Analisis Hukum Kekuatan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia dalam Putusan MA No. 631 K Pdt.Sus 2012

BAB II
PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A. Batasan-Batasan Putusan Ar bitr ase Inter nasional
Untuk dapat mengetahui kekuatan hukum putusan arbitrase internasional,
terlebih dahulu perlu diketahui batasan-batasan sebuah putusan arbitrase dapat
dikatakan sebagai putusan arbitrase internasional. UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa membedakan antara putusan arbitrase nasional dan putusan
arbitrase internasional. Putusan arbitrase internasional menurut UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau
putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan
hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. 53
Ada dua kategori dalam pasal 1 ayat 9 UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yaitu :
1. “putusan yang dijatukan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di
luar wilayah hukum Indonesia.”
Adapun yang dimaksud dengan putusan arbitrase internasional ialah putusanputusan arbitrase yang dibuat oleh lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di

53


Pasal 1 ayat 9 Undang-undang Nomor. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa

Universitas Sumatera Utara

wilayah negara lain dari negara tempat diminta pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi atas putusan arbitrase yang bersangkutan. 54
2. “putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan
hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase
internasional.”
Suatu putusan arbitrase, meskipun dijatuhkan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila putusan arbitrase tersebut menggunakan hukum asing
sebagai dasar penyelesaian sengketanya, putusan arbitrase tersebut dikatakan
sebagai putusan arbitrase internasional. 55
Sementara dalam PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing, ada perbedaan terminologi yang digunakan. PERMA No. 1
Tahun 1990 menggunakan frase “putusan arbitrase asing” yang mempunyai
pengertian :
“yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang

dijatuhkan oleh suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan di
luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan
arbitrase atau arbiter Perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing,
yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34 tahun
1981 Lembaran Negara Tahun 1981 No. 40 tanggal 5 Agustus
1981.” 56

Melalui pengertian diatas dapat dilihat meskipun menggunakan istilah yang
berbeda, namun pengertian putusan arbitrase internasional yang terdapat di UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah pengulangan dari PERMA
54

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 375

55

Ibid, hal. 377

56


Pasal 2 PERMA Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Asing

Universitas Sumatera Utara

No. 1 tahun 1990. Apabila ditafsirkan dengan penafsiran argumentum a contrario,
dapat dirumuskan bahwa putusan arbitrase nasional adalah putusan yang dijatuhkan
di wilayah Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia, sepanjang
putusan dibuat berdasarkan dan dilakukan di Indonesia. 57
Dalam Konvensi New York 1958 pasal 1 ayat 1 tercantum
“This Convention shall apply to the recognition and enforcement of arbitral awards

made in the territory of a State other than the State where the recognition and
enforcement of such awards are sought, and arising out of differences between
persons, whether physical or legal. It shall also apply to arbitral awards not
considered as domestic awards in the State where their recognition and enforcement
are sought.”


(Konvensi ini berlaku pada pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang
dibuat di wilayah suatu negara yang berbeda dari negara di mana pengakuan dan
pelaksanaan putusan tersebut diminta, dan sengketa timbul antar perorangan, baik
secara fisik maupun secara hukum. Konvensi ini juga berlaku pada putusan arbitrase
yang tidak dianggap sebagai putusan nasional di mana pengakuan dan
pelaksanaannya diminta.)
Berdasarkan konvensi ini, syarat utama sebuah putusan arbitrase dikatakan
sebagai putusan arbitrase internasional adalah putusan arbitrase dibuat di luar
negara-negara yang diminta pengakuan dan eksekusinya. Syarat lain yakni dimana
perselisihan yang timbul, antara perorangan atau badan hukum. Faktor perbedaan
kewarganegaraan tidaklah mutlak. Persengketaan bisa terjadi antara perorangan atau

57

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal.376

Universitas Sumatera Utara

badan hukum dengan kewarganegaraan yang sama tetapi diselesaikan oleh badan
arbitrase luar negeri. 58

