Kedudukan Debitur dan Bank Sebagai Kreditur Dalam Halwanprestasi Developer (Studi di PT. Bank X., Cabang Tebing Tinggi) Chapter III V

60

BAB III
TANGGUNG JAWAB DEVELOPER TERHADAP DEBITUR DAN BANK
ATAS PERJANJIAN YANG DIBUATNYA TERKAIT DENGAN
WANPRESTASI DEVELOPER

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1.

Pengertian Umum Tentang Perjanjian
Pembentuk undang-undang memberikan defenisi perjanjian didalam Pasal

1313 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Kata perjanjian secara umum dapat mempunyai arti luas dan sempit. Dalam
arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum
sebagai yang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk
didalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit perjanjian
disini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum
kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Hukum perjanjian

dibicarakan sebagai bagian daripada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan
adalah bagian dari hukum kekayaan, maka hubungan yang timbul antara para pihak
dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Karena
perjanjian menimbulkan hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan maka
dapat disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.145

145

J Satrio [2], Hukum Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya , 1983) hal. 28

60

Universitas Sumatera Utara

61

Istilah perjanjian sering diikuti oleh beberapa istilah lainnya seperti perikatan,
persetujuan dan bahkan kontrak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata146, suatu
perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.147 Dari pengertian ini dapat dilihat salah

satu unsur perjanjian yaitu “mengikatkan diri”. Sejalan dengan pengertian tersebut
dalam Pasal 1233 KUH Perdata148 disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang.
R. Setiawan dalam bukunya lebih condong memakai istilah perikatan sebagai
terjemahan dari verbintenis, karena dari segi terminologi sendiri verbintenis berasal
dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat.149 Perikatan mengandung pengertian
“suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan
dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk
bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap
yang demikian itu”.150 Menurut Pitlo, Perikatan adalah “suatu hubungan hukum yang
bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu
berhak dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi”.151

146
Buku Ketiga tentang Perikatan, Bab Kedua tentang Perikatan-Perikatan yang dilahirkan
dari kontrak atau perjanjian, Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
147
Bandingkan dengan kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua orang atau lebih
orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal
tertentu dalam buku. Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia

Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 42; Kontrak adalah dimana dua orang atau lebih
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis
dalam buku Abdul R Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta:
Prenada Media, 2005) hal. 41
148
Buku Ketiga Tentang Perikatan, Bab Kesatu tentang Perikatan-Perikatan Umumnya,
Bagian Kesatu tentang Ketentuan-Ketentuan Umum
149
R. Setiawan [1], Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 1
150
Ibid, hal. 2
151
Ibid, diterjemahkan dari buku A. Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar het Nederlands
Burgerlijk Wetboek

Universitas Sumatera Utara

62

Menurut Subekti, perikatan memiliki arti yang lebih luas dari kata

“Perjanjian”, sebab dalam Buku III KUH Perdata juga diatur masalah perikatan yang
timbul dari perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan atau perjanjian
(zaakwaarneming).152 Dapat dilihat juga bahwa perikatan yang paling banyak terjadi
dalam kehidupan manusia sehari-hari ialah perikatan yang bersumber dari perjanjian,
bukan yang bersumber dari undang-undang, sedangkan kontrak memiliki arti yang
lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.153
Menurut Subekti, suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena
dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.154 Dengan demikian, hubungan antara
perikatan dan perjanjian/persetujuan adalah jelas bahwa perjanjian menerbitkan
perikatan antara dua orang/pihak yang membuatnya.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.155 Maka
dari peristiwa itulah timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang
dinamakan perikatan.156
Ada juga yang mengartikan lain dari istilah perjanjian tersebut, Yahya
Harapan mengartikan “Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta
benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk

152


Subekti [2], Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2003), hal 122
Subekti [3] , Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1984), hal.1
154
Ibid
155
Ibid
156
Ibid

