Hubungan Antara Kejadian Anemia Dengan Kadar Cd4 Pada Pasien Hiv Aids Yang Mendapat Terapi Arv Dengan Rejimen Yang Mengandung Zidovudin

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Human ImmunodeficiencyVirus/Acquired Immunodeficiency
Syndrome(HIV/AIDS)
2.1.1 Sejarah
Acquired

Immunodeficiency

Syndrome

(AIDS)

merupakan

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
AIDS

merupakan


tahap akhir dari infeksi HIV. AIDSdikemukakan

pertama kali tahun 1981.U.S. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) melaporkan kejadian infeksi Pneumocystis jiroveci (P.
carinii) pneumonia di Los Angeles dan Sarkoma kaposi dengan atau
tanpa Pneumocystis jiroveci pneumonia di New York dan Los Angele
pada pria homoseksual yang sebelumnya sehat

(1,15,16)

. Beberapa bulan

kemudian kasus tersebut juga dijumpai pada Injection Drug User (IDU),
penerima transfusi darah dan penderita hemofilia(1).Tahun 1983, HIV
diidentifikasioleh Lue Montagnier, diberi nama LAV (Lymphadenopathy
virus) sedangkanRobert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada
1984 yang

dinamakan HTLV-III,selanjutnya didemontrasikan bahwa


virus tersebut merupakan penyebab AIDS

(1)

.

Barré-Sinoussi F et al. tahun 1983 berhasil mengisolasi HIV dari
pasien dengan limfadenopati kemudian HIV didemonstrasikan sebagai
penyebab

dari

AIDS.

Metode

pemeriksaan

Enzyme-Linked


Immunosorbent Assay (ELISA) dikembangkan pada tahun 1985,
pemeriksaan ini memberikan apresiasi yang positif terhadap epidemi
HIV di Amerika Serikat dan negara lainnya (1).
Sejak tahun 1986 telah banyak dilakukan penelitian tentang HIV.
HIV2 berhasil diisolasi dari pasien AIDS di Afrika hingga pada tahun
1996-1997 obat highly active antiretroviral therapy(HAART) digunakan

7

untuk menekan replikasi HIV (17).Luc Montagnier menerima penghargaan
nobel atas penelitian yang berhasil mengisolasi HIV dari pasien dengan
limfadenopati.

2.1.2 Definisi
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu
sindroma klinis yang bervariasi terhadap infeksi opurtunistik spesifik
atau keganasan yang terjadi bersamaan dengan infeksi HIV dan
merupakan petanda telah terjadi infeksi HIV stadium lanjut (18). Menurut
U.S. GovernmentSource for HIV/AIDS Medical Practice Guidelines,
Clinical Trials and Other Research Information, AIDS merupakan kelainan

pada sistem imun yang disebabkan oleh infeksi HIV, dimana terjadi
perusakan limfosit CD4 (sel CD4). Hal ini akan mengakibatkan tubuh
mudah terpapar infeksi dan keganasan. AIDS menunjukan stadium lanjut
dari infeksi HIV

(19)

.Sedangkan untuk kepentingan surveilan, WHO

(18)

memberikan definisi HIV stadium lanjut sebagai infeksi HIV dengan
stadium klinis 3 atau 4, atau bila tersedia pemeriksaan CD4.

2.1.3 Etiologi
Human Immunodefiency Virus (HIV) adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus.Berdasarkan strukturnya (Gambar 1) HIV termasuk famili
retrovirus, suatu virus RNA dengan berat molekul 9.7 kb (kilobases) dan
memiliki diameter 120 nm


(20,21)

.Virus ini terdiri dari dua salinanRNA

beruntai tunggalyang mengkode sembilangentertutup (gag, pol, vif, vpr,
vpu, env, rev, tat dan nef), dan terdiridari2.000kopi p24 protein
virus.Dikelilingi oleh kapsid selubung virus (envelope).Selubung virus
terdiri atas dua lapis membran lipid, dimana masing-masing unit

8

selubung virus terdiri atas dua protein membran non-kovalen
yaituglycoprotein 120 (gp120) dan glycoprotein 41 (gp41)(20).
Gambar 2.1
StrukturHIV-1.Membranluargp120,komponentransmembrangp41,
Agenom,enzimreverse transkriptase, p18(17) membran dalam(matriks), dan
proteinintip24(kapsid)

Sumber: Fauci AS and Lane HC. Harrison’s Principles of Internal Medicine 2008.


2.1.4 Status imunologi
Patogenesis infeksi HIV berhubungan dengan penurunan jumlah
limfosit T yang mengandung reseptor CD4 (CD4+). Agar dapat terjadi
infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu molekul CD4.
Molekul CD4 mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
terutama terhadap molekul gp120 dari selubung virus.Diantara sel tubuh
yang memiliki molekul CD4 paling banyak adalah sel limfosit-T.Status
imunologi penderita HIV dapat dinilai dengan mengukur jumlah absolut
(per mm3 darah) atau persentase dari sel CD4+, dan ini dianggap sebagai
pemeriksaan

standar

untuk

menilai

dan


menentukan

derajat

imunosupresi yang berhubungan dengan infeksi HIV.Penurunan progresif
dari sel T CD4+ berhubungan dengan progresifitas infeksi HIV dan
9

peningkatan resiko infeksi oportunistik serta manifestasi klinis lainnya,
termasuk wasting syndrome dan kematian (19).

