilahirkan Islam bersumber pada Al Quran dan Hadist. Menurut Hasjmy (1993) yang di kutip oleh Maryati (1997: 18), bahwa Kebudayaan Islam merupakan penjelmaan akal dan rasa manusia muslim yang bersumber pada Al Quran dan sunah Rosul, sedangkan hasil karya, corak dan ragam budaya yang bertentangan dengan Allah dan Rosul- Nya bukan merupakan kebudayaan Islam. Kebudyaan Islam merupakan cara berfikir (budi dan rasa) dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu.

Islam adalah fitrah manusia, kebudayaan yang didalamnya terdapat unsur kesenian bagi manusia termasuk fitrahnya pula. Kesanggupan berbudaya pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Kegiatan berkresai seni dianggap sebagai manifestasi dan refleksi dari kehidupan manusia terhadap panggilan Tuhan. Dari pendapat diatas jelas bahwa seni budaya Islam adalah hasil ciptaan manusia yang didasarkan pada ajaran Islam dan mencerminkan ajaran-ajaran Islam.

Allah SWT mempunyai segala sifat yang baik, sedangkan manusia sebagai khalifah di bumi mengemban amanat dari Tuhan untuk mengembangkan kemampuannya dengan menciptakan karya-karya yang beraneka ragam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Manusia dalam menciptakan karya- karyanya, harus diusahakan selalu untuk menghindari adanya niat mengingkari ketauhidan, menghalalkan segala cara yang dilarang oleh Allah karena semua itu dilarang dalam ajaran Islam.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa budaya Arab identik dengan budaya Islam, karena mereka mendasarkan pada agama Islam yang pertama kali datang dari tanah Arab, dan juga Al Quran sebagai pedoman umat Islam bertuliskan dan berbahasa Arab. Anggapan yang demikian itu tidak benar sepenuhnya karena budaya Islam bukanlah merupakan hak monopoli orang Arab saja, tetapi untuk seluruh umat manusia di muka bumi. Sifat universal yang dimiliki oleh seni budaya Islam bukan hanya untuk golongan tertentu tetapi untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia ini sebagai anugerah dan barokah dari Allah.

Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaan sehingga sering disebut makhluk berbudaya. Bila dikaitkan dengan pelaksanan tradisi marawis di Pasar Kliwon, tradisi merupakan perwujudan tingkah laku dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Perwujudan tingkah laku tersebut berupa pelestarian dan penghormatan kepada tradisi-tradisi leluhur yang dilakukan sejak dulu dan diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat pendukungnya sampai saat ini. Pelaksanaan tradisi marawis, pada perkembangannya mengalami percampuran antara kebudayaan Arab dan kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam tampak pada Begitu eratnya hubungan manusia dengan kebudayaan sehingga sering disebut makhluk berbudaya. Bila dikaitkan dengan pelaksanan tradisi marawis di Pasar Kliwon, tradisi merupakan perwujudan tingkah laku dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Perwujudan tingkah laku tersebut berupa pelestarian dan penghormatan kepada tradisi-tradisi leluhur yang dilakukan sejak dulu dan diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat pendukungnya sampai saat ini. Pelaksanaan tradisi marawis, pada perkembangannya mengalami percampuran antara kebudayaan Arab dan kebudayaan Islam. Kebudayaan Islam tampak pada

Dalam pengertian secara umum kebudayaan diidentikkan dengan kesenian terutama seni sastra, seni tari, seni suara, seni pahat dan lain sebagainya. Masalah kesenian bukanlah masalah yang dapat dipandang satu aspek saja, melainkan merupakan bagian dari kebudayaan manusia atau kebudayaan masyarakat. Jika pengertian kesenian ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan kemasyarakatan, seni merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Kesenian merupakan aspek kebudayaan yang universal yang dapat ditemukan dalam kebudayaan dahulu, sekarang dan dimanapun juga (Sidi Gazalba, 1988: 39).

