Analisis Hukum Kekuatan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia dalam Putusan MA No. 631 K Pdt.Sus 2012 Chapter III V

BAB III
PENGAKUAN, PENOLAKAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN
ARBITRASE INTERNASIONAL

A. Kewenangan Peradilan Indonesia dalam Pengakuan, Penolakan dan
Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
1.

Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang di buat
di luar negeri, hingga kini masih menjadi pembahasan dan penelitian para
pakar arbitrase di mancanegara. Hal ini menjadi pokok masalah terutama
karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa arbitrase internasional
merasa keberatan melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan dalam
negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan
putusan arbitrase ternyata kurang memberi respon yang konstruktif.
Christopher H. Schreuer mengatakan, peran pengadilan dalam pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah sebagai berikut “It

is only at the last stage, when it comes to enforcement, that the victorious
litigant ultimately depends on the authority of domestic courts” (sebagai

langkah terakhir, dalam hal pelaksanaan, pihak yang menang dalam
berperkara tergantung pada kewenangan peradilan nasional.) 84
Sulitnya melaksanakan suatu putusan arbitrase, Rene David
memberikan alasan bahwa kontrak dibuat oleh kedua belah pihak sehingga

84

Huala Adolf, Op.cit, hal. 103

Universitas Sumatera Utara

untuk melaksanakan isi kontrak tersebut tidak begitu merupakan masalah,
sedangkan putusan arbitrase dibuat oleh pihak ketiga (arbiter), dan yang
berkeberatan terhadapnya, terutama oleh pihak yang kalah, selalu ada dan
biasanya keberatan terhadap putusan arbitrase dilontarkan setelah
keputusan dikeluarkan. 85
Pasal 3 Konvensi New York 1958 mewajibkan setiap negara
peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri
mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum
(acara) nasional di mana keputusan itu akan dilaksanakan. 86

Hal ini yang menjadi acuan bagi pemerintah Indonesia, untuk
menetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai lembaga peradilan
yang berwenang untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 87
Setiap putusan Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui
dan melaksanakan putusan arbitrase internasional tidak dapat diajukan
banding atau kasasi, dan perintah eksekusi yang telah dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selanjutnya dilaksanakan oleh pengadilan
negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.

85
86

Susanti Adi Nugroho, hal. 435
Pasal 3 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards

“each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in
accordance with the rules of procedure of the territory when the award is relied upon, under the
conditions laid down in the following articles. There shall not be imposed the substantially more
onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbitral awards

to which this convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic
arbitral awards.”
87

Pasal 1 Perma No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing Mahkamah Agung Republik Indonesia

Universitas Sumatera Utara

Lain halnya dengan putusan arbitrase internasional di mana Negara
Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa. Setiap
putusan arbitrase internasional yang Indonesia menjadi salah satu pihak
dalam sengketa, makanya putusan arbitrase internasionalnya hanya dapat
dilaksanakan apabila telah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang kemudian dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Terhadap putusan Mahkamah Agung mengenai
putusan arbitrase internasional tersebut tidak dapat dilakukan upaya
perlawanan.
Peran dan kewenangan Peradilan menurut ICSID yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 5 tahun 1968,

diatur dalam pasal 54 ICSID tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase. Setiap negara yang tergabung dalam konvensi ini, wajib
mengakui putusan arbitrase tersebut, seperti putusan tersebut merupakan
putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan di negara tersebut. Pasal 54 ayat
(1) ICSID mengatakan bahwa negara yang memiliki sistem konstitusi
federal dapat melaksanakan putusan arbitrase tersebut melalui putusannya,
dan pengadilan akan memperlakukan putusan arbitrase tersebut sebagai
putusan yang bersifat final yang dikeluarkan oleh pengadilan di negara
tersebut. Selanjutnya pasal 54 ayat (3) ICSID mengatur bahwa
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional akan diatur sesuai

Universitas Sumatera Utara

ketentuan peraturan yang berlaku di negara wilayah dimana eksekusi
putusan tersebut akan dilaksanakan. 88
Putusan arbitrase internasional ICSID dapat melaksanakan eksekusi
di Indonesia dengan izin tertulis dari Mahkamah Agung. Putusan ICSID
pada dasarnya memiliki “self-executing, artinya putusan ICSID tidak
memerlukan suatu tindakan perundang-undangan untuk dapat berlaku
dalam tata hukum intern di negara pesertanya. Jadi, dengan adanya

Undang-undang No. 5 tahun 1968 ini pemerintah Indonesia memiliki
wewenang

untuk

memberi persetujuan agar

perselisihan tentang

penanaman modal antara Republik Indonesia dan warga negara asing
dapat diputuskan menurut ICSID, dan pemerintah dalam hal ini bertindak
mewakili negara Republik Indonesia dalam perselisihan dengan hak
substitusi. Putusan arbitrase ICSID ini merupakan salah satu bentuk
penyelesaian perselisihan antara pemerintah Republik Indonesia dengan
warga negara asing sehubungan dengan penanaman modal asing di
Indonesia, dapat dilaksanakan di Indonesia dengan surat perintah
pelaksanaan dari Mahkamah Agung. 89
2.

