T1__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi Suran Sendang Sidukun dan Nilai GotongRoyong pada Masyarakat Desa Trajiecamatan Parakanabupaten Temanggung: Kajian AntropologiSosiologi T1 BAB IV

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian
Dari 16 (enam belas) desa di Kecamatan Parakan ada sebuah Desa yang
bernama Traji yang terletak di ketinggian 700 m dari permukaan laut dan
berjarak 3 km dari ibu kota Kecamatan Parakan, 15 km dari ibu kota Kabupaten
Temanggung dan dari pusat pemerintahan ibu kota Propinsi berjarak 100 km.
Luas Desa Traji adalah 420, 4760 Ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa
Klimbungan, Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Manden, sebelah Barat
berbatasan dengan desa Medari, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa
Kundi Sari. Suasana Desa Traji sangat ramai karena di lalui jalur utama poros
tengah arah Jakarta yang melalui alas roban Kabupaten Kendal.
Desa Traji sendiri memiliki 4 (empat) dusun yang terdiri dari 4 (empat)
rukun warga (RW), 31 (tiga puluh Satu) rukun tangga (RT). Keadaan penduduk
Desa Traji bersifat heterogen. Jumlah penduduk 4. 450 (empat ribu empat ratus
lima puluh) jiwa dengan perincian jumlah laki-laki 2.193 (dua ribu seratus
sembilan puluh tiga) jiwa (49, 28%) dan perempuan 2.257 (dua ribu dua ratus
lima puluh tujuh) jiwa (50,27%). (Data monografi Desa Traji, Kecamatan
Parakan, Temanggung, tahun 2016).
Suasana pedesaan dengan lingkungan lahan pertanian masih mewarnai

Desa Traji. Lahan pertanian di Desa Traji ini berupa lahan basah dengan bantuan
sistem irigasi dari sungai dan sendang. Data monografi Desa Traji tahun 2016

29

30

menunjukan bahwa luas lahan pertanian di Desa ini adalah 251, 32 Ha (59, 76%
dari keseluruhan luas Desa Traji) dan untuk tanah kering (pekarangan dan
tegal/kebun) luasnya 169, 17 Ha (40, 23% dari keseluruhan luas Desa Traji).
Penduduk usia 10 (sepuluh) tahun ke atas mayoritas bekerja di sektor
agraris sebagai petani tanaman pangan (padi, umbi-umbian, dan holtikultura)
berjumlah 733 (tujuh ratus tiga puluh tiga) orang (16, 48%), 4 (empat) orang
bekerja sebagai peternak ayam petelur, pedaging, kambing, dan budidaya ikan
air tawar (0,8%), 1.251 (seribu dua ratus lima puluh satu) orang bekerja sebagai
buruh perkebunan (kopi, cengkeh, kemukus, dan tembakau) (28,11%), 78 (tujuh
puluh

delapan)


orang

bekerja

sebagai

buruh

bangunan

dan

pertambangan/penggalian sumber daya alam non migas (pasir dan batu)
(1,75%), 78 (tujuh puluh delapan) orang usaha di bidang swasta (1,75%), 30
(tiga puluh) orang menjadi karyawan pabrik (0,67%) dan 8 (delapan) orang
bekerja sebagai pegawai negeri sipil/PNS (0,18%). Untuk sumber air minum
berasal dari sumur dan mata air yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) maupun pengelola swasta yang disalurkan melalui pipa-pipa ke rumah
warga, dan untuk penerangan Desa Traji sudah terakses oleh Perusahan Listrik
Negara (PLN).

Dalam bidang pendidikan masyarakat Desa Traji dapat dikatakan masih
rendah. Data statistik Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kecamatan
Parakan

tahun

2016

menunjukan

jumlah

penduduk

yang

tamat

PT/universitas/akademi 63 (enam puluh tiga) orang (1,42%), tamat
SLTA/sederajat 261 (dua ratus enam puluh satu) orang (5,87%), tamat


31

SLTP/sederajat 593 (lima ratus sembilan puluh tiga) orang (13,33%), tamat
SD/sederajat 1.793 (seribu tujuh ratus sembilan puluh tiga) orang (40,29%),
belum tamat SD berjumlah 538 (lima ratus tiga puluh delapan) orang (12,09%)
dan 542 (lima ratus empat puluh dua) orang sisanya tidak tamat SD karena terdiri
dari orang-orang tua yang dulunya tidak maju dalam pendidikan (12,18%).
Untuk sarana pendidikan terdapat 1 (satu) unit Taman Kanak-Kanak (TK), 2
(dua) unit (Sekolah Dasar) SD, 1 (satu) unit (Madrasah Ibtidaiyah) MI, 1 (satu)
unit Sekolah Menengah Pertama (SMP)/1 (satu) unit Madrasah Tsanawiyah
(MTS) dan 1 (satu) unit Sekolah Menengah Atas (SMA).
Bidang Kesehatan di Desa Traji terdapat sarana kesehatan 1 (satu) unit
Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) induk, 5 (lima) unit Pos Pelayanan
Terpadu (POSYANDU), 4 (empat) unit Poliklinik Desa (POLINDES), 1 (satu)
orang dokter umum, 4 (empat) orang bidan/perawat/mantri dan 5 (lima) orang
dukun bayi tradisional.
Berbagai organisasi kemasyarakatan tumbuh subur di Desa Traji,
diantaranya yaitu organisasi Majelis Taklim 4 (empat) kelompok dengan
anggota keseluruhan 60 (enam puluh) orang, Majelis Buddha 1 (satu) kelompok

dengan jumlah anggota 15 (lima belas) orang, Majelis Gereja 1 (satu) kelompok
dengan anggota keseluruhan 40 (empat puluh) orang, organisasi Karang Taruna
4 (empat) dusun dengan jumlah keseluruhan anggota 250 (dua ratus lima puluh)
orang, organisasi kesenian dengan jumlah 40 (empat puluh) orang untuk
kesenian kuda lumping dan 40 (empat puluh) orang untuk kesenian karawitan.