Soedarsono (1976: 30), kesenian adalah segala sesuatu bentuk yang menyenangkan, dan dapat memenuhi keinginan yang terakhir. Menurut John Martin yang dikutip oleh Soedarsono (1976: 30), bahwa setiap keindahan yang terdapat dalam seni merupakan sesuatu yang dapat memberikan kepuasan pada batin manusia, dan tadak hanya melalui gerak–gerik yang keras, kasar, penuh keanehan–keanehan saja yang dapat menimbulkan keindahan, tetapi juga gerak– gerik yang halus. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manusia di dalam mengahasilkan karya seni bertujuan untuk menumbuhkan rasa keindahan, dan keindahan tersebut menyebabkan seseorang merasa terpenuhi segala keinginannya sehingga merasakan kepuasaan.

Kesenian akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada. Pendapat tersebut diperjelas oleh Umar Khayam (1981: 15), bahwa sebagai salah satu unsur kebudayaan, Kesenian akan mengalami kehidupan statis apabila kebudayaan juga statis, sebaliknya kesenian akan bergerak dan berkembang apabila kebudayaan juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan baik itu cepat atau lambat. Berpedoman dengan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sebagai salah satu dari unsur kebudayaan universal, kesenian dalam gerak dan langkahnya tidak dapat dipisahkan dari Kesenian akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan yang ada. Pendapat tersebut diperjelas oleh Umar Khayam (1981: 15), bahwa sebagai salah satu unsur kebudayaan, Kesenian akan mengalami kehidupan statis apabila kebudayaan juga statis, sebaliknya kesenian akan bergerak dan berkembang apabila kebudayaan juga selalu bersikap terbuka terhadap perubahan baik itu cepat atau lambat. Berpedoman dengan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sebagai salah satu dari unsur kebudayaan universal, kesenian dalam gerak dan langkahnya tidak dapat dipisahkan dari

Kesenian tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, maka masyarakat sebagai penyanggga kebudayaan dan kesenian berusaha mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru.

Menurut Edi Sedyawati dan Joko Damono (!981: 54), bahwa kesenian memiiki bermacam- macam peranan dalam hidupnya dan peranan itu ditentukan oleh keadaan masyarakatnya. Seperti halnya bentuk kesenian yang hidup di lingkungan pedesaan, maka tradisi marawis yang ada dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon memiliki beberapa fungsi, yakni sebagai berikut:

Fungsi yang paling umum darai kesenian rakyat adalah sebagai fungsi alat pendidikan masyarakat terutama para pemuda–pemudanya. Sebagai alat penmebal rasa solidaritas kolektif, sebagai alat untuk memberi kesempatan bagi seseorang untuk melarikan diri sementara dari kehidupan nyata ke dunia khayal yang indah. Sebagai alat pengehibur penontonnya dan lain sebagainya (Edi Sedyawati dan Joko Damono (1981: 81).

Berpedoman pada pendapat kedua tokoh tersebut, maka marawis dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon berfungsi sebagai alat penebal solidaritas dan alat pendidikan bagi masyarakat di Pasar Kliwon khususnya dan Surakarta pada umumnya untuk mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengajak manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar (menuju kebaikan dan mencegah kemunkaran).

2. Tradisi

Menurut Nyoman Bharata (1982: 22), pengertian tradisi berasal dari bahasa latin “traditio’’ yang berarti penyerahan. Penyerahan tersebut berupa pengetahuan tentang prinsi-prinsip yang tertinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, Hardjono (1975: 23) berpendapat:

Tradisi adalah suatu pengetahuan atau ajaran yang diturunkan dari masa ke masa, yang memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran relatif, dengan demikian segala kebenaran dan kenyataan dalam alam yang lebih rendah adalah peruntukan (aplication) dari pada prinsip universal. Van Peursen (1976: 11), berpendapat bahwa tradisi merupakan pewarisan

secara penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah dan pewarisan harta kekayaan. Pengertian tentang tradisi yang lain adalah sesuatu budaya yang di dalam melaksanakan hak seseorang berdasarkan aturan yang pernah dilakukan oleh generasi sebelumnya. Pada perkembangannya menjadi tradisional yang berarti mencakup segala sesuatu yaitu adat istiadat, kepercayaan, kebiasaan dan ajaran yang turun temurun. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1984: 23) tradisi adalah hal atau isi sesuatu yang diserahkan dari sejarah masa lampau dalam bidang adat, bahasa, tata kemasyarakatan dan keyakinan maupun proses penyerahan atau penerusan kepada generasi berikutnya.

