Analisis Hukum Kekuatan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia dalam Putusan MA No. 631 K Pdt.Sus 2012

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan peraturan dan keputusan
hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku dan apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan dan peristiwa antarwarga (warganegara) pada
suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel dan
kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa
setempat. Bidang atau ruang lingkup hukum perdata internasional meliputi choice

of law, choice of jurisdiction, condition des estranges dan nationalite. Ruang
lingkup tersebut menyangkut hukum mana yang diberlakukan untuk meng-cover
suatu hubungan hukum. Pada kontrak berdimensi internasional, penentuan pilihan
hukum sangat penting untuk menghindari conflict of law, mengingat para pihak
yang terlibat, tempat transaksi, dasn sistem hukum yang terkait berbeda-beda dan
bahkan mungkin bertentangan atau berkebalikan antar satu yurisdiksi hukum
dengan yurisdiksi lainnya.

1


Arbitrase internasional sebagai salah satu pilihan penyelesaian sengketa
internasional juga dalam pelaksanaannya memberikan kebebasan bagi para pihak
yang bersengketa untuk memilih hukum apa yang akan dipakai dalam proses
arbitrase yang dituliskan dalam klausula arbitrase (choice of law). Apabila dalam

1

Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ,
(Jakarta:Prenadamedia Group, 2015) hal. 324-326

Universitas Sumatera Utara

klausula arbitrase tidak dituliskan secara tegas dipilih oleh para pihak, maka
hukum yang akan diberlakukan adalah hukum dimana perjanjian atau kontrak
dibuat, atau hal-hal lain yang memberikan petunjuk tentang hukum yang akan
dipakai. Namun, banyak pihak yang merasa enggan menggunakan hukum suatu
negara dalam arbitrasenya. Pemakaian ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan
atau berdasarkan pada praktek perdagangan internasional yang sudah umum
dipakai (Lex Mercatoria) biasanya lebih diminati. 2
Pemilihan tempat pelaksanaan proses arbitrase (choice of domicile) dapat

ditentukan oleh para pihak yang bersengketa. Apabila tempat tidak ditentukan
oleh para pihak, maka arbiter atau majelis arbiter dapat menentukan tempat
dimana proses arbitrase berlangsung. 3 Setelah itu, para pihak juga diberikan
kebebasan untuk memilih forum (choice of jurisdiction).
Beberapa sengketa komersial internasional telah diselesaikan dengan
arbitrase, seperti sengketa antara PT Amco Asia Corporation melawan
Pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID,
sengketa PT. Bakrie & Brothers melawan Trading Corporation of Pakistan

Limited, sengketa divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara melawan
Pemerintah Republik Indonesia melalui lembaga arbitrase UNCITRAL, dan
sengketa lainnya. Banyaknya sengketa komersial internasional yang diselesaikan
melalui arbitrase menunjukkan kepopuleran arbitrase dalam penyelesaian
sengketa komersial internasional. Jumlah lembaga arbitrase internasional yang
terbilang cukup banyak juga menjadi bukti kepopuleran arbitrase dalam
2

Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Cet. Ke-3, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 49-50
3

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 162-164

Universitas Sumatera Utara

penyelesaian sengketa intnerasional, seperti Singapore International Arbitration

Centre (SIAC) berdiri pada tahun 1991 dan lembaga utama untuk arbitrase di
Singapore, International Chamber of Commerce (ICC) yang popular di daerah
Eropa dan berpusat di Paris, London Court of International Arbitration (LCIA)
dibentuk pada tahun 1891 dan merupakan lembaga arbitrase utama di Inggris,

American Arbitration Association (AAA) yang merupakan lembaga arbitrase
terkemuka di Amerika Utara, Australian Centre for International Commercial

Arbitration (ACIC) yang terletak di Melbourne.
Menurut Huala Adolf, arbitrase internasional merupakan cara penyelesaian
sengketa yang lebih diminati daripada penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Hal ini dikarenakan pengadilan nasional kurang memiliki kepercayaan pebisnis
internasional. Beberapa kelebihan arbitrase internasional, antara lain : 4
1. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, menghasilkan sebuah keputusan

yang bersifat final and binding, sehingga tidak ada istilah “banding” atau
usaha lain yang dapat menjadi “pelampiasan” untuk membawa sengketa ke
pengadilan yang lebih tinggi.
2. Pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa merupakan orang yang ahli dalam
sengketa yang bersangkutan, sehingga akan menyelesaikan sengketa lebih
cepat dibanding dengan pengadilan negara yang tidak mempunyai banyak
hakim yang berkompeten atau yang berspesialisasi di bidang hukum
komersial internasional.

4

Huala Adolf, Op.cit, hal. 13-17

Universitas Sumatera Utara

3. Berperkara melalui badan arbitrase internasional lebih fleksibel. Tidak ada
tata cara yang yang mutlak harus dijalani. Pihak-pihak yang bersengketa
dapat menentukan tempat berperkara, hukum yang dipakai, bahasa yang
dipergunakan, dan lain-lain.
4. Penyelesaian melalui arbitrase juga memberikan kebebasan bagi parah pihak

untuk menentukan dan memilih “hakim” yang menyelesaikan sengketa
mereka. Mereka dapat memilih orang-orang yang dianggap ahli dan mengerti
sengketa yang berhubungan, tidak harus selalu ahli hukum.
5. Faktor kerahasiaan proses penyelesaian sengketa juga menjadi kelebihan
arbitrase komersial internasional. Kerahasiaan penyelesaian sengketa ini,
dapat menjaga nama baik yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bersengketa
dan menjaga kerahasiaan informasi dagang mereka.
Melihat kelebihan-kelebihan dan pentingnya peranan arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis di bidang perdagangan internasional,
maka Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berusaha membentuk konvensi mengenai
arbitrase internasional. LBB berupaya memperbaiki hubungan baik antar negara,
badan ini telah memperluas kegiatannya kepada bidang-bidang yang bersifat
perdata. Untuk maksud tersebut LBB membentuk beberapa konvensi mengenai
arbitrase internasional, yaitu the Protocol on Arbitration Clauses

yang

ditandatangani di Jenewa pada tahun 1923 dan the Convention on the Execution

of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani di Jenewa pada tahun 1927.