2.1.5.Patogenesis Infeksi HIV
HIV merupakan virus yang termasuk famili retroviridae, klas
retrovirus dan subklas lentivirus termasuk virus RNA karena menggunakan
RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik. Disebut retrovirus
karena memiliki enzim reverse transkriptase. Enzim ini memungkinkan
virus mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA kedalam
bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan dalam informasi genetik sel
limfosit yang diserang. Termasuk subklas Lentivirus karena terdapat
interval yang lama dari awal mulai infeksi sampai timbul gejala yang

serius.
Virus ini ditemukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan Perancis yang
mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati,
sehingga pada waktu itu dinamakan lymphadenopathy associated virus
(LAV). Para peneliti mengidentifikasi dua jenis HIV, HIV-1 merupakan jenis
yang dominan di seluruh dunia dan HIV-2 terutama terdapat di Afrika
Barat. HIV-1 memiliki peranan dalam menginfeksi makrofag dan limfosit
pada penderita AIDS. Virus ini secara berangsur-angsur menghancurkan
sel-sel pertahanan tubuh, sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan
diri terhadap infeksi(22).

10

Siklus hidup HIV
Gambar

Gambar 2.2
Sumber: www.med.sc.edu:85/lecture/hiv7.htm

Viral gp 120 berikatan dengan molekul CD4 yang terdapat pada limfosit T

helper, makrofag, sel dendritik, monosit dan sel langerhan. Terjadi
perubahan bentuk gp 120 yang memfasilitasi pengikatan co reseptor
(chemokine) yaitu CCR5 dan CXCR4 selain itu sel dendritik juga memiliki
reseptor lektin tipe C (DC SIGN) yang dapat berikatan dengan gp 120.
Virus HIV yang menggunakan CCR5 sebagai reseptor disebut virus R5
lebih mudah menginfeksi monosit,microglia sedangkan virus HIV yang
menggunakan CXCR4 disebut virus X4 dan cenderung menginfeksi limfosit
T helper dan membentuk syncytium (penggabungan sel membrane
limfosit yang terinfeksi dengan yang tidak terinfeksi). Melalui protein
gp40 yang penetrasi membrane sel host kemudian melekuk sehingga

11

menarik sel virus mendekati membrane sel host untuk penggabungan
(fusion)  RNA masuk kedalam sel.

Reverse transkriptase (RT) HIV membentuk DNA copy single strand ( RNADNA hybrid) kemudian di degradasi oleh ribonuklease di RT, kemudian
dibentuk double strand DNA (provirus). Proviral translokasi ke nukleus
dan integrasi ke DNA sel host dengan enzim integrase, aktifasi dari sel
host diperlukan untuk proses transkripsi virus sehingga terbentuk mRNA,

mRNA digunakan untuk mencetak protein HIV di reticulum endoplasma
sel host. Enzim protease memotong rantaipanjang dari protein HIV dan
bersama HIV RNA membentuk virus baru, kemudian virus melakukan
budding untuk menembak envelope.
Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit CD4 sebagai
penanda munculnya infeksi oportunistik ini pada penderita HIV/AIDS.CD4
adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel – sel
darah putih manusia, terutama sel – sel limfosit.Sel ini berfungsi dalam
memerangi infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Pada orang dengan
sistem kekebalan yang baik, jumlah CD4 berkisar antara 1400 –
1500sel/μL .HIV menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4
pada permukaannya. Limfosit T helper menghasilkan zat kimia yang
berperan sebagai perangsang pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain
dalam sistem imun dan pembentukan antibodi sehingga bukan hanya
limfosit T tetapi juga limfosit B, monosit, dan makrofag.

12

Gambar 2.3
Sumber: www.wellesley.edu/chemistry/Chem101/hiv/HIV-1.html


Setelah terinfeksi HIV, 2-6 minggu terjadilah sindrom retroviral
akut sebagai gejala infeksi primer berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi,
rasa lemah, kelainan mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut),
pembengkakan kelenjar limfe, gejala neurologi (nyeri kepala, nyeri
belakang kepala, fotofobia, depresi), maupun gangguan saluran cerna
(nausea, diare dan jamur di mulut). Selanjutnya merupakan fase
asimtomatik rata-rata 8 tahun (7-10 tahun), di negara bekembang lebih
cepat menjadi 2-3 tahun. Faktor risiko yang menyebabkan cepatnya
progresivitas penyakit ini antara lain viral load, penurunan cepat nilai
Cluster designation4 (CD4), usia lanjut dan pada pengguna obat
suntik.Penurunan CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi
oleh HIV.Pada masa asimtomatik terjadi penurunan CD4 secara lambat
dan penurunannya semakin tajam pada stadium infeksi HIV yang lanjut.