32

Selain berbagai organisasi kemasyarakatan seperti yang dikemukakan
oleh para informan, jika di Desa Traji berbagai tradisi kebudayaan Jawa juga
masih lestari. Masyarakat Desa Traji selalu berupaya untuk tetap melestarikan
kebudayaan

Jawa

sebagaimana

yang

telah


ditinggalkan

masyarakat

pendahulunya. Berbagai tradisi Jawa masih tetap dilestarikan dan dilaksanakan
termasuk yang menyangkut siklus kehidupan manusia baik dengan sesama,
Tuhan/leluhur, maupun alam. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan
dengan

sesama

yaitu

seperti

halnya

gotong-royong


dalam

menyelesaikan/menghadapi suatu masalah/pekerjaan yang bersifat umum baik
suka maupun duka. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan
Tuhan yaitu dengan mengadakan suatu upacara keagamaan yang dibalut tradisi
setempat seperti Muludan (memperingati lahirnya Nabi Muhammad Saw),
Suran (memperingati datangnya tahun baru Islam Hijriyah/bulan Muharram

yang bertepatan dengan datangnya bulan baru, bulan Sura dalam penanggalan
Jawa) dan sebagainya. Tradisi kebudayaan Jawa dalam proses kehidupan dengan
alam yaitu dengan menggelar tradisi dawuhan (membersihkan aliran irigasi),
sadranan (selamatan desa), merti desa (bersih desa biasanya diadakan karena

menyongsong acara-acara tertentu dalam desa) dan lain sebagainya.
Kondisi daerah Desa Traji yang masih bersifat pedesaan, dengan
penduduk yang bersifat heterogen ini selaras dengan berbagai bentuk
kerukunan/kerja sama, organisasi kemasyarakatan, sikap saling gotong-royong
dalam berkehidupan, kerukunan dalam kehidupan, saling hormat menghormati,
dan tenggang rasa yang masih tampak kuat keberadaanya. Keadaan ini seperti


33

apa yang dikemukaan oleh Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku
Poernomo (2003: 32) sebagai community sentiment atau sentimen kelompok.
Soerjono Soekanto dalam Yayuk Yuliati dan Mangku Poernomo (2003: 32)
membedakan 3 (tiga) unsur dalam sentimen kelompok yakni, “unsur seperasaan,
sepenanggungan, dan saling memerlukan”. Seperasaan adalah sikap individu
yang saling menyelaraskan kepentingannya dalam kelompok sehingga
kepentingan kelompok merupakan manifestasi/perwujudan sebagai suatu
pernyataan

perasaan

atau

pendapat

kepentingannya.

Sepenanggungan


merupakan perasaan bahwa individu adalah anggota kelompok dimana ia
mempunyai tanggung jawab yang sama dalam kelompoknya. Sementara saling
memerlukan adalah kesadaran bahwa ia tergantung dan memerlukan kelompok
itu dalam menyokong kehidupannya. Kehidupan dalam kemasyarakatan seperti
ini ada di Desa Traji meliputi semua aktivitas kegiatan dalam semua aspek
kehidupan, yaitu aktivitas kebersamaan bermasyarakat yang saling merasakan,
baik yang menyangkut kesedihan maupun kebahagiaan, termasuk dalam
aktivitas saling bergotong-royong dalam suatu tradisi upacara Suran.

B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
1. Waktu Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun di Desa Traji
Kebudayaan bagi masyarakat Indonesia merupakan suatu hal yang
melekat dan sudah mendarah daging. Kebudayaan erat kaitanya dengan
tradisi yang mengandung ritual dan upacara adat yang biasanya dalam prosesi
pelaksanaannya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dan bersifat masal dengan

34

gotong-royong. Hal ini juga diketahui oleh seluruh warga masyarakat dimana

tradisi kebudayaan itu berkembang dan bahkan telah diketahui oleh
masyarakat luar desa atau luar kota.
Salah satunya adalah tradisi Suran, secara historis dan persepsi orang
Jawa 1 (satu) Sura khususnya dan bulan Sura umumnya merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai dan keyakinan orang Jawa,
terutama pandangan sebagian besar orang Jawa terhadap sifat wingit dan
sakral bulan Sura. Ada keyakinan bahwa bulan Sura sebagai bulan instropeksi
diri menjadi pantangan untuk menyelenggarakan hajat seperti perkawinan,
khitanan, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan upacara siklus kehidupan.
Gejala ini berlaku bagi sebagian besar orang Jawa yang masih kental dengan
budaya tradisi, sedangkan bagi orang Jawa yang memiliki keyakinan agama
Islam yang kuat atau kalangan santri, bulan Sura dianggap sama dengan bulan
yang lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan maka dapat
diketahui bahwa pelaksanaan tradisi Suran sendang Sidukun di Desa Traji,
Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung 1 (satu) kali dalam satu tahun
yaitu dimulai dari tanggal 1 (satu) hari Sabtu Wage hingga 3 (tiga) hari
kedepan pada tahun baru Hijriyah bulan Muharram dalam kalender Islam,
bulan Sura dalam kalender Jawa, di tahun 2016 jatuh pada bulan Oktober
pada kalender Masehi, tepatnya hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal

2 (dua) Oktober 2016. Di samping bulan ini sudah sebagai ketentuan dalam
pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun 2016, bulan

35

Oktober ini juga dimana bulan ketika warga masyarakat Desa Traji yang
mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sedang mengalami fase panen
tembakau, sehingga acara tradisi Suran sendang Sidukun ini sekaligus
digunakan oleh warga masyarakat Desa Traji untuk menghaturkan terima
kasih atas hasil panen tembakaunya kepada Sang Maha Pemberi.
Menurut pandangan orang Jawa peredaran hari yang mempengaruhi
jatuhnya 1 (satu) Sura memiliki watak “bawana ” (pengaruh tahun Jawa).
Suranto sebagai informan dan juga sebagai salah satu pemuda pemerhati
budaya di Kabupaten Temanggung menjelaskan bahwa Di Desa Traji
Kecamatan Parakan, Temanggung, warga masyarakatnya juga masih
mempercayai dan menggunakan “petung” (perhitungan) Jawa ini, dalam hal
ini Suranto mengemukakan urutan tahun Jawa dan watak bawana tersebut,
1. Bila tanggal satu Sura jatuh pada hari Minggu, disebut tahun DiteKalaba , yakni tahun Kelabang, wataknya jarang hujan.

2. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Senin, disebut tahun Soma
Wrejita, yakni tahun Cacing, wataknya banyak hujan.

3. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Selasa, disebut tahun
Anggara Rwejita , yakni tahun Katak, wataknya banyak hujan.

4. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Rabu, disebut tahun Buda
Wisaba, yakni tahun Kerbau wataknya banyak hujan.

5. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Kamis, disebut tahun Resapti
Mintuna , yakni tahun Mimi wataknya banyak hujan.

36

6. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Jum’at, disebut tahun Sukra
Manangkara , yakni tahun Udang wataknya banyak hujan.

7. Bilamana tanggal satu Sura jatuh pada hari Sabtu, disebut tahun Tumpak
Menda ,

yakni

tahun

Kambing,

wataknya

jarang

hujan.

(Wawancara/Suranto (24)/28/12/2016)
Sukirman salah satu informan sekaligus perangkat Desa Traji
mengungkapkan “bahwa ritual sendang Sidukun ini telah berlangsung sekitar
200 (dua ratus) tahun. Pada tahun 1964-an desa Traji yang terdiri dari 4
(empat) RW terjadi perselisihan, 2 (dua) RW ingin tetap melaksanakan tradisi
Suran dan menggelar pertunjukan wayang kulit, sedangkan 2 (dua) RW lain
tidak ingin melaksanakan tradisi Suran dan juga tidak ingin menggelar
wayang kulit dengan alasan kendala cuaca yang buruk, setiap hari intensitas
curah hujan tinggi juga kala itu karena pengaruh cuaca buruk keadaan
ekonomi warga Desa Traji mengalami keterpurukan akibat gagal tanam dan
panen tembakau. Sehingga dampak dari 2 (dua) RW yang tidak melakukan
tradisi Suran dan menggelar wayang kulit ekonominya semakin turun dan
kehidupan masyarakatnya buruk, terjadi paceklik pertanian yang lama,
banyak penyakit yang mewabah dan menjangkit warga masyarakat Desa Traji
yang mengakibatkan “pakebluk” (kematian masal dengan selang waktu yang
singkat). Sebaliknya, 2 (dua) RW yang tetap melaksanakan tradisi Suran dan
menggelar wayang kulit ekonominya naik dan kehidupan masyarakatnya
baik. Sehingga dengan adanya kejadian itu tradisi upacara Suran sendang

37

Sidukun tetap dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali hingga saat ini”.
(Wawancara/Sukirman (46)/02/01/2017)

2. Bentuk Upacara dan Prosesi Pelaksanaan Suran Sendang Sidukun
Peringatan malam satu Sura di Desa Traji merupakan tradisi
menyongsong bulan baru Jawa, sekaligus tahun baru Islam Hijriyah, bulan
Muharram. Tradisi di Desa Traji, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung ini memang selalu dinanti masyarakat luas, sebab ada yang unik
dari tradisi di tempat itu. Tak sekadar jamasan pusaka atau membawa
gunungan berisi hasil bumi seperti ritual Sura pada umumnya. Namun tradisi
Sura di Desa Traji memiliki keunikan di mana setiap tahun saat peringatan
Sura, kepala desa dan istri didandani layaknya pengantin. Hal ini memiliki
makna bahwa kepala desa adalah sebagai pemimpin, di kalangan masyarakat
Jawa pemimpin identik dengan raja, maka sang kepala desa beserta istri harus
berpakaian layaknya raja dengan mengenakan pakaian pengantin, karena
filosofi warga setempat pakaian raja seperti pakaian pengantin adat Jawa.
Gaya pakaiannya pun tidak sembarangan, karena pakaian pengantin yang
dikenakan kepala desa beserta istri, dan pakaian yang dikenakan oleh peserta
kirab sudah ditentukan sejak dulu bergaya Yogyakarta. Gaya Yogyakarta
dipilih berdasarkan latar belakang sejarah Kabupaten Temanggung yang
tidak lepas dari pengaruh Kerajaan Mataram kala itu. Yang nantinya sang
kepala desa beserta istri dan para warga masyarakat yang didaulat berbusana
adat Jawa diarak/dikirabkan bersama gunungan hasil bumi dan sesaji dari

38

balai desa sampai lokasi sendang Sidukun sejauh 500 m di mana prosesi
upacara

Suran

tersebut

berlangsung.

(Wawancara/Hadi

Waluyo

(54)/06/01/2017)
Berikut merupakan rangkaian ritual sebelum peringatan malam 1
(satu) Sura di Desa Traji pada hari Sabtu Wage (pasaran Jawa) tanggal 1 (satu)
Oktober 2016 dan sebelum-sebelumnya, menurut Suari selaku juru kunci
sendang Sidukun, sebulan sebelum pelaksanaan ritual, pemerintah desa,
panitia tradisi 1 (satu) Sura dan sesepuh Desa Traji mengadakan rapat. Pada
rapat I (pertama) membahas mengenai pelaksanaan pagelaran wayang kulit
dan biaya yang diperlukan. Pada rapat ke II (kedua) membahas mengenai
ketua panitia ritual 1 (satu) Sura dan mengumpulkan seksi-seksi, RT, RW,
perangkat Desa Traji, sesepuh Desa Traji, pemuda, dan pertahanan sipil
(HANSIP) setempat. Pada rapat ini membahas mengenai sarana prasarana
upacara termasuk penentuan dalang dan biaya yang mencangkup semuanya,
ketika sudah sepakat maka ketua panitia membagi bagian kerja ke masingmasing RT, dan RT membagi bagian kerja kepada masyarakat dengan cara
“anda usuk” (gotong-royong) termasuk dalam dana sehingga jika ada lebih
atau kurangnya biaya dikelola oleh panitia secara gotong-royong.
Pelaksanaan rapat yang terakhir membahas tentang pemantapan kerja bagi
semua seksi, dan masing-masing seksi mulai menjalankan tugasnya.
1 (Satu) hari sebelum ritual sendang Sidukun dan kirap kepala desa
malam 1 (satu) Sura, masyarakat Traji bergotong-royong membersihkan
sendang yang berukuran 9 x 25 m dengan kedalaman 2 m yang disebut nawu