Sidi Gazalba (1974: 47), berpendapat tentang tradisi bahwa kehidupan kebudayaan berlaku dalam waktu kebudayaan mempertahankan diri dengan jalan tradisi yaitu pewarisan unsur-unsur kebudayaan diri dari suatu angkatan menuju angkatan berikutnya, karena sesuatu tidak datang secara tiba-tiba untuk menjadi suatu kebudayaan. Tanpa kehidupan, suatu kebudayaan akan diakhiri dengan kemusnahan. Tradisi merupakan syarat kesinambungan seluruh kehidupan, syarat bagi kesinambungan seluruh kehidupan berbentuk waktu yang meliputi masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian tradisi adalah segala sesuatu seperti adat yang bersifat memaksa dan berlangsung terus menerus dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1993: 23).

Tradisi akan berlangsung sejalan dengan dengan bergantinya generasi penerus yang masih mempertahankan segala sesuatu yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Setiap arga negara suatu masyarakat yang mempunyai berbagi tradisi mempunyai kewajiban untuk tetap mempertahankannya agar tetap sesuai dengan kepribadian aslinya. Perubahan yang terjadi karena pengaruh dari luar akan dipergunakan sebagai masukan yang bernilai positif namun tidak memudarkan nilai asli dari tradisi masyarakat tersebut.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah suatu adat kebiasaan yang diperoleh secara turun temurun dari para pendahulunya atau nenek moyangnya. Tradisi juga diartikan sebagai suatu bentuk kegiatan sosial dengan melibatkan warga masyarakat dalam usahanya untuk mencapai tujuan bersama dan merupakan bagian yang integral dari kehidupan masyarakat pendukungnya.

Berkaitan dengan definisi tradisi seperti tersebut di atas, maka marawis adalah tradisi dalam hal kesenian yang merupakan budaya masyarakat Arab di Pasar Kliwon yang di bawa oleh para pendahulu mereka dari Hadramaut, Yaman Selatan. Tradisi ini akan tetap dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya sampai saat ini. Masyarakat Arab menggunakan tradisi tersebut sebagai salah satu usaha untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Pada perkembangnnya tradisi ini dikembangkan kepada masyarakat umum di Surakarta dengan mengajak masyarakat untuk mengarah pada kebaikan dan mencegah kemungkaran (Amar Ma’ruf Nahi Munkar), seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Tradisi marawis dalam masyarakat Arab di Pasar Kliwon biasanya dimainkan di dalam Masjid pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang diadakan setiap tahun, halalbihalal dan (khaul) memperingati kematian orang Islam yang dianggap berjasa dalam masyarakat dan pesta pernikahan.

3. Dakwah Islam

Allah SWT dalam Al Quran surat Yusuf ayat 108, telah mengajarkan kepada Nabi Muhammad agar menyeru, mengajak, memanggil umat manusia ke jalan– Nya (Departemen Agama Republik Indonesia, 2005: 249 ). Makna dakwah dalam ayat ini ialah ad-dakwah ila Allah (ad’u ila Allah) yakni seruan, ajakan, panggilan dan imbauan kepada Allah. Seruan, ajakan, panggilan dan imbauan kembali kepada Allah disebut dengan istilah dakwah (Amien Rais, 1987: 24).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer mengidentifikasikan istilah ‘‘Islamisasi” dengan kata Dakwah. Istilah Islamisasi berasal dari kata ‘‘Islam” dan mendapat sufiks ‘‘isasi”, hal ini mengandung maksud bahwa Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer mengidentifikasikan istilah ‘‘Islamisasi” dengan kata Dakwah. Istilah Islamisasi berasal dari kata ‘‘Islam” dan mendapat sufiks ‘‘isasi”, hal ini mengandung maksud bahwa Islam