Konvensi ini bertujuan agar negara-negara mau mengakui keabsahan-keabsahan
klasula arbitrase yang dibuat di samping kontrak komersial internasional dan

Universitas Sumatera Utara

untuk meningkatkan perdagangan internasional. Namun, dalam prakteknya
ditemukan kelemahan-kelemahan. Pasal 3 protokol ini tidak mengatur mengenai
kewajiban mengeksekusi putusan arbitrase yang dibuat di negara lain, meskipun
negara yang bersangkutan adalah peratifikasi konvensi. 5
Disadarkan dengan kekurangan dan kegagalan Konvensi sebelumnya,
masyarakat internasional membuat sebuah konvensi baru, yaitu Konvensi tentang
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing pada tahun 1958 di New
York (selanjutnya disebut Konvensi New York).6
Konvensi lain mengenai arbitrase internasional dibentuk oleh Bank
Dunia, yang melahirkan badan arbitrase ICSID. Convention on the Settlement of

Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Selanjutnya
disebut Konvensi ICSID) ini dibentuk karena banyaknya negara berkembang
yang melakukan tindakan sepihak terhadap investor asing di wilayahnya, yang
menimbulkan sengketa ekonomi. Tujuan Konvensi ini adalah untuk mengisi

kekosongan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus penanaman modal dengan
memberikan mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase atau konsiliasi dan
untuk melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga. 7
Peraturan internasional tentang arbitrase internasional juga dibuat oleh

United Nations Commision of International Trade Law (selanjutnya disebut
sebagai UNCITRAL). UNCITRAL membentuk UNCITRAL Arbitration Rules
pada tanggal 15 Desember 1976. Tujuan dibentuknya UNCITRAL Arbitration

Rules adalah untuk menginternasionalisasikan nilai dan tata cara arbitrase dalam
5

Ibid, hal. 27-30
Ibid, hal. 30-33
7
Ibid, hal. 36-38
6

Universitas Sumatera Utara


menyelesaikan sengketa-sengketa antarnegara dalam transaksi perdagangan
internasional. 8
Indonesia sendiri telah meratifikasi beberapa konvensi mengenai arbitrase
internasional dan menjadikan konvensi tersebut sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari sistem hukum nasional Indonesia. Pada tanggal 5 Agustus 1981
melalui Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi New York 1958, di mana segala putusan arbitrase internasional, yang
diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional di luar yurisdiksi Indonesia,
diakui dan dapat dilaksanakan eksekusinya dengan memperhatikan asas
resiprositas. Setelah meratifikasi Konvensi New York, Pemerintah Indonesia
langsung membentuk PERMA No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Arbitrase Asing yang menjadi undang-undang pelaksana khusus dari Konvensi
New York. 9
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi ICSID
melalui UU No. 5 tahun 1968. Undang-undang ini hanya berisi lima pasal.
Putusan arbitrase berdasarkan Konvensi ICSID dapat dilaksanakan di Indonesia,
dengan adanya izin tertulis dari Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya
diperbolehkan menolak putusan arbitrase Konvensi ICSID apabila terdapat hal
yang bertentangan dengan ketertiban umum. 10
Pengaturan mengenai arbitrase internasional juga terdapat dalam undangundang nasional Indonesia, yaitu UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan


8

Suleman Batubara, Orinton Purba, Arbitrase Internasional Penyelesaian Sengketa Asing
melalui ICSID, UNCITRAL dan SIAC, (Jakarta:Raih Aksa Sukses, 2013) hal. 66
9
Susanti Adi Nugroho,Op.cit, hal. 302-306
10
Ibid, hal. 306

Universitas Sumatera Utara

Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutanya disebut UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa). Dalam UU ini diatur tentang putusan arbitrase
internasional dan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 11
Meskipun telah meratifikasi konvensi-konvensi mengenai arbitrase
internasional dan telah mengatur di dalam undang-undang mengenai pelaksanaan
putusan arbitrase internasional, dalam prakteknya masih ditemukan kesulitan
dalam proses pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada
dasarnya, ada 3 hal yang dapat menghalangi putusan arbitrase internasional

dieksekusi di Indonesia, yaitu: 12
1. Putusan arbitrase internasional tersebut belum bersifat final
2. Putusan arbitrase internasional tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan ketertiban umum
3. Putusan arbitrase internasional tersebut menurut hukum Indonesia bukan
sengketa perdagangan.
Hal ini berarti, selama putusan arbitrase internasional dapat memenuhi
ketiga hal diatas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung harus
memberi pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan untuk memberikan
pengakuan ataupun penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, tetapi
untuk putusan arbitrase dimana Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
pihak yang bersengketa dalam putusan tersebut, maka pengakuan ataupun

11

pasal 65-69 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatid Penyelesaian