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu putusan
arbitrase akan dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing jika
putusan arbitrase tersebut diputuskan di luar wilayah territorial hukum Republik
Indonesia. Sepanjang putusan arbitrase tersebut diputuskan diluar wilayah Republik
Indonesia, maka dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing.
Wilayah hukum suatu negara itu termasuk kawasan tertentu yang menurut hukum
internasional dianggap sebagai bagian dari wilayah hukum negara yang
bersangkutan. Jadi, untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan
putusan arbitrase internasional, didasarkan pada prinsip kewilayahan dan hukum
yang digunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut. 59
Pemakaian hukum yang digunakan juga termasuk ke dalam dasar
pembedaan apakah putusan arbitrase tersebut merupakan putusan arbitrase nasional
atau putusan arbitrase internasional. Kalau menggunakan hukum asing sebagai dasar
penyelesaian sengketanya, walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum
Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase
internasional. Sebaliknya, walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan
kewarganegaraan Indonesia, tetapi menggunakan hukum Indonesia sebagai dasar
penyelesaian sengketa arbitrasenya, maka putusan arbitrase tersebut merupakan
putusan arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase internasional. 60


58

Ibid, hal. 376
Ibid. hal. 377
60
Ibid.
59

Universitas Sumatera Utara

B. Asas-asas yang melandasi ber lakunya Putusan Ar bitr ase Inter nasional
Asas-asas atau “ beginselen” merupakan dasar-dasar material ataupun sendisendi maupun arah bagi pembentukan kaidah hukum secara dinamis. Asas-asas
hukum tersebut membentuk isi kaidah hukum yang dibentuk atau dirumuskan oleh
pihak-pihak yang berwenang melakukan kegiatan tersebut. Tanpa asas-asas hukum,
kaidah-kaidah hukum akan kehilangan kekuatan mengikatnya. 61
Begitu pula dengan putusan arbitrase internaisonal, asas-asas yang melandasi
berlakunya sebuah putusan arbitrase dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional,
antara lain :
1. Final and Binding
Dalam Konvensi New York 1958 dikatakan bahwa

“each contracting state shall recognize arbitral awards as binding

and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory
where the awards is relied upon, under the conditions laid down in the
following articles. There shall not be imposed substantially more onerous
conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of
arbitral awards to which this Convention applies than are imposed on the
recognition or enforcement of domestic arbitral awards.” 62

(Setiap negara penandatangan wajib mengakui putusan arbitrase sebagai
putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan aturan
procedural di wilayah di mana putusan itu akan diandalkan, sesuai dengan
kondisi yang dijelaskan dalam pasal-pasal berikut ini. Tidak boleh ada
pemberlakuan kondisi yang lebih berat atau pengenaan biaya yang lebih
tinggi sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
61

Soerjono Soekanto, Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 64
62

Article 3 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards

Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan Konvensi ini, dibandingkan dengan kondisi yang diberlakukan
untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase domestik.)
Menurut Yahya Harahap, pasal ini mengatur asas yang menyatakan
setiap putusan arbitrase :63
a. Mengikat (binding) para pihak sebagai putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b. Final, dalam arti merupakan putusan tingkat akhir dan tidak ada upaya
banding atau kasasi terhadapnya
c. negara yang diminta untuk melaksanakan, harus menjalankan eksekusi
putusan.
Berdasarkan pasal ini berarti setiap negara anggota Konvensi harus
mengakui putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang mengikat dan
mempunya ekseskusi terhadap para pihak. 64
Dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990
dengan tegas mengakui bahwa setiap putusan arbitrase yang diajukan
permintaan pengakuan dan eksekusinya di Indonesia dianggap sebagai

putusan arbitrase yang berkekuatan hukum tetap. 65 Dengan demikian,
pengadilan Indonesia secara resmi telah mengakui dengan tegas sifat final
dan binding yang melekat pada putusan arbitrase internasional tersebut.
Dengan adanya penegasan pengakuan bahwa putusan arbitrase asing yang
diajukan permintaan eksekutornya kepada pengadilan sama halnya dengan
putusan yang berkekuatan hukum tetap, jadi tidak ada alasan lagi untuk

63

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 27
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hal. 130
65
Ibid. hal. 131
64