39

sendang, membersihkan pendapa kecil di sebelah sendang yang terdapat

prasasti bertuliskan huruf Jawa yang berlafalkan "Angayuhsih Kadarmaning
Gusti Kanthi Manunggaling Cipta" yang berarti “Memelihara/melestarikan
Tuntunan Yang Maha Kuasa Dengan Menyatukan Diri Dengan Sesama dan

Alam”, di situ pula terdapat sumber mata air sendang Sidukun yang berbentuk
sumur dengan diameter 70 cm yang konon ceritanya menurut Suari sumber
mata air ini merupakan bekas tancapan tongkat dari Ki Ageng Makukuhan
yang tersohor di Kabupaten Temanggung, beliau seorang pemuka agama
Islam yang singgah untuk menyapa warga ketika perjalanan syiar agama ke
arah lereng gunung Sindoro. Air dari sendang ini dianggap bertuah oleh
masyarakat yang mempercayainya, “tuk” (sumber air) mengairi sendang dan
sawah penduduk setempat. Menurut informan sekaligus juru kunci sendang,
Suari, nantinya sesaji malam 1 (satu) Sura akan diletakkan di pendapa dan
didoakan. Gapura masuk sendang pun ikut dibersihkan, dalam proses ini
masyarakat membaur saling gotong-royong terutama para laki-laki bekerja di
komplek sendang dan balai desa, untuk yang perempuan bergotong-royong
membuat gunungan palawija, perlengkapan sesaji, dan masak di aula balai
desa yang nantinya akan diarak/dikirabkan bersama dengan kepala desa dan
diperebutkan, dalam proses ini tidak ada saling kongkiren ataupun membedabedakan antar individu maupun golongan walaupun tradisi ini bisa dikatakan
milik umat Islam, tetapi semua golongan baik dari warga Nasrani Majelis
Gereja, pemuda Gereja dari GKJ Traji, warga Muslim, Majelis Taklim,
pemuda Masjid Traji, warga Buddhis, Majelis Viharra dan Patria Traji semua

40

membaur saling gotong-royong ikut andil dalam tradisi ini. Inilah yang
menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas, bila dilihat dengan
kenyataan yang terjadi sekarang sangatlah terbalik, di luar sana banyak terjadi
intoleransi yang tak jarang berujung kekerasan, saling membenci bertikai
mengatas namakan Tuhan dan golongan yang tidak mendasar. Tetapi di Desa
Traji itu semua ditampik, karena dengan istilah tradisi semua bersama
bergotong-royong dalam bentuk material maupun non-material melebur demi
satu tujuan yang sama “nguri-uri kabudayan Jawi” (melestarikan
kebudayaan Jawa), bukti nyata bahwa kebudayaan yang kita miliki sekecil
apapun itu merupakan alat pemersatu bangsa yang mewujudkan perdamaian
abadi di Desa Traji pada khususnya dan di Bumi Pertiwi pada umumnya.
Perlengkapan sesaji pun macam-macam mulai dari tumpeng
“uluwetu” (hasil bumi), ingkung ayam kampung, kepala kambing, jajan
pasar, bunga mawar merah putih, kemenyan, pisang, ketan/jadah bakar,
kecipir dan ketupat sumpil yang nantinya akan dijadikan satu dalam tempat
yang disebut “angsung bulu bekti” (tandu tempat persembahan), untuk
gunungan hasil bumi dibuat dari aneka ragam palawija yaitu cabai merah,
hijau besar, aneka kacang-kacangan, aneka umbi-umbian hasil bumi desa
Traji.
Pada hari H-nya, orang-orang yang sudah diberi wewenang untuk ikut
kirab berkumpul di balai desa Traji pukul 17.00 WIB. Sebelum berangkat,
sesepuh melakukan upacara selamatan kecil yang bertujuan untuk memohon
kepada Sang Pencipta agar dalam pelaksanaan upacara ini selalu diberi

41

kelancaran dan keselamatan. Setelah upacara selamatan, maka kira-kira pada
pukul 18.30 WIB rombongan sesaji meninggalkan balai desa Traji menuju ke
sendang Sidukun dengan berjalan kaki sejauh 500 m yang diawali oleh kepala
desa berserta istri yang berpakaian pengantin, di belakangnya diiringi
perangkat desa, sesepuh, putri domas, dan rombongan pembawa sesaji yang
berpakaian adat Jawa. Perjalanan menuju sendang Sidukun diiringi dengan
lampu petromak dan alunan musik “galaganjur ” (iringan pengantin ketika
mau disandingkan), setibanya rombongan kirab pengantin di pendapa
sendang yang sekaligus tempat sesaji, rombongan disambut oleh seksi
sendang dengan berjabat tangan, selanjutnya dipersilahkan menempati
tempat yang sebelumnya sudah disediakan yaitu tikar pandan, semua
rombongan kirab duduk bersila untuk yang laki-laki, dan untuk yang
perempuan duduk bersimpuh.
Dilanjutkan dengan acara “kacar-kucur ” yaitu menyerupai prosesi
pemandian calon pengantin menjelang perkawinan. Selanjutnya juru kunci
sendang Sidukun mulai membakar kemenyan sebagai sarana memohon doa
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar masyarakat Desa Traji pada khususnya
dan semua masyarakat yang hadir pada upacara tradisi tersebut diberi
keselamatan, kesehatan, murah rejeki, dijauhkan dari mara bahaya. Setelah
selesai lalu mengambil sesaji yang pokok berupa:
1. Bucu (nasi) bakar yang dibentuk kerucut 11 (sebelas) buah (yang
menyimbolkan mikro kosmos dan makro kosmos/penduduk setempat
menyebutnya Pucuk Mringhyang Maha Agung) alam manusia bawah