Pendapat kedua tokoh tersebut didukung oleh Effendy Zarkasi (1977: 14), bahwa dakwah berarti menghasung (mengajak) kepada kebaikan dan petunjuk agar mengerjakan yang baik (ma’ruf) dan menjauhi kejahatan (munkar), agar mereka mancapai keutuhan dunia dan akherat. Maksud dari jalan baik dan petunjuk yang baik tidak lain adalah Islam. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik simpulan bahwa Islamisasi atau dakwah merupakan suatu ajakan, seruan atau panggilan kepada seseorang atau banyak orang untuk berbuat baik dan menjauhi kejahatan. Dalam penelitian ini, untuk menyebut kedua istilah ‘‘Islamisasi dan Dakwah” penulis menggunakan istilah Dakwah Islam.

Toto Tasmoro (1987: 35), mengidentifikasikan Islamisasi dengan istilah Dakwah. Kata dakwah berasal dari bahasa Arab da’a dari kata da’a yad’u du’aaan/da’watan , lalu menjadi kata du’a atau da’wah yang berarti do’a yang keduanya mempunyai arti yang sama yaitu ajakan atau panggilan. Asal kata da’a ini bisa diartikan bermacam-macam tergantung pada pemakaian dalam kalimat. Mislanya: ”da’ahu artinya memanggil atau menyeru, da’alahu artinya mendoakan kepadanya”. Dakwah berarti seruan seseorang kepada orang lain agar masuk dan mengikuti ajaran Islamn. Pendapat ini juga didukung oleh Chadijah Nasution, yang menyatakan bahwa dakwah dalam Islam adalah mengajak masyarakat untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam dan menyuruh berbuat baik itu adalah tugas dalam agama Islam. Lebih luas Amien Rais mengartikan dakwah secara makro, yaitu dakwah dalam Islam merupakan suatu rekonstruksi masyarakat yang mengandung unsur-unsur Jahiliyyah menjadi masyarakat yang Islami. Dakwah juga merupakan proses Islamisasi pada seluruh kehidupan manusia, jadi kegiatan dakwah dalam Islam meliputi segenap dimensi kehidupan manusia (Ridin Sofwan, 2000: 34).

Dakwah Islam merupakan suatu kewajiban bagi seluruh umat Islam di seluruh dunia. Seperti pendapat Hamka (1993: 71), bahwa: Setiap muslim harus menyiarkan agamanya, baik yang pengetahuannya

sedikit apalagi yang banyak, kepada orang lain yang belum mengetahuinya. Hal itu disebabkan karena kebenaran yang terkandung di dada setiap Muslim tidak akan diam, kecuali kebenaran itu terwujud dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Dan ia tidak akan puas hingga ia menyampaikan kebenaran itu pada setiap orang, sehingga apa yang ia percayai itu juga sebagai kebenaran oleh anggota masyarakat dan umat manusia pada umumnya.

Pendapat Hamka itu sesuai dengan Hadits nabi ‘‘Sampaikanlah walau hanya satu ayat”. Berdasarkan Al Quran surat Al imron ayat 104 (Departemen Agama Islam Republik Indinesia, 2005: 64 ), bahwa hukum dakwah Islam adalah Fardhu Kifayah (kewajiban kolektif) dan fardhu ’ain (kewajiban individu). Ada sebagian orang menganggap ayat ini mengandung pengertian tab’id (bagian), sehingga hukum dakwah menjadi fardhu kifayah. Ada pula yang menganggap sebagai zaidah (tambahan), sehingga hukumnya menjadi fardhu a’in.

