Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Saksi Dalam Pembuatan Akta Notariil Menurut Hukum Islam Dan Undangundang Jabatan Notaris (UUJN)

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum akan segala budaya, dalam perkembangan
hukum yang terjadi di Indonesia, hukum Islam termasuk menjadi sumber hukum di
Indonesia,1 terutama di bidang Hukum Keperdataan.2
Realitasnya, umat Islam merupakan jumlah mayoritas di negeri ini, karenanya
wajar jika harapan umat Islam pada umumnya menjadikan hukum Islam sebagai
hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal. ini didasarkan pada cara berpikir
pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan
hukumnya.3
Berkembang pesatnya lembaga ekonomi Islam dewasa ini juga diikuti
meningkatnya berbagai macam transaksi bisnis secara Islami dan bentuk perjanjian
yang menuntut untuk menggunakan aturan Islam (syariah).4
Kedudukan saksi dalam pengadilan mempunyai peranan yang cukup penting
sebagai salah satu alat bukti apabila alat bukti lain dirasa atau tidak ada untuk
memberikan keterangan atas suatu kejadian/sengketa. Dalam teks kitab-kitab fiqih,
1


Suparman Usman, Hukum Islam : Azas-azas pengantar studi hukum Islam dalam tata
hukum Indonesia, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001),hal,122
2
Zainuddin ali menterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal. ini dikarenakan
dalam fiqh bagian muamalat dalam arti luas mencakup hukum keperdataan.lih.Zainuddin Ali, 2008.
Hukum Ekonomi Syariah, jakarta : Sinar Grafika, hal. 68
3
R.Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Cetakan XII, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993),
hal. 3
4
Hasballah, Thaib, dan Iman, Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, (Medan : Pustaka Bangsa
Press,2004) hal. 213

1

Universitas Sumatera Utara

2


masalah persaksian dalam pengadilan dituntut harus laki-laki kecuali untuk
persaksian yang berkaitan dengan hak-hak harta benda (huquq al-amwal) atau hak
badan. Seakan-akan hak perempuan tidak diakui bila dibandingkan dengan laki-laki,
ini berarti terjadi kesenjangan antara teks-teks fiqih dengan realitas masyarakat.
Persoalan ini tentu bukan hal yang mudah untuk kita jawab dengan
menyatakan bahwa masyarakat sekarang ini memang sudah tidak sesuai dengan
hukum dan meninggalkan ajaran agama. Tetapi kita harus melihat substansi
permasalahan dari soal persaksian tersebut.
Padahal apabila melihat pesan moral Al-Qur’an bahwa kedudukan laki-laki
dan perempuan setara (equal).5 Namun akhir-akhir ini banyak persoalan ketika
kesadaran perempuan mulai kelihatan untuk menuntut hak-haknya di dalam ruang
gerak aktivitasnya yang selama ini tertindas, diskriminasi oleh perlakuan pesan teks
Al-Qur’an yang notabene sebagai sumber segala hukum umat Islam yang
membebaskan.6 Persoalan saksi selama ini dilihat sebagai persoalan yang cukup
signifikan harus adanya reinterprestasi terhadap pesan teks yang selama ini dianggap
saksi satu laki-laki sama dengan dua perempuan. Namun sebelum dibahas secara
panjang, akan lebih awal kita mengetahui akan definisi saksi.

5


Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Mufasir
Kontemporer, Bandung: Penerbit Nuansa, 2005, Cet. ke-I, hal. 117.
6
Gambaran seperti inilah yang sering menjadi target sasaran bagi gerakan kesetaraan gender
yang selalu menuding Islam memperlakukan kaum wanita dengan cara yang tidak adil. Tuduhan
seperti inilah yang dicoba untuk ditepis oleh para pemikir modern termasuk di Indonesia. Lihat Faisar
Ananda Arfa, Wanita Dalam Konsep Islam Modernis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004, Cet. ke-1, hal.
100-101. 4 A. Warson Moenawwir, Al-Munawir, Kamus Arab–Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, 2002, Cet. ke-25, hal. 746-747.