42

dan alam pucuk/atas alam Tuhan/leluhur, sebelas buah, (sewelas dalam
bahasa Jawa) bilangan sebelas dikandung maksud nyuwun kawelasan
(minta belas kasihan kepada Sang Pencipta).
2. Ingkung ayam kampung yang selaput kakinya/ceker tidak dibersihkan
dengan makna agar masyarakat yang mengikuti upacara Suran sendang
mudah dalam “ceceker ” (mencari rejeki).
3. Bunga mawar merah putih sebagai sarana untuk menawar/taren
(komunikasi dengan Sang Pencipta/leluhur).
4. Pisang yang satu lirang/sisir harus genap jumlahnya dengan makna agar
bisa menggenapi kekurangan di tahun sebelumnya.
5. Ketan bakar 7 (tujuh) buah, karena ketan itu teksturnya wulet/lengket
maka sebagai simbol merekatkan warga masyarakat Desa Traji pada
khususnya dan seluruh warga masyarakat yang hadir dalam upacara
tradisi Suran sendang pada umumnya, tujuh buah, bilangan tujuh (pitu
dalam bahasa Jawa) dimaksudkan nyuwun pitulungan (meminta
pertolongan kepada Yang Maha Kuasa).
6. Gembili sebagai perwakilan hasil bumi Desa Traji.
7. Kecipir dengan bentuk buah bersegi 5 (lima) dengan makna rukun Islam
ada 5 (lima).
8. Ketupat sumpil 3 (tiga) buah, makanan yang harus ada ketika prosesi
kacar-kucur (siraman pada pengantin), bentuk segitiga dari ketupat
sumpil

melambangkan

hubungan

antar

manusia,

alam

dan

Tuhan/leluhur. 3 (Tiga) buah, bilangan tiga (telu dalam bahasa Jawa)

43

dimaksudkan tetulung (saling tolong menolong adanya hubungan antara
manusi-alam-Tuhan/leluhur untuk saling memberi pertolongan).
9. Minuman: kopi, teh, air putih, dan santan gurih sebagai persembahan
kepada roh leluhur.
10. Kemenyan, dari filosofi kata “menyang” (dalam bahasa Indonesia kata
menyang bermaksud pergi), kemenyenan difungsikan sebagai sarana
penghantar ucapan dari umat kepada Sang Pencipta.
11. Beras kapurata, jajan pasar sebagai simbol murah pangan dan tolak bala.
12. Tikar pandan sebagai simbol murah sandang, papan.
13. Kepala kambing sebagai simbol kurban agar dalam tradisi upacara dan
kehidupan setelahnya tidak ada korban jiwa, selalu diberi keselamatan di
lingkungan sendang Sidukun.
Kemudian kepala desa memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
agar dirinya dan semua masyarakatnya diberi keselamatan, kesehatan lahir
batin, rukun, sejahtera, jauh dari mara bahaya dan murah rejeki. Setelah selesai,
maka kaum/pemuka agama desa membaca doa agar semua cita-cita masyarakat
Desa Traji dapat terwujud dan dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa,
selanjutnya dilantunkan kidung macapat tembang Kinanti yang ada dalam
Serat Wedatama pupuh IV (empat), bait 1 (satu) oleh juru kunci sendang yang

berbunyi,
“Mangka kanthining tumuwuh,
Selami mung awas eling,
Eling lukitaning alam,
Dadi wiryaning dumadi,
Supadi nir ing sangsaya,
Yeku pangareksaning urip”.

44

“(Pengetahuan dan pengertian tersebutlah bias tumbuh selama ia senantiasa
ingat. Ingat akan ilham Tuhan dengan serta memperhatikan hukum-hukum
alam (sikap lakunya selama hidup sesuai dan menurut kehendak Ilahi). Dengan
begitu hidupnya akan tidak mengalami kesengsaraan lahir batin, itulah yang
harus dijaga di dunia ini)”.
yang intinya adalah untuk ketentraman dan kesejahteraan masyarakat Desa
Traji yang selaras dengan Tuhan dan alam. Pemilihan dan pelantunan kidung
macapat tembang Kinanti yang ada dalam Serat Wedatama pupuh IV (empat),
bait 1 (satu) itu sendiri diyakini pertama kali dilakukan oleh Ki Dalang Garu
seseorang yang diyakini sebagai dalang yang pertama kali menggelar wayang
kulit di sendang Sidukun pada malam 1 (satu) Sura.
Pada saat ritual upacara ini lokasi sendang Sidukun telah dipenuhi
ribuan orang yang berkumpul mengikuti prosesi ritual upacara. Beberapa saat
kemudian setelah semua doa selesai dipanjatkan seksi sendang mulai
membagi-bagikan sesaji yang berupa (bucu bakar, ingkung ayam kampung,
bunga mawar merah putih, pisang, ketan bakar, gembili, kecipir, ketupat
sumpil, minuman: teh, kopi, air putih, santan, beras kapurata/beras kuning,
tikar pandan, kepala kambing, jajanan pasar seperti apem, pasung) dan
gunungan berisi hasil bumi berupa palawija dengan cara ditaburkan kepada
semua pengunjung, dibuat dengan cara rebutan, banyak pengunjung yang
menceburkan diri ke sendang demi mendapatkan sesaji atau gunungan yang
dibagikan. Bagi yang percaya, maka hal itu seperti merebut rejeki, orang Jawa
menyebutnya “ngalap berkah” (mencari berkah dari mengambil sisa sesaji
upacara tradisi). Nantinya hasil ngalap berkah ini akan di bawa pulang dan