13

Gambar 2.4
Sumber: www.wellesley.edu/chemistry/Chem101/hiv/HIV-1.html

Sebagian besar pengidap HIV pada fase asimtomatik tampak
sehat, dapat melakukan aktifitas normal namun dapat menularkan
kepada orang lain. Setelah masa tanpa gejala memasuki fase
simptomatik, akan timbul gejala-gejala pendahuluan seperti demam,
pembesaran kelenjar limfe yang diikuti infeksi oportunistik. Dengan
adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki
stadium AIDS. Fase simtomatik berlangsung rata-rata 1-3 tahun dan
berakhir dengan kematian(23,29).

2.1.6.Stadium klinis
Penilaian stadium klinis (tabel 1) ditentukan setelah diagnosis
infeksi HIV ditegakan (serologi dan/atau virologi).Stadium klinis
bermanfaat untuk menilai status penderita saat diagnosis HIV ditegakan
dan follow-up penatalaksanaan, serta menjadi pedoman untuk memulai
terapi profilaksis kotrimoxazol dan/atau intervensi lainnya yang
berhubungan dengan infeksi HIV, termasuk kapan memulai terapi

14

ARV.Stadium klinis berhubungan dengan angka harapan hidup, prognosis
dan progresifitas penyakit tanpa terapi ARV (19).

Tabel 2.1 Stadium klinis infeksi HIV pada dewasa menurut WHO
Stadium klinis 1
Asimptomatis
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Penurunan berat badan 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopenia kronis
( 10% dari berat badan dasar



Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang lebih dari satu
bulan



Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan



Limfadenopati meluas

Kulit



PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan
seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi
tidak selalu terkait dengan HIV

Infeksi
Infeksi Jamur







Infeksi viral








Gangguan
Pernapasan










Gejala neurologis







Kandidosis oral *
Dermatitis seboroik
Kandidosis vagina kambuhan
Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom)
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Batuk lebih dari satu bulan
Sesak napas
TB
Pneumonia kambuhan
Sinusitis kronis atau berulang
Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas
penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif

*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Dikutip dari: Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral padaorang dewasa

17

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk
memastikan diagnosis infeksi HIV.Pemeriksaan serologi yang digunakan
untuk diagnosis HIV adalah deteksi antibody.Rapid Test adalah
immunokromatografi untuk deteksi antobodi HIV-1 dan antibody HIV-2
secara kualitatif.Western Blotmerupakan metode konfirmasi yang paling
banyak dipakai setelah dilakukan pemeriksaan penyaring misalnya
dengan EIA.Prinsip pemeriksaannya adalah reaksi antara antibody anti
HIV dengan antigen HIV.ELISA(Enzyme linked immunoassay) merupakan
jenis pemeriksaan penyaring yang efektif dan banyak dipakai untuk
mendeteksi antibody antiHIV karena mempunyai sensitifitas yang
tinggi.Mendeteksi antibody terhadap protein p6 dan gp41 yang
merupakan bagian virus HIV.Untuk mendiagnosis infeksi HIV selain
deteksi antibody juga dikembangkan deteksi antigen diantaranya dengan
mengukur viral load memakai metode polymerase chain reaction (PCR)
untuk mendeteksi asam nukleat virus HIV. Dilakukan biasanya pada bayi
dibawah usia 18 bulan karena pada usia kurang 18 bulan antibody belum
terbentuk.
Tabel 2.3 Perbandingan pemeriksaan HIV

Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan
panduan nasional yang berlaku pada saat ini, selalu didahului dengan
konseling pra-tes atau informasi singkat.Setelah dinyatakan terinfeksi HIV
maka pasien perlu menjalani serangkaian pemeriksaan yang meliputi
penilaian stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4)
dan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi.

18

2.2 Terapi Antiretroviral
Setelah ditemukannya virus HIV berbagai upaya telah dilakukan
untuk menghambat ataupun menyembuhkan penyakit ini.Berbagai terapi
baru AIDS dapat segera diaplikasikan pada pasien, mengingat sifat
penyakit ini yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi.Ditemukannya
obat golongan NRTI yang mampu memperbaiki masa hidup penderita
AIDS, namun belum mampu mengeradikasi virus secara total.Dengan
diperkenalkannya kombinasi obat golongan PI dengan NRTI yang dikenal
sebagai HAART digunakan untuk menekan replikasi HIV, maka saat ini
penyakit AIDS tidak lagi sefatal dulu selama pengobatan dilakukan secara
teratur dan dalam jangka waktu yang panjang.
Manfaat pemberian terapi ARV lebih awal telah direkomendasikan
pada saat melakukan konsultasi dengan ODHA.Namun demikian,
perhatian lebih ditujukan terhadap risiko efek samping, terjadinya
resistensi terhadap ARV lini pertama, ketersedian kecukupan obat dan
tidak tersedianya regimen lini kedua (8).
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan
kadar CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.
Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah
memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum (7).
WHO merekomendasikan pemberian ARV terhadap(8):
-

Seluruh penderita dengan kadar CD4