153

Universitas Sumatera Utara

63

memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menuaikan
prestasi”.157 Dari pengertian tersebut, dapat ditarik unsur-unsur perjanjian antara lain,
hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua
orang atau lebih, yang memberi hak kepada satu pihak dan kewajiban pada pihak

lainnya tentang suatu prestasi.158 Prestasi ini adalah “Objek” atau “voorwerp” dari
verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan
hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian. Pihak yang
berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai “kreditur” atau “schuldeiser”.
Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan sebagai “debitur” atau
“schuldenaar”. 159
Sepintas telah disebutkan bahwa objek dari perjanjian adalah “prestasi”.
Kreditur berhak atas perstasi yang diperjanjikan, dan debitur wajib melaksanakan
prestasi yang dimaksud. Dengan demikian, intisari dari perjanjian adalah prestasi.160
Jika undang-undang telah menetapkan “subjek” perjanjian yaitu pihak kreditur
yang berhak dan pihak debitur yang wajib melaksanakan prestasi, maka “objek”
perjanjian adalah prestasi itu sendiri.161
2.

Syarat Sah dan Terjadinya Perjanjian
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320

KUH Perdata yang berbunyi:162
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:


157

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 6
Ibid
159
Ibid, hal.7
160
Ibid, hal.9
161
Ibid, hal.10
162
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
158

Universitas Sumatera Utara

64

a.


Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c.

Suatu hal tertentu;

d.

Suatu sebab yang halal.
Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang-

orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang
terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh
objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.163
Kata sepakat disini harus diberikan secara bebas oleh kedua pihak,164 sehingga
tercapai persesuaian/persetujuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak,

yaitu:165
a.
b.
c.
d.
e.

Bahasa yang sempurna dan tertulis;
Bahasa yang sempurna secara lisan;
Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
Diam atau membisu, tetapi asal bisa dipahami atau diterima oleh pihak lawan.
“Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya, tidak selalu

menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya, tetapi seringkali
hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan, sedangkan perjanjian yang cacat
dalam segi obyeknya adalah batal demi hukum.”166
163

Subekti [3], op.cit, hal. 17

A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta
Perkembangannya, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 10
165
Salim, H.S[2], Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003) hal. 33
166
Muhammad Abdulkadir, Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992),
hal. 32
164

Universitas Sumatera Utara

65

Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya,
setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut
hukum.167 Didalam Pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian:
a.
b.

c.

Orang-orang yang belum dewasa;
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua
orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu.
Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu, setidaknya dapat ditentukan

bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.
Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, barang yang dipergunakan
untuk kepentingan umum antara lain jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung
umum, dan lain-lain, tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian, barang tersebut juga
harus dapat ditentukan jenisnya.
Akhirnya oleh Pasal 1320 KUH Perdata ditetapkan syarat keempat untuk
suatu perjanjian yang sah adalah suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan
sebab yang halal itu ialah isi dari perjanjian itu sendiri.168 Selain itu, yang tidak halal
maksudnya yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Berdasarkan saat lahirnya atau terjadinya perjanjian, perjanjian dapat
dibedakan menjadi:169
167

Subekti [3], loc.cit
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, [3], Komplikasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001), hal.80
169
Projodikoro Wirjono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan
Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981), hal. 48-51
168

Universitas Sumatera Utara

66

a. Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian, dimana adanya kata sepakat antara
para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
Pada perjanjian konsensuil, kata sepakat diantara para pihak sudah cukup
untuk melahirkan perikatan.
b. Perjanjian Riil
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi, kalau barang yang menjadi
pokok perjanjian telah diserahkan.
Bukan berarti dalam perjanjian riil tak perlu ada kata sepakat/persetujuan,
tetapi yang benar adalah, bahwa sepakat saja belum cukup, untuk
menimbulkan perjanjian riil. Malahan pada perjanjian yang riil, sepakat
mempunyai dua fungsi, pertama ia merupakan unsur daripada perjanjian riil,
kedua ia juga sekaligus menimbulkan perjanjian yang berarti sendiri. Kata
sepakat pada perjanjian riil merupakan perjanjian pendahuluan sebelum
adanya penyerahan barang.
3.

Asas-asas Umum Hukum Perikatan
Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang

dimiliki para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat
bagi para pihak, oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberikan berbagai asas
umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu
dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat hingga akhirnya
menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya atau pemenuhannya.170
Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas. Asas-asas hukum perjanjian
terdapat dalam Buku III KUH Perdata, sebagai berikut:
a.