45

diletakkan di sawah agar hasil panennya melimpah, tanahnya subur, diletakkan
di warung agar dagangannya laku dan lain sebagainya.
Para pengunjung juga antri mendapatkan pembagian air dari mata air
sendang yang dilayani oleh seksi sendang dan juru kunci sendang Sidukun.
Dalam pengambilan air tersebut pelayanannya satu persatu hingga 3 (tiga) hari
3 (tiga) malam. Sebelumnya pengunjung ditanya apa maksud dan
keperluannya, maka seksi sendang berdoa agar permohonan dari pengunjung
terkabul lalu pengunjung baru di berikan air tersebut. Setelah selesai
mengambil air para pengunjung pergi dan memberikan uang dalam kotak kas
seikhlasnya. (Wawancara/Suari (63)/12/01/2017)
Adi Pamungkas sebagai informan sekaligus pemuda Desa Traji
mengatakan bahwa air sendang Sidukun sampai kini diyakini mempunyai tuah
untuk menyembuhkan penyakit, menyuburkan lahan pertanian/perkebunan,
melariskan dagangan, dan menjaga jabatan atau pangkat seseorang.
(Wawancara/Adi Pamungkas (22)/15/01/2017)
Dari pendapa seksi pengeras suara bekerja keras untuk menasehati
kepada semua pengunjung agar berhati-hati karena tidak jarang banyak anak
yang terpisah dari orang tuanya, banyak pengunjung yang kehilangan barang
berharga ketika berdesakan dan memberi pengarahan ketika prosesi ritual
berlangsung. Seksi keamanan juga berperan penting untuk mengamankan
jalanya ritual dari kirab hingga prosesi “ngalap berkah” (mencari berkah dari
mengambil sisa sesaji upacara tradisi) supaya tidak terjadi kisruh, dan seksi
dokumentasi bertugas mendokumentasikan prosesi ritual tradisi tersebut.

46

Setelah prosesi upacara ritual selesai pukul 21.00 WIB, maka kepala
desa, istri beserta rombongan meninggalkan lokasi sendang Sidukun.
Rombongan pulang ke balai desa Traji, dalam perjalanan pulang ibu kepala
desa membeli jajanan di setiap penjual yang berjajar menjajakan dagangannya
di sepanjang jalan Desa Traji dengan menggunakan uang koin Rp. 500. 00 yang
dibeli pun beragam, semua yang dijajakan di pinggir jalan ketika tradisi Suran
sendang ini digelar dibeli semua oleh ibu kepala desa, ada makanan, mainan,
bahkan pakaian, bagi pedagang yang percaya jualannya akan laris jika koin Rp.
500. 00 itu disimpan. Sesampainya di balai desa dilanjutkan dengan acara
malam tirakatan, dalam pandangan orang Jawa, bulan Sura adalah bulan yang
penuh keprihatinan. Pergantian tahun baru Jawa dianggap masa gawat dan
genting. Oleh karena itu cara menghadapinya juga dilakukan dengan berbagai
macam laku ritual dan berlangsung di tempat tertentu yang dianggap akan
memberi berkah atau tuah. Malam 1 (satu) Sura oleh masyarakat Jawa diyakini
sebagai waktu yang tepat untuk menjalankan laku ritual agar dalam hidupnya
mendapat keselamatan. Ketidakpastian hidup merupakan dasar pertimbangan
manusia untuk senantiasa mawas diri dan seraya memohon perlindungan atau
pertolongan kepada Sang Pencipta melalui caranya sendiri-sendiri yang
bersifat spiritual. Laku spiritual, yaitu berupa kegiatan tirakatan, dilakukan
secara individu atau secara kelompok masal seperti yang dilakukan di balai
desa Traji.
Sedangkan siangnya tanggal 2 (dua) diadakan kesenian rakyat yang
berkembang di sekitar Desa Traji seperti kuda lumping, lengger, topeng ireng,

47

bangilun, dolalak, serta pasar malam selama 1 (satu minggu), dan selanjutnya
pada hari Minggu Kliwon (pasaran Jawa) tanggal 2 (dua) Oktober 2016
diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan lakon yang telah
disepakati bersama, kebetulan pada peringatan Suran sendang Sidukun tahun
2016 mengusung lakon “banjaran”, lakon banjaran dipilih karena ada
keterkaitan nilai spiritual 1 (satu) Sura dengan laku prihatin, tradisi upacara,
dan mawas diri guna mencapai keseimbangan hidup mikro kosmos dan makro
kosmos. Karena jika tidak menggelar wayang kulit dipercaya oleh warga
masyarakat desa Traji akan mendatangkan bencana, disamping itu ajaran
budaya Jawa sebagaimana tercermin dalam laku prihatin 1 (satu) Sura dan nilai
etika moral dalam wayang, tampaknya tetap mendasari etika hidup orang Jawa,
artinya laku ritual (prihatin) dan etika moral wayang masih relevan dengan
kondisi kebutuhan hidup masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini.
(Wawancara/Sulasmono (69)/14/01/2017)
Menurut Hadi Waluyo selaku informan sekaligus kepala desa Traji
sejarah pagelaran wayang kulit pada malam 1 (satu) Sura di sendang Sidukun
bermula dari masyarakat Desa Traji yang mendengar suara pagelaran wayang
kulit yang berasal dari sendang Sidukun, tapi ketika dihampiri di sana tidak ada
apa-apa. Keesokkan harinya seseorang bertamu ke rumah kepala desa Traji
yang menceritakan bahwa tadi malam orang tersebut melakukan pagelaran
wayang kulit di sendang Sidukun. Orang tersebut bernama Ki Dalang Garu
yang berasal dari Dusun Bringin Desa Tegalsari Parakan. Ki Dalang Garu tidak
merasakan tadi malam ditanggap oleh “danyang” (makhluk halus) untuk