Universitas Sumatera Utara

3

Menurut etimologi (bahasa) kata saksi dalam bahasa arab dikenal dengan Asysyahadah adalah bentuk isim masdar dari kata syahida-yasyhadu yang artinya
menghadiri, menyaksikan (dengan mata kepala sendiri) dan mengetahui. Kata
syahadah juga bermakna al-bayinan (bukti), yamin (sumpah) dan iqrar
(pengakuan).7
Secara terminologi (istilah) Al-Jauhari menyatakan bahwa “kesaksian berarti
berita pasti. Musyahadah artinya sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang

menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Dikatakan juga bahwa
kesaksian berarti seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat
dan didengarnya”.8
Dalam kamus Istilah fiqih, ”Saksi adalah orang atau orang-orang yang
mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain.
Islam sendiri mengatur masalah persaksian dalam firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa
yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya” (QS Al-Baqarah:283)9
Syarat – syarat saksi dalam Hukum Islam :
a. Islam
b. Laki-laki

7

A. Warson Moenawwir, Al-Munawir, Kamus Arab–Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,
2002, Cet. ke-25, hal. 746-747.
8
Ihsanudin, Mohammad Najib, Sri Hidayati (eds), hal. 94
9

Al Quran terjemahan Al karim, (Bandung : PT Al ma’rif 2000) hal. 45

Universitas Sumatera Utara

4

c. Dewasa /baligh dan berakal
d. Adil
Dalam Pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah Akta Otentik, dan Pasal
1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan Akta
Otentik yaitu :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang
pejabat umum,
b. Akta itu harus harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang,
c. Pegawai umum (Pejabat Umum) oleh/atau dihadapan siapa akta itu dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.10
Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu Akta Otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, karena di dalam Akta Otentik tersebut
didalamnya telah termasuk semua unsur bukti :
a. Tulisan

b. Saksi-saksi
c. Persangkaan-persangkaan,
d. Pengakuan,
e. Sumpah.

10

Habib Adjie, Kebatalan & Pembatalan Akta Notaris, ( Bandung, Refika Aditama, 2011),
cetakan ke satu, hal. 6

Universitas Sumatera Utara

5

Arti Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula
ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa
dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Bahwa Akta Otentik merupakan sebutan yang diberikan
kepada Pejabat tertentu yang dikualifikasikan sebagai pejabat umum, seperti Akta
Otentik tidak saja dapat dibuat oleh Notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT).11 Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Notaris adalah pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat
Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diperintahkan oleh peraturan umum atau diminta oleh para pihak yang membuat akta.
Akta yang dibuat oleh Notaris mempunyai peranan penting dalam menciptakan
kepastian hukum, sebab Akta Notaris bersifat Otentik dan merupakan alat bukti
terkuat dan terpenuh dalam setiap perkara yang terkait dengan akta Notaris tersebut.
Akta Otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, yang menjamin kepastian
hukum sekaligus diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya sengketa.
Berbicara mengenai Akta Otentik yang diikuti sebgai alat bukti, tentunya
diperlukan saksi-saksi yang juga memegang peranan penting dalam sahnya suatu akta
tersebut. Dalam pasal 39, 40, dan 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo
Nomor 2 tahun 2014 tentang Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)12
menyebutkan bahwa saksi merupakan bagian dalam pembuatan akta yang dibuat oleh