Universitas Sumatera Utara

menolak atau menyatakan pemberian eksekutornya tidak dapat diterima,
kecuali putusan tersebut melanggar asas-asas yang ditentukan. 66
Dengan penegasan ini maka pengadilan tidak berwenang untuk

mempermasalahkan materi putusaan. Tugas pokok pengadilan dalam
melaksanakan fungsi eksekutor hanya meneliti apakah putusan arbitrase
internasional tersebut melanggar asas-asas atau aturan formal yang bersifat
serius dan fundamental. 67
Hal yang dimaksud dengan “melanggar asas atau aturan formal yang
bersifat serius dan fundamental” adalah putusan arbitrase tersebut tidak
boleh bertentangan dengan ketertiban umum, suatu hal dikatakan melanggar
ketertiban umum apabila di dalamnya terkandung sesuatu hal atau keadaan
yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan
kepentingan nasional suatu bangsa. Jika dihubungkan dengan putusan
arbitrase internasional, maka putusan yang dikatakan melanggar asas atau
aturan formal yang bersifat serius dan fundamental adalah putusan yang
bertentangan dengan pasal-pasal undang-undang dan peraturan suatu
negara. 68
Sementara itu, UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
tidak mencantumkan secara eksplisit mengenai kekuatan final and binding
putusan arbitrase internasional. Namun, menurut Susanti Adi Nugroho,
kekuatan final and binding suatu putusan arbitrase internasional tergambar

66


Susilawetty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau dalam Perspektif
Perundang-undangan, (Jakarta : Gramata Publishing, 2013), hal. 46
67
Ibid, hal. 47
68
Arfiana Novera, Meria Utama, Dasar-dasar Hukum Kontrak dan Arbitrase, (Malang :
Tunggal Mandiri, 2014), hal. 118-119

Universitas Sumatera Utara

dalam Pasal 68 ayat 1 UU Arbitrase Internasional, yaitu : “Terhadap putusan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase
Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.” Dinyatakan dalam
pasal ini, putusa arbitrase internasional yang diakui dan dilaksanakan di
Indonesia tidak dapat diajukan banding atau kasasi, ini sesuai dengan prinsip

final and binding yang dimiliki oleh sebuah putusan arbitrase internasional. 69
2. Resiprositas
Asas resiprositas berkaitan dengan adanya hubungan timbal balik
antara negara yang menjatuhkan putusan dengan negara Indonesia tentang
pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase internasional. Apakah
sekiranya suatu putusan arbitrase dijatuhkan di Indonesia, kemudian diminta
pengakuan dan ekseskusi di negara lain maka negara tersebut juga akan
menghormati, mengakui serta melaksanakan eksekusi. 70
Asas ini tercermin dari Pasal 66 huruf a UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan : “Putusan Arbitrase
Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara
yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.”
Asas resiprositas ini merupakan pencerminan prinsip kedaulatan
hukum maupun negara dan bangsa Indonesia dan penghormatan prinsip
saling menghormati diantara sesama bangsa dan negara di dunia ini. Asas ini
69
70

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 426

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

juga merupakan merupakan pencerminan nilai-nilai hukum internasional
yang berlaku secara universal dan diakui keberadaannya oleh seluruh
negara-negara di dunia dan berlaku dalam semua bidang kehidupan antar
bangsa. 71
Dalam Konvensi New Yok 1958 juga dikatakan bahwa “any state

may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to
recognition and enforcement of awards made only in territory of another
Contracting State.”

72

(setiap Negara berdasarkan asas resiprositas,

menyatakan bahwa Negara tersebut akan melaksanakan pengakuan dan
pelaksanaan putusan yang dibuat di negara peserta yang lainnya.)
Selanjutnya dalam Lampiran Keppres No. 34 tahun 1981 tanggal 5
Agustus 1981 dikeluarkan deklarasi yang merujuk kepada ketentuan Pasal 1
ayat 3 Konvensi New York 1958 “the Government of the Republic of

Indonesia declares that its will apply the Convention on the basis of
reciprocity.” (Pemerintah