Sengketa
12


Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 368

Universitas Sumatera Utara

penolakan pelaksanaannya menjadi wewenang Mahkamah Agung, yang kemudian
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 13
Namun kenyataannya, banyak sekali putusan arbitrase internasional yang
ditolak pelaksanaannya di Indonesia, dikarenakan bertentangan dengan ketertiban
umum. Ini dikarenakan pengadilan Indonesia masih melihat putusan arbitrase
internasional sebagai produk negara asing yang harus disikapi dengan ekstra hatihati. Ketergantungan lembaga arbitrase internasional untuk mendapatkan
pengakuan dan pelaksanaan menunjukkan bahwa lembaga arbitrase internasional
tidak mempunyai upaya memaksa terhadap para pihak untuk menaati putusan
yang telah dikeluarkan. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya intervensi
dari negara melalui pengadilan untuk mengesampingkan putusan arbitrase
internasional apabila berseberangan dengan kepentingan politiknya. Sulitnya
melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia, menjadikan Indonesia
sebagai “an arbitration unfriendly country” di mata dunia internasional. 14
Selanjutnya, penelitian ini akan membahas mengenai analisis hukum
kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia dan analisis pertimbangan
hakim dalam Putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012 tentang penolakan pembatalan
putusan arbitrase internasional antara Harvey Nichols and Company Limited
dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa, Tbk.

B. Perumusan Masalah

13

Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
14
Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 369-370

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, adapun rumusan
masalah penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kekuatan putusan arbitrase internasional berdasarkan perspektif
hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia?
2. Bagaimanakah pengaturan mengenai pengakuan, penolakan dan pembatalan
putusan arbitrase internasional di Indonesia?
3. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan MA No.
631 K/Pdt.Sus/2012 tentang penolakan pembatalan putusan arbitrase
internasional antara Harvey Nichols and Company Limited dengan PT.
Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa, Tbk.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penuelitian skripsi ini
antara lain :
a. Untuk mengetahui kekuatan putusan arbitrase internasional berdasarkan
perspektif hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia.
b. Untuk

mengetahui pengaturan

mengenai pengakuan,

penolakan dan

pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
c. Untuk mengetahui kewenangan lembaga peradilan dalam putusan arbitrase
internasional di Indonesia
2. Manfaat Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Secara praktis dapat mengetahui pengertian dan informasi terkait kekuatan
putusan arbitrase internasional di Indonesia. Selain itu kehadiran tulisan ini dapat
memberikan sumbangan kepada masyarakat terutama mahasiswa-mahasiswi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai pengembangan dari hukum
internasional agar dapat memahami tentang pembatalan putusan arbitrase
internasional di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan
Penelitian ini berasal dari ide, gagasan dan pemikiran yang merupakan
hasil karya peneliti sendiri, bukan merupakan hasil karya tulis orang lain atau
pihak tertentu. Terdapat beberapa penelitian yang juga membahas tentang
pembatalan arbitrase internasional, antara lain :
1. Skripsi yang berjudul “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di
Indonesia (Studi Kasus : Putusan MA No. 273K/Pdt/2007 dan Putusan MA
No. 56PK/Pdt.Sus/2011)” oleh Raden Umar Faaris Permadi, mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang membahas tentang pengaturan
pembatalan

putusan

arbitrase

internasional,

aspek

Hukum

Perdata

Internasional (HPI) dalam pembatalan putusan arbitrase internasional dan
analisis kasus pembatalan putusan arbitrase PT Comarindo Tama Tour &
Travel dengan PT. Yemen Airways dan pembatalan putusan arbitrase PT.
Pertamina dengan PT. Lirik.
2. Skripsi yang berjudul “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis
Putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012)” oleh Atiek Af’ Idata, mahasiswa

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
yang membahas tentang aturan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) dan
hukum nasional mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional di
Indonesia serta analisis mengenai kedudukan hukum Putusan Kasasi
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke MA dalam kasus Harvey Nichols
Company Ltd melawan PT Mitra Adi Perkasa dan PT Hamparan Nusantara.
Meskipun membahas putusan yang sama, namun dalam penelitian ini hanya
membahas pembatalan putusan arbitrase internasional dan meneliti dari sisi
hukum perdata internasional dan hukum nasional. Sementara, penelitian saya
membahas mengenai kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia
dalam perspektif hukum internasional dan nasional serta pengaturan
mengenai pengakuan,

penolakan,

dan pembatalan putusan arbitrase

internasional.
3. Tesis yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Membatalkan Putusan
Arbitrase Internasional (Suatu Tinjauan Terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Dalam Perkara PT. Pertamina Melawan Kahara Bodas
Company)” oleh Novran Harisa, mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang membahas tentang
kewenangan pengadilan dalam membatalkan putusan arbitrase internasional
dan tinjauan terhadap putusan PN Jakarta Pusat dalam perkara PT. Pertamina
dan Kahara Bodas Company.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, belum pernah ada judul dan
pembahasan yang sama, adapun pembahasan dalam skripsi ini adalah mengenai

Universitas Sumatera Utara

kekuatan putusan arbitrase internasional berdasarkan hukum nasional, mekanisme
pembatalan putusan arbitrase internasional dan mekanisme penolakan pemberian
eksekuatur putusan arbitrase internasional di Indonesia dan menganalisis
pertimbangan hukum hakim dalam putusan MA No. 631K/Pdt.Sus/2012 tentang
penolakan

pembatalan

putusan

arbitrase

internasional

antara

Harvey

Nichols and Company Limited dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra
Adi Perkasa, Tbk.
Penelitian ini telah melalui pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Universitas Sumatera
Utara tertanggal 7 Oktober 2016. Bila ternyata terdapat kesamaan judul dan
pembahasan kedepannya, penulis bertanggungjawab penuh terhadap segala
akibatnya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Arbitrase
Pengertian Arbitrase menurut Black’s Law Dictionary adalah, a method of

dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually
agreed to by the disputing parties and whose decision is binding (sebuah
metode penyelesaian sengketa yang melibatkan satu atau lebih pihak ketiga
yang netral, biasanya disepakati oleh para pihak yang bersengketa dan
keputusannya mengikat).