48

melakukan pagelaran wayang kulit di sendang Sidukun sebab yang menyuruh
seperti orang biasa. Tempat yang digunakan untuk pagelaran wayang kulit juga
biasa seperti pada umumnya dan penontonnya pun juga banyak, serta
disekitarnya juga banyak deretan pedagang. Tetapi Ki Dalang Garu memiliki
firasat yang aneh karena setelah selesainya pagelaran wayang tersebut, upah
yang diberikan dari yang punya hajat kepada Ki Dalang Garu hanya berupa
kunyit satu “irik” (nampan dari bambu). Ki Dalang Garu merasa bingung
dengan pemberian tersebut sehingga beliau hanya mengambil 3 “rempang”
(siung) kunyit. Sepulangnya menggelar wayang kulit, Ki Dalang Garu diberi
pesan oleh orang yang punya hajat tersebut agar tidak menoleh ke belakang
selama 7 (tujuh) langkah dari tempat pagelaran. Setelah tujuh langkah Ki
Dalang Garu teringat bahwa “blencong” (lampu layar untuk pagelaran
wayang) miliknya tertinggal, kemudian beliau menoleh, tetapi blencong
tersebut sudah tergantung di pohon beringin. Ki Dalang Garu dikejutkan lagi
karena upah yang diberikan berupa kunyit berubah menjadi emas, setelah
mendengar cerita dari Ki Dalang Garu, maka kepala desa mengambil
kesimpulan dan menentukan bahwa setiap 1 (satu) Sura harus diadakan upacara
ritual sesaji selamatan sendang Sidukun, tirakatan, dan pagelaran wayang kulit,
cerita ini berkembang ketika daerah Temanggung termasuk Desa Traji Parakan
masih dalam kekuasaan/pengaruh Kerajaan Mataram. (Wawancara/Hadi
Waluyo (54)/17/01/2017)
Orientasi pada nilai budaya pewayangan ini adalah bahwa
pertunjukan wayang merupakan pencerminan permasalahan kehidupan sehari-

49

hari manusia yang bersifat universal. Dalam kaitannya dengan bulan Sura,
pertunjukan wayang dimaksudkan untuk memberi suatu gambaran bagaimana
dinamika perilaku sehari-hari orang Jawa. Melalui gambaran sistem budaya ini,
diharapkan pertunjukan wayang kulit pada malam 1 (satu) Sura dapat dipahami
sebagai bentuk ekspresi individual dan kolektif orang Jawa dalam menghadapi
ketidakpastian hidup, utamanya dalam menjaga kesimbangan mikro kosmos
dan makro kosmos.
Setelah semua upacara ritual satu Sura selesai, maka tugas ketua
panitia mengadakan rapat pembubaran yang menghadirkan seksi-seksi panitia,
kepala desa, perangkat desa, ketua RW, ketua RT seluruh warga desa, pemuda,
dan para sesepuh desa untuk menyimpulkan hasil kerja kepanitiaan, keluar
masuknya dana sehingga masyarakat tahu. Yang nantinya dana tersebut akan
disimpan untuk pelaksanaan upacara tradisi Suran sendang Sidukun tahun
depan. (Wawancara/Suari (63)/17/01/2017)

3. Arti Penting Tradisi Suran Sendang Sidukun Bagi Kehidupan Masyarakat
Desa Traji
Bagi masyarakat Desa Traji tradisi Suran sendang Sidukun yang telah
berjalan sejak dahulu ini merupakan aktivitas yang dianggap penting, karena
merupakan adat

kebiasaan tahunan masyarakat

dalam berkehidupan.

Berkehidupan bagi masyarakat Desa Traji tidak hanya sebatas interaksi dengan
sesama manusia tetapi juga berelasi dengan alam, dan Tuhan/leluhur. Hal ini
menjadi kebiasaan yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat tiap tahunnya.

50

Apabila tradisi Suran sendang Sidukun dilaksanakan dan telah menjadi
kebiasaan tentunya di dalam sistem kemasyarakatan juga terdapat berbagai hal,
baik yang disadari maupun yang tidak, yang diketahui dan dipahami oleh setiap
masyarakat sebagai upaya pelestarian, termasuk di dalamnya adalah nilai sosial
kemasyarakatan gotong-royong.
Meskipun dalam perjalanannya tradisi Suran sendang Sidukun ini
banyak yang menganggap tidak sesuai dengan syariat Islam oleh beberapa
kalangan yang tidak menyukainya, namun demikian tradisi Suran sendang
Sidukun sudah menjadi kesepakatan bersama dan tetap ada dalam kehidupan
masyarakat Desa Traji. Pemahaman tentang “kesepakatan” menimbulkan suatu
bentuk yang disebut adat, walaupun adat ini hanya berupa lisan atau tersirat
tetapi tidak ada warga masyarakat yang berani merubah atau melanggar
keberadaan tradisi tersebut. Bahkan dengan adanya adat secara tidak langsung
menjaga situs atau tempat di mana tradisi itu dilangsungkan karena pengaruh
dari kepercayaan orang Jawa tentang suatu benda dan tempat yang
dikeramatkan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Riyanto selaku sekertaris
desa Traji, “yang namanya Suran sendang Sidukun itu sudah menjadi adat yang
tidak bisa diganti keberadaannya karena kami percaya tradisi ini menyangkut
dengan hajat hidup warga Desa Traji, kami merasa jika tradisi ini dalam 1 (satu)
tahun sekali tidak dilaksanakan itu ada yang kurang, bahkan merasa berdosa”,
orang Jawa tidak bisa lepas dari suatu kebiasaan yang menyangkut dengan alam,
leluhur, dan Sang Pencipta, itulah salah satu keluhuran orang Jawa. Jadi tradisi
semacam ini perlu dilestarikan.