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional

Upaya hukum berupa “penolakan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional” kepada pengadilan di mana aset atau barang berada terjadi
mengingat putusan arbitrase dibuat di suatu negara tetapi pelaksanaannya
dilakukan di negara lain. Pelaksanaan putusan akan sangat bergantung
88
89

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit, hal. 446

Ibid. Hal. 441

Universitas Sumatera Utara

pada dimana aset atau barang yang hendak dieksekusi berada. Keterlibatan
peradilan tidak dapat dihindari mengingat pemaksaan atas putusan hanya
bisa dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penetapan eksekusi. 90
Pasal 5 ayat 1 Konvensi New York 1958 mengatur mengenai
penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional,
dimana pihak yang mengajukan penolakan harus membuktikan kepada
pihak yang berwenang di mana putusan arbitrase tersebut akan

dilaksanakan. Namun menurut ketentuan pasal 5 ayat 2 Konvensi New
York 1958, pihak yang berwenang juga dapat melakukan penolakan
berdasar jabatan tanpa ada permohonan dari para pihak yang bersengketa.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung sebagai
pihak yang berwenang atas putusan arbitrase internasional di wilayah
Indonesia dapat menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional tanpa
adanya permohonan dari pihak yang bersengketa, apabila putusan arbitrase
asing tersebut :
a. Pokok persoalan mengenai perselisihan adalah tidak merupakan
penyelesaian melalui arbitrase menurut hukum di negara itu. 91
Pada dasarnya, semua kasus bisnis dapat diselesaikan melalui
arbitrase, akan tetapi ada beberapa sengketa yang memang tidak dapat
diselesaikan melalui jalur arbitrase. Konvensi New York 1958
memperhatikan beberapa sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh
badan arbitrase. Alasan kenapa kasus-kasus tersebut tidak dapat
90
91

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 391-392
pasal 5 ayat 2 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral


Awards

Universitas Sumatera Utara

diselesaikan oleh badan arbitrase adalah karena ada beberapa jenis
sengketa yang berhubungan dengan sistem hukum suatu negara lebih
cocok untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan nasional. Jadi,
adalah suatu hal yang penting untuk mengetahui apakah dalam suatu
negara suatu kasus dapat diselesaikan melalui arbitrase atau tidak. 92
Indonesia sendiri dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa telah mengatur bahwa kasus-kasus yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah kasus-kasus yang termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan. Kasus-kasus tersebut antara lain : 93
1) Perniagaan
2) Perbankan
3) Keuangan
4) Penanaman Modal
5) Industri
6) Hak Kekayaan Intelektual

Jadi, apabila suatu putusan arbitrase internasional tidak termasuk
kasus-kasus dalam ruang lingkup hukum perdagangan, maka
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional tersebut di Indonesia.
b. Pengakuan atau pelaksanaan putusan arbitrase akan menjadi
bertentangan dengan kebijakan publik di negara itu.

92

Arfiana Novera, Meria Utama, Op.cit, hal.87-88
Pasal 66 Penjelasan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa
93

Universitas Sumatera Utara

Baik PERMA No. 1 tahun 1990 maupun UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa tidak menerangkan secara jelas apa yang
dimaksud dengan kebijakan publik atau ketertiban umum. Menurut
Sudargo Gautama, lembaga ketertiban umum ini seharusnya hanya

dipakai sebagai suatu tameng dan tidak sebagai pedang untuk
menusuk hukum asing. Dengan kata lain, fungsinya hanya sebagai
perlindungan, tidak untuk meniadakan pemakaian hukum asing.
Konsep ketertiban umum berlainan di masing-masing negara.
Ketertiban umum terikat pada faktor tempat dan waktu. Jika situasi
dan kondisi berlainan, paham-paham ketertiban umum juga berlainan.
Untuk menentukan apakah suatu putusan arbitrase internasional
bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, hal itu merupakan
keputusan dari pengadilan. Pengadilan akan menentukan mana
putusan arbitrase internaisonal yang akan diakui dan putusan yang
akan ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum. 94
Salah

satu

putusan

arbitrase

internasional


yang

ditolak

pelaksanaannya adalah putusan arbitrase mengenai sengketa E.D. &
F.MAN(Sugar) Limited melawan Y. Haryanto. Ketertiban umum
menjadi salah satu alasan Mahkamah Agung untuk menolak putusan

The Queen’s Counsel of The English Bar di London. Hakim
menyatakan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan kepentingan
umum Negara Republik Indonesia dikarenakan putusan yang diambil

94

Arfiana Novera, Meria Utama, Op.cit, hal. 139-141

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan suatu perjanjian yang menurut hukum Indonesia adalah
perjanjian yang batal demi hukum. Namun, Sulaeman Batubara dan
Orinton Purba berpendapat pertimbangan yang tepat atas penolakan
putusan arbitrase tersebut adalah karena perjanjian tersebut diambil
berdasarkan perjanjian yang batal demi hukum, bukan karena
melanggar ketertiban umum. 95
Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dapat dilakukan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung (apabila salah satu
pihak dalam arbitrase internasional tersebut adalah Pemerintah Indonesia) tanpa
ada permohonan dari para pihak yang bersengketa, apabila sengketa yang
diselesaikan dengan arbitrase tersebut ternyata bukanlah sengketa yang masuk ke
dalam ruang lingkup perdagangan, atau putusan tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum.
Pasal 35 ayat 1 dan 2 UNCITRAL Model Law juga memberikan
kewenangan pada peradilan yang berwenang (peradilan di mana pelaksanaan
putusan di minta) untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Ketentuan peradilan nasional dapat menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase
berdasarkan UNCITRAL Model Law sejalan dengan ketentuan yang ada dalam
Konvensi New York 1958 dan dalam ICSID yang berlaku untuk Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1968. Alasan-alasan ini dapat kita
temukan dalam garis-garis besarnya pada acara arbitrase seperti dicantumkan
dalam Rv. 96

95

Sulaeman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 216-217
Sudargo Gautama(a), Perkembangan Arbitrase Dagang Internasional di Indonesia ,
(Bandung : PT. Eresco, 1989) hal. 73-74
96

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi New York 1958 dan ICSID
kemudian diturunkan oleh Peradilan Indonesia dengan memberikan wewenang
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional. 97

3. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
Pembatalan putusan arbitrase internasional diatur dalam Pasal 5
ayat 1 huruf e Konvensi New York 1958 dimana tercantum bahwa hal
pembatalan putusan arbitrase internasional dilakukan oleh lembaga yang
berwenang di mana atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut
dijatuhkan. Jadi, pihak yang berwenang untuk melakukan pembatalan
putusan arbitrase internasional adalah lembaga di mana putusan tersebut
dijatuhkan atau dengan hukum yang dipakai dalam proses arbitrase
tersebut.
ICSID sendiri mengatur mengenai pembatalan putusan dalam Pasal
52 ayat 1 ICSID, dimana para pihak dapat meminta pembatalan putusan
tersebut dengan mengajukan permohonan tertulis kepada sekretaris
jenderal ICSID. Putusan arbitrase ICSID dalam hal pembatalan,
kewenangannya diserahkan pada sekretaris jenderal ICSID. Contoh
putusan arbitrase ICSID yang dibatalkan adalah sengketa antara PT.
AMCO Asia Corporation melawan Pemerintah Indonesia, di mana
Pemerintah Indonesia mengajukan pembatalan dengan alasan bahwa Team
Arbitrase Goldman ini kurang memperhatikan hukum Indonesia yang
97

Pasal 68 ayat 2 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

mana hal tersebut disyaratkan di dalam Pasal 52 Konvensi ICSID dan telah
termaktub dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 (yang mengesahkan
konvesi ICSID untuk Indonesia), kemudian pada tahun 1987, PT. AMCO

Asia Corporation mengajukan pembatalan terhadap bagian-bagian dalam
putusan yang tidak termasuk dalam Res Judicate, Dikarenakan adanya
penurunan jumlah kerugian, kemudian pihak Amco

mengajukan

permohonan untuk pembatalan putusan. Pihak RI juga mengajukan
permohonan annulment terhadap pertimbangan putusan team Rosalyn. dan
akhirnya diangkat team khusus dibawah pimpinan Prof. Sompong
Sucharitkul (Thailand) dan Prof. Dietrich Schindler (Swiss), serta Prof.
Arghyrios A Fatouros (Junani). Selanjutnya pada tanggal 3 Desember
1992 team ini telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya
menguatkan putusan team Rosalyn. 98
Berdasarkan dua ketentuan di atas, ada persamaan dalam hal
kewenangan pembatalan putusan arbitrase internasional dari Konvensi
New York dan ICSID, di mana pembatalan putusan arbitrase internasional
hanya dapat di lakukan oleh lembaga di mana putusan tersebut dijatuhkan.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi dua konvensi di atas, dalam UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kewenangan pembatalan
putusan arbitrase diberikan kepada Pengadilan Negeri. Tidak diberikan
penjelasan apakah pembatalan putusan arbitrase yang diatur dalam UU
98

diakses dari https://binatangpoerba.wordpress.com/2011/10/13/analisa-terhadapputusan-arbitrase-mengenai-perkara-hotel-kartika-plaza-di-tinjau-dari-undang-undang-nomor-30tahun-1999-tentang-arbitrase-dan-penyelesaian-masalah pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul
13.36 WIB

Universitas Sumatera Utara

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya berlaku pada
putusan arbitrase nasional saja atau berlaku juga pada putusan arbitrase
internasional, sehingga ada yang berpendapat bahwa pasal 70-72 UU
Arbitrase

dan

Alternatif

Penyelesaian

Sengketa

juga

mencakup

pembatalan putusan arbitrse internasional. 99

B. Tata Cara Pengakuan, Penolakan dan Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional di Indonesia
1. Tata Cara Pengakuan dan Pelaksanaan 100
Pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase internasional adalah
salah satu syarat agar putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan
dapat dilaksanakan di negara Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal
67, 68 dan 69 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
merupakan pembaharuan dan penyempurnaan dari ketentuan serupa dalam
PERMA No. 1 tahun 1990.
Menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
baru dapat dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
99

diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6566/menyoal-pembatalanputusan-arbitrase-internasional-oleh-pengadilan pada tanggal 28 September 2016, pukul 09.19
100
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.cit, hal.147-149

Universitas Sumatera Utara

Pusat. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan tersebut harus
disertai dengan :
a. Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional,
sesuai ketentuan perihal otensifikasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar
Putusan Arbitrase Internasional sesuai dengan ketentuan perihal
otensifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam
Bahasa Indonesia;
c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik
Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional.
Kemudian, apabila putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan
diberikan perintah eksekusinya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Pelaksanaan putusan arbitrase
internasional tersebut dapat dilakukan dengan sita eksekusi atas harta kekayaan
serta barang milik termohon eksekusi. Tata cara yang berhubungan penyitaan,
maupun pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut mengikuti tata cara
sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata. Atas putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan

Universitas Sumatera Utara

arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Terhadap
putusan arbitrase internasional yang menyangkut Indonesia sebagai salah satu
pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan Mahkamah
Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawanan.