Asas Kebebasan Berkontrak

170

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja [2], Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal.14

Universitas Sumatera Utara

67

Asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sistem terbuka
adalah asas yang mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian
apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini sering
juga disebut “asas kebebasan berkontrak” (freedom of making contract). Walaupun
berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak
dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.171
Penegasan mengenai adanya asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan kekuatan tentang perjanjian, yaitu
kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang, kekuatan seperti itu diberikan
kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Dari asas “kebebasan berkontrak” itu juga dapat dilihat unsur-unsur yang
terkandung didalamnya meliputi :172
1) Kebebasan untuk mengadakan perjanjian
2) Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian
3) Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun
4) Kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjiannya.
b.

Asas Konsensualisme
171

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Alumni Bandung, 1982), hal .84
Djohari, Santoso, et.al, Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta : Bagian Penerbitan dan
Perpustakaan Fakultas Hukum, 1989), hal.51
172

Universitas Sumatera Utara

68

Yakni perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir dengan adanya kata
sepakat dari pihak yang membuat perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan adanya empat syarat sah
perjanjian, salah satunya adalah kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
c.

Asas Kekuatan mengikat / Asas Pacta Sunt Servanda
Yakni bahwa setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang

membuat dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa
perjanjian hanya belaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.
d.

Asas Itikad Baik
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.
e.

Asas Kepribadian (Personalitas)
Pada prinsipnya asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi para

pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal
1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1315 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang
mengadakan perjanjian hanya untuk dirinya sendiri”.

Universitas Sumatera Utara

69

Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi:
“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan
tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan
kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317.”
4. Hapusnya Perikatan
Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik
yang timbul dari persetujuan maupun dari undang-undang. Dalam Pasal 1381 KUH
Perdata disebutkan pada umumnya perikatan hapus apabila tujuannya tersebut telah
tercapai atau masing-masing pihak telah saling memenuhi prestasi sebagaimana yang
mereka kehendaki. Mengenai hapusnya suatu perikatan dapat disebabkan:173
a. Karena adanya pembayaran (betaling);174
b. Karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan barang (konsignasi);
c. Novasi atau pembaharuan hutang;
d. Kompensasi atau perjumpaan hutang;175
e. Percampuran hutang;
f. Pembebasan hutang;
g. Musnahnya barang yang terhutang;
h. Pembatalan perjanjian;
173

R. Setiawan, [2] Pokok - Pokok Hukum Perikatan , (Jakarta: Putra Abadin, 1999), hal. 107

174

Berakhirnya kontrak karena pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH
Perdata sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata, pengertian pembayaran dapat ditinjau secara sempit
dan secara yuridis teknis. Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada
kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian
pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti
jasa dokter, dokter bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
175
Undang undang mengatur masalah kompensasi pada bagian 4 halaman 4 Buku III, dimulai
dari Pasal 1425-1435. Kompensasi adalah perjumpaan dua hutang yang berupa benda-benda yang
ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh 2orang/pihak secara timbal balik,
dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap yang lain,
sampai jumlah yang terkecil yang ada diantara kedua hutang tersebut. (J. Satrio [4], Cessie,
Subrogatie, Novatie, Kompensatie, dan Percampuran Hutang, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 134)

Universitas Sumatera Utara

70

i. Berlakunya suatu syarat batal (diatur dalam Bab I);
j. Daluarsa atau lewatnya waktu (diatur dalam Buku IV Bab7).
Cara-cara yang tersebut dalam Pasal 1381 KUH Perdata itu tidaklah lengkap,
karena tidak mengatur misalnya: hapusnya perikatan, karena meninggalnya seorang
dalam suatu perjanjian yang prestasinya hanya dapat dilaksanakan oleh salah satu
pihak.176
Lima cara pertama yang tersebut di dalam Pasal 1381 KUH Perdata
menunjukkan bahwa kreditur tetap menerima prestasi dari debitur. Dalam cara
keenam yaitu pembebasan hutang, maka kreditur tidak menerima prestasi, bahkan
sebaliknya yaitu secara sukarela melepaskan haknya atas prestasi. Pada empat cara
terakhir dari Pasal 1381 KUH Perdata maka debitur tidak menerima prestasi, karena
perikatan tersebut gugur ataupun dianggap telah gugur.177
Untuk mengetahui dimanakah pengaturan dari berlakunya suatu syarat batal,
sebagai salah satu cara hapusnya perikatan maka kita harus melihat kepada Bab I
KUH Perdata yaitu berturut-turut Pasal 1253 dan seterusnya dan Pasal 1266 KUH
Perdata. Demikianlah juga apabila kita ingin mencari dimanakah diatur tentang
hapusnya perikatan karena lampaunya waktu, maka haruslah diperiksa Buku IV KUH
Perdata.178
Menurut R. Setiawan, “hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya
perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang merupakan
176