15

Arbitrase adalah salah satu penyelesaian sengketa

15

Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2016), hal.370

Universitas Sumatera Utara

melalui jalur hukum dan merupakan bentuk alternatif paling formil untuk
menyelesaikan sengketa sebelum berlitigasi. 16
Frank Elkuroy dan Edna Elkuroy menyebutkan bahwa arbitrase adalah
suatu proses yang mudah yang dipilih para pihak secara sukarela yang ingin
agar perkarany diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan
mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara
tersebut, para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut
secara final dan mengikat. 17
Menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa. 18

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

merumuskan 3 hal berdasarkan pengertian Arbitrase menurut UU Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu : 19
a. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian .
b. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis.
c. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.

16

Salahuddin, Hukum Arbitrase (Penyelesaian Sengketa Bisnis), (Medan : Pustaka
Bangsa Press, 2011), hal. 17
17
Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 78
18
Pasal 1 ayat 1 uu no 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
19
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis :Hukum Arbitrase,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2001), hal. 42

Universitas Sumatera Utara

Menurut Suleman Batubara dan Orinton Purba, penyelesaian sengketa
melalui lembaga arbitrase mempunyai beberapa prinsip dalam pelaksanaanya,
yaitu : 20
a. Prinsip cepat dan hemat biaya
Prinsip ini dapat dilihat dalam pasal 48 ayat 1 UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan “Pemeriksaan
atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbiter
terbentuk.
b. Prinsip pengambilan keputusan berdasarkan keadilan dan kepatutan
Penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi) menyelesaikan
sengketa dengan memperhatikan hukum yang berlaku, sedangkan
dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dengan prinsip
keadilan dan kepatutan, akan melihat dan berdasarkan pada
kepentingan para pihak dan menghasilkan putusan yang bersifat
menguntungkan para pihak. Prinsip ini dipertegas dalam UU Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 56. Prinsip ini merupakan
salah satu kelebihan arbitrase, karena memberikan keuntungan bagi
para pihak yang bersengketa dengan menghasilkan putusan yang
sama-sama diinginkan.
c. Prinsip sidang tertutup untuk umum (disclosure)

20

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 24

Universitas Sumatera Utara

Bagi para pebisnis sangatlah penting untuk menjaga image baik
mereka demi keberlangsungan bisnis, oleh karena itu mereka lebih
menyukai penyelesaian sengketa yang bersifat tertutup dan dapat
menjaga kerahasiaan informasi mereka. Karena itulah, banyak
pebisnis yang lebih menyukai penyelesaian melalui arbitrase. Dalam
pasal 27 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dikatakan
“semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbiter
dilakukan secara tertutup.”. Dengan adanya prinsip ini, pihak yang
bersengketa bisa tetap menjaga nama baiknya.
Mengacu pada konvensi-konvensi internasional dan pendapat para ahli,
jenis-jenis arbitrase dapat dibagi sebagai berikut :
a. Arbitrase ad hoc
Jenis arbitrase ini disebut juga dengan “arbitrase volunteer” atau
arbitrase perorangan. Yahya Harahap menyatakan bahwa arbitrase ad
hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk permasalahan
tertentu, dan keadaannya bersifat “insidentil”. Kedudukannya hanya
untuk memutus sengketa tertentu, ketika sengketa tersebut sudah
selesai, makanya keberadaan arbitrase ad hoc itupun berakhir dengan
sendirinya. 21 Pengertian arbitrase ad hoc menurut Gunawan Wijaya
adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau
memutus perselisihan sengketa tertentu, arbitrase ini bersifat

21

M. Yahya Harahap, Arbitrase, Edisi ke-2, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hal. 104-105

Universitas Sumatera Utara

incidental dan jangka waktunya tertentu, yaitu sampai sengketa
tersebut diputuskan. 22
Dalam pasal 1 ayat 1 Konvensi New York 1958, arbitrase ad
hoc dirumuskan dengan istilah arbitors appointed for each case
(arbiter yang ditunjuk untuk setiap kasus). Terlihat sifat insidentil,
penunjukkannya adalah untuk kasus tertentu dan hanya “satu kali”. 23
Untuk mengetahui arbitrase jenis apakah yang disepakati para pihak,
dapart dilihat dari rumusan klausulanya. Apabila dalam klausula
arbitrase dikatakan menggunakan arbitrase yang berdiri sendiri diluar
arbitrase “institusional’ atau diluar lembaga arbitrase, maka arbitrase
yang digunakan adalah arbitrase ad hoc. Prinsipnya, arbitrase ad hoc
tidak terikat dengan badan arbitrase. Arbiter dan tempat pelaksanaan
arbitrasenya dipilih melalui kesepakatan para pihak, aturannya dapat
dibuat oleh para pihak atau para pihak dapat menyepakati untuk
mengikuti suatu aturan lembaga arbitrase tertentu.24
b. Arbitrase institusional
Arbitrase institusional adalah lembaga arbitrase yang bersifat
permanen. Dalam Konvensi New York pasal 1 ayat 2 disebut juga
sebagai permanent arbitral body (badan arbitrase permanen). 25
Suleman Batubara dan Orinton Purba menyatkan bahwa arbitrase
instusional mempunyai sifat yang permanen dan menetap, yang