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap muslim bahwa agama Islam merupakan agama motivasi dan sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk menyerukan, mendakwahkan Islam dengan kemampuan masing- masing. Sesungguhnya seorang Da’i atau pengajak bertugas untuk mengajak seluruh manusia, baik yang muslim maupun nonmuslim untuk memahami Islam dan mengamalkannya serta menegakkan syariat Islam di muka bumi, agar manusia meraih kebahagiaan di dunia dan mendapat kenikmatan di akhirat. Seorang Da’i dituntut untuk menjelaskan, menguraikan dan merinci ajaran Islam dengan mengambil keteladanan dari Rosulullah SAW (Jum’ah Amin Abdul Aziz, 1997: 46). Seorang Da’i dalam berdakwah harus selalu memperhatikan esensi dari dakwah itu sendiri yaitu ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran Islam dengan penuh kesadaran. Pendapat tersebut sejalan dengan definisi dakwah menurut Arifin (1977: 17), sebagai berikut:

Dakwah merupakan suatu kegiatan atau ajakan yang baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana secara individual maupun secara kelompok agar supaya Dakwah merupakan suatu kegiatan atau ajakan yang baik dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana secara individual maupun secara kelompok agar supaya

Berpedoman pendapat tersebut di atas, maka dalam mengembangkan dan menyiarkan ajaran agama dan haruslah berpegang teguh pada tata cara dan aturan permainan yang ditentukan. Misalnya, harus menghormati dan menghargai hak- hak asasi manusia, tidak boleh melakukan kekerasan terhadap pemeluk agama lain apalagi sampai memaksa dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan lahirnya Islam ke dunia yang tidak mengenal paksaan ataupun kekerasan.

Dakwah juga diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan atau suatu proses dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan dan pedoman bagi gerak dan langkah kegiatan dakwah tersebut. Din Syamsudin (2002: 127), dalam rangka mancapai tujuan dakwah seorang Da’i atau pengajak harus mendasarkan pada dua konsep dasar dalam dakwah yaitu:

1) Dakwah bi lisanil hal yaitu penyampaian ajaran Islam dengan budi pekerti yang luhur, sehingga Da’i dianggap sebagai panutan dalam bertindak dan bertingkah laku.

2) Dakwah bi lisalil maqal yaitu dakwah dengan menggunakan pernyataan- pernyataan lisan (ceramah, seminar, nasehat). Dengan berpedoman pada dua konsep tersebut, maka tujuan dakwah akan tercapai apabila pada diri manusia sudah terjadi proses sosialisasi yang di wujudkan ke dalam kehidupan beragama.

Tujuan dakwah Islam dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah untuk mengajak manusia ke jalan yang benar yang di ridhoi oleh Allah SWT, sedangkan tujuan khususnya dapat dibedakan menjadi: (1) Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk selalu

meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. (2) Membina mental agama Islam bagi kaum yang masih mualaf (orang yang baru beriman).

(3) Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk agama Islam). (4) Mendidik dan mengajarkan kepada anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya. Dalam rangka mencapai tujuan dakwah secara efisien dan efektif maka, komponen yang dianggap tepat adalah dengan menggunakan media dakwah. Media dakwah adalah segala alat bantu yang di gunakan oleh Da’i dalam menyampaikan pesan dakwahnya kepada orang yang di dakwahi untuk mencapai tujuan dakwah yang diinginkannya. Ruang lingkup yang bisa dijadikan sebagai media dakwah adalah (1) keluarga, (2) lingkungan pendidikan, (3) organisasi (4) seni budaya dan (5) media massa.

Dalam menyebarkan cita-cita atau tujuan, maka media merupakan alat yang penting dan sekaligus sebagai urat nadi dalam menyebarkan dakwah Islam. Datuk Tombak Alam, 1990 dalam Maryati (1997: 26) membagi dakwah ke dalam empat sifat, yaitu: (1) Media lisan, yaitu melalui kata-kata yang terucap untuk menyalurkan cita-cita