Mariam Darus Badrulzaman, dkk,[3] Op.cit, hal. 115
Ibid, hal. 116
178
Mariam Darus Badrulzaman, dkk,[3] Op.cit
177

Universitas Sumatera Utara

71

sumbernya mungkin masih tetap ada”. Contoh: pada perjanjian jual beli, dengan
dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi hapus, sedangkan
perjanjiannya

belum

karena

perikatan

tentang

penyerahan

barang

belum

dilaksanakan.179
Dapat juga terjadi bahwa perjanjiannya sendiri telah berakhir (hapus), tetapi
perikatannya masih ada, misalnya dalam sewa-menyewa, dimana perjanjian sewamenyewanya sudah berakhir tetapi perikatannya untuk membayar uang sewa belum
berakhir karena belum dibayar. Walaupun pada umumnya jika perjanjian hapus maka
perikatannya pun hapus, begitu pula sebaliknya. Suatu perjanjian hapus karena:180
a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu;
b. Undang-Undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal
1066 ayat 3 KUH Perdata);
c. Salah satu pihak meninggal dunia;
d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan
prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan
perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan
perjanjian;
e. Karena keputusan hakim;
f. Tujuan perjanjian telah tercapai dengan kata lain dilaksanakannya objek
perjanjian atau prestasi;
g. Dengan persetujuan para pihak.
Dengan demikian, maka pembedaan cara hapusnya suatu perikatan dengan
perjanjian tidaklah terlalu penting, karena cara berakhirnya perikatan dengan
perjanjian yang tertulis dalam Pasal 1381 KUH Perdata merupakan cara-cara yang

179

R. Setiawan [2], Op.cit. , hal. 68
Septaliana Temmy Dwijaya, Kualifikasi PerjanjianPelayanan Safe Deposit Box Antara
Nasabah Dengan Pihak Bank Sinarnmas, Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.
180

Universitas Sumatera Utara

72

ditunjuk oleh pembentuk Undang-Undang, sedangkan cara berakhirnya perjanjian
yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak sesuai
perkembangan zaman. Sehingga yang terpenting disini untuk mengetahui apakah
sebuah perjanjian itu sudah berakhir atau belum harus dilihat dulu masing-masing
perikatan dalam perjanjian itu sudah hapus atau belum, kalau sudah maka tinggal
melihat apakah sumber dari perikatan itu (perjanjian) juga hapus atau belum sehingga
untuk hal ini perlu dilihat perjanjian itu terdiri dari berapa perikatan.181
Pembedaan cara hapusnya perjanjian dan perikatan diatas hanya merupakan
perbedaan inisiatif saja, yaitu dalam Pasal 1381 KUH Perdata (perikatan) inisiatif
berasal dari pembuat Undang-Undang. Kemudian dilihat dari cara berakhirnya
perjanjian yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak
sesuai dengan perkembangan zaman.182
Dengan kata lain, cara hapusnya suatu perjanjian dapat berlaku atau
digunakan untuk cara hapusnya perikatan begitu juga sebaliknya. Hal ini dikarenakan
Buku III bab IV KUH Perdata ini mengatur berbegai cara tentang hapusnya suatu
perikatan yang muncul baik karena perjanjian ataupun Undang-Undang.183
B. Peranan Legalisasi Surat Perjanjian Bawah Tangan Yang Dibuat Antara
Developer dengan Debitur Terkait dengan Wanprestasi Developer.
Kegiatan Perniagaan berkembang dengan pesat hingga mencapai tingkat
frekuensi seperti yang dihadapi saat ini. Meningkatnya tuntutan masyarakat akan