22

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 10
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 105
24
Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 120-122
25
M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 106
23

Universitas Sumatera Utara

merupakan pembeda utama dari arbitrase ad hoc. Pendirian badan
arbitrase institusional tidak berdasarkan adanya suatu sengketa
tertentu.26
Lembaga arbitrase institusional biasanya diorganisasikan
dengan manajemen yang ahli dalam berbagai bidang dan umumnya
memiliki ketentuan hukum formal sendiri sebagai hukum acara dalam
proses penyelesaian sengketa. Pengertian arbitrase institusional
menurut Alan Redfern adalah “an institutional arbitration is one

which is administrated by one of the many specialist arbitral
instituions under its own rules of arbitration…”

(arbitrase

institusional adalah arbitrase yang diorganisir oleh lembaga arbitrase
dengan ketentuan hukum arbitrasenya sendiri). 27
Banyaknya lembaga arbitrase yang ada memberikan pilihan yang
beragam dalam menentukan lembaga yang dipakai dalam penyelesaian
sengketanya. Dalam pemilihan lembaga arbitrase tersbut, para pihak tentu
harus memperatikan banyak faktor, seperti efisiensi dan efektivitas lembaga
arbitrase, netralitas prosedur, dan lain-lain. 28
Meskipun penyelesaian sengketa arbitrase sangat diminati karena
kemudahan dan kelebihannya dibanding penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, tidak semua sengketa tidak dapat diselesaikan melalui jalur

26

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 11-12
Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 124
28
Ibid, hal. 131

27

Universitas Sumatera Utara

arbitrase. Dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5
dikatakan bahwa : 29
a. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
b. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian.
Tidak dijelaskan dalam penjelasan pasal 5 UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tentang apa saja sengketa yang termasuk di bidang
perdagangan dan apa saja sengketa yang tidak dapat diadakan perdamaian.
Namun, menurut Susanti Adi Nugroho makna “perdagangan” dalam pasal 5
memiliki arti yang sama dengan pasal 66 huruf b UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. 30
Penjelasan pasal 66 huruf b, UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa mencantumkan kegiatan yang masuk ke dalam ruang lingkup
perdagangan, antara lain :
a. Perniagaan
b. Perbankan
c. Keuangan
d. Penanaman modal
29
30

Pasal 5 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal 131-132

Universitas Sumatera Utara

e. Industri
f. Hak kekayaan intelektual
Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menuliskan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak
dapat diadakan perdamaian. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila suatu
sengketa dapat diadakan perdamaian berarti sengketa tersebut dapat
diselesaikan melalui arbitrase.
Ketentuan dalam pasal 5 ayat 1 mengatakan bahwa hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang
bersengketa. Hal ini berarti, para pihak yang bersengketa mempunyai
kekuasaan atas permasalahannya. 31

2. Arbitrase Internasional
Menurut UNCITRAL Model Law on International Commercial

Arbitration, sebuah arbitrase dinyatakan sebagai arbitrase internasional apabila
: 32

a. The parties to an arbitration agreement have, at the time of the
conclusion of that agreement, their places of business in different
states; or (Para pihak yang terlibat dalam perjanjian arbitrase, saat
perjanjian dibuat, mempunyai tempat usaha di negara yang
berbeda; atau)
31
32

Ibid, hal. 132
Article 1 ayat 3 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration

Universitas Sumatera Utara

b. one of the following places is situated outside the State in which
the parties have their places of business: (salah satu dari tempattempat ini berada di luar dari negara tempat usaha para pihak: )

a) the place of arbitration if determined in, or pursuant to, the
arbitration of agreement; (tempat arbitrase ditentukan atau
sesuai dengan perjanjian arbitrase)

b) any place where a substantial part of the obligations of the
commercial relationship is to be performed or the place with
which the subject-matter of the dispute is most closely
connected; (tempat pelaksanaan sebagian besar kewajiban
hubungan komersial atau tempat yang paling berhubungan
dengan objek sengketa;)

c. the parties have expressly agreed that the subject-matter of the
arbitration agreement relates to more than one country. (para
pihak menyetujui bahwa pokok persoalan dalam perjanjian
arbitrase berhubungan dengan lebih 1 negara.)
Sementara itu menurut Mochtar Kusumaatmadja, arbitrase internasional
memiliki ciri-ciri antara lain : 33
a. Internasional Menurut Organisasinya
Sebagai contoh yang menggambarkan ciri internasional suatu badan
arbitrase, yakni Convention on the Settlement of Investment Disputes

between Nationals of Other States. Menurut Konvensi ini, para negara

33

Susanti Adi Nugroho, Op.cit,, hal. 301

Universitas Sumatera Utara

peserta yang memberntuk ICSID. Dalam hal ini, ICSID sebagai suatu
organisasi yang anggotanya negara-negara.
b. Internasional Menurut Struktur/Prosedurnya
Umumnya arbitrase internasional dilaksanakan dalam suatu negara.
Namun demikian, ada kalanya arbitrase seperti ini terlepas dari sistem
hukum suatu negara dan bebas dari yurisdiksi negara di mana tempat
arbitrase dilakukan. Selain itu, tata cara atau prosedur persidangannya dan
masalah lainnya pun dilaksanakan menurut atau sesuai dengan ketentuan
yang disepakati oleh anggota-anggotanya(internasional).
c. Internasional Menurut Faktanya
Arbitrase dapat dikatakan internasional berdasarkan hubungan dengan
lebih dari satu yurisdiksi. Hal ini dapat terjadi meskipun arbitrase ini
diorganisasi dan dilaksanakan menurut hukum nasional di suatu negara
tertentu, akan tetapi ada hubungan dan kaitan dengan unsur yurisdiksi
negara lain (unsur asing).
Sampai saat ini, sudah ada beberapa konvensi-konvensi yang dibentuk
mengenai arbitrase internasional, para negara-negara peserta konvensi
tersebut sepakat untuk menerima, mengakui juga melaksanakan putusan
arbitrase di negara-negara peserta konvensi yang telah meratifikasi konvensi
tersebut. Konvensi tersebut juga sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
sistem hukum nasional negara-negara yang meratifikasi konvensi tersebut.
Konvensi mengenai arbitrase internasional, antara lain adalah UNCITRAL

Arbitration Rules, Convention on the Settlement of Investment Disputes

Universitas Sumatera Utara

between States International Centre fot Settlement of Invenstmen Disputes
(ICSID), Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award (Konvensi New York 1958), UNCITRAL Model Law International
Commercial Arbitration.
Penyelesaian sengketa komersial internasional melalui arbitrase
memberikan kebebasan bagi para pihak untuk menentukan hukum mana yang
akan digunakan. Apabila tidak disebutkan secara tegas di dalam
perjanjian/kontrak, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum yang
berhubungan dengan sengketa, seperti hukum dimana perjanjian dibuat.
Namun, banyak pengusaha asing tidak ingin kontraknya diatur oleh hukum
negara lain. Oleh karena itu, banyak pihak-pihak dalam kontrak setuju untuk
tidak menggunakan hukum negara salah satu pihak, tetapi menggunakan
ketentuan

hukum kebiasaan

atau

berdasarkan

pada

praktek-praktek

perdagangan internasional yang sudah umum dipakai (Lex Mercatoria). 34
Sama halnya dengan arbitrase nasional, arbitrase internasional hanya
boleh digunakan pada sengketa-sengketa komersil yang memiliki hubungan
hukum yang sah. 35 Hal ini ditegaskan lagi dalam pasal 66 UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa huruf b, yaitu “Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan
yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
perdagangan.”

34
35

Huala Adolf, Op.cit, hal. 49-50
Article 1 ayat 3 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Award

Universitas Sumatera Utara

3. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
Pasal 5 ayat 1 huruf e Konvensi New York menyebutkan “the award

has not yet become binding on the parties, or has been set aside, or suspended
by a competent authority of the country in which, or under the law in which,
that award was made” (sebuah putusan belum mengikat para pihak, atau
dibatalkan, atau ditunda oleh pihak yang berwenang di tempat atau dibawah
hukum putusan tersebut dibuat)
Menurut Black’s Law Dictionary, “set aside” berarti “to set aside a

judgment decree, award, or any proceedings is to cancel, annul, revoke them at
the instance of a party unjustly or irregularly affected by them.”

36

(pengenyampingan keputusan pengadilan, putusan atau tindakan apapun adalah
untuk meniadakan, menmbatalkan, mencabut itu atas permintaan pihak yang
mendapat akibat yang tidak adil atau tidak sesuai). Sementara itu, di dalam
pasal 70 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak
membedakan antara pembatalan putusan arbitrase nasional dan pembatalan
putusan arbitrase internasional. Pasal ini menyatakan bahwa untuk mengajukan
permohonan pembatalan putusan arbitrase, putusan tersebut harus mengandung
unsur-unsur sebagai berikut: 37
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu
36
37

dilihat dari http://thelawdictionary.org/set-aside/ diakses pada tanggal 28 Agustus 2016
pasal 70 UU No. 30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

b. Setelah putusan diambil, ditemukan dokumen yang brsifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa
Kemudian permintaan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri. Ketua Pengadilan Negeri mempunyai wewenang
untuk membatalkan sebagian atau seluruh putusan arbitrase tersebut. Atas
putusan pengadilan Negeri, para pihak kemudian dapat mengajukan banding
ke Mahkamah Agung. 38
Menurut Suleman Batubara dan Orinton Purba, pengaturan tentang
pembatalan putusan arbitrase internasional serta syarat-syarat dan alasan
upaya hukumnya diatur dalam peraturan perundang-undangan suatu negara.
Pengabulan

permohonan

pembatalan

putusan

arbitrase

internasional

memberikan akibat putusan arbitrase internasional tersebut dinafikan atau
dianggap tidak pernah ada, Namun, pembatalan putusan arbitrase tidaklah
memberikan wewenang bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutus
sengketa karena para pihak diharuskan untuk mengulang kembali proses
arbitrase. Alasan-alasan dari upaya hukum pembatalan putusan arbitrase
internasional pun lebih mengacu kepada substansi sengketa. 39

38
39

pasal 72 UU No. 30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Suleman Batubara, Orinton Purba,Op.cit, hal. 142-143

Universitas Sumatera Utara

Pembatalan putusan arbitrase internasional juga diatur dalam ICSID.
Menurut ICSID, suatu putusan arbitrase dapat dibatalkan apabila memenuhi
salah satu syarat berikut :40
a. That the Tribunal was not properly constituted (pembentukan majelis
arbitrase tidak tepat)
b. That the Tribunal has manifestly exceeded its powers (Majelis arbitrase
melampaui batas kewenangannya)
c. That there was corruption on the part of a member of the Tribunal (Salah
seorang arbiter melakukan kecurangan)
d. That there has been a serious daperture from a fundamental rule of

procedur; or (Adanya penyimpangan yang serius pada tata cara dan
peraturan yang pokok)
e. That the award has failed to state the reason on which it is based, (Putusan
tidak mempunyai dasar-dasar yang cukup)
Permohonan pemmbatalan yang ditujukan kepada ICSID harus
disampaikan dalam bentuk tertulis dan dialamatkan kepada sekretaris jendral
ICSID. Berdasarkan peraturan ICSID, permohonan pembatalan tidak
ditujukan dan dilaksanakan sesuai dengan hukum negara dimana putusan
dibuat. Permohonan disampaikan ke kantor sekretaris jendral ICSID di
Washington

dan

pemeriksaan

serta

penyelesaian

pembatalannya

dilaksanakan oleh ICSID. Permohonan pembatalan harus diajukan dalam
waktu 120 hari setelah putusan diserahkan, namun ada pengecualian pada
40

Pasal 52 Conventions on the Settlement of Investment Disputes between States and
nationals of Other States

Universitas Sumatera Utara

alasan ditemukannya kecurangan, batas tenggang waktu yang diberikan
adalah 120 hari sejak ditemukannya kecurangan dan hal ini berlaku sampai
batas 3 tahun sejak tanggal putusan diterima para pihak. 41

4. Penolakan Putusan Arbitrase Internasional
Penolakan atau “refusal” dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan
sebagai berikut “the denial or rejection of something of fered or demanded; an

opportunity to accept or reject something before it is offered to others; the
right or privilege of having this opportunity” (penyangkalan atau penolakan
sesuatu perintah; kesempatan untuk menerima atau menolak sesuatu sebelum
ditawarkan kepada yang lain; hak atau kehormatan untuk memiliki suatu
kesempatan),
Penolakan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase internasional
adalah upaya hukum kepada pengadilan di mana putusan arbitrase internasional
akan dilaksanakan. Upaya hukum penolakan diatur dalam suatu perjanjian
internasional dan kemudian ditransformasikan ke dalam undang-undangan
nasional suatu negara. Penolakam pelaksanaan putusan arbitrase internasional
tidak mengakibatkan putusan arbitrase tersebut dinafikan. Pihak yang ditolak

41

Susanti,Adi Nugroho, Op.cit, hal. 404-405

Universitas Sumatera Utara

oleh pengadilan (pihak yang menang) dapat mengajukannya kembali ke negara
tempat di mana asset dari pihak yang dikalahkan berada. 42
Menurut Konvensi New York, putusan arbitrase internasional dapat
ditolak apabila salah satu pihak mengajukan penolakan dengan alasan : 43
a. Para pihak yang terikat perjanjian ternyata menurut hukum nasionalnya
tidak mampu, atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut
atau hukum negara putusan tersebut dibuat, apabila tidak ada petunjuk
hukum mana yang berlaku.
b. Pihak terhadap putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang
sepatutnya tentang penunjukkan arbitrator atau persidangan arbitrase atau
tidak dapat mengajukan kasusnya
c. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan
untuk diputuskan oleh arbiter, atau keputusan tersebut mengandung halhal yang berada di luar hal-hal yang seharusnya diputuskan
d. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
persetujuan para pihak, atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat
arbitrase berlangsung; atau
e. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap pihak atau dikesampingkan
atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana
putusan dibuat
Permohonan penolakan disampaikan kepada pihak yang berkompeten
(di Indonesia, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan menyertakan bukti
42
43

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 142-143
Susanti,Adi Nugroho, Op.cit, hal.393-395

Universitas Sumatera Utara

pelanggaran.

Apabila

pihak

yang

mengajukan

permohonan

tidak

menyertakan bukti pelanggaran, maka dianggap tidak sah memenuhi syarat
formil. 44
Selain penolakan berdasarkan pengajuan salah satu pihak, pihak yang
berkompeten juga dapat melakukan penolakan berdasar jabatan tanpa ada
permohonan dari pihak yang bersengketa, apabila pihak yang berkompeten
menemukan bahwa: 45
a. Pokok yang disengketakan tidak sesuai dengan pengaturan arbitrase
negara tersebut.
b. Pengakuan dan pelaksanaan utusan tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum negara tersebut.
Sedangkan, menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, syarat-syarat putusan arbitrase internasional dapat diakui dan
dilaksanakan di Indonesia adalah sebagai berikut: 46
a. Putusan ini dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun perorangan di
suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama
dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional
perihal pengakuan serta pelaksanaan arbitrase asing.
b. Putusan-putusan arbitrase tersebut hanyalah terbatas pada putusan-putusan
yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum dagang

44
45

Susanti,Adi Nugroho, Op.cit, hal. 395
article 5 ayat 2 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Award
46

pasal 66 UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

c. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum.
d. Suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Putusan arbitrase internasional yang tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut dapat ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, atas
penolakan pelaksanaan dan eksekusi putusan arbitrase internasional dapat
diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan akan diputus dalam jangka waktu
90 hari setelah permohonan kasasi diterima. 47