antar manusia. (2) Media tulisan, berwujud buku-buku bacaan, surat kabar, majalah dan sebagainya yang berfungsi sebagai penyebar cita-cita. (3) Media radio, merupakan media yang dapat di dengar sebagai penyalur cita- cita. (4) Media film atau pertunjukan, berfungsi sebagai penyebar cita-cita dan membentuk pendapat umum. Kaitan anatara pendapat-pendapat di atas dengan penelitian ini adalah masyarakat ataupun orang-orang Arab di Pasar Kliwon, Surakarta memiliki peran atau posisi yang strategis dalam proses dakwah Islam. Dalam menyebarkan ajaran Islam, para ulama Arab menggunakan cara-cara yang tepat sehingga dapat diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Misalnya: dengan menggunakan media kesenian. Melalui kesenian marawis yang dipentaskan oleh para ulama di setiap majelis ilmu dapat menciptakan keramaian, sehingga masyarakat yang mendengar muncul keinginan untuk datang ke majelis dan menyaksikannya.

Melalui syair-syair yang terwujud daam alunan qosidah atau ceramah-cermah yang disampaikan oleh ulama dalam majelis sehingga masyaarakat secara langsung atau tidak langsung telah menyerap ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu, para ulama Arab di Pasar Kliwon Surakarta dalam berdakwah tidak terlepas dari kebudayaan yang dimiliki penduduk setempat yaitu marawis. Selain melalui kebudayaan, cara lain yang digunakan oleh masyarakat Arab di Pasar Kliwon Surakarta dalam mendakwahkan ajaran Islan yaitu melalui bidang pendidikan dengan mendirikan lembaga pendidikan atau sekolah yang berlandaskan ajaran Islam. Melalui seni budaya yang bernafaskan Islam atau dengajn pendidikan semuanya bertujuan untuk mengajak masyarakat di sekitarnya manusia untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat (amar ma’ruf nahi munkar).

B. Penelitian yang relevan

Untuk mempertajam dan memperkuat hasil penelitian ini, maka penulis menggunakan hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang sedang penulis teliti yaitu:

Penelitian Hana Farkhana (2007) dengan judul “Musik Gambus dalam Komunitas Arab di Pasar Kliwon, Surakarta’’. Karya ini dutujukan untuk mendapat gelar Sarjana Karawitan pada Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta; yang terdiri dari lima bab dengan tebal 89 halaman.

Menurut Hana Farkhana (2007), penelitiannya lebih menitikberatkan pada melodi, syair dan lagu serta instrumen yang digunakan dalam gambus sesuai dengan pendidikan tempat menuntut ilmu yaitu di ISI Surakarta. Musik gambus muncul di Pasar Kliwon diduga bersamaan dengan penyebaran Islam yaitu kira- kira tahun 1730-an yang dibawa oleh para pedagang Arab di Pasar Kliwon. Apabila dilihat dari pendekatan sejarah musik gambus dalam komunitas Arab di Pasar Kliwon, merupakan hasil pewarisan dari orang-orang Arab dari Hadramaut. Dalam usaha menyebarkan ajaran Islam, kedudukan kesenian mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai sarana untuk mendakwahkan agama Islam. Kehadiran musik gambus di Pasar Kliwon, pada mulanya merupakan sarana untuk Menurut Hana Farkhana (2007), penelitiannya lebih menitikberatkan pada melodi, syair dan lagu serta instrumen yang digunakan dalam gambus sesuai dengan pendidikan tempat menuntut ilmu yaitu di ISI Surakarta. Musik gambus muncul di Pasar Kliwon diduga bersamaan dengan penyebaran Islam yaitu kira- kira tahun 1730-an yang dibawa oleh para pedagang Arab di Pasar Kliwon. Apabila dilihat dari pendekatan sejarah musik gambus dalam komunitas Arab di Pasar Kliwon, merupakan hasil pewarisan dari orang-orang Arab dari Hadramaut. Dalam usaha menyebarkan ajaran Islam, kedudukan kesenian mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai sarana untuk mendakwahkan agama Islam. Kehadiran musik gambus di Pasar Kliwon, pada mulanya merupakan sarana untuk

Relevansi antara karya Hana Farkhana dengan penelitian ini terletak pada fungsi pementasannya yaitu sebagai sarana untuk mendakwahkan ajaran Islam. Hal itu dapat dilihat dari syair-syair dan lagu yang dilantunkan dalam kesenian musik gambus. Tulisan Hana Farkhana ini dapat dikatakan sebagai ikhtisar saja, karena di dalamnya hanya berisikan uraian secara singkat mengenai fungsi musik gambus dalam komunitas Arab di Pasar Kliwon yang meliputi fungsi hiburan dan fungsi komunikasi serta fungsi simbolik.

