Demiliterisasi Terbatas Tentara Nasional Indonesia

NAMA

: RISKI PUTRI UTAMI

NIM

: 121311433013

TUGAS

: SEJARAH MILITER

“Geliat Militer dalam Mewujudkan Demokratisasi di Indonesia”
1. Latar Belakang
Militer di Indonesia memiliki sejarah yang sedikit unik dari negara lain.
TNI terbentuk dari proses pengalaman sejarah perjuangan bangsa dalam
mempertahankan kemerdekaan. Militer memang sangat dibutuhkan sebagai alat
pertahanan negara. Berdirinya suatu negara yang kokoh ditentukan oleh
bagaimana kualitas pertahanan militer yang dimiliki negara tersebut. Pertama kali
militer di Indonesia dibentuk untuk mendukung kemerdekaan Republik dari
belenggu penjajah. Arus reformasi yang terjadi di Indonesia tak lepas dari

berbagai unsur pembangun negara termasuk juga di dalamnya terdapat aspek
militer. Tak selamanya tentara berfungsi sebagai alat pertahanan negara semata,
namun ada saatnya pada masa tertentu serta tuntutan keadaan yang mendesak
menjadikan tentara ikut terlibat dalam hubungan politik negara. Sehingga dalam
hal ini militer dari masa ke masa mempunyai dinamika dalam posisinya di dalam
negara.
Pertahanan sebagai konsep yang melegalkan kehadiran militer dirumuskan
dan diterima sebagai sebuah fungsi sekaligus kawasan monopoli pemerintah
nasional.1 Dalam hal ini militer mempunyai dua peran di dalam sebuah negara.
Secara khusus, fungsi yang dijalankan oleh militer hanya dalam ranah pertahanan
negara, namun pada masa orde baru dan era sebelumnya peran militer juga
merambat kedalam ranah politik.

1

Arie, Sujito, Demiliterisasi, Demokrrasi dan Desentralisasi (Yogyakarta: IRE Press,
2002), hlm. 9.

1


“Dwifungsi ABRI” merupakan hak istimewa yang ditujukan pada TNI
pada masa tersebut yang ditandai dengan bebasnya anggota militer dalam ikut
campur tangan mengurusi negara (politik). Militer dan politik merupakan dua hal
yang fungsinya berbeda. Politik yang notabene menjadi wewenang para pejabat
sipil seharusnya tidak dicampuri dengan pejabat yang berasal dari dunia militer.
Hubungan Sipil Militer (HSM) selalu berbicara mengenai pembagian peran
(fungsi) antara sipil dan militer dalam penyelenggaraan negara. Lebih luas lagi,
Hubungan Sipil Militer adalah hubungan antara militer dan masyarakat yang
didalamnya berbicara mengenai peran militer dan legitimasi militer dihadapan
masyarakat.
Masuknya demokrasi di Indonesia pada era setelah lengsernya Soeharto
menandai pergeseran campur tangan militer di dalam pengelolaan negara. Setelah
Soeharto tak menjabat lagi sebagai presiden, maka keberadaan militer mulai
menunjukkan posisi sebenarnya yakni sebagai pengelola keamanan, ketertiban
serta memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya. Transisi
perubahan pemerintahan yang bercorak otoriter ke demokratis dan amandemen
yang terjadi pada awal 1998 yakni pada akhir tahun 1999-2002 menyebabkan
adanya peninjauan ulang terhadap peran militer dan hubungannya dengan sipil.
Jika sebelumnya ABRI diberi hak istimewa berupa “dwifungsi ABRI” maka
mulai era tersebut hak istimewa itu dihapuskan. Dwifungsi ABRI dinilai sebagai

penyalahgunaan wewenang terhadap TNI, hal ini juga dibuktikan dengan
penolakan yang terdapat pada masyarakat. Masyarakat meminta supaya ABRI
dimurnikan perannya di dalam negara yaitu bukan lagi untuk menangani masalah
politik.
Setelah orde baru runtuh, militer pun dituntut untuk berbenah. Kalangan
tentara mulai dihadapkan pada tantangan demokratisasi. Hal ini terlihat pada
penghapusan dwifungsi ABRI dan terjadinya perombakan fungsi teritorial dan
doktrin ABRI/TNI. Dengan melakukan reformasi internal, militer dituntut untuk
semakin proaktif dalam menyikapi proses demokrasi yang sedang berjalan di
negeri ini.

2

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan antara sipil dan militer pada era orde baru?
2. Bagaimana esensi paradigma baru TNI dalam pembangunan demokrasi
setelah memisahkan diri dari tugas sipil?
3. Pembahasan
A. Hubungan Sipil-Militer
Hubungan Sipil Militer (HSM) selalu berbicara tentang pembagian peran

(fungsi) antara sipil dan militer dalam penyelenggara negara.2 Militer dan sipil
mempunyai peran yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya di dalam negara,
namun kedua perbedaan itu mempunyai hubungan yang saling berintegrasi di
dalam masyarakat. Tugas utama militer yakni mengemban tugas negara di dalam
mengelola sarana kekerasan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, serta
memberikan perlindungan pada warga negara. Elemen-elemen sipil yang terdiri
dari birokrasi sipil, partai politik, parlemen, ormas sipil, dan lain-lain mempunyai
tugas khusus yaitu pengelolaan proses politik dan kebijakan, mengelola barangbarang publik serta memberikan layanan publik untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Pembagian pemahaman mengenai tugas militer dan sipil tersebut
merupakan pemahaman yang seharusnya dapat diterima secara universal.
Pembagian peran sipil-militer

itu membutuhkan

system

building

yang


dilembagakan dengan konstitusi. Namun, seringkali keberadaan konstitusi
tersebut menimbulkan problematika karena fungsi militer dan non-militer sering
bertabrakan di dalam menjalankan tugas. Problematika tersebut dihadapi oleh
negara-negara demokrasi baru, termasuk Indonesia dan negara-negara dunia
ketiga lainnya yang baru lepas dari otoritarianisme dan militerisasi.
Contohnya seperti yang terjadi pada negara Amerika Serikat, sebuah
negara yang dijuluki “ champion of democracy” dan memelihara supremasi sipil,
2

Ibid, hlm. 13

3

juga termasuk negara yang militeristik atau menerapkan militerisasi karena
anggaran militer yang relatif besar, industrialisasi militer yang luar biasa
seringkali terlibat dalam perang dan sebagainya. Karena permasalahan militer
begitu kompleks, maka salah satu tugas berat konsolidasi demokrasi adalah
memperkuat kontrol sipil terhadap militer dan demiliterisasi. Demiliterisasi pada
umumnya yang dipahami sebagai upaya demokratis untuk meminggirkan militer

dari ranah politik, malah menimbulkan kesusahan di dalam meruntuhkan rezim
otoritarian maupun membangun kontrol demokrasi terhadap militer.
Sejak mulai kelahirannya, tentara di Indonesia telah terlibat dalam
pergulatan politik, hingga perjalanan sejarahnya keberadaan militer juga tak dapat
dilepaskan dari keikutsertaan dalam percampuran politik sampai menjadi
kekuatan politik yang menonjol dalam kehidupan bernegara. Pada masa orde baru
tentara dijadikan alat kekuasaan rezim orde baru, menjadi pendukung utama
kekuatan politik Golkar, dan dengan dwifungsinya telah mendominasi segala
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini mengakibatkan persaingan
daan partisipasi rakyat dalam kehidupan politik tidak bisa berjalan secara wajar,
karena tentara yang ikut serta dalam politik praktis telah menghalanginya.3
Akibatnya adalah demokrasi tidak bisa tumbuh dan berkembang secara
sehat. Jatuhnya rezim orde baru dan munculnya era reformasi pada 1998 telah
mendorong lahirnya paradigma baru dan reformasi internal TNI yang mengarah
pada TNI yang profesional, efektif, efisien dan modern. Dengan reformasi
internal, TNI kembali pada jati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan
tentara nasional yang profesional dengan meninggalkan peran sebagai kekuatan
politik praktis serta memfokuskan hanya pada satu fungsi yaitu sebagai alat
pertahanan negara. Dengan begitu TNI dapat mendukung pembangunan
demokrasi di Indonesia menuju Indonesia baru yang lebih modern dan mampu

bersaing di tengah arena dunia yang sangat kompetitif dan tanpa batas.
Pembangunan demokrasi di Indonesia tidak boleh gagal lagi.
3

Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004
(Yogyakarta: LKIS, 2005), hlm. 339.

4

Maka dari itu perlu dibangun struktur dan budaya demokrasi yang kuat.
Kemauan dan konsistensi semua pihak, terutama elite politik, sangat menentukan
pencapaian prestasi itu. Peran TNI tidak bisa dilupakan dan ditinggalkan agar
tidak menghambat pembangunan demokrasi, karena TNI bisa berperan dalam
mendukungnya. Dalam kaitan itu, hubungan sipil-militer yang baik adalah penting
demi mencapai kesepakatan bersama yang dilandasi oleh sikap saling memahami,
saling mempercayai saling menghargai dan menghormati, serta tekad untuk
bekerja sama untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat, bangsa dan
negara.
Orde baru merupakan masa yang tepat untuk menggandeng ABRI dalam
peranan kehidupan bernegara. Strategi orde baru yang mengedepankan stabilitas

dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan menggunakan ABRI sebagai alat
kekuasaan, telah menempatkan ABRI pada posisi sentral dan mengambil
tanggung jawab penuh atas semua persoalan kehidupan bangsa dan negara
bersama dengan golkar. Pada masa inilah bisa dikatakan bahwa keberhasilan
militer sudah mencapai kekuasaannya dari suatu proses yang panjang. Tentara
Indonesia mendapat orientasi politik dan kepentingan-kepentingan politik sewaktu
melawan Belanda, angkatan darat dan beberapa bagian dari angkatan bersenjata
lebih dalam lagi terlibat dalam politik, yang kemudian menjadikan angkatan darat
sebagai unsur penentu dalam koalisi pemerintahan dan demokrasi terpimpin.
Pengalaman militer dalam kegiatan non-militer yaitu ikut campur dalam
kegiatan politik telah menimbulkan dua konsekuensi utama yang mempengaruhi
tingkah laku politik mereka. Pertama yaitu, perpanjangan keterlibatan akibat
berlangsungnya politisasi korps perwira serta saling menekan dari kelompok
tentara dan kelompok sipil yang mengganggu kapasitas militer yang bertindak
sebagai sesuatu kekuatan politik yang mempersatukan, serta menghalangi
gerakan-gerakan untuk mendapatkan kekuasaan secara menyeluruh. Kedua yaitu
para perwira juga telah memperoleh keuntungan-keuntungan politik yang mereka
usahakan untuk dikembangkan sebagai kekuatan politik..

5


Format politik orde baru yang sentralistik di tangan Soeharto dan
penggunaan pendekatan keamanan, perluasan dwifungsi ABRI, dan otoritas
birokrasi yang berlebihan serta rendahnya apresiasi terhadap hak asasi manusia
dan supremasi hukum, telah menciptakan pemerintahan otoritarian yang tidak
tertandingi dan tidak mengenal check and balance. Ini mengakibatkan tumbuhnya
kekuasaan yang antikritik, membatasi kebebasan politik raktyat, munculnya
depolitisasi , korporasi demobilisasi dan deparpolisasi serta represi yang sering
dengan kekerasan.
Sehingga timbullah perasaan takut dan tertekan pada rakyat, yang
menghambat tumbuhnya civil society dan demokrasi. Demokrasi dikumandangkan
hanya sebagai slogan, karena kenyataannya, rezim Orde Baru menghalangi
partisipasi politik rakyat, meniadakan persaingan politik dan kebebasan politik,
melarang perbedaan pendapat, serta mencegah organisasi masyarakat yang
pluralis. Padahal , inti demokrasi politik mempunyai tiga dimensi yaitu kompetisi,
partisipasi, kebebasan sipil dan politik.
B. Paradigma Baru TNI dan Implikasinya terhadap Pembangunan
Demokrasi Negara
Pada umumnya demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat,
yang kekuasaannya tertingginya terletak di tangan rakyat dan dijalankan langsung

oleh wakil-wakil rakyat yang mereka pilih dengan sistem pemerintahan yang
bebas. Meskipun demokrasi menuntut kebebasan, akan tetapi tidak bisa berdiri
sendiri, dan harus menjunjung tinggi persamaan yang berarti harus juga
memperhatikan kebebasan orang lain.
Pengalaman

bangsa

Indonesia

menunjukkan

bahwa

membangun

demokrasi tidaklah mudah, walaupun sejak awal berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia telah dirumuskan melalui dasar negara Pancasila dan UUD
1945 bahwa Indonesia adalah negara yang menganut azas demokrasi. Cita-cita
tersebut telah ada sebelum kemerdekaan dicapai, dimana hal tersebut juga

tercermin dalam pergerakan nasional Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya,

6

terdapat berbagai perkara yang menghambat terwujudnya negara yang beazaskan
demokrasi tersebut.
Beberapa permasalahan yang dapat menghambat tercapainya demokrasi di
Indonesia adalah gagalnya para elite dan pemimpin politik, karena mereka hanya
mementingkan pribadi dan kelompok tanpa mau mengutamakan kepentingan
bangsa dan negara yang menyebabkan militer terdorong untuk terjun ke dalam
politik. Jadi penyebab gagalnya pembangunan demokrasi datang dari pihak elite
sipil maupun militer.
Apabila dilihat pada masa pemerintahan Orde Baru dengan dwifungsi
militer sebagai alat kekuasaannya , maka yang menjadi syarat, esensi dan unsur
serta ciri demokrasi sudah tidak berlaku. Sebab pada masa Orde Baru dengan
diberikannya dwifungsi militer kepada ABRI telah menghalangi keberadaan
partisipasi rakyat, mengekang kebebasan asasi warga negara seperti kebebasan
dalam menyatakan pendapat, menyampaikan aspirasi, kebebasan berorganisasi,
berkumpul dan sebagainya.
Budaya politik dan sistem di Indonesia pada Orde Baru sama sekali tidak
menunjukan adanya dukungan terhadap terwujudnya demokrasi di Indonesia.
Akibatnya adalah masyarakat tidak bisa ikut dalam menyampaikan aspirasi dan
berpartisipasi untuk ikut serta di dalam menentukan kebijakan.

Pada masa

tersebut partai politik memang ada seperti halnya PDI dan PPP. Namun hal
tersebut hanya merupakan simbolik dan hiasan semata. Pemilihan umum juga
memang diselenggarakan secara berkala. Akan tetapi sudah pasti bisa ditebak
hasilnya. Dan diluar itu semua bisa diuji apakah ada unsur keterbukaan, kejujuran,
keadilan, kebebasan dan kerahasiaan ataukah sebaliknya.
Orde baru adalah masa yang sempurna mengenai kehendak politik rakyat.
Pemilihan umum yang terjadi di era Orde Baru juga dijaga ketat oleh pemerintah
yang kekuasaannya berasal dari dukungan ABRI, hal tersebut dilakukan untuk
memperlihatkan keabsahannya kepada rakyat dan dunia luar. Mengingat pada era
Orde Baru posisi militer masih menduduki posisi yang sentral di dalam negara.

7

Orde Baru memang menyebut diri sebagai demokratis, namun realitas politik
mencerminkan tidak ada apresiasi terhadap jalannya demokrasi. Di era Orde Baru
tidak menaruh perhatian sepenuhnya pada pembangunan demokrasi, walaupun
secara formal Orde Baru menyatakan sistem demokrasi. Yang menjadi hal utama
pada era Orde Baru adalah stabilitas keamanan, bukan demokrasi.
TNI dalam berkembangannya akhirnya tak bisa lepas dari pakem
utamanya yaitu menjaga dan mengemban amanat negara dalam mempertahankan
keamanan di dalam NKRI. Pemisahan diri dari sipil yang terdapat dalam tubuh
militer merupakan langkah tepat yang diambil oleh TNI untuk mewujudkan citacita utamanya tersebut. Paradigma baru TNI ini menegaskan bahwa pelaksanaan
tugas TNI senantiasa dalam rangka tugas negara dan dalam masa transisi
dilakukan proses refungsionalisasi dan peningkatan kemampuan institusi
fungsional.4
Hal ini berarti sertiap institusi akan melaksanakan fungsi masing-masing
sesuai profesinya dan memiliki otonomi masing-masing. Selain itu, ditegaskan
juga bahwa tugas TNI ditentukan atas kesepakatan bangsa, artinya tidak
ditentukan oleh TNI sendiri karena pada hakikatnya TNI hanyalah salah satu
komponen bangsa dan hanya merupakan bagian integral dari sistem nasional.
Maka dari itu setiap tindakan TNI senantiasa bersumber dan didasarkan pada
keputusan politik negara melalui proses kesepakatan bangsa secara demokratis
dan konstitusional.
Inti dari paradigma baru TNI tersebut menunjukkan bahwa TNI sudah
tidak lagi ingin mencampuri segala urusan yang berbau dengan sipil. Karena TNI
berkeinginan bahwa demokrasi akan bisa terwujud melalui jalan tersebut yaitu
dengan melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan bidang yang diemban.
Implementasi paradigma baru TNI dimanifestasikan dalam reformasi internal,
yang esensinya antara lain ialah TNI bertekad meninggalkan kegiatan politik
praktis dan berkonsentrasi pada tugas utamanya dalam pertahanan negara,
4

Ibid, hlm. 304.

8

sedangkan keterlibatan TNI dalam bantuan keamanan dilaksanakan melalui
prosedur permintaan sesuai dengan undang-undang.
Sesuai dari paradigma baru TNI, hubungan sipil-militer telah berubah dari
subjective civilian control menjadi objective civilian control. Hal ini berarti
pemerintah sipil mengontrol militer, namun mengakui militer memiliki otonomi
profesi dalam menjalankan tugas pertahanan negara. Supremasi sipil adalah
otoritas pemerintah sipil yang sah dipilih oleh rakyat dalam pemilihan umum yang
demokratis, jujur, adil. Supremasi sipil berarti kepatuhan kepada pemerintah sipil,
supremasi sipil atas militer tidak berarti menempatkan kaum militer dibawah
kaum sipil, supremasi sipil tidak berarti dominasi kaum sipil terhadap kaum
militer, tetapi suatu kondisi dimana kepurusan yang dibuat oleh pemerintah sipil
sampai pada pelaksana fungsi pertahanan, supremasi sipil mengharuskan
supremasi konstitusi dan hukum, yang mesti dipatuhi oleh pemerintah sipil
maupun semua warga negara karena supremasi sipil menghendaki terciptanya
kontrol sipil objektif menuju militer yang profesional sebagai alat pertahanan
negara.
Keluarnya TNI dari kancah politik berarti menjadi syarat bagi berhasilnya
pembangunan demokrasi. Ternyata ABRI/TNI telah konsisten di dalam
memenuhi janjinya dan meniadakan sistem kekaryaan melalui keputusan pensiun
awal atau alih status, dan menghapuskan semua struktur organissai staf kekaryaan
ABRI/TNI dan staf sosial politik ABRI/TNI. Tindakan ini sangat mendukung
pembangunan demokrasi karena sebelum reformasi internal TNI, kakaryaan itu
digunakan untuk melaksanakan dan mengembangkan kegiatan sosial politik
ABRI/TNI yang secara praktik telah menghambat demokratisasi.
Implementasi paradigma baru TNI pada dasrnya selalu mengarah pada
dukungan dalam mewujudkan demokratisasi, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hal ini selaras dengan dokumen reformasi internasionalnya yang
menyatakan bahwa akan “menuju secara konsisten, secara bertahap, dan tetap
menapak untuk menuju pembangunan TNI yang profesional, efisien, efektif, dan

9

modern sebagai instrumen pertahanan nasional dalam tatanan Indonesia yang
lebih demokratis dan modern” (Mabes TNI 2001a:3).5
Mengatur kembali fungsi teritorial itu merupakan usaha implementasi
paradigma baru TNI yang sangat penting, karena pada masa Orde Baru, Komando
teritorial digunakan oleh pemerintah untuk menghalangi partisipasi politik rakyat
dengan cara-cara represif, yang membuat rakyat takut, apatis, tidak percaya diri,
sehingga proses demokrasi yang sesungguhnya tidak bisa berlangsung. Oleh
karena itu, ketika Presiden Soeharto jatuh, sorotan masyarakat juga ditujukan
kepada masalah teritorial itu. Karena itu, kesempatan reformasi internal yang
berlangsung harus digunakan sebaik-baiknya agar refungsionalisasi dan
restrukturisasi penyelenggaraan fungsi teritorial dapat memenuhi harapan
masyarakat, tuntutan lingkungan dan perkembangan zaman yang mengarah
kepada kehidupan yang lebih demokratis sesuai dengan tuntutan akuntabilitas di
negara modern.
Bagi TNI, berhasilnya refungsionalisasi dan restrukturalisasi fungsi
teritorial akan mendukung pembinaan profesionalisme, karena tentara tidak akan
terlibat lagi dalam arena politik yang menyita waktu, pikiran dan fisik yang
banyak dan selanjutnya dan selanjutnya akan hanya menumpukkan kepada fungsi
utamanya yaitu pertahanan negara saja sementara pada waktu sebelumnya banyak
digunakan untuk kegiatan politik praktis namun sekarang ini dapat digunakan
untuk keperluan meningkatkan pengetahuan, mengikuti pendidikan dan latihan,
menambah pengalaman serta mengikuti perkembangan profesi kemiliteran yang
cepat, menuju tentara profesional sebagai alat pertahanan negara.
Tujuan reformasi internal TNI antara lain mewujudkan TNI menjadi
prajurit profesional dengan cara memiliki kemahiran dan kemampuan yang tinggi,
sesuai bidang tugasnya sebagai alat pertahanan negara. Untuk mewujudkan hal
tersebut maka TNI harus melakukan pendidikan dan latihan yang berkualitas.
Latihan diadakan secara bertingkat dan berlanjut dan dengan kasus yang berbeda
serta berbagai media lapangan yang berbeda pula. Setiap prajurit harus dilatih
5

Ibid, hlm. 307.

10

kesiapan mental dan fisik agar setiap saat bisa dikirim ke medan perang. Dengan
adanya reformasi internal TNI, pekerjaan tentara pada masa damai adalah belajar
dan berlatih untuk mengukuhkan profesionalismenya, dan tidak perlu lagi
melakukan pekerjaan yang tidak berhubungan dengan profesinya seperti pada
masa Orde Baru. Tanpa hal tersebut, tujuan reformasi internal untuk mewujudkan
TNI yang profesional, efisien, efektif dan modern tidak akan tercapai. Hal itu juga
memerlukan anggaran yang cukup untuk memenuhi prasarana prajurit, peralatan
yang tidak ketinggalan zaman, dana untuk berlatih dan keperluan yang lainnya.
Cara meningkatkan profesionalisme TNI sesudah berlakunya reformasi yaitu
antara lain tidak ikut serta dalam arena politik dan bersikap netral serta
menumpukan pada tugasnya sebagai alat pertahanan negara.
Komitmen dan sikap TNI untuk bersikap netral dan tidak terlibat dalam
politik praktis, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai Golkar, dan
pengaturan kembali hubungan TNI dengan keluarga besar TNI, menunjukkan
paradigma baru TNI telah menuju jalan yang dicita-citakannya yaitu mewujudkan
demokratisasi. Hal tersebut telah dibuktikan oleh TNI yaitu sebelum, selama dan
sesudah pemilihan umum tahun 1999. Bagaimanapun, hal tersebut menunjukkan
sumbangan yang sangat berharga untuk menuju pembangunan demokrasi karena
telah mewujudkan kebebasan dan partisipasi politik rakyat, yang merupakan
syarat bagi tumbuhnya demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

11

Arie, Sujito, Demiliterisasi, Demokrrasi dan Desentralisasi (Yogyakarta: IRE
Press, 2002
Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004
(Yogyakarta: LKIS, 2005

12

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1