181

R. Setiawan [2], Op.cit. , hal. 68
Ibid
183
Ibid
182

Universitas Sumatera Utara

73

kepastian hukum serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha mendorong
kebutuhan akan pelayanan dari pejabat (umum) dalam bidang pembuatan alat bukti
guna menjamin kepastian hukum.Berdasarkan ketentuan Pasal 1865 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang dapat digunakan sebagai alat bukti berupa bukti tulisan,
bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaaan, pengakuan dan sumpah. Bukti
tulisan dapat berupa akta otentik dan akta dibawah tangan. Dengan demikian suatu
akta yang terkuat dan akan dipergunakan untuk dijadikan alat bukti di dalam
masyarakat yakni akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris184.185
Sesuai dengan fungsi notaris bahwa selain membuat akta otentik, notaris juga
melakukan legalisasi surat dibawah tangan. 186 Dalam hal ini, perjanjian yang dibuat
antara debitur dengan developer adalah perjanjian bawah tangan yang dilegalisasi
oleh notaris. Jika berdasarkan uraian diatas dijelaskan bahwa yang termasuk alat
bukti, salah satunya adalah bukti tulisan yang bisa akta otentik atau akta dibawah
tangan. Dengan kata lain, perjanjian yang dibuat antara debitur dengan developer juga
merupakan salah satu alat bukti di pengadilan jika salah satu pihak wanprestasi. Akta
dibawah tangan juga diatur dalam Pasal 1874 – 1984 KUH Perdata
Walaupun perjanjian yang dibuat antara debitur dan developer dibuat bersifat
bawah tangan tetap mempunyai kekuatan mengikat masing-masing pihak baik dalam
hak dan kewajiban. Notaris disini berperan memastikan kebenaran dan keaslian dari
184
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tersebut tidak dikhususkan kepada pejabat umum lainnya.
185
Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, (Bandung : PT.Citra Aditya
Bakti, 2013), hal.1
186
Putri A.R., Perlindungan Hukum Terhadap Notaris, (Jakarta : PT.Sofmedia, 2011), hal.6

Universitas Sumatera Utara

74

pihak yang bertanda tangan, selain itu juga memastikan keabsahan dan kepastian
tanggal dilakukan penandatanganan tersebut.
Perjanjian yang dibuat antara debitur dan developer mengatur tentang hak dan
kewajiban para pihak seperti tata cara pembayaran, serah terima bangunan dan denda
keterlambatan pembayaran maupun denda keterlambatan penyerahan unit rumah atau
pembangunan. Perjanjian yang dibuat tersebut walaupun hanya bersifat di bawah
tangan tetap mempunyai kekuatan mengikat antara para pihak yang melakukan
perjanjian dikarenakan perjanjian tersebut merupakan kehendak para pihak tersebut
yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk perjanjian sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa yang menyatakan
bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Selain Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan
tentang suatu akta yang sah di pengadilan baik akta otentik ataupun yang dibawah
tangan tercantum dalam Pasal 1888 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi “kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila
akta aslinya ada, maka salinan-salinan serta iktisar-iktisar hanya dapat dipercaya,
sekedar salinan-salinan serta iktisar-iktisar itu sesuai dengan aslinya yang mana
senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukannya.”
Perjanjian di bawah tangan yang dibuat antara debitur dengan developer
mempunyai peranan dalam memberikan jaminan akan terpenuhinya hak-hak masing
pihak baik debitur maupun developer, selain itu apabila terjadi wanprestasi maka

Universitas Sumatera Utara

75

perjanjian tersebut bisa dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan untuk menggugat
pihak yang telah melakukan wanprestasi sehingga pihak yang dirugikan mendapatkan
perlindungan hukum baik berupa ganti rugi maupun pembatalan perjanjian.
Walaupun perjanjian bawah tangan tidak sekuat akta otentik tapi dengan
adanya legalisasi akta dibawah tangan, maka bagi hakim telah diperoleh kepastian
mengenai tanggal dan identitas dari pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta
tanda tangan yang dibubuhkan di bawah surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh
orang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda
tangannya dibawah surat itu tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah
satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan
dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tanda tangannya
dihadapan pejabat umum.187
C. Tanggung Jawab Developer Terhadap Debitur dan Bank Atas Perjanjian
Yang Dibuatnya.
Pengertian tanggung jawab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “tanggung
jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan,
diperkarakan dan dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain.188 Selain
itu, kata “tanggung jawab” merupakan kata benda abstrak yang bisa dipahami melalui
sikap, tindakan dan perilaku. Setelah bentuk dasar, kata “tanggung jawab” mendapat