2. Tata Cara Penolakan
Berdasarkan

permohonan

pelaksanaan

putusan

arbitrase

internasional dan hasil kajiannya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dapat menetapkan dan memutuskan dua kemungkinan berikut ini, yaitu
: 101
a. Dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia,
karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Putusan ini
tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
b. Menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
internasional.
Suatu putusan arbitrase internasional, dapat ditolak pengakuan dan
pelaksanaannya di Indonesia apabila ada permohonan dari pihak terhadap siapa
eksekusi akan dijalankan. Pihak yang terhadap dirinya dimohon eksekusi berhak
mengajukan permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan bukti adanya pelanggaran terhadap salah satu alasan yang
ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Konvensi New York 1958, yaitu :
101

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 425

Universitas Sumatera Utara

a. The parties to the agreement reffered in article II were, under the law

applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not
valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any
indication thereon, under the law of the country where the award was made;
or
(Para pihak dengan perjanjian dirujuk dalam pasal II, di bawah hukum yang
berlaku untuk mereka, di bawah beberapa ketidakmampuan, atau perjanjian
tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana pihak telah dikenakan atau,
gagal atasnya, di bawah hukum negara di mana penghargaan itu dibuat; atau)
b. The party against whom the award is invoked was not given proper notice of

the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was
otherwise unable to present his case; or
(Pihak-pihak yang bersengketa tidak diberikan pemberitahuan yang sesuai
tentang penunjukan arbiter atau dari proses arbitrase atau sebaliknya tidak
dapat menghadiri kasusnya; atau)
c. The award deals with a difference not contemplated by or not falling within

the terms of submission to arbitration, or it contains decisions on matters
beyond the scope of submission to arbitration, provided that, if the decisions
on matters submitted to arbitration can be separated from those not so
submitted, that part of the award which contains decisions on matters
submitted to arbitration may be recognized and enforced; or
(Putusan tersebut mengatur sengketa yang tidak diatur oleh atau tidak
mengikuti ketentuan yang dapat diputuskan oleh arbitrase, atau mengandung
keputusan mengenai hal-hal di luar lingkup yang diserahkan untuk
diputuskan melalui arbitrase, asalkan, jika keputusan mengenai hal-hal yang

Universitas Sumatera Utara

diputuskan oleh arbitrase dapat dipisahkan dari hal-hal yang tidak diserahkan
untuk diputuskan, bagian dari putusan yang berisi keputusan tentang hal-hal
yang diputuskan oleh arbitrase dapat diakui dan ditegakkan; atau)
d. The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not

in accordance with the agreement, was not in accordance with the law of the
country where the arbitration took place; or
(Kewenangan dari arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
perjanjian,

tidak sesuai

dengan

hukum

dimana

arbitrase tersebut

dilaksanakan; atau)
e. The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside

or suspended by a competent authority of the country in which, or under the
law of which, that award was made.
(Putusan belum mengikat para pihak, atau telah dikesampingkan atau
ditangguhkan oleh otoritas yang berwenang di negara di mana, atau sesuai
hukum di mana, putusan tersebut dibuat)
Permohonan yang tidak dilengkapi dengan bukti pelanggaran dianggap
tidak memenuhi syarat formil dan tidak dapat diterima. 102
Menurut Pasal 5 ayat 2 Konvensi New York 1958, pihak yang
berkompeten (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) juga dapat melakukan penolakan
berdasar jabatan tanpa ada permohonan dari para pihak yang bersengketa. Jika
pihak yang berkompeten menilai bahwa putusan arbitrase internasional tersebut
mengandung pelanggaran terhadap sistem tata hukum di negara diminta
eksekusi. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak pelaksanaan putusan
102

Ibid, hal. 395

Universitas Sumatera Utara

arbitrase internasional di Indonesia berdasar jabatan tanpa perlu ada permohonan
penolakan dari salah satu pihak yang terlibat dalam putusan, apabila pokok yang
disengketakan dalam arbitrase internasional tersebut tidak masuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan atau putusan tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum. 103

3. Tata Cara Pembatalan
Pembatalan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi
New York 1958 diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf e, di mana putusan
arbitrase internasional tidak bersifat mengikat apabila putusan tersebut
dibatalkan oleh lembaga yang berwenang di negara di mana atau
berdasarkan hukum putusan tersebut dijatuhkan. Tata cara selanjutnya
bergantung pada negara dan lembaga di mana permohonan pembatalan
dimintakan.
ICSID dalam pasal 52 ayat 1 memberikan hak kepada para pihak
untuk

mengajukan

permohonan

pembatalan

putusan

arbitrase

internasional. Pembatalan putusan arbitrase ICSID merupakan salah satu
kewenangan sekretaris jenderal ICSID. Beberapa syarat formil yang harus
dipenuhi dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional,
yaitu : 104
a. Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis. Permohonan
pembatalan yang diajukan secara lisan tidak dapat diterima.

103
104

Ibid.
Ibid, hal. 404-405

Universitas Sumatera Utara

b. Permohonan dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID. Jika
putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya putusan yang
tunduk pada Rules ICSID, permohonan pembatalan dialamatkan
kepada sekretaris jenderal ICSID yang berkedudukan di Washington,
permohonan tidak disampaikan kepada Pengadilan Negeri.
c. Permohonan dijatuhkan dalam tempo 120 hari setelah putusan
diserahkan atau diterima, Jika permohonan pembatalan yang diajukan
melampaui batas tenggang waktu, berarti tidak memenuhi syarat
formil, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima. Namun
terhadap ketentuan umum ini ada pengecualian. Khusus untuk
permohonan pembatalan yang didasarkan atas alasan adanya
kecurangan atau korupsi, perhitungan batas tenggang waktu bukan
120 hari dari tanggal penerimaan putusan, tetapi dapat diajukan
permohonan pembatalan dalam tenggang waktu 120 hari dari tanggak
ditemukan kecurangan, dan hal ini berlaku sampai batas 3 tahun sejak
tanggal putusan diserahkan atau diterima para pihak. Hal ini
dimaksudkan sebagai penegakan kepastian hukum.
Setelah permohonan pembatalan putusan diterima, Chairman of the

Administrative Council membetuk ad hoc Committee yang anggotanya terdiri
dari 3 orang yang diambil dari Panel of Arbitration, yang terdiri dari mereka
yang berasal dari negara peserta ICSID. Yang bukan anggota Panel of

Arbitration tidak boleh ditunjuk sebagai anggota ad hoc Committee, dan juga
tidak boleh ditunjuk bekas anggota arbiter pada majelis arbitrase yang memutus
putusan yang diminta pembatalan sebagai ad hoc Committee. Permohonan