11
12

Ibid
Untuk selanjutnya Undang Undang Jabatan Notaris akan disingkat dengan UUJN


Universitas Sumatera Utara

6

Notaris. Dapat diketahui pula bahwa, setiap akta Notariil yang dibuat oleh Notaris
tentunya membutuhkan saksi-saksi agar terjamin sahnya suatu akta dan menjadi alat
bukti. Mengenai saksi ini pula dapat dilihat dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 13 tahun 2006 Jo Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dimana diterangkan bahwasanya keterangan saksi sangatlah penting
sebagai alat bukti.
Saksi merupakan salah satu alat bukti, yang keterangannya dibutuhkan untuk
keperluan proses pembuktian di muka hakim, dalam suatu perkara di persidangan.
Seorang saksi tentunya memiliki hak dan kewajiban.
Dalam KUH Perdata pembuktian menggunakan saksi diatur dalam pasal 18951912, dalam uraian mengenai saksi dalam pasal tersebut, ada beberapa kriteria atau
syarat agar orang dapat dikatakan sebagai saksi. Kriteria/syarat tersebut dapat
diklasifikasikan kedalam dua macam syarat saksi, yaitu syarat formil dan syarat
materiil.13
1. Syarat Formil
a. Orang yang akan dimintai keterangannya sebagai saksi harus cakap (sudah

dewasa menurut Undang-Undang, tidak gila, tidak dalam pengampuan, atau
dengan kata lain dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya).
b. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah maupun semenda dengan salah
satu pihak, kecuali Undang-Undang menetukan lain. Termasuk juga hubungan
perkawinan walaupun sudah bercerai.
13

R.Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, PT.Pradnya Paramita, cetakan
sepuluh 1986), hal.424

Universitas Sumatera Utara

7

c.

Tidak ada hubungan kerja dengan menrima upah, kecuali Undang-Undang
menentukan lain.

d.


Menghadap ke persidangan.

e.

Diperiksa satu persatu.

f.

Mengucapkan Sumpah.

2. Syarat Materiil
a. Menerangkan apa yang telah dilihat, didengar dan dialami sendiri.
b. Diketahui sebab-sebab mengapa saksi mengetahui suatu peristiwa yang akan
diperiksa.
c. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri.
d. Saling bersesuaian satu sama lain.
e. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada
Notaris sehubungan dengan pembuatan akta otentik adalah adanya saksi yang

diwajibkan oleh Pasal 40 UUJN untuk hadir dan menyaksikan secara langsung
pembuatan akta otentik oleh Notaris sebagaimana dikenal dengan Saksi Intrumentair.
Salah satu syarat formal yang harus ada dalam akta Notaris adalah hadirnya 2
(dua) orang saksi yang identitasnya disebutkan secara tegas pada akhir akta. Hal. ini
secara tegas dicantumkan dalam pasal 40 ayat (1) UUJN. Saksi akta Notaris
merupakan para saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta
(instrument), maka dari itulah disebut saksi instrumentair (instrumentaire getuigen).

Universitas Sumatera Utara

8

Tugas saksi instrumentair ini adalah membubuhkan tanda tangan, memberikan
kesaksian tentang kebenaran isi akta dan dipenuhinya formalitas yang diharuskan
oleh undang-undang. Biasanya, yang menjadi saksi instrumentair ini adalah karyawan
Notaris itu sendiri.14 Saksi yang tertera di dalam akta Notaris hanya sebatas saksi
instrumenter (instrumentaire getuigen), artinya saksi yang dikehendaki oleh peraturan
perundang-undangan. Kehadiran 2 (dua) orang saksi instrumentair adalah mutlak,
tetapi bukan berarti harus 2 (dua) orang, boleh lebih jika keadaan memerlukan.
Saksi instrumentair harus cakap bertindak dalam hukum, mengerti bahasa akta,
tidak boleh ada hubungan keluarga dekat dalam arti garis keatas dan kebawah tanpa
batas dan garis kesamping sampai derajat ketiga baik dengan Notaris ataupun dengan
para penghadap.
Notaris tentunya tidak dapat menepikan tentang keberadaan saksi dalam ruang
lingkup tindakan pembuatan akta notariil yang dibuat oleh Notaris itu sendiri.
Kedudukan saksi ini menjadi bagian yang penting sah atau tidaknya suatu akta.
Notaris dalam membuat Akta Notariil selalu menggunakan teori saksi dari
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 30 Tahun 2004.
Sedangkan teori saksi dalam Hukum Islam berbeda dengan Kitab Undang-undang
Hukum Perdata dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, terutama tentang syaratsyarat orang yang boleh menjadi saksi. Penghadap atau orang yang ingin dibuatkan
aktanya oleh Notaris mayoritasnya adalah umat Islam, dimana umat Islam pastinya