187

Sidah, Kekuatan Pembuktisn Akta Di Bawah Tangan Yang Dilegalisasi Oleh Notaris,
Tesis Universitas Diponegoro Semarang, 2010.
188
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka, 2003),
hal. 1139.

Universitas Sumatera Utara

76

imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi “pertanggungjawaban” yang berarti
perbuatan bertanggung jawab atau sesuatu yang dipertanggungjawabkan.189
Menelaah pengertian “tanggung jawab” merujuk kepada makna tanggung
jawab dalam proses hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan
dipersalahkan dan kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau
tindakan orang lain. Jika dikaitkan dengan kata pertanggungjawaban berarti kesiapan
untuk menanggung segala bentuk beban berupa dituntut, diperkarakan dan
dipersalahkan akibat dari sikap dan tindakan sendiri atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Mulyosudarmo membagi pengertian pertanggung-jawaban dalam dua aspek
sebagai berikut:190
1.

2.

Aspek internal yakni pertanggung-jawaban yang diwujudkan dalam bentuk
laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu
instansi.
Aspek eksternal yakni pertanggung-jawaban kepada pihak ketiga, jika suatu
tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain
berupa tanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain atas
tindakan jabatan yang diperbuat.
Secara sepintas, dari berbagai pengertian pertanggung-jawaban di atas

menunjukkan keluasan wilayah pemikiran yang menyebabkan timbulnya kesulitan
untuk memberi satu definisi yang disepakati mengenai pertanggung-jawaban.
Bagaimana pertanggung-jawaban diartikan, dimaknai, dipahami, serta batasan--

189

Ibid
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
Pidato Newaksara, (Jakarta : Gramedia, 1997), hal. 42.
190

Universitas Sumatera Utara

77

batasannya tergantung kepada konteks dan sudut pandang yang digunakan untuk
menelaahnya.
Adapun bentuk-bentuk pertanggung-jawaban yakni :
1.

Pertanggung-jabawan pidana
Pertanggung-jawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai toereken-

baarheid, criminal reponsibilty, atau criminal liability. Pertanggung-jawaban pidana
disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di
pertanggung-jawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya
itu.191
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggung-jawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang
yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan
dasar adanya pertanggung-jawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan,
“tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan” merupakan dasar dari pada di
pidananya si pembuat.192 Seseorang melakukan kesalahan, menurut Prodjohamidjojo,
jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela.193
Dengan demikan, menurutnya, seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua
hal, yaitu (1) harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata
lain harus ada unsur melawan hukum, jadi harus ada unsur Obejektif, dan (2)
191

S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya, Cet. IV, Jakarta :
Alumni, 1996), hal. 245.
192
Djoko Prakoso, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, (Yogyakarta :
Liberty, 1987), hlm. 75.
193
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indoesia, (Jakarta :
PT. Pradnya Paramita), 1997, hlm. 31.

Universitas Sumatera Utara

78

terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan
sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggung-jawabkan
kepadanya, jadi ada unsur subjektif.
Di dalam hal kemampuan bertanggung-jawab bila di lihat dari keadaan batin
orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan
bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya
kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal
dan sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran
yang di anggap baik oleh masyarakat.194 Sementara bagi orang yang jiwanya tidak
sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada
gunanya untuk di adakan pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam
ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau
karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum
2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya
karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim boleh
memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya satu
tahun untuk di periksa.
3. Yang di tentukanya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.
2.

Pertanggung-jawaban Perdata

194

I Gusti Bagus Sutrisna, Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tijauan
terhadap Pasal 44 KUHP), dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara
Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

79

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara
mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka
berdasarkan undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang
tersebut yang menimbulkan kerugian itu.195 Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365
KUH Perdata bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”.
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan
melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh
seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam
ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai
berikut:196
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian)
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:197
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

195
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan kedua, (Jakarta : Diapit Media,
2002), hal.77.
196
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2002), hal. 3.
197
Ibid

Universitas Sumatera Utara

80

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana
terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal
1367 KUHPerdata.
Adapun bentuk tanggung jawab dari developer berdasarkan akta perjanjian
kerja sama dan legalisasi surat perjanjian yaitu :
a.

Tanggung jawab developer dengan PT. Bank X
Tanggung jawab developer dengan PT. Bank X sebagaimana diatur dalam akta
perjanjian kerja sama adalah:
1) developer menjamin bank bahwasannya tanah yang dijual kepada pembeli
bebas dari sengketa/perkara.
2) developer membantu bank dalam menghadirkan pembeli/debitur pada saat
akan dilakukan pengikatan kredit dan jaminan.
3) developer bertanggung jawab akan menyelesaikan bangunan yang dibeli
pembeli sampai dapat diserahterima sesuai perjanjian.
4) developer bertanggung jawab atas setiap kerugian yang diderita oleh bank atas
pemberian fasilitas kredit kepada pembeli/debitur.
5) developer juga bertanggung jawab untuk membeli kembali apa yang dijualnya
kepada pembeli/ debitur dan melunasi seluruh hutang debitur secara sekaligus
jika debitur telah menunggak angsuran 3 kali berturut-turut.
6) developer harus membayar denda keterlambatan 1 ‰ per hari apabila
developer tidak membayar seluruh hutang debitur secara sekaligus sejak
pemberitahuan oleh bank.

Universitas Sumatera Utara

81

7) developer

memberikan

kuasa

kepada

bank

untuk

mendebit

dan

mempergunakan deposito, maupun dana pada rekening deposito milik
developer guna pembayaran hutang dan denda yang ditimbulkan oleh
developer.
b.

Tanggung jawab developer dengan debitur/pembeli
Tanggung jawab developer dengan debitur/pembeli sebagaimana diatur dalam
legalisasi surat perjanjian adalah:
1) developer bertanggung jawab membangun bangunan dan menambah luas
bangunan dari bangunan standart rumah tempat tinggal sesuai dengan gambar
dan spesifikasi teknis bangunan.
2) developer bertanggung jawab menyelesaikan bangunan pada tanggal yang
telah disepakati.
3) developer

bertanggung

jawab

membayar

ganti

kerugian

sebesar

Rp.1.000.000,- jika penyelesaian bangunan tersebut melampaui waktu yang
diperjanjikan dan juga membayar segala biaya yang timbul akibat penggunaan
jasa kontraktor lain yang ditunjuk debitur/pembeli untuk melanjutkan
pembangungan tersebut.
4) developer juga bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kerusakan
yang timbul dari bangunan tersebut dalam jangka waktu 3 bulan sejak
diserahterimakan.
Dari uraian diatas, terlihat developer mempunyai tanggung jawab yang cukup
besar baik terhadap debitur maupun bank. Maka dari itu, apabila developer

Universitas Sumatera Utara

82

wanprestasi atau melakukan perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak
disengaja atau karena lalai, maka akan dikenakan sanksi, begitu juga apabila debitur
lalai maka akan ada sanksi yang diterapkan kepadanya. Hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata, bahwa “Setiap orang bertanggung jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Dengan adanya
kewajiban berbentuk tanggung jawab tersebut akan memberikan sebuah perlindungan
kepada para pihak dalam sebuah perjanjian.

Universitas Sumatera Utara

83

BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK DAN DEBITUR
SEHUBUNGAN DENGAN WANPRESTASI DEVELOPER
A. Pengertian, Bentuk Wanprestasi Dan Akibat-Akibatnya
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada
pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan
baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi
buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah “suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian”198 dan bukan dalam keadaan memaksa.
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: 199
1.

2.

3.