Universitas Sumatera Utara

pembatalan yang ditolak mengakibatkan putusan arbitrase yang bersangkutan
tetap sah, final dan mengikat, tidak dapat diajukan banding. Sebaliknya, jika
permohonan pembatalan dikabulkan ad hoc Committee, maka sengketa kembali
pada keadaan semula. Sengketa dapat diajukan lagi kepada ICSID untuk
medapat penyelesaian baru. 105
Untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase menurut
UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, permohonan tersebut harus
diajukan secara tertulis paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. 106
Apabila

permohonan

pembatalan

putusan

arbitrase

kemudian

dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Putusan atas permohonan
pembatalan akan ditetapkan oleh ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diterima. Terhadap putusan
Pengadilan Negeri mengenai pembatalan putusan arbitrase ini dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir. 107

C. Dasar Hukum bagi Pengakuan, Penolakan dan Pembatalan Putusan
Arbitrase Internasional

105
106

Ibid, hal. 409

Pasal 71 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
107
Pasal 72 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

Konvensi New York 1958 mengatur kewajiban bagi negara-negara
peserta untuk mengakui putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang
mengikat dan melaksanakannya berdasarkan asas resiprositas sesuai dengan
aturan prosedural di mana pelaksanaan diminta. 108 Untuk mendapatkan
pengakuan putusan arbitrase internasional dan izin pelaksanaan, pihak yang
mengajukan permohonan harus menyertakan : 109
1. Putusan asli yang benar-benar disahkan atau salinan yang benar-benar sah.
2. Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase asli yang benar-benar disahkan
atau salinan yang benar-benar sah.
Apabila putusan arbitrase internasional tersebut tidak dibuat dalam
bahasa resmi negara di minta pengakuan dan pelaksanaannya, maka pemohon
harus menyediakan terjemahan yang sudah disahkan oleh pejabat atau
penterjemah tersumpah atau oleh korps diplomatik atau konsuler.

110

ICSID pasal 54 ayat 1 juga menjadi dasar dari pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Setiap negara peserta harus
mengakui putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang mengikat dan
melaksanakan putusan tersebut melalui peradilan sipil, dan memperlakukan
putusan arbitrase internasional tersebut seperti putusan final peradilan negara
yang bersangkutan.

Award.
Award

108

Pasal 3 ayat 1 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

109

Pasal 4 ayat 1 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

110

Pasal 4 ayat 2 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Award

Universitas Sumatera Utara

Sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Konvensi New York 1958 dan
ICSID, Indonesia melalui UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
telah menetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan yang
berwenang dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia. Sebuah putusan arbitrase internasional yang dapat
diakui di Indonesia adalah putusan arbitrase internasional yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :111
1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2. Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan.
3. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
5. Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
111

Pasal 66 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 68 ayat 1 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menuliskan bahwa terhadap keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat
diajukan banding atau kasasi. Pasal 68 ini menggambarkan adanya kekuatan
final dan mengikat dari putusan arbitrase, juga mengenai putusan berkekuatan
pasti dan mengikat dari putusan arbitrase internasional. 112
Suatu putusan arbitrase internasional tidak selalu dikabulkan
permohonan pengakuan dan pelaksanaan. Namun, hanya ada beberapa hal
tertentu yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menolak pengakuan dan
pelaksanaan keputusan arbitrase internasional. Konvensi New York 1958
mencantumkan beberapa alasan yang dapat diajukan oleh pihak yang
bersengketa yang dapat menyebabkan suatu putusan arbitrase internasional
ditolak pengakuan dan pelaksanaannya, yaitu : 113
1. “ The parties to the agreement reffered to in article II were, under the law

applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not
valid under the law which the parties have subjected it or, failing any
indication thereon, under the law of the country where the award was
made. (Para pihak pada perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal II
adalah, menurut hukum yang berlaku bagi mereka, berada di bawah
beberapa ketidakcakapan, atau perjanjian tersebut tidak sah menurut
112
113

Susanti Adi Nugroho, Op,cit, hal. 426
Pasal 5 ayat 1 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Awards

Universitas Sumatera Utara

hukum pada mana para pihak telah menundukkan diri padanya, atau, tidak
adanya setiap petunjuk akannya, menurut hukum dari negara di mana
putusan dibuat.)
2.

“ The parties against whom the award is invoked was not given proper
notice of the appointment of the arbitratoror of the arbitration
proceedings or was otherwise unable to present his case.”
(Pihak terhadap siapa putusan dimohonkan tidak diberikan pemberitahuan
yang layak atas penunjukan arbiter atau mengenai proses arbitrase atau
sebaliknya tidak dapat menyampaikan kasusnya.)

3. “ The award deals with a difference not contemplated by or not falling

within the terms of submission to arbitration, or it contain decisions on
matters beyond the scope of submission to arbitration, provided that, if the
decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those
not so submitted, that part of the award which contains decisions on
matters submitted to arbitration may be recognized and enforced.”
(Putusan berkenaan dengan suatu perselisihan yang tidak dimaksudkan
dalam perjanjian atau tidak berada dalam ketentuan-ketentuan pengajuan
pada arbitrase, atau ia berisi keputusan-keputusan mengenai hal-hal di luar
lingkup dari pengajuan pada arbitrase, dengan ketentuan bahwa, jika
keputusan-keputusan mengenai hal-hal yang diajukan pada arbitrase dapat
dipisahkan dari yang tidak diajukan, bagian dari putusan yang berisi
keputusan-keputusan mengenai hal-hal yang diajukan pada arbitrase dapat
diakui dan dilaksanakan.)