14

Khairulnas, “Nilai Keberadaan Saksi Dalam Akta Notaris”, Majalah Renvoi (Maret 2014),

hal. 89

Universitas Sumatera Utara

9

berpegang teguh pada hukum agamanya. Untuk itu, Notaris sebagai pembuat akta
harus mengikuti ajaran agama Islam bila akta yang dibuat oleh Notaris itu sendiri
diperuntukan dan ditujukan untuk umat Islam.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai “Analisis Yuridis Tentang Kedudukan Saksi Dalam Pembuatan Akta
Notariil Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang Jabatan Notaris” sangatlah
menarik untuk dicermati dan diteliti bagaimana pandangan Hukum Islam dan
Undang-Undang Jabatan Notaris tentang kedudukan saksi dalam pembuatan Akta
Notariil, apakah syarat-syarat dalam pembuatan Akta Notariil menurut UndangUndang Jabatan Notaris sudah sesuai dengan Hukum Islam serta bagaimana akibat
hukum yang timbul jika pembuatan Akta Notariil dibuat tanpa kehadiran saksi
menurut Hukum Islam dan Undang-undang Jabatan Notaris.
B. Perumusan Masalah.
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal. yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Undang-Undang Jabatan Notaris
mengenai kedudukan saksi dalam pembuatan Akta Notariil?
2. Apakah syarat-syarat dalam pembuatan Akta Notariil menurut UndangUndang Jabatan Notaris sudah sesuai dengan ketentuan Hukum Islam?

Universitas Sumatera Utara

10

3. Bagaimana akibat hukum yang timbul jika pembuatan Akta Notariil dibuat
tanpa kehadiran saksi menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Jabatan
Notaris?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan perumusan masalah yang akan dikaji, maka yang menjadi
tujuan penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pandangan Hukum Islam dan UndangUndang Jabatan Notaris tentang kedudukan saksi dalam pembuatan Akta
Notariil.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis syarat-syarat saksi dalam pembuatan
Akta Notariil menurut Undang-Undang Jabatan Notaris sudah sesuai dengan
ketentuan Hukum Islam.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang akibat hukum yang timbul jika
pembuatan Akta Notariil dibuat tanpa kehadiran saksi menurut Hukum Islam
dan Undang-Undang Jabatan Notaris.
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama,Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis dan praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi dan menghasilkan kemanfaatan
dalam bidang pengetahuan dan menjadi bahan lebih lanjut untuk melahirkan

Universitas Sumatera Utara

11

peraturan pelaksanaan mengenai kedudukan saksi dalam pembuatan akta notariil
serta dapat menambah bahan pustaka/literatur mengenai jabatan atau profesi
Notaris tentang kedudukan saksi dalam pembuatan Akta Notariil sesuai dengan
ketentuan Hukum Islam dan ketentuan dalam hukum perdata.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan para pakar maupun
praktisi maupun bagi pihak terkait mengenai pemahaman dan penerapan saksi
dalam pembuatan Akta Notariil di Indonesia, dan dari hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi calon Notaris untuk
lebih memahami kedudukan saksi dalam pembuatan Akta yang dibuat oleh
Notaris, serta kekuatan pembuktian keterangan saksi dalam pembuatan akta yang
dibuat oleh Notaris.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan

penelusuran

kepustakaan

yang

khususnya

dilingkungan

Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan Judul “ Analisis
Yuridis Tentang Kedudukan Saksi Dalam Pembuatan Akta Notariil Menurut Hukum
Islam dan Undang-Undang Jabatan Notaris ”. Ternyata penelitian ini belum pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya , namun ada satu yang membahas mengenai
Saksi, yaitu yang diteliti oleh :
Hanna Nathasya Rumia Hutapea, NIM 137011024, Mahasiswi Program Pasca
Sarjana Magiter Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2015, berjudul

Universitas Sumatera Utara

12

Kedudukan Saksi Instrumenter Dalam Pembuatan Akta Notaris. Adapun
permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :
