Respon Negara negara Asia Tenggara terha (2)

BAB 1
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pembajakan kapal merupakan salah satu kejahatan internasional dan
menjadi ancaman utama bagi komunitas dunia, hal ini karena tindak kejahatan
pembajakan kapal menyebabkan kerugian perdagangan yang sangat meresahkan.
Geopolicity1 (2011) dalam laporan independennya tentang kasus pembajakan
kapal di dunia memperkirakan kerugian akibat kejahatan tersebut di seluruh dunia
kurang lebih sebesar USD 4,9 Milyar hingga USD 8,3 Milyar per tahun dan
memiliki kemungkinan akan meningkat menjadi USD 13 Milyar hingga USD 15
Milyar pada tahun 2015.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang menjadi salah satu target
pembajakan kapal bersama dengan beberapa kawasan lain seperti Afrika dan
Karibia di Amerika Tengah. Sejak tahun 2009 hingga 2013, kasus pembajakan di
kawasan Asia Tenggara terutama daerah dekat Singapura, Malaysia dan Indonesia
terus meningkat. International Chamber of Commerce’s International Maritime
Bureau melaporkan bahwa pada tahun 2009 kasus pembajakan yang tercatat
sebanyak 42 kasus dan jumlah kasus pembajakan terus meningkat secara
signifikan sebanyak 63 pada tahun 2010, 74 kasus pada tahun 2011, 101 kasus di
tahun 2012, dan 2013 dengan 125 kasus yang tercatat. Jumlah ini berbanding
terbalik dengan yang terjadi di Somalia dan Teluk Aden yang menurun dari 197

kasus pada tahun 2010 menjadi hanya 13 kasus pada tahun 2013.2
1 Geopoliticity adalah perusahaan konsultasi manajemen internasional yang mengeluarkan riset
terkait efek ekonomi dari pembajakan kapal dan berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab.
2 Data diambil dari International Chamber of Commerce’s International Maritime Bureau tahun
2009 hingga 2013 dengan penataan ulang oleh penulis.

1

Grafik di bawah ini menjelaskan perbandingan kasus pembajakan kapal
yang terjadi di Selat Malaka dan Singapura dengan pembajakan yang terjadi di
Perairan Somalia dimana dalam grafik tersebut memperlihatkan terjadinya
perubahan angka yang cukup signifikan dimana kasus pembajakan kapal di
Perairan Somalia menurun drastis sedangkan berbeda halnya dengan yang terjadi
di Selat Malaka dan Singapura dimana peningkatan terus terjadi sejak 2009.
Grafik 1 Kasus Pembajakan Kapal di Selat Malaka dan Singapura dengan
Perairan Somalia 2009 – 2013
250
200
150
100

50
0
2009

2010

2011

2012

2013

Pembajakan di Selat Malaka dan Singapura
Pembajakan di Perairan Somalia

2

Sumber: International Chamber of Commerce's International Maritime Bureau (2009 – 2013)

Daerah rawan pembajakan di Asia Tenggara antara lain Selat Malaka

merupakan wilayah ‘favorit’ para pembajak, faktor geografis dan faktor ekonomi
menjadi alasan mengapa pembajak sering melakukan aksinya di daerah ini. Secara
geografis, daerah ini dapat dikatakan sempit. Finn (1979) menjabarkan dalam
bukunya Oil Pollution From Tankers In The Straits Of Malacca bahwa Selat
Malaka sebagai jalur masuk mempunyai lebar seluas 220 mil laut sedangkan Selat
Singapura di ujung selatan hanya memiliki lebar 3,2 mil laut. Walaupun daerah ini
cenderung sempit, daerah ini merupakan jalur perdagangan utama yang
menghubungkan laut Hindia dengan laut Tiongkok Selatan. Sebanyak 200 kapal
diestimasikan melewati jalur ini per harinya, hal ini membuat total kapal yang
mungkin melewati jalur ini sebanyak kurang lebih 70.000 kapal per tahun dan
merupakan jalur transportasi bagi sepertiga barang yang diperdagangkan di dunia
(Gilmartin, 2008).
Kasus pembajakan kapal yang terjadi di Asia Tenggara menimbulkan
dampak yang cukup serius dari sisi politik maupun ekonomi. Dari sisi politik,
anggapan bahwa kawasan Asia Tenggara terutama di perairan Malaka merupakan
kawasan yang rawan pembajakan akan berdampak pada berkurangnya
kepercayaan negara negara di luar Asia Tenggara untuk mempercayai keamanan
yang diberikan oleh negara negara Asia Tenggara terutama negara yang
berbatasan langsung dengan Selat Malaka seperti Indonesia, Singapura, Malaysia,
dan Thailand. Salah satu contoh ketidakpercayaan ini diceritakan oleh Dela Pena

dalam tulisan jurnalnya berjudul Maritime Crime in the Strait of Malacca:
Balancing Regional and Extra-Regional Concerns (2009) ketika Amerika Serikat
3

tersebut melalui Admiral Thomas Fargo dari US Pasific Command menyatakan
kesiapan membantu ASEAN dalam mengamankan selat Malaka dengan
mengajukan konsep The Regional Maritime Security Initiative seandainya
ASEAN tidak mampu mengontrol kawasan perairan sekitar Selat Malaka. Jika
anggapan ini semakin diperlihatkan oleh banyak negara lainnya, bukan tidak
mungkin komunitas internasional akan memaksa ASEAN untuk memberikan izin
kepada negara-negara lain untuk mengamankan Selat Malaka.
Dari sisi ekonomi, kerugian materiil akan banyak dirasakan oleh negara
negara Asia Tenggara karena selat Malaka merupakan selat penting sebagai jalur
perdagangan. Singapura misalnya, berdasarkan penelitian Dela Pena (2009)
merasakan kerugian yang signifikan pertahunnya terutama terhadap kelancaran
arus bongkar muat ekspor impor akibat terlambatnya kapal karena berhadapan
dengan pembajak kapal. Malaysia di sisi lain, sangat dependen terhadap selat
Malaka dimana 80% perdagangan Malaysia melewati jalur ini dan bahkan
pelabuhan-pelabuhan utama Malaysia berada tepat di selat Malaka (Dela Pena,
2009). Peningkatan kasus pembajakan kapal sama artinya dengan mematikan

perekonomian Malaysia.
Kasus pembajakan kapal di Asia Tenggara pernah mencapai titik tertinggi
pada tahun 2000, yaitu hampir mencapai 250 kasus dalam setahun. Selama 3
tahun berturut turut, jumlah serangan pembajakan kapal selalu berada di atas
angka 150. (Geopoliticity, 2011) Sebagai tanggapan, pada tahun 2004 tiga negara
yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan Selat Singaoura (litoral
states), Indonesia, Malaysia, dan Singapura bekerjasama melaksanakan the

4

Malacca Strait Sea Patrol (MSSP) dengan tujuan untuk mengurangi kasus
pembajakan yang muncul di daerah tersebut.
Hasil dari MSSP cukup memuaskan, dalam rentang waktu 2005 – 2009,
kasus pembajakan kapal di daerah tersebut turun signifikan. Bahkan pada tahun
2009, International Maritime Bureau melaporkan bahwa kasus pembajakan yang
tercatat di Selat Malaka tidak mencapai angka 50 lebih tepatnya ‘hanya’
berjumlah 42 kasus. Angka tersebut, pada saat itu, sangat jauh dibawah angka
pembajakan yang terjadi di perairan Somalia yang mencapai 197 kasus selama
tahu 2009. Hal ini karena selain dilakukannya kerjasama koordinatif yang sering
dikenal sebagai ‘joint sea patrol’dalam mengawal perairan Malaka oleh 3 negara

litoral tersebut, ASEAN meluncurkan Eyes In the Sky initiative (EIS) pada tahun
2005 untuk mendukung patroli di laut dengan mengawasi melalui udara serta
kerjasama untuk berbagi informasi intelejen terkait pembajakan kapal dengan
nama Intelligence Exchange Group (EIG). Ketiga inisiatif tersebut merupakan
rangkaian dari kerjasama praktikal yang kemudian diimplementasikan dalam satu
wadah baru bernama Malacca Strait Patrol Intelligence Group pada 2006. (Baird,
2010)
Namun, ‘dongeng manis’ tersebut tidak bertahan lama karena sejak tahun
2009, kasus pembajakan kapal di Selat Malaka kembali meningkat. Data dari
International Maritime Bureau (IMB) dan Regional Cooperation Agreement on
Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)
menunjukkan kenaikan signifikan sejak tahun 2009 walaupun memiliki angka
yang berbeda.3
3 Perbedaan ini terjadi karena tidak semua kapal yang menjadi target penyerangan memberitahu
kedua lembaga tersebut. Contoh dapat dilihat pada tahun 2011 dimana terjadi 12 penyerangan

5

Dibawah ini penulis memperlihatkan peta penyebaran kasus pembajakan
kapal di tahun 2009 melalui Gambar 1 dan 2013 melalui Gambar 2. Dari peta

tersebut dapat terlihat jelas terjadinya perubahan titik panas (hotspot) kasus
pembajakan kapal dari awalnya berada di wilayah sekitar Tanduk Afrika menjadi
di perairan Asia Tenggara.
Gambar 1 Peta Penyebaran Pembajakan Kapal pada tahun 2009

Sumber: International Maritime Bureau – Piracy Map 2009 report

Rapuhnya wilayah Asia Tenggara terhadap pembajakan kapal kemudian
depiksikan oleh majalah TIME (2014) dalam sebuah judul artikelnya di situsnya
sebagai “The Most Dangerous Waters in The World”. Persatuan Bangsa Bangsa
(PBB) seperti yang dilaporkan oleh berita online Japan Times (2014) juga
menyatakan bahwa perairan di Asia Tenggara mengalahkan Teluk Aden dekat
terhadap kapal yang dilaporkan ke ReCAAP namun tidak ke IMB. Selain itu, perbedaan
metodologi juga menjadi salah satu alasan perbedaan. ReCAAP mencari data melalui seluruh
sumber yang dimiliki sedangkan IMB mendapat data melalui laporan resmi kapal yang diserang
pembajak.

6

Somalia sebagai ‘world’s hot spot for pirate attacks’. Hal ini tidak berlebihan

mengingat sejak tahun 1995 hingga 2013, 41% serangan pembajakan kapal yang
terjadi di dunia dilakukan di perairan kawasan Asia Tenggara sedangkan perairan
Teluk Aden dan Afrika Barat masing masing menyumbang 28% dan 18%.
(TIME.com, 2014)
Gambar 2 Peta Penyebaran Pembajakan Kapal tahun 2013

Sumber: International Maritime Bureau – Piracy Map 2013 report

Kenaikan serangan pembajakan kapal di Asia Tenggara terutama daerah
Selat Malaka berbanding terbalik dengan peran dari negara negara di Asia
Tenggara yang cenderung kurang aktif dalam merespon pembajakan tersebut.
Praktis sejak tahun 2003, hanya 3 negara yang merespon secara langsung tindak
kejahatan pembajakan kapal dengan menggunakan kekuatan militer negara untuk
mengurangi frekuensi pembajakan yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang
kemudian diikuti oleh Thailand yang menyetujui untuk bekerjasama untuk
mengurangi jumlah kasus pembajakan kapal pada tahun 2008 dengan melakukan

7

penjagaan


udara

di

sekitar

perairan

Selat

Malaka

dan

Singapura.

(Oceanbeyondpiracy.org, 2013)
Ditambah lagi, kerjasama bidang militer untuk mengamankan perairan di
barat Asia Tenggara ini tidak lah benar benar bekerja laiknya ‘joint military’

melainkan hanya berupa kerjasama terkoordinasi. Hal ini merupakan keputusan
yang disetujui negara anggota MSSP sejak dimulainya kerjasama pada tahun 2004
(Indonesia, Malaysia, Singapura) karena ketidakinginan masing masing negara
jika wilayah perairannya dimasuki oleh kapal militer antar negara anggota bila
kerjasama MSSP berbentuk joint. Sikap yang ditunjukkan oleh ketiga negara ini
sebenarnya banyak mendapat tentangan karena tidak sesuai dengan semangat
untuk menanggulangi pembajakan kapal, namun keputusan tetap tidak mengalami
perubahan mengingat isu tentang cross-border merupakan isu yang sensitif bagi
negara di kawasan tersebut. (Raymond, 2009)
Berbeda dengan yang terjadi di Teluk Aden dan Somalia, pemberantasan
kejahatan ini cenderung hanya melalui negara negara anggota ASEAN tanpa
campur tangan komunitas internasional sebagai mana halnya yang terjadi di Teluk
Aden. Kurang adanya campur tangan ini terjadi karena negara negara Asia
Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia tidak melihat masuknya negara lain
selain negara di Asia Tenggara sebagai solusi melainkan hanya sebagai tindakan
intervensif yang tidak perlu.
Penghindaran terhadap kemungkinan tindakan semacam itu menjadi alasan
mengapa Indonesia dan Malaysia tidak mengikuti kerjasama multilateral seperti
ReCAAP karena kedua negara tersebut mempersepsikan masuknya negara asing


8

terutama negara negara Barat sebagai ancaman walaupun komunitas internasional
sudah memperlihatkan kapabilitasnya dalam menangani bajak laut melalui banyak
resolusi PBB di Teluk Aden dan perairan Somalia. (Baird, 2010)
Sedangkan negara negara lain Asia Tenggara (Selain Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Thailand) cenderung pasif dalam melihat kejahatan pembajakan
kapal padahal negara negara di kawasan ini yang tergabung dalam ASEAN dan
ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 2007 sepakat untuk melihat
pembajakan kapal sebagai salah satu ancaman utama terhadap keamanan maritim
selain terorisme, tumpang tindih klaim perbatasan, penyelundupan manusia, dan
degradasi lingkungan. (ASEAN Secretariat, 2007) Kesepakatan ini merupakan
upaya dari negara negara Asia Tenggara untuk melihat pembajakan kapal sebagai
masalah bersama yang mana seharusnya ancaman ini harus di jawab dengan
penanganan dan respon yang juga dilakukan bersama sama. Namun sikap negara
di kawasan Asia Tenggara yang memaknai ancaman ini dengan prioritas yang
berbeda beda membuat tindakan untuk mengatasi isu pembajakan kapal di Selat
Malaka dan Singapura tidak dilakukan secara bersama sama.
Peneliti melihat adanya anomali kebijakan yang ditunjukkan oleh negara
negara di kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN dengan tindakan
yang ditunjukkan dalam menangani kasus pembajakan kapal di wilayah Asia
Tenggara terutama Selat Malaka dan Singapura. Anomali pertama adalah
peningkatan jumlah kasus pembajakan kapal dimulai dari tahun 2009 setelah
sebelumnya mengalami penurunan yang cukup signifikan sejak mencapai titik
krisis tertinggi pada awal dekade 2000an, peneliti melihat peristiwa ini sebagai hal
yang unik mengingat peningkatan tersebut terjadi disaat negara negara yang
9

berada di dekat selat Malaka dan Singapura seperti Indonesia, Singapura,
Malaysia, dan Thailand telah dan sedang melakukan serangkaian kegiatan militer
yang terkoordinir guna menangani kasus pembajakan kapal di wilayah tersebut.
Anomali kedua adalah setelah terjadinya peningkatan kasus pembajakan dari
tahun 2009, negara negara yang berada di wilayah Asia Tenggara tidak lagi
merespon kasus pembajakan kapal seperti halnya yang telah dilakukan pada tahun
2004 dengan membentuk kerjasama koordinasi. Secara teknis, memang kawasan
Asia Tenggara telah memiliki MSSP, namun peningkatan signifikan yang terjadi
sejak tahun 2009 menunjukkan bahwa efektifitas MSSP dalam menangani kasus
pembajakan kapal telah memasuki masa jenuh atau kurang efektif. Inefektifitas ini
kemudian tidak dibarengi dengan inisiatif atau terobosan lain yang berusaha untuk
menanggulangi atau setidaknya menahan peningkatan kasus pembajakan kapal.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti jelaskan di atas, terlihat
masih adanya anomali di kawasan Asia Tenggara dalam menangani kasus
pembajakan kapal. Dari anomali tersebut, timbul pertanyaan “Mengapa negara
negara Asia Tenggara memiliki respon yang berbeda dalam melihat
kejahatan pembajakan kapal pada tahun 2009 hingga 2013 walaupun tindak
kejahatan ini merupakan masalah bersama negara negara di Asia Tenggara
dalam persetujuan ASEAN dan ARF pada tahun 2007?”

10

3. Tujuan Penelitian
Tujuan tujuan penelitian berikut adalah hasil yang diharapkan akan muncul
setelah peneliti berhasil menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan di
sub-bab sebelumnya, yaitu:
1. Mendeskripsikan kasus pembajakan kapal di Asia Tenggara terutama Selat
Malaka secara umum dan khususnya sejak tahun 2009
2. Mengetahui respon negara di kawasan Asia Tenggara dalam menangani
kasus pembajakan kapal di Selat Malaka
3. Menganalisis alasan tentang sikap pasif yang ditunjukkan sebagian besar
negara di Asia Tenggara terhadap pembajakan kapal.
4. Manfaat Penelitian
4.1. Akademis
Memberikan kontribusi terhadap penggunan paradigma Konstruktivisme dalam
ilmu Hubungan Internasional untuk menganalisis isu isu transnasionalisme
terutama terkait dengan isu pembajakan kapal.
4.2. Praktis
Sebagai bahan referensi bagi pemerintah untuk membuat kebijakan, organisasi
internasional, dan LSM internasional dalam menangani kasus pembajakan kapal
di Selat Malaka .

5. Kerangka Pemikiran
5.1. Konstruktivisme
Paradigma konstruktivisme sendiri merupakan pendekatan hubungan
internasional yang merupakan gabungan antara ilmu sosiologi dan ilmu politik.

11

Disebut demikian karena berbeda dengan beberapa paradigma klasik seperti
Realisme dan Liberalisme yang cenderung memandang perilaku negara secara
kaku dengan menganggap negara pasti melakukan hal yang sama karena sistem
yang sudah ada, Konstruktivisme melihat perilaku negara layaknya prilaku
manusia. Perbedaan cara pandang antara kaum konstrutivisme dengan kaum
pendukung realisme ataupun liberalisme tidak lepas dari akar ilmu tersebut
didapatkan. Realisme dan Liberalisme merupakan pengembangan dari ilmu
politik, sedangkan Konstruktivisme (Rosyidin, 2015) memiliki akar ilmu dari
sosiologi dimana konsep konstruktivisme secara khusus terinspirasi dari teori
Interaksionisme Simbolis karya Herbert Blumer.
Namun istilah ‘konstruktivisme’ sebagai konsep dari ilmu Hubungan
Internasional sendiri baru dikemukakan oleh Nicholas Onuf pada tahun 1989 di
dalam bukunya World of Our Making. Di dalam bukunya, Onuf (1989a) melihat
manusia sebagai pembentuk negara dalam melaksanakan kebijakan yang mana hal
ini berpengaruh terhadap dunia secara keseluruhan. Beliau juga berargumen
bahwa manusia pula lah yang senantiasa mengkontruksi, atau membentuk, realitas
sosial, bahkan dirinya sendiri. (1989b) Singkatnya, kaum konstruktivis menolak
cara pikir klasik kaum realis dan liberalis yang berasumsi bahwa sistem
internasional yang anarki ini menyebabkan negara negara bertindak secara
atomistik atau memiliki keseregaman perilaku. (Rosyidin, 2015)
Konstruktivisme tidak percaya akan objektivitas dengan menganggap bahwa
sistem internasional yang ada sekarang merupakan hasil dari konstruksi sosial
yang dilakukan negara secara terus menerus dan sistem ini juga dipengaruhi oleh
interaksi antar negara yang secara langsung membentuk sistem itu sendiri yang
mana hal ini dikenal sebagai intersubjektivitas aktor. (Jackson & Sørensen, 1999)

12

Alexander Wendt (1992) dalam bukunya “Anarchy is what states make of it:
the social construction of power politics” menjelaskan bahwa interaksi telah
membuat negara membentuk identitas atas negaranya dan memaknai negara lain,
hal ini menjadi pertimbangan negara dalam menentukan kepentingan nasionalnya
serta perilakunya di dalam sistem.
“Interactions create and instantiate one structure of identities and
interests rather than another structure has no existence or causal
powers apart from process” (Wendt, 1992: 394)
Konstruktivisme berasal dari ilmu sosiologi yang mempelajari tentang interaksi
antar manusia, maka unit analisis atau aktor tidak hanya terpaku pada interaksi
antar negara.
5.2. Konsep Identitas Konstruktivisme
Konstruktivisme mengenal beberapa konsep dasar, salah satunya dikenal
dengan nama konsep Identitas. Setelah pada subbab sebelumnya peneliti telah
menjelaskan bagaimana aktor memaknai aktor lainnya entah sebagai ancaman
atau sebagai teman untuk melawan ancaman tersebut, maka pada subbab ini akan
dijelaskan bagaimana intepretasi terhadap objek tersebut dapat mengubah
identitas suatu aktor tergantung bagaimana aktor tersebut memaknai objek.
Pemaknaan dari satu negara terhadap negara lain dapat menyebabkan negara yang
menjadi objek itu diintepretasikan sebagai ancaman atau teman oleh dua subjek
negara yang berbeda. Pengintepretasian ini juga merupakan cara untuk
menjelaskan

identitas,

dengan

mengintepretasikan,

maka

negara

telah

memberikan batasan mana yang bisa disimbolkan sebagai kami/kita (in-group),
mana yang bisa disimbolkan sebagai kamu/kalian (out-group). Identitas ini yang
kemudian menurut Wendt (1999) mendorong negara dalam melakukan tindakan.
Jika kemudian negara memaknai negara objek sebagai ancaman, maka negara

13

subjek akan melakukan proses sekuritsasi agar objek yang menjadi ancaman
tersebut tidak menimbulkan masalah kepada negara berkaitan.
Gambar 3 Siklus Perputaran konsep Identitas menurut Konstruktivisme

Makna
Sumber: Wendt dikutip dalam buku “The Power of Idea” oleh M. Rosyidin (2015)

Untuk memahami konsep identitas, kaum Konstruktivis menyatakan bahwa

Kebijak
Identita
Konsep identitas yangan
muncul karena proses interaksi dinamakan ‘identitas sosial’
s

ada dua cara terkait dengan bagaimana seorang aktor mendapatkan identitasnya.

(social identity) yang membedakannya dengan konsep identitas sebagai unsur
intrinsik yaitu ‘identitas personal’ (personal identity). (Rosyidin, 2015a)
Identitas sosial merupakan identitas yang didapatkan oleh seorang aktor
setelah ia berinteraksi dengan aktor lainnya. Untuk mendapatkan identitas ini,
maka aktor tersebut membutuhkan pihak lainnya sehingga muncul pembedaan
makna antara saya/kami dengan kamu/kalian. (Rosyidin, 2015b) Ini artinya,
dibutuhkan seorang yang memaknai dirinya sebagai bawahan agar seseorang
lainnya dapat memaknai diri sebagai atasan.
Contoh dapat terlihat di kawasan Asia Tenggara, ASEAN, sebagai
organisasi yang membawahi negara negara yang berada di Asia Tenggara,
merupakan organisasi kawasan yang anggotanya memiliki kedudukan yang sama
rata antara satu negara dengan negara lain tanpa ada struktur hirarki. Walaupun
begitu, Indonesia memiliki kecenderungan untuk terlibat aktif dalam memediasi
konflik yang muncul antar negara negara di Asia Tenggara seperti misalkan berita
internasional Kompas.com (2011) yang melaporkan bahwa konflik perbatasan
antara Kamboja dan Thailand pada tahun 2011 yang dimediasi dengan melakukan

14

shuttle diplomacy.4 Dari contoh kasus tersebut dapat terlihat bagaimana Indonesia
memaknai dirinya sebagai mediator karena pihak lainnya dalam hal ini Kamboja
dan Thailand yang memaknai diri mereka sebagai aktor yang berkonflik.
“In other words, social relations make or construct people-ourselves--into the kind of beings that we are. Conversely, we make
the world what it is, from the raw materials that nature provides, by
doing what we do with each other and saying what we say to each
other.” (Kubálková, Onuf, & Kowert, 1998: 59)
Setelah sebelumnya dijelaskan bagaimana identitas sangat berpengaruh
dalam menentukan tindakan yang diambil oleh negara, maka dapat disimpulkan
bahwa kurangnya pemaknaan terhadap suatu objek atau aktor lain dapat
menyebabkan aktor yang melakukan pemaknaan tersebut tidak menganut identitas
yang diharapkan. Contoh, Singapura merupakan negara pesisir yang berbatasan
langsung dengan Selat Malaka dan Selat Malaka yang merupakan selat dimana
kasus pembajakan kapal sering terjadi padahal aktivitas perdagangan melalui laut
merupakan sumber pemasukan devisa yang cukup besar bagi Singapura, hal ini
membuat pemerintah Singapura memaknai tindakan pembajakan kapal merupakan
tindakan yang harus diberantas. Kemudian interaksi antara Singapura dengan
tindakan pembajakan kapal membuat kebijakan Singapura dalam bidang
keamanan fokus untuk melawan pembajakan kapal. Serangkaian hal tersebut
membuat Singapura dilabeli sebagai negara yang memberantas kasus pembajakan.
Situasi berbeda mungkin ada di negara lain seperti Vietnam yang tidak
berbatasan langsung dengan Selat Malaka sehingga kemudian Vietnam tidak dapat
memaknai kasus pembajakan di Selat Malaka sebagai sesuatu yang perlu
4 Shuttle Diplomacy atau yang biasa dikenal dengan diplomasi ulak alik, merupakan cara
diplomasi yang digunakan dengan mendatangi pihak berkonflik satu persatu untuk membahas
penyebab konflik dan membahas segala kemungkinan terkait dengan penyelesaian konflik.

15

mendapat fokus lebih, kekurangan terhadap pemaknaan membuat Vietnam tidak
memiliki identitas yang sama dengan Singapura yang berimplikasi pada sikap atau
kebijakan Vietnam yang cenderung pasif terhadap penanganan kasus pembajakan
kapal di selat tersebut.
5.3. Teori Sekuritisasi Buzan dan Waever
Barry Buzan merupakan seorang pemikir Hubungan Internasional beraliran
Konstruktivisme

yang

bermahzab

Kopenhagen

(Copenhagen

School).

Copenhagen School sendiri merupakan mahzab yang memiliki fokus terhadap
keamanan terutama dari sisi sosial (socieatal security). (Kostić, 2007) Dalam
teorinya, Buzan (1998) menjelaskan bahwa mahzab Copenhagen School meyakini
bahwa menurut pembagian sektornya, konsep keamanan dapat dibagi menjadi 5
kelompok yaitu keamanan bidang militer, keamanan bidang politik, keamanan
bidang sosial, keamanan bidang lingkungan, dan keamanan bidang ekonomi.
Kelima bidang ini berdasarkan dengan sifat alami dari masing masing bidang
terkadang dapat memberikan sebuah ancaman nyata (existential threat) sehingga
kemudian mahzab ini memaknai ancaman di bidang bidang tersebut sebagai
ancaman alami dalam studi keamanan. (Buzan, Waever & Wilde, 1998a)
Sebuah isu dapat berubah makna menjadi sesuatu yang mengancam secara
nyata dengan suatu proses yang disebut sebagai sekuritisasi. Sekuritisasi dapat
diartikan sebagai bentuk ekstrim dari politisasi. Hal demikian dapat terjadi karena
secara teorinya, sebuah isu dapat memiliki variasi yang banyak, dimulai dari isu
yang tidak perlu dipolitisasi (aktor yang berwenang tidak merasa isu ini penting
untuk ditanggapi atau tidak mendapat respon publik untuk kemudian didiskusikan
bersama) ke isu yang dipolitisasi (ketika sebuah isu menjadi bahan diskusi
masyarakat umum dan memerlukan respon pemerintah/ aktor berwenang untuk
mengambil kebijakan terkait isu tersebut) hingga ter-sekuritisasi (ketika isu

16

tersebut dianggap sebagai ancaman yang nyata dan memerlukan penanganan lebih
di luar prosedur politik standar). (Buzan, Waever & Wilde, 1998b)
Untuk lebih memahami teori ini, dapat dilihat dari beberapa contoh seperti
misalkan Fillipina memandang isu yang muncul di Laut Tiongkok Selatan sebagai
isu yang memerlukan penanganan khusus dengan prosedur diluar prosedur standar
karena pemaknaan pemerintah Fillipina yang melihat isu isu yang muncul di
wilayah tersebut mengancam salah satu sektor keamanan Manila. Ditempat lain,
Australia tidak memandang isu yang muncul di Laut Tiongkok Selatan sebagai
sebuah isu yang mengancam, pemerintah Australia malah melihat isu isu
pengungi yang berdatangan dari kawasan Timur Tengah sebagai isu yang
mengancam keamanan Canberra. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa sebuah
isu “keamanan” itu merupakan self-referential practice atau berdasarkan
pemahaman dan pemaknaan aktor terhadap suatu isu karena isu tersebut tidak
perlu berupa suatu ancaman yang memang benar benar ada namun hanya perlu
dipresentasikan sebagai sebuah ancaman. Namun selain membutuhkan isu yang
akan disekuritisasi dan aktor yang mensekuritisasi isu, diperlukan audiens atau
penonton atau masyarakat yang menyetujui jika isu tersebut memerlukan
penanganan khusus dengan proses sekuritisasi. Ini berarti, jika kemudian suatu isu
disekuritisasi oleh aktor tanpa adanya persetujuan dari masyarakat atau audiens,
tindakan yang dilakukan aktor tersebut hanya disebut sebagai gerakan
mensekuritisasi, namun tidak menjadikan isu tersebut menjadi ancaman.
Secara garis besar, teori sekuritisasi adalah tentang siapa yang melakukan
sekuritisasi (securitising actor), terhadap isu yang bagaimana (reffered threat),
ditujukan kepada siapa (referent object), dan dengan tujuan yang seperti apa isu
tersebut harus dijadikan suatu ancaman.

17

6. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Prosedur-prosedur metode kualitatif berupa pengambilan sampel secara
sengaja, pengumpulan data terbuka, analisis teks atau gambar, penyajian informasi
data dalam bentuk table dan gambar, serta interpretasi pribadi atas temuan-temuan
(Creswell, 2013). Alasan penggunaan metode ini karena tema dan topik yang
dibahas dalam penulisan skripsi ini mengenai sebuah studi kasus. Dalam
penelitian kualitatif, studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di
dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu peristiwa, aktivitas, program,
proses atau sekelompok individu. Dalam strategi studi kasus, kasus-kasus dibatasi
oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap
dengan menggunakan prosedur-prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu
yang telah ditentukan (Stake, 1995)
Adapun pembahasan terfokus kepada proses dan peristiwa secara interaktif
dengan pembahasan yang dibatasi situasi periode waktu 2009 - 2013, serta
analisis dan deskripsi yang berdasarkan kepada fakta dan data dari lapangan.
Relevansi dari penggunaan metode penelitian ini terletak pada permasalahan yang
peneliti angkat yakni pada pengungsi sebagai salah satu fenomena dalam
hubungan internasional, lebih spesifik yang transnasional, sebagai sebuah
fenomena sosial.
6.1. Definisi Konseptual
6.1.1. Pembajakan Kapal
Peneliti menggunakan definisi yang telah ditetapkan oleh International
Maritime Bureau pada tahun 1992 terkait dengan Special Report on Piracy yang

18

mana di dalam laporan tersebut dijelaskan pula terkait dengan definisi
“pembajakan kapal”.
Lebih jauh lagi, definisi menurut International Maritime Bureau ini juga
menjelaskan bahwa sebuah tindakan dapat dikatakan sebagai kasus pembajakan
kapal baik saat kapal tersebut sedang berlayar, ataupun ketika kapal sedang
berhenti.
“Pembajakan Kapal adalah segala tindakan dengan naik ke atas kapal dan
memiliki tujuan untuk mencuri atau melakukan tindakan kejahatan lainnya
dan menggunakan kekerasan untuk mendukung tindakan tersebut”
(Beckman, Grundy-Warr, Forbes & Schofield, 1994: 5)
6.1.2. Negara Asia Tenggara
Negara Asia Tenggara adalah negara negara yang berada di wilayah Asia
bagian Tenggara dan tergabung dalam organisasi regional bernama ASEAN
(Association of South-East Asian Nations). Adapun negara negara yang tergabung
dalam ASEAN berjumlah 10 negara, yaitu: Brunei Darussalam, Fillipina,
Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan
Vietnam.
6.1.3. Selat Malaka
Kedua selat ini berada di perairan antara pulau Sumatera (Indonesia),
Thailand, Malaysia, dan Singapura. Selat Malaka dalam penelitian ini merupakan
selat yang didefinisikan menurut International Hidrographic Organisation
(1953a) dimana Selat Malaka merupakan selat yang tergabung dengan Selat
Singapura. Adapun secara garis besar, selat ini berawal dari titik paling ujung
utara pulau Sumatera bernama Pedropunt serta ujung ekstrim selatan Lem Violan
dan berakhir di titik bernama Tanjung Datok dan Pulo Koko di ujung Pulau
Bintan. (International Hydrographic Organization, 1953b) Dari hal ini dapat

19

disimpulkan Selat Singapura juga termasuk dalam Selat Malaka karena pada
dasarnya kedua selat ini tergabung.
6.1.4. Ancaman
Ancaman merupakan aktivitas atau tindakan yang dimaknai dan dianggap
sebagai hal yang berbahaya bagi negara dan membutuhkan penanganan khusus di
luar prosedur politik pada umumnya. Adapun dalam hal ini, beberapa tindakan
yang dapat dimaknai sebagai ancaman adalah berdasarkan dengan laporan yang
dikeluarkan oleh ASEAN Secretariat (2007) tentang beberapa isu keamanan yang
dapat menjadi ancaman bagi negara anggota, seperti: Pembajakan kapal,
perompakan bersenjata, klaim wilayah antar negara dan permasalahan batas
negara, terorisme, perusakan lingkungan, dan penyelundupan senjata dan
manusia.
6.1.5. Speech Act
Adalah tindakan atau keputusan untuk memaknai sebuah isu keamanan
sebagai ancaman dengan cara memberikan penjelasan secara verbal bahwa isu
tersebut memang mengancam dan membutuhkan penanganan khusus. Tanpa
adanya keputusan secara verbal tersebut, maka suatu isu tidak dapat dimaknai
sebagai ancaman karena tidak dianggap sebagai ancaman yang nyata (exsistential
threat)
6.2. Operasionalisasi Konsep
6.2.1. Pembajakan Kapal
a.
Kasus yang terdata berdasarkan International Maritime Bureau (IMB)
b.

Piracy Reporting Centre
Jenis yang dikategorikan sebagai tindak pembajakan kapal adalah segala
aktivitas dimulai dari:
- Percobaan penyerangan dari laut terhadap kapal (Attempted Attack)
- Sedang dan sudah menaiki kapal (Boarded)
- Sudah terjadi (Hijacked)

20

c.

Target pembajakan adalah kapal komersil baik yang sedang berlayar atau

yang sedang berhenti menurunkan jangkar
d.
Lokasi Pembajakan:
- Laut Internal
- Laut Teritorial
- Zona Ekonomi Ekslusif
6.2.2. Respon
Sebuah negara dapat dikatakan merespon pembajakan kapal
sebagai ancaman jika: (a) pemerintah resmi negara telah menyatakan
bahwa pembajakan kapal merupakan ancaman bagi kepentingan negara
dan mendapat dukungan dari rakyat dan (b) pemerintah negara mulai
melakukan/menggunakan kekuatan militer negara untuk menanggulangi
isu tersebut
6.2.3. Negara-negara Asia Tenggara
- Brunei Darussalam,
- Fillipina,
- Indonesia,
- Kamboja,
- Laos,
- Malaysia,
- Myanmar,
- Singapura,
- Thailand, dan
- Vietnam
6.2.4. Speech Act
Speech Act adalah ketika sebuah negara melalui pemangku
kebijakan seperti Presiden, Wakil Presiden, Raja, Perdana Menteri,
Menteri Luar Negeri,

Menteri Pertahanan, atau aktor yang memiliki

kekuatan untuk mengubah kebijakan mengatakan suatu kebijakan melalui
pernyataan resmi atau pidato kenegaraan atau teks untuk publik.
6.3. Tipe Penelitian
Tipe penelitian skripsi ini adalah eksplanatif. Penelitian eksplanatif adalah
jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan penjelasan tentang mengapa
suatu kejadian atau gejala terjadi. Hasil akhir dari penelitian ini adalah gambaran

21

mengenai hubungan sebab akibat. Pembahasan utama dari skripsi berbentuk
eksplanatif ini adalah karena penulis ingin menjelaskan respon negara negara di
Asia Tenggara yang cenderung pasif terhadap kasus pembajakan kapal di Selat
Malaka.
Dalam skripsi ini, penulis juga berusaha untuk memberikan gambaran lebih
tentang (1) peran konsep identitas konstruktivisme berdasarkan pemaknaan
intersubjektif aktor, dan (2) alasan negara – negara di Asia Tenggara dalam
membuat kebijakan terkait dengan pembajakan kapal menurut teori Sekuritisasi.
6.4. Jangkauan Penelitian
Penulis membatasi jangkauan penelitian dimulai dari tahun 2009 hingga
tahun 2013 dengan menganalisis sikap negara di Asia Tenggara terhadap kasus
pembajakan kapal di Selat Malaka. Alasan memilih titik awal penelitian diambil
pada tahun 2009 karena tahun tersebut merupakan tahun pertama meningkatnya
kembali kasus pembajakan kapal sejak penurunan di tahun 2004 serta merupakan
tahun pertama sejak negara ASEAN terakhir bergabung dalam MSSP (Thailand
bergabung dengan MSSP di akhir tahun 2008). Sedangkan pemilihan tahun akhir
penelitian yaitu 2013 adalah karena pada tahun tersebut adalah untuk pertama
kalinya tidak ada negara ASEAN lain yang aktif di dalam MSSP sejak 2009
6.5. Teknik Pengumpulan Data
6.5.1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh melalui sumber asli.
Penelitidapat mengumpulkan data-data tersebut secara langsung melalui metode
wawancara maupun observasi. Data dapat berupa opini individu atau kelompok,
pengamatan terhadap benda, serta pengamatan terhadap kejadian yang terkait
dengan topik penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
wawancara untuk memperoleh data berupa opini individu yang dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam proses penelitian. Lebih jauh lagi, penulis akan

22

melakukan wawancara online kepada peneliti kasus pembajakan kapal di Selat
Malaka yang bekerja di International Maritime Bureau serta wawancara secara
langsung/ online dengan stake-holder atau pemangku kebijakan dari 10 negara
ASEAN terkait dengan kebijakan masing masing negara ASEAN. Untuk lebih
menguatkan teori yang digunakan penulis, penulis juga akan melakukan
wawancara langsung dengan dosen Hubungan Internasional Universitas
Diponegoro, Mohamad Rosyidin, M.A. selaku peneliti konsep Konstruktivis
dalam Hubungan Internasional. Nantinya, hasil dari wawancara tersebut penulis
jadikan sebagai data pendukung bagi tulisan ilmiah ini dalam bentuk opini para
ahli.
6.5.2. Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara tidak langsung melalui
sumberyang sudah ada Dalam hal ini peneliti akan melakukan intepretasi terhadap
ide-ide dan informasi yang diberikan oleh sumber data untuk kemudian
diaplikasikan dalam kasus yang sedang diteliti sebagai sumber penelitian. Data
sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buku, jurnal ilmiah,
majalah, surat kabal online, laporan, undang-undang, publikasi, konvensi
internasional, serta sumber-sumber informasi lainnya seperti data-data yang
terdokumentasikan melalui situs-situs internet yang bersangkutan. Penulis
melakukan pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan (library research),
yang ditujukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi sekunder
yang diperlukan dan relevan dengan penelitian. Data sekunder disini merupakan
data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan.
6.6. Teknis Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah dengan cara teknik analisis data secara kualitatif, yakni penelitian yang

23

bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan
induktif.
Penelitian menggunakan teknik analisis data kualitatif dalam penulisan
skripsi ini

dilakukan melalui beberapa cara seperti sebagai berikut :

Pertama,yakni reduksi data berupa proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan. Kedua, yakni visualisasi data berupa
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan.
6.7. Sistematika Penulisan
Bab 1 akan membahas tentang latar belakang yang menjelaskan urgensi dari
pembahasan kasus pembajakan kapal yang terjadi di Selat Malaka sejak tahun
2009, pembahasan dalam latar belakang ini digunakan untuk memberikan
pemaparan tentang fenomena yang terjadi dan anomaly-anomali yang muncul
dalam fenomena tersebut. Dalam Bab ini juga terdapat tujuan serta manfaat dari
dilakukannya penelitian ilmiah ini, hipotesis penelitian, kerangka pemikiran yang
berisi teori-teori yang penulis gunakan sebagai acuan dan panduan dalam berpikir
dan melihat permasalahan untuk membantu menjelaskan permasalahan yang
penulis angkat, definisi konseptual, operasionalisasi konsep, tipe penelitian,
jangkauan penelitian, teknik analisis data serta sistematika penulisan.
Bab 2 penulis akan membahas mengenai konteks permasalahan secara spesifik
yang melandasi pengambilan tema penelitian. Terkait dengan permasalahan ini,
penulis akan memberikan pemaparan secara umum tentang sejarah kasus
pembajakan kapal. Di bab ini juga akan disinggung tentang bagaimana
penanganan penanganan atas kasus pembajakan kapal yang terjadi di beberapa
tempat diluar Selat Malaka. Penjelasan ini akan memberikan penekanan-

24

penekanan formula yang melandasi suatu kebijakan negara dari sudut pandang
konstruktivis. Di bab ini pula, penulis akan mendeskripsikan tentang kasus
pembajakan yang lebih spesifik, yaitu yang terjadi di Selat Malaka. Hal ini
berguna untuk menjelaskan faktor-faktor pembeda tentang isu pembajakan kapal
di Selat Malaka dengan pembajakan kapal di wilayah lain. Dengan pemaparan
faktor tersebut, penulis dapat memberikan gambaran yang lebih dalam tentang
akar permasalahan di Selat Malaka termasuk di dalamnya penangan-penanganan
yang telah dilakukan negara ASEAN terhadap isu tersebut
Bab 3 akan difokuskan dengan pembahasan mengenai rumusan permasalahan
utama, yaitu mengenai alasan atau penyebab dari kebijakan dan sikap negara
negara di Asia Tenggara yang cenderung pasif terhadap kasus pembajakan kapal
yang terjadi di Selat Malaka. Penjelasan pada bab ini akan menitikberatkan pada
landasan-landasan konstruktivis untuk menjelaskan pengaruh identitas terhadap
pemaknaan negara ASEAN dalam menangani isu pembajakan kapal dan juga
proses sekuritisasi yang terjadi di wilayah tersebut mengenai isu keamanan ini.
Bab 4 akan berisi simpulan dan saran dari penulis mengenai permasalahan sikap
negara di Asia Tenggara dalam memandang pembajakan kapal yang terjadi di
Selat Malaka. Di dalam bab ini, penulis akan menyimpulkan sikap-sikap negara
dalam paradigm konstruktivis. Lebih jauh lagi, dalam bab ini penulis juga akan
memberikan saran bagi civitas akademik tentang hal-hal lain yang perlu diteliti
lebih lanjut sehingga kemudian dapat bersama sama memahami dan
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara mengenai
pembajakan kapal.

25

Daftar Pustaka
Buku
Beckman, R., Grundy-Warr, C., Forbes, V., & Schofield, C. (1994). Acts of piracy
in the Malacca and Singapore straits. Durham, UK: International
Boundaries Research Unit, Dept. of Geography, University of Durham.
Buzan, B., Waever, O., & Wilde, J. (1998). Security: A new framework for
analysis. Boulder [u.a.]: Rienner.
Finn, D. (1979). Oil pollution from tankers in the Straits of Malacca. Honolulu:
East-West Center.
Jackson, R., & Sørensen, G. (1999). Introduction to international relations.
Oxford [England]: Oxford University Press.
Kostić, R. (2007). Ambivalent peace. Uppsala: Uppsala Universitet.
Kubálková, V., Onuf, N., & Kowert, P. (1998). International relations in a
constructed world. Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe.
Onuf, N. (1989). World of our making. Columbia, S.C.: University of South
Carolina Press.
Rosyidin, M. (2015). The Power of Idea: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional (p. 17). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wendt, A. (1999). Social theory of international politics. Cambridge, U.K.:
Cambridge University Press.
Jurnal
Wendt, A. (1992). Anarchy is what states make of it: the social construction of
power

politics.

International

Organization,

46(02),

391.

doi:10.1017/s0020818300027764

26

Situs Online
BBC News,. (2004). Anti-piracy drive in Malacca Straits. Didapat dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3908821.stm
Japan Times,. (2014). Southeast Asia now biggest global danger zone for piracy:
U.N., p. 1. Didapat dari http://www.japantimes.co.jp/news/2014/06/13/asiapacific/crime-legal-asia-pacific/piracy-falls-somalia-ticks-southeastasia/#.VUfS7fntmkp
Kemp, T. (2014). Dangerous waters: Meet the new face of piracy. CNBC. Didapat
2 May 2015, dari http://www.cnbc.com/id/101969104
Kompas.com,. (2011). Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja. Didapat 23 Juni
2015,

dari

http://internasional.kompas.com/read/2011/02/22/17270840

/Penyelesaian.Konflik.Thailand-Kamboja
McCauley, A. (2014). The Most Dangerous Waters in The World. TIME.com.
Didapat 2 Mei 2015, dari http://time.com/piracy-southeast-asia-malaccastrait/
Oceansbeyondpiracy.org,. (2013). Malacca Strait Patrols. Didapat 4 Mei 2015,
dari http://oceansbeyondpiracy.org/matrix/malacca-strait-patrols
E-book dan PDF
ASEAN and ARF Maritime Security Dialogue and Cooperation. (2007) (1st ed., p.
3). Jakarta. Didapat dari http://www.un.org/depts/los/consultative_process
/mar_sec_submissions/asean.pdf
Dela Pena, J. (2009). Maritime Crime in the Strait of Malacca: Balancing
Regional and Extra-Regional Concerns. 1st ed. [ebook] California:
Standford

University,

p.5.

Available

at:

http://web.stanford.edu/

group/sjir/pdf/ Pirates.pdf
Baird, R. (2010). Transnational Security Issues in the Asian Maritime
Environment: Fisheries and Piracy (1st ed., p. 4). Brisbane. Didapat dari
http://www.griffith.edu.au /__data /assets/pdf_file/0011/246089/Baird.pdf
Gilmartin, H. (2008). EU-US-China: Cooperation in the Malacca Straits (1st ed.,
p. 2). Hamburg: Institute for Peace Research and Security Policy (IFSH),
Hamburg,

Germany.

Didapat

dari

http://www.isn.ethz.ch/Digital27

Library/Publications/Detail/?ots591=0c54e3b3-1e9c-be1e-2c24a6a8c7060233&lng=en&id=94660
International Hydrographic Organization. (1953). Limits of Oceans and Seas:
Special Publication No 23.

(3rd ed., p. 23). Monaco. Didapat dari

http://epic.awi.de/29772/1/IHO1953a.pdf
Raymond, C. (2009). Piracy and Armed Robbery in the Malacca Strait: A
Problem Solved? (1st ed., p. 37). Newport: U.S Naval War College. Didapat
dari

https://www.usnwc.edu/getattachment/7835607e-388c-4e70-baf1-

b00e9fb443f1/Piracy-and-Armed-Robbery-in-the-Malacca-Strait--A-.aspx
Geopoliticity Inc. (2011). The Economics of Piracy: Pirate Ransoms & Livehoods
off the Coast of Somalia. (1st ed., p. 3). Dubai. Didapat dari
http://www.geopolicity.com/upload/content/pub _1305229189_regular.pdf

28