5. Pengakuan Putusan Arbitrase Internasional
Pengakuan Putusan Arbitrase Internasional diatur dalam Konvensi
New York 1958. Pasal 3 Konvensi New York 1958 menyatakan bahwa setiap
negara peserta harus mengakui suatu putusan arbitrase internasional sebagai
putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan aturan procedural
negara di mana putusan diminta dilaksanakan. Untuk mendapatkan pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, pihak yang mengajukan
permohonan pengakuan harus menyampaikan : 48
a. Putusan asli yang disahkan atau salinan putusan yang disahkan
b. Perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase dalam suatu kontrak asli yang
disahkan atau salinan yang disahkan.
47

pasal 68 UU No. 30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

48 Pasal 4 ayat 1 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards

Universitas Sumatera Utara

Putusan dan perjanjian arbitrase apabila tidak dibuat dalam bahasa di
mana

permohonan

pengakuan

disampaikan,

maka

pemohon

harus

menyediakan terjemahan dari dokumen-dokumen tersebut yang disahkan oleh
pejabat atau penerjemah tersumpah atau korps diplomatik atau konsuler. 49
Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi New York 1958 melalui
Kepres No. 4 tahun 1981 juga telah mengeluarkan Perma No. 1 tahun 1990
tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pasal 1 Perma No. 1
tahun 1990 telah memberi wewenang mengenai masalah yang berhubungan
dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase internasional kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 65 UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sebuah putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan
di Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 50
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara

bilateral

maupun

multilateral,

mengenai

pengakuan

dan

pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf
a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

49 Pasal 4 ayat 2 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
50

pasal 68 UU No. 30 tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum .
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding
atau kasasi. Namun, terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional, dapat diajukan kasasi.

F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang ditempuh dalam memperoleh data-data
atau bahan-bahan penelitian meliputi :
1. J enis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam
pembahasan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum

Universitas Sumatera Utara

normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum
yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan
nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang
hukum. 51 Penelitian hukum ini menggunakan penelitian hukum normatif
karena penulis mengumpulkan dan menganalisa hukum dan konvensi yang
berlaku tentang pembatalan arbitrase internasional yang berasal dari bahan
hukum primer, sekunder dan tersier. Kemudian penulis menganalisa
pengimplementasian

hukum

yang

berlaku

pada

putusan

MA

No.

631K/Pdt.Sus/2012

2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier.
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum yang terdiri dari

peraturan perundang-undangan yang

mengikat. Contohnya adalah Konvensi New York 1958, UNCITRAL

Arbitration Rules, International Convention on the Settlement of Investment
Disputes, dan Undang-Undang Repulik Indonesia No. 30 Tahun 1999 tentang

51

Soerjono Soekamto, Op.cit, hal. 33

Universitas Sumatera Utara

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa yang menjadi acuan dalam
pelaksanaan

penyelesaian

sengketa

dengan

arbitrase

dan

alternatif

penyelesaian sengketa lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer,
yaitu hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, tulisan ilmiah, hasil
penelitian ilmiah, laporan makalah lain yang berkaitan dengan materi
penulisan skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier
Petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang berasal dari kamus hukum, ensiklopedia, majalah, dan
sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggungjawabkan maka digunakan metode penelitian hukum normatif
dengan pengumpulan data secara studi pustaka, yaitu dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang dikenal dengan nama bahan pedoman dalam
bidang hukum atau rujukan bidang hukum. Metode studi pustaka dengan
mempelajari sumber dan bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam
penulisan skripsi ini. Beberapa rujukan berupa buku dan wacana yang
dikemukakan oleh sarjana hukum.
4. Analisa Data

Universitas Sumatera Utara

Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke dalam
penelitian hukum normatif. Pengolahan data merupakan kegiatan melakukan
analisa terhadap permasalahan yang dibahas. Data dianalisa dengan cara analisa
data kualitatif. Pengumpulan data kualitatif diperoleh data dari buku, data dari
halaman web, dan lain-lain. Analisa data dilakukan dengan : 52
a. Mengumpulkan bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti
b. Memilih kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian
c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal atau doktrin
yang ada
d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif yang diawali dengan
mengemukakan hal yang bersifat umum, dimulai dari putusan arbitrase
internaisonal dan kekuatannya dalam perspektif hukum

internasional dan

nasional, kemudian diakhiri dengan kesimpulan yang bersifat khusus
mengenai kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia dan analisis
dari putusan MA No. 631/K/Pdt.Sus/2012.

G. Sistematika Penulisan
Untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang baik, maka pembahasan
permasalahan perlu dilakukan secara sistematis dan untuk mempermudah
penulisan skripsi ini diperlukan sebuah sistematika penulisan yang teratur dan

52

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal. 45

Universitas Sumatera Utara

terbagi dalam bab perbab yang berkaitan satu sama lain. Ada pun sistematika
penulisan skripsi ini adalah:
Bab satu skripsi ini berisi pendahuluan yang merupakan pengantar,
didalamnya terurai latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalah yang
dibahas, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan dan sistematika penulisan skripsi.
Bab dua merupakan bab yang membahas secara umum tentang putusan
arbitrase internasional. Dimulai dengan pengertian putusan arbitrase internasional,
asas-asas dan prinsip yang melandasi berlakunya sebuah putusan arbitrase
internasional, dan dasar hukum kekuatan putusan arbitrase internasional di
Indonesia.
Bab tiga adalah bab yang membahas tentang pengakuan, penolakan dan
pembatalan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Bab ini membahas
tentang kewenangan Peradilan Indonesia dalam pengakuan, penolakan dan
pembatalan putusan arbitrase internasional, kekuatan hukum dari putusan
Peradilan Indonesia mengenai putusan arbitrase internasional dan dasar hukum
dari pengakuan, penolakan dan pembatalan putusan arbi