C. Kerangka Berfikir

Kerangka pemikiran adalah suatu alur berfikir yang digunakan oleh peneliti dengan menggambarkan secara menyeluruh dan sitematis. Kerangka pemikiran yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Budaya Arab Agama Islam

Tradisi

Masy. Arab Dakwah

di Pasar Kliwon Islam

marawis

Budaya Jawa

Bagan I. Alur Kerangka Pemikiran

Keterangan: Agama Islam merupakan agama yang diturunkan di tanah arab yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW Agama Islam mengalami perkembangan pesat di seluruh dunia. Kegemilangan dan kebesaran agama Islam itu dapat dirasakan dimana-mana. Agama Islam di Indonesia disebarkan dengan cara-cara damai misalnya melalui kontak antar pedagang di daerah pesisir, perkawinan, pendidikan di pondok pesantren, kesenian dan lain sebagainya. Agama Islam turun di tanah Arab dan Al Quran sebagai pedoman umat Islam bertuliskan dan berbahasa Arab, walaupun demikian agama Islam dan budaya Islam tidak hanya diperuntukkan kepada orang-orang Arab tetapi untuk seluruh umat manusia yang ada di bumi.

Para ulama Arab di Pasar Kliwon melakukan berbagai cara dalam rangka memasukkan ajaran Islam ke dalam kehidupan masyarakat setempat. Para ulama Arab berusaha mempergunakan cara yang tepat untuk memudahkan masyarakat agar dapat menerima ajaran Islam. Cara yang ditempuh yaitu dengan melalui seni budaya Islam yang bernama marawis. Melalui seni budaya, banyak diantara para ulama yang mengalami keberhasilan dalam mendakwahkan Islam. Tradisi ini berkembang di daerah tersebut karena kondisi dan situasi masyarakat setempat memungkinkan sekali untuk menggunakan tradisi ini sebagai sarana untuk mendakwahkan Islam baik kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat dapat menerima pesan-pesan, ajaran Islam yang disampaikan di dalam syair dan lagu-lagu marawis, karena didorong oleh kebutuhan lahiriyah dan kebutuhan batiniyah.

Di dalam pelaksanaannya, terdapat kesamaan pandangan dan tujuan antara budaya Jawa (masyarakat Surakarta adalah orang Jawa) dengan masyarakat Arab di Pasar Kliwon yang tersimbolkan oleh tradisi marawis.yaitu keduanya berfungsi untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada masyarakat sekitar maupun di Surakarta pada umumnya.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pasar Kliwon, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi dengan judul “Tradisi Marawis Di Pasar Kliwon” (Studi Tentang Budaya Masyarakat Arab di Surakarta). Lokasi ini dipilih karena tempat tersebut merupakan tempat berkembangnya tradisi marawis yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Surakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama delapan bulan, yaitu terhitung dari pengajuan judul, penyusunan proposal, mengurus perijinan sampai pengumpulan data dan penulisan akhir, yang dimulai sejak pengajuan judul pada bulan Januari 2009 sampai Agustus 2009.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Di dalam suatu penelitian ilmiah, diperlukan suatu metode tertentu yang sesuai dengan obyek penelitian. Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan penelitian dengan menggunakan teknik tertentu. Dengan kata lain, metode adalah cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah yang menyangkut masalah kerja, yaitu cara untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1983: 7). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan bentuk penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif yang peneliti lakukan ini bersifat deskriptif yang berupa kata- kata tertulis atau lisan, perilaku yang diamati. (Moleong, 2002: 3).