Debitur sama sekali tidak berprestasi.
Dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal
ini percuma saja sebab debitur memang tidak mampu berprestasi.
Debitur salah berprestasi.
Dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukan prestasi, tetapi ia
salah dalam melakukan pemenuhannya.
Debitur terlambat berprestasi.
Dalam hal ini debitur masih dapat diharapkan pemenuhan prestasinya, maka
debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak

yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
198
199

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1), hal. 221
R. Setiawan [2], Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin, 1999, cet. 6),

hal.19

83

Universitas Sumatera Utara

84

memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satupun
pihak yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Ada kemungkinan bahwa sungguh pun salah satu pihak telah melakukan
wanprestasi, tetapi sebahagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan
untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang
menyebabkan kepentingan yang melakukan wanprestasi pun mesti dilindungi.200
Karena itu dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni
keseimbangan antara pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang
melakukan wanprestasi.
Pada umumnya tidak dengan sendirinya debitur telah melakukan wanprestasi.
Apabila tidak ditentukan dalam kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya
(debitur) akan resmi terjadi setelah dia (debitur) dinyatakan lalai oleh pihak kreditur
(ingebrekestelling) yaitu dengan dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur, Akta
lalai adalah tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu
peristiwa (dalam hal ini adanya kelalaian) dan ditandatangani oleh pembuatnya.
Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata yaitu: “Si berutang adalah
lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa
siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”201

200

J.Satrio [3], Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : PT.Alumni,1999),

hal. 97
201

http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_
prestasi_dan_wanprestasi_dalam_hukum_kontrak.pdf, terakhir diakses pada tanggal 05 Juli 2015.

Universitas Sumatera Utara

85

Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:202
1.

Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

2.

Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya

3.

Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

4.

Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu

perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat
sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu
sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian,
sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut Pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi.203

202

Subekti [3], Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT.Intermasa, 1985), hal.132
Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar
dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
(http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum-perusahaan/kn_508_slide_
ketentuan-ketentuan_umum_dalam_hukum_kontrak.pdf, terakhir diakses pada tanggal 05 Juli
2015.)
203

Universitas Sumatera Utara

86

Menurut Pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah
lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.204
Dari ketentuan Pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan
wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk
somasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata adalah:205
1. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan.
Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada
debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut
“exploit juru Sita”
2. Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat
adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang
melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk
mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke
pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Dalam keadaan
tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan
wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn),
prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya
wanprestasi.
204

Subekti [4], Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005, cet. 36

205

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta : Pusat Penerbitan UT, 2003, cet.1), hal. 222

Universitas Sumatera Utara

87

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa akibat hukum yang
dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:206
1. Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
1. Membayar Kerugian207
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya, rugi dan bunga.
a. Biaya
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu
perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan
pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang
termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
b. Rugi
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh
pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
c. Bunga

206

Ibid, hal. 223
Joko Rizkie Widokartie, Mata Kuliah Hukum Bisnis (http://web-suplemen.ut.ac.id/html/
suplemen/ekma4316/AWAL.html), Universitas Terbuka Jakarta.
207

Universitas Sumatera Utara

88

Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika
barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages et
interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas, sedangkan
interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang diberikan ketentuanketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti
rugi.
Pasal 1247 KUH Perdata menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata
telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal
tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan
olehnya”.
Pasal 1248 KUH Perdata menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya
si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang
diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri
atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan
mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang,

Universitas Sumatera Utara

89

maka kerugian yang diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah
berupa interest, rente atau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan
atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai
hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6
prosen setahun. Juga bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan,
jadi sejak dimasukkannya surat gugatan.
2.

Pembatalan Perjanjian208
Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada

keadaan sebelum perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut
sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima
sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam Pasal 1266 KUH
Perdata yang mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian
yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan
harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan
dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim
leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu
jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana
tidak boleh lebih dari satu bulan”.

208

Ibid

Universitas Sumatera Utara

90

Pembatalan perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara
otomatis walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu
tidak bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu.
Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan
tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk
menilai besar kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat
pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim
menimbang kelalaian debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan
membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk
membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut Pasal 1266 KUH Perdata
hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi
kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme de grace”.
3.

Peralihan Resiko209
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal

1237 KUH Perdata. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang
menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, maka resiko dalam jual beli barang
tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau
209

Ibid

Universitas Sumatera Utara

91

si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan
mengalihkan resiko ta