51

Di Desa Traji juga terdapat pemahaman tentang toleransi dalam
berkehidupan khususnya dalam melestarikan tradisi. Pertimbangan tersebut
yang pertama yaitu, tidak memandang agama ataupun kepercayaan, profesi,
jabatan, dan status sosial kaya atau miskin seseorang dalam partisipasinya ikut
melestarikan tradisi, yang kedua mengutamakan kepentingan bersama.
Seperti yang dikemukaan Riyanto:
Meskipun itu kepala desa, kepala dinas, petani atau karyawan pabrik,
pemeluk kepercayaan Islam, Kristen, Khatolik, Buddha, Hindu, Kejawen
tidak menjadi suatu alasan untuk tidak berkarya mengabdi kepada leluhur,
semua itu sama.....tidak ada yang beda diantara kita. Status sosial hanya
masalah keduniawian, Tuhan juga tidak menciptakan agama..... yang
menggolongkan ini agama A, B, C, D itu kan manusianya sendiri, Tuhan
hanya menuntun umatnya kejalan yang benar melalui beberapa ajaran. Kita
berada dalam satu tempat yang sama, dengan tujuan yang sama “nguri-uri
kabudayan Jawi” (melestarikan kebudayaan Jawa).
Dengan dua pertimbangan ini maka di Desa Traji status sosial,
agama/kepercayaan tidak menjadi halangan dan alasan untuk bersatu padu
dalam bertradisi memberi sumbah sih kepada desa, alam, dan Tuhan/leluhur.
Dengan sistem “anda usuk” (gotong-royong) maka tidak ada kesenjangan dalam
hal apapun karena ditanggung bersama baik tenaga maupun dana.
(Wawancara/Riyanto (38)/21/01/2017)

4. Pemaknaan Nilai Gotong-Royong Pada Tradisi Suran Sendang Sidukun
Sistem “anda usuk” (gotong-royong) yang berjalan di masyarakat Desa
Traji pada khususnya dan di Jawa pada umumnya ini merupakan salah satu
contoh yang dapat menambah bukti pembenaran dari pernyataan Durkheim.
Dimana Durkheim dalam Scott (1981: 255-256) menjelaskan bahwa paham

52

sepadan dalam kebersamaan ini merupakan suatu prinsip moral umum yang
terdapat pada semua kebudayaan. Bentuk saling bantu membantu berupa
gotong-royong di Jawa merupakan contoh kebiasaan yang sangat teratur.
Kebiasaan ini ada kaitannya dengan “resiprositas” (timbal balik), yaitu prinsip
moral yang mendasari kegiatan sosial di desa baik dengan sesama manusia,
alam, leluhur ataupun Tuhan secara suka rela. Masyarakat Jawa percaya bahwa
apa yang kita perbuat dalam upacara adat tradisi itu akan mendapat pertukaraan
yang sepadan/timbal balik dari alam, leluhur, dan Tuhan. Hal inilah yang
menjadi suatu bentuk keyakinan yang membawa masyarakat untuk tetap
melaksanakan tradisi dalam bentuk gotong-royong.
Secara tidak langsung kegiatan gotong-royong dalam tradisi Suran
sendang Sidukun yang dilakukan oleh warga sebenarnya tersimpan pamrih dari
setiap individu yang melakukannya, berharap apa yang dilakukan tersebut akan
mendapat balasan dari leluhur dan Sang Pencipta.
Datangnya tahun baru Islam Hijriyah, bulan Muharram atau bulan Sura
dalam kalender Jawa merupakan undangan secara simbolik dalam bentuk waktu
pelaksanaannya kepada masyarakat Desa Traji untuk melakukan gotong-royong.
Menurut Riyanto jika sudah mendekati bulan Sura secara tidak sadar masyarakat
batinya sudah terikat untuk segera berbenah dalam segala hal menyambut bulan
Sura, bahkan dalam kenyataannya perayaan Suran sendang Sidukun ini lebih
meriah dari memperingati hari raya Idul Fitri. (Wawancara/Riyanto
(38)/03/02/2017)

53

Kekerasan simbolis dalam hal pelaksanaan tradisi Suran sendang
Sidukun terwujud dalam bentuk keharusan untuk bergotong-royong, tanpa
memperdulikan pekerjaan ataupun kegiatan pribadi masyarakat Desa Traji.
Artinya mereka tetap harus datang walaupun dalam keadaan mempunyai
kesibukan pribadi. Seperti yang dituturkan Riyanto, semua warga masyarakat
dari laki-laki, perempuan, tua, muda, pelajar atau pekerja tetap harus ikut andil
dalam kegiatan gotong-royong melaksanakan tradisi Suran sendang Sidukun,
bahkan warga Desa Traji yang bekerja atau sedang menempuh pendidikan di
luar kota pun diusahakan sebisa mungkin pulang guna melaksanakan gotongroyong dan mengikuti tradisi Suran sendang Sidukun. Maka masyarakat sendiri
yang harus pandai-pandai mengatur waktu. Hal ini disamping sebagai suatu
bentuk pelestariaan tradisi budaya juga sebagai sarana pengenalan dini kepada
para kaum muda, kaum pelajar untuk tetap setia menjaga tradisi leluhur Desa
Traji. Seperti inilah yang harus diterima oleh masyarakat Desa Traji sebagai
kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya, apalagi
kebenarannya karena sudah menjadi adat istiadat dan tradisi.
Sanksi bagi mereka yang tidak konsisten dalam pelaksanaan gotongroyong dalam sistem tradisi Suran sendang Sidukun ini sifatnya intrinsik yang
tidak kelihatan, kasat mata, tidak berupa sanksi yang diberikan secara langsung
maupun tertulis, namun menyakitkan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24