Universitas Sumatera Utara

4. “The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was

not in accordance with the agreement of the parties, or, failing such
agreement, was not in accordance with the law of the country where the
arbitration took place.”
(Komposisi dari otoritas arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai
dengan perjanjian para pihak, atau, jika perjanjian sedemikian tidak ada,
tidak sesuai dengan hukum dari negara dimana arbitrase berlangsung.)
5. “ The award has not yet become binding on the parties, or has been set

aside or suspended by a competent authority of the country in which or
under the law which that award was made.”
(Putusan belum menjadi mengikat bagi para pihak, atau telah
dikesampingkan atau ditangguhkan oleh lembaga yang berwenang di
negara di mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut
dijatuhkan.)
Pengajuan permohonan penolakan putusan arbitrase internasional ini
harus disertakan dengan bukti-bukti yang ditujukan kepada peradilan yang
berwenang di negara pelaksanaan putusan dimintakan. Selain melalui
permohonan pengajuan, Pasal 5 ayat 2 Konvensi New York juga mengatur
tentang kewenangan peradilan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase
internasional tanpa adanya permohonan penolakan terlebih dahulu, apabila : 114

114

Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal 164-165

Universitas Sumatera Utara

1. Objek Sengketa Arbitrase Tidak Termasuk dalam Ruang Lingkup Hukum
Dagang di Negara di mana Putusan Arbitrase Dimintakan Pengakuan dan
Pelaksanaannya.
Pasal 66 huruf b UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat
diakui dan dilaksanakan di Indonesia sebatas putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang.
Sementara itu penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang
termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang adalah kegiatan-kegiatan di
bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dasn
hak kekayaan intelektual. Suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak
pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia bilamana putusan tersebut di
luar ruang lingkup hukum dagang. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau
Mahkamah Agung dapat menolak suatu putusan arbitrase internsional
yang ruang lingkupnya di luar hukum perdagangan.
2. Putusan Arbitrase Melanggar Ketertiban Umum.
Ketertiban umum dapat dijadikan sebagai dasar untuk menolak
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pengertian
ketertiban umum ini berbeda di masing-masing negara. Hal inilah yang
kemudian sering menjadi kendala dalam tatanan praktik. Tidak adanya
kesamaan penafsiran dan pengertian tentang ketertiban umum ini
cenderung sering disalahgunakan. Sudargo Gautama menyatakan bahwa
fungsi dari ketertiban umum ini adalah sebagai “rem darurat” dalam

Universitas Sumatera Utara

sebuah kereta api. Rem darurat di sini mempunyai pengertian bahwa
penggunaan ketertiban umum ini sebagai alasan untuk tidak dapat
memperlakukan hukum negara asing dalam sebuah negara seirit mungkin,
bisa diibaratkan karena suatu keterpaksaan. Namun, untuk tidak
menimbulkan

perbedaan

penafsiran

serta

untuk

menghindari

penyalahgunaan dari ketertiban umum ini, menurut beliau perlu diberikan
suatu definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban
umum ini.
Penolakan

pengakuan

dan

pelaksanaan suatu

putusan

arbitrase

internasional di suatu negara mengakibatkan putusan arbitrase tersebut tidak
dapat dilaksanakan di wilayah negara yang menolak putusan tersebut, tetapi
masih dapat mengajukannya kembali ke negara tempat di mana aset yang dari
pihak yang kalah berada. 115
Sedangkan, upaya hukum pembatalan putusan arbitrase mengakibatkan
dinafikannya putusan arbitrase tersebut, dan para pihak harus mengulang
proses arbitrase. 116 Pasal 5 ayat 1 huruf e Konvensi New York 1958 mengatur
bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di
negara putusan dijatuhkan atau berdasarkan hukum yang digunakan dalam
putusan tersebut.
Sejalan dengan Konvensi New York 1958, ICSID juga mengatur tentang
pembatalan putusan arbitrase internasional. Pasal 52 paragraf 1 ICSID
menyebutkan bahwa salah satu pihak dapat meminta pembatalan putusan
115
116

Ibid, hal. 143
Ibid, hal. 142

Universitas Sumatera Utara

arbitrase tersebut dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan secara
tertulis kepada sekretaris jenderal ICSID. Adapun alasan-alasan pembatalan
menurut ICSID adalah sebagai berikut : 117

1. “ that The Tribunal was not properly constituted” (pembentukan Tribunal
tidak tepat)

2. “ that The Tribunal has manifestly exceeded its power” (Tribunal
melampaui batas kewenangannya.)

3. “ that there was corruption on the part of a member of the
Tribunal.” (Adanya kecurangan dari anggota Tribunal)
4. “ that has been a serious departure from a fundamental rule of procedure;

or that the award has failed to state the reasons on which it is
based” (Adanya suatu penyimpangan yang serius dari aturan acara ; atau
putusan

gagal

mencantumkan

alasan

yang

menjadi

putusan)

117

Pasal 52 paragraf 1 Convention on the Settlement of Investment Disputes Between
States States and Nationals of Other States

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
ANALISIS PUTUSAN ANTARA HARVEY NICHOLS AND COMPANY
LIMITED DENGAN PT. HAMPARAN NUSANTARA DAN PT. MITRA
ADIPERKASA, Tbk
A. Penjelasan Sengketa
Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2011 adalah putusan
mengenai perkara Perdata Khusus (Arbitrase) dalam tingkat kasasi, yang
melibatkan 3 pihak :
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat adalah Harvey Nichols and Company
Limited, suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Inggris
(registrasi No. 1774537), berkedudukan di 109/125 Knightsbridge, London
SWIX 7RJ, Inggris, dalam hal ini memberi kuasa kepada : Iswahjudi A. Karim,
S.H., L.L.M. dan kawan-kawan, para Advokat, berkantor di Plaza Mutiara
Lantai 7, Jalan Lingkar Mega Kuningan Kav. 1 & 2, Jakarta 12950,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 April 2011.
Termohon Kasasi dahulu Penggugat adalah PT. Hamparan Nusantara dan PT.
Mitra Adiperkasa, Tbk. Keduanya berkedudukan di Wisma 46-Kota BNI
Lantai 8, Jalan Jendral Sudirman Kav. 1, Jakarta Pusat 10220, dalam hal ini
memberi kuasa kepada : Joni Aries Bangun, S.H., M.M., M.H. dan kawankawan, para Advokat, berkantor di Bapindo Plaza-Citibank Tower Lantai 24,
Jl. Jendral Sudirman Kav. 54-55, Jakarta 12190, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 21 Februari 2012.

Universitas Sumatera Utara

Harvey Nichols and Company Limited membuat sebuah Perjanjian
Lisensi Eksklusif dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa,
Tbk pada tanggal 23 Februari 2007. Pasal 15 dari Perjanjian Lisensi Eksklusif
tersebut mengatur tentang perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat para
pihak. Selain mengatur mengenai klausul arbitrase, perjanjian tersebut juga
mengatur tentang pembayaran royalty dan pembagian keuntungan bagi pemilik
merk.
PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa kemudian melanggar
perjanjian tersebut dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Lalai untuk menerbitkan surat jaminan kedua dalam mata uang Sterling
yang senilai dengan US $3 juta sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 4.2(j)
Perjanjian.
2. Lalai untuk membayar Pemohon royalti minimum berdasarkan pasal-pasal
7.2 dan 8.1 perjanjian.
3. Lalai untuk memperbaharui surat jaminan kedua setelah penarikan
pemohon berdasarkan Pasal 7.4 Perjanjian.
Adanya pelanggaran yang dilakukan PT. Hamparan Nusantara dan PT.
Mitra Adiperkasa, menyebabkan Harvey Nichols and Company Limited
melaporkan pelanggaran tersebut pada Lembaga Arbitrase Chartered Institute

of Arbitrators di London, yang kemudian memilih Tuan Stephen Males sebagai
arbiter tunggal dari sengketa ini. Namun, setelah 3 kali dipanggil, Termohon
Kasasi tidak juga datang, sehingga pemeriksaan perkara dilakukan tanpa
adanya pihak Termohon Kasasi. Saat proses pemeriksaan perkara melalui

Universitas Sumatera Utara

arbitrase berlangsung, pada tanggal 26 Mei 2010, PT. Hamparan Nusantara dan
PT. Mitra Adiperkasa menggugat Harvey Nichols and Company Limited ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk pembatalan perjanjian.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian mengabulkan gugatan
PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa dan menyatakan
Perjanjian Lisensi Eksklusif tersebut bertentangan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia dan batal demi hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
menyatakan Perjanjian Lisensi Eksklusif tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia (vide Pasal
1320 butir 4 jo. Pasal 1337 jo. Pasal 1339 KUHPerdata jo. PP No. 16 tahun
1997 tentang Waralaba jo. Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan dan
Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba jo. PP No. 42
tahun 2007 tentang Waralaba jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/MDAG/PER/8/2008 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Perjanjian
Lisensi Eksklusif tersebut dinyatakan melanggar PP No. 16 tahun 1997
tentang

Waralaba

jo.

Peraturan

Menteri

Perdagangan

No.

12/M-

DAG/PER/3/2006 tahun 2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, karena :
1. Tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia
2. Tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku
3. Tidak ada pemberian keterangan tertulis atau prospectus dari Pemberi
Waralaba kepada Penerima Waralaba sebelum dibuatnya perjanjian

Universitas Sumatera Utara

4. Pemberi Waralaba tidak memiliki surat keterangan legalitas usaha yang
dikeluarkan oleh instansi berwenang di negara asalnya
5. Tidak adanya pendaftaran perjanjian waralaba dan keterangan tertulis atau
prospectus

kepada

Direktur

Jendral

Perdagangan

Dalam

Negeri

Departemen Perdagangan.
Sementara itu, pemeriksaan arbitrase yang dilaksanakan di London telah
menghasilkan sebuah putusan arbitrase yang kemudian diubah oleh arbiter,
yaitu :
VI-Putusan Yang Diubah
13. Untuk alasan-alasan yang dikemukakan di atas, paragraf 71 putusan saya
diubah untuk dibaca sebagai berikut (perubahan hanya pada sub-paragraf (f)
dan (g)):

a. Saya memutuskan bahwa Perjanjian lisensi ekslusif antara para pihak
tertanggal 23 Januari 2007 ("Perjanjian") adalah sebuah perjanjian yang
sah yang mengikat para pihak;
b. Saya menegaskan bahwa penetapan-penetapan yang dibuat dalam putusan
atas yurisdiksi tertanggal 14 Juni 2010, yaitu bahwa:
1) Pasal 15 dari Perjanjian lisensi ekslusif tertanggal 23 Januari 2007
antara Pemohon dan para Termohon merupakan perjanjian arbitrase
yang sah dan mengikat para pihak;
2) Penunjukan saya sebagai Wasit tunggal oleh Presiden dari Chartered
Institute of Arbitrators pada 12 Mei 2010 adalah sah dan efektif
sehingga Majelis Arbitrase dibentuk secara patut;
3) Saya memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan tuntutan Pemohon
merujuk pada arbitrase sesuai dengan pemberitahuan Arbitrase
tertanggal 25 Maret 2010 dan permohonan untuk penunjukan seorang
Wasit tertanggal 4 Mei 2010;
c. Saya menetapkan bahwa Termohon kesatu telah melanggar perjanjian
dengan cara-cara sebagai berikut:
1) lalai untuk menerbitkan surat jaminan kedua dalam Sterling setara
dengan US $3 juta sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 4.2(j)
Perjanjian;
2) lalai untuk membayar Pemohon royalti minimum berdasarkan Pasalpasal 7.2 dan 8.1 Perjanjian;
3) lalai untuk memperbaharui surat jaminan kedua setelah penarikan

Universitas Sumatera Utara

d.

e.
f.

g.

h.

i.

j.

k.