Republik

Indonesia

menyatakan

akan

melaksanakan Konvensi tersebut berdasarkan asas resiprositas.)
Asas ini harus diperhatikan pengadilan pada saat hendak
memberikan permintaan eksekutor. Dalam Pasal 3 PERMA No. 1 tahun
1990 juga menyatakan bahwa putusan arbitrase yang diakui dan yang dapat
dilaksanakan eksekusinya di wilayah hukum Republik Indonesia, hanyalah
putusan yang memenuhi asas resiprositas.
3. Putusan Arbitrase Internasional Hanya untuk Sengketa Hukum Perdagangan
71
72

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hal. 132
Pasal 1 ayat 3 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Awards

Universitas Sumatera Utara

Pembatasan pengakuan Indonesia terhadap putusan arbitrase
internasional hanya meliputi sepanjang yang berkaitan dengan hukum
dagang. Untuk menentukan apakah suatu kasus tersebut termasuk dalam
lingkup hukum dagang atau tidak akan berpatokan kepada ketentuan sistem
tata nilai hukum di Indonesia, bukan berpatokan pada sistem tata nilai
hukum negara tempat di mana putusan dijatuhkan. 73
Asas ini menegaskan bahwa putusan arbitrase internasional yang
dapat diakui dan dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia hanya putusan yang
menyangkut persengketaan yang timbul dalam bidang hukum dagang
menurut hukum Indonesia. 74
Asas ini tercermin dalam Pasal 66 huruf b UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan “Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan
yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan.”
Ketentuan ini merupakan penegasan dari pasal 1 ayat 3 Konvensi
New York 1958 yang menyatakan “It may also declare that it will apply the

Convention only to differences arising out of legal relationships whether
contractual or not, which are considered as commercial under the national
law of the State making such declaration.” ( Ia juga dapat menyatakan bahwa
ia akan menerapkan Konvensi hanya untuk sengketa-sengketa yang timbul
dari hubungan-hubungan hukum, apakah yang lahir dari kontrak atau bukan,
yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum nasional dari Negara

73
74

Susilawetty,Op.cit, hal. 48
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Op.cit, hal. 133

Universitas Sumatera Utara

yang membuat deklarasi semacam itu. ) Dalam note Konvensi New York
1958, ditegaskan bahwa pada umumnya para negara peserta Konvensi New
York 1958 membatasi hanya menaklukkan diri terhadap pengakuan dan
pelaksanaan

putusan

arbitrase

internasional,

sepanjang

mengenai

persengketaan perjanjian “bisnis” dan “perdagangan”. 75
Untuk mengetahui apakah suatu kasus termasuk dalam ruang
lingkup hukum dagang atau tidak, patokan yang dipakai adalah sistem tata
nilai hukum Indonesia, bukan pada sistem tata nilai hukum negara tempat di
mana putusan dijatuhkan. Penjelasan pada Pasal 66 huruf b UU Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan batasan mengenai yang
dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatankegiatan antara lain bidang :
a. Perniagaan
b. Perbankan
c. Keuangan
d. Penanaman modal
e. Industri
f.

Hak kekayaan intelektual

4. Ketertiban Umum
Pengakuan atau eksekusi putusan arbitrase internasional tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum dari negara di tempat di mana diminta
eksekusinya. Jadi apabila putusan arbitrase internasional bertentangan
dengan ketertiban umum di Indonesia maka permintaan eksekutornya harus

75

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal. 24

Universitas Sumatera Utara

ditolak. 76
Sesuatu melanggar ketertiban umum menurut Sudargo Gautama
diartikan sebagai sesuatu yang dianggap bertentangan dengan ketertiban
umum suatu negara, apabila di dalamnya terkandung suatu hal atau keadaan
yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan
kepentingan nasional suatu bangsa. 77
Beberapa alasan yang fapat dijadikan dasar untuk mengatakan
bahwa suatu putusan arbitrase internasional bertentangan dengan ketertiban
umum, antara lain : 78
a. Suatu putusan arbitrase dapat dikatakan bertentangan dengan ketertiban
umum, jika dalam proses pemeriksaannya salah satu pihak tidak
diberikan kesempatan untuk didengar dengan cukup sebelum keputusan
diambil.
b. Arbiter atau majelis arbiter dalam memberikan putusannya ternyata
bersifat berat sebelah atau impartiality.
c. Arbiter atau majelis arbiter dalam memberikan putusannya tidak disertai
dengan alasan-alasan ataupun dasar-dasar hukum yang menjadi
pertimbangannya.
d. Apabila dalam prosedur pengambilan putusan arbitrase tidak sesuai
dengan hukum acara yang disepakati para pihak atau putusan diambil
dengan melanggar hukum acara arbitrase yang telah disepakati para
pihak.

76

Susilawetty, loc.cit
Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 151
78
Ibid, hal. 152
77

Universitas Sumatera Utara

Asas ini terdapat dalam pasal 66 huruf c UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa yang menyatakan “Putusan arbitrase internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.”
Asas ini juga terdapat dalam pasal 3 ayat 3 PERMA No. 1 tahun 1990 yang
menyatakan hal yang sama. Dalam Konvensi New York 1958 tentang
penolakan pemberian eksekusi juga dituliskan “ the recognition of

enforcement of the award would be contrary to the public policy of that
country.” 79 (pengakuan atau pelaksanaan putusan arbitrase akan menjadi
bertentangan dengan kebijakan publik di negara itu.)

C. Kekuatan Hukum Putusan Ar bitr ase Inter nasional di Indonesia dalam
Per spektif Hukum Inter nasional dan Hukum Nasional
1. Hukum Internasional
Pasal 3 Konvensi New York 1958 menuliskan
“Each contracting state shall recognize arbitral awards as binding and
enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where
the award is relied upon, under the conditions laid down in the following
articles. There shall nor be imposed substantially more onerous conditions or
higher feel or charges on the recognition or enforcement of arbitral to which
this convention applies than are imposed on the recognition or enforcement
of domestic arbitral awards.”

79

Pasal 5 ayat 2 huruf b Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral

Awards

Universitas Sumatera Utara

(Setiap negara penandatangan konvensi wajib mengakui putusan arbitrase
sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan aturan
prosedural di wilayah di mana putusan itu akan dilaksanakan, sesuai dengan
kondisi yang dijelaskan dalam pasal-pasal berikut ini. Tidak boleh ada
pemberlakuan kondisi yang lebih berat atau pengenaan biaya yang lebih
tinggi sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
sesuai dengan Konvensi ini, dibandingkan dengan kondisi yang diberlakukan
untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase domestik.)
Pasal 3 Konvensi New York mewajibkan negara peserta untuk
mengakui putusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan
hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum nasional di mana
keputusan tersebut akan dilaksanakan. Namun, pengakuan dan kewajiban
hukum tersebut tidak lepas dari asas resiprositas atau asas timbal balik antar
negara yang bersangkutan dengan negara peserta konvensi. Kesediaan negara
untuk mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase internasional harus
berlaku timbal balik dengan pengakuan dan kerelaan negara lain tersebut,
mengeksekusi putusan arbitrase internasional. Pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional tersebut harus dilandaskan pada hubungan
bilateral atau multilateral yang dimiliki negara-negara yang bersangkutan
dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 80
UNCITRAL juga menyatakan kekuatan mengikat putusan arbitrase
internasional dalam pasal 17 H “An interim measure issued by an arbitral

tribunal shall be recognized as binding, and unless otherwise provided by the
arbitral tribunal, enforced upon application to the competent court,
80

Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 382

Universitas Sumatera Utara

irresepective of the country in which it was issued, subject to the provisions
of article 17 I.” (putusan sementara yang diterbitkan oleh pengadilan
arbitrase harus diakui sebagai mengikat, kecuali ditentukan lain oleh
pengadilan arbitrase, diberlakukan sesuai pengadilan yang berwenang,
terlepas dari mana putusan tersebut diterbitkan, sesuai ketentuan pasal 17 I).
Kekuatan mengikat putusan arbitrase internasional juga tertulis dalam
ICSID Article 53 ayat 1“ The award shall be binding on the parties and shall