Pemohon berdasarkan Pasal 7.4 Perjanjian; dan
4) menerbitkan proses-proses tertanggal 26 Mei 2010 terhadap Pemohon
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ("proses-proses di Jakarta");
Saya menetapkan bahwa Termohon kedua telah melanggar perjanjian
dengan cara-cara sebagai berikut:
1) lalai untuk melaksanakan kewajibannya untuk memastikan pemenuhan
oleh Termohon pertama atas semua kewajiban keuangan dari
Termohon pertama berdasarkan perjanjian, yaitu pembayaran dari
waktu ke waktu atas royalti-royalti minimum dan pembaharuan atau
penerbitan ulang surat jaminan kedua oleh Termohon pertama; dan
2) menerbitkan proses-proses di Jakarta;
Saya menetapkan bahwa tindakan kedua Termohon yang diuraikan dalam
(c) dan (d) di atas menimbulkan pelanggaran material dari perjanjian oleh
masing-masing mereka;
Saya menetapkan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka
secara bersama-sama dan sendiri-sendiri membayar kepada Pemohon
sejumlah £971,524.26 bersama dengan bunganya sebesar 4% setiap
tahunnya di atas Libor, berlipat setiap tiga bulannya, dari 1 Jui 2010
hingga pembayaran;
Saya menetapkan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka
secara bersama-sama dan sendiri-sendiri membayar kepada Pemohon lebih
lanjut sejumlah US$ 35,000 sebagai kerugian yang ada hingga dan
termasuk 31 Agustus 2010 untuk pelanggaran para Termohon dalam
menerbitkan proses-proses di Jakarta, bersama dengan bunganya sebesar
4% setiap tahunnya di atas Libor, berlipat setiap tiga bulannya, dari 1
September 2010 hingga pembayaran;
Saya menetapkan bahwa Pemohon berhak untuk ganti rugi sehubungan
dengan tiap kerugian yang diderita setelah 31 Agustus 2010 sebagai akibat
dari pelanggaran para Termohon atas perjanjian dalam menerbitkan
proses-proses di Jakarta dan saya mencadangkan wewenang untuk
menetapkan kerugian-kerugian tersebut selanjutnya;
Saya memutuskan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka
untuk dengan segera membuat Barclays Bank Plc atau Bank Internasional
besar lainnya dengan keduduka n yang sama yang diterima oleh Pemohon
untuk menerbitkan surat jaminan kedua yang isinya dalam bentuk yang
dikemukakan dalam Bagian 2, Lampiran 2 Perjanjian untuk Pemohon
sejumlah US$ 3 juta;
Saya memutuskan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka
secara bersama-sama dan sendiri-sendiri untuk membayar kepada
Pemohon sejumlah £45,000 sehubungan dengan biaya-biaya arbitrase
Pemohon;
Saya memutuskan bahwa para Termohon harus membayar biaya-biaya
jasa saya, yang saya tetapkan sejumlah £12,175 ditambah PPN apabila
berlaku (termasuk biaya-biaya putusan atas yurisdiksi), bersama-sama
dengan pengeluaran-pengeluaran sebesar £340.75; Dan bahwa apabila
Pemohon harus membayar biaya-biaya jasa dan pengeluaran-pengeluaran

Universitas Sumatera Utara

tersebut sebelumnya, diberikan hak untuk penggantian segera oleh para
Termohon";
Perubahan putusan arbitrase IDSR 129100009 terdapat dalam sub paragraf (f)
dan (g). Sub paragraf (f) sebelumnya meminta pembayaran dari Termohon sebanyak
US$ 35,000 dan pada sub paragraf (g) sebelumnya arbiter mencadangkan
wewenangnya untuk menetapkan kerugian yang diderita Pemohon untuk dibayar oleh
para Termohon.

Kemudian, Pihak Harvey Nichols and Company Limited melakukan
pendaftaran putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Neger Jakarta Pusat, dan PT.
Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa mengajukan gugatan pembatalan
putusan arbitrase internasional tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
sebab melanggar dan bertentangan dengan ketentuan hukum Indonesia. Namun,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mengabulkan permohonan PT. Hamparan
Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan
Putusan Sela yang amarnya sebagai berikut :

1. Menolak eksepsi kompetensi absolut Tergugat
2. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan
mengadili perkara ini
3. Memerintahkan kepada pihak

yang

bererkara untuk melanjutkan

pemeriksaan perkara hingga putusan akhir
4. Menangguhkan putusan biaya perkara hingga putusan akhir.
Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan akhir yang
amarnya sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima
2. Menghukum Penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp. 266.000,(dua ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Kemudian Harvey Nichols and Company Limited mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung dengan alasan adanya ketidakjelasan Judex Facti.

B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan
Pada tanggal 27 Desember 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan
dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :
1. Bahwa Pengadilan yang berwenang membatalkan putusan arbitrase IDSR
129100009 a quo adalah di Negara mana putusan arbitrase tersebut dibuat
yaitu Pengadilan di London, Inggris.
2. Bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional tidak diatur dalam
perjanjian internasional, oleh sebab itu pengadilan nasional suatu negara
tidak mungkin dapat membatalkan putusan arbitrase internasional.
3. Bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional diatur dalam Konvensi
New York 1958 dan sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing negara
peserta konvensi untuk menentukan sendiri kriteria dan dasar y