not be subject to any appeal or to any other remedy except those provided for
in this convention each party shall abide by and comply with the terms of the
award except to the extend that enforcement shall have been state pursuant to
the relevant provisions of this convention. ( (Putusan tersebut mengikat
pihak-pihak dan tidak tunduk pada upaya hukum banding dan perbaikan lain
kecuali yang disediakan oleh konvensi ini. Para pihak harus patuh dan
mengikuti peraturan yang terdapat dalam putusan kecuali sejauh bahwa
penegakan harus sudah tinggal sesuai dengan ketentuan yang relevan dari
konvensi ini.) Article 53 ayat 1 ICSID ini sejalan dengan kekuatan mengikat
yang terdapat dalam Konvensi New York 1958 dan UNCITRAL
2. Hukum Nasional
Putusan Arbitrase Internasional diatur dalam UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dan PERMA No. 1 tahun 1990. Sebuah
putusan arbitrase internasional, dapat memiliki kekuatan hukum di Indonesia
apabila memenuhi syarat-syarat dalam UU Arbitrase dan Alternatif

Universitas Sumatera Utara

Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut: 81
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada
perjanjian,

baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a
yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak
dalam sengketa,

hanya

dapat dilaksanakan setelah

memperoleh

eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya
dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara, dalam PERMA No. 1 tahun 1990, putusan arbitrase
internasional yang dapat memiliki kekuatan hukum di Indonesia harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 82
a. Putusan ini dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun perorangan di
suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama-sama
dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional
81

pasal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
82
pasal 3 PERMA Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing

Universitas Sumatera Utara

perihal pengakuan serta Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pelaksanaan
didasarkan atas azas timbal balik (resiprositas).
b. Putusan-putusan Arbitrase tersebut dalam ayat (1) di atas hanyalah
terbatas pada putusan- putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia
termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
c. Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam ayat (1) di atas hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Syarat-syarat yang tercantum dalam UU Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa sama dengan syarat-syarat dalam Perma No. 1 tahun
1990. Setiap putusan arbitrase internasional yang dapat diakui di Indonesia,
harus berasal dari negara yang memiliki hubungan bilateral atau multilateral
dengan Indonesia dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional, sengketa yang diselesaikan dalam putusan tersebut juga harus
merupakan sengketa yang dalam hukum Indonesia dianggap sebagai sengketa
dalam hukum perdagangan, tidak melanggar ketertiban umum dan dapat
dilaksanakan apabila telah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia.

Menurut Huala Adolf, meskipun kekuatan hukum putusan
arbitrase internasional di Indonesia telah di atur dalam undang-undang,
pemerintah tetap harus berupaya agar putusan arbitrase yang di buat di
luar negeri harus dihormati dan dilaksanakan. Penghargaan dan
komitmen terhadap putusan arbitrase internasional di Indonesia masih

Universitas Sumatera Utara

minim sekali, sehingga dibutuhkan banyak peranan pengadilan sebagai
alat pengontrol agar putusan arbitrase internasional benar-benar dapat
dilaksanakan di dalam negeri. 83

Tabel No. 1 Kekuatan Hukum Putusan Arbitrase Internasional
No.

Putusan Arbitrase

Hukum Internsional

Hukum Nasional

Internasional
1.

Final and binding

• Pasal 3 Konvensi New • Pasal 2 PERMA No.
York 1958

1 tahun 1990

• Pasal 17 H UNCITRAL
• Pasal 53 ayat 1 ICSID
2.

• Pasal 1 ayat 3 Konvensi • Pasal 66 huruf a UU

Resiprositas

New York 1958

Arbitrase dan
Alternatif
Penyelesaian Sengketa
• Lampiran Keppres
No. 34 tahun 1981
• Pasal 3 PERMA No.
1 tahun 1990

3.

Putusan
Internasional

Arbitrase • Pasal
Hanya

untuk Sengketa Hukum

1

Konvensi

ayat
New

3 • Pasal 66 huruf b UU
York

1958

Ketertiban Umum

Penyelesaian Sengketa
• Pasal
Konvensi

83

dan

Alternatif

Perdagangan
4.

Arbitrase

5

ayat
New

2 • Pasal 66 huruf c UU
York

Arbitrase

dan

Huala Adolf, Op.cit, hal. 122

Universitas Sumatera Utara

1958

Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
• Pasal

3

ayat

3

PERMA No. 1 tahun
1990
Sumber diolah dari norma hukum internasional dan nasional mengenai putusan
arbitrase internasional

Universitas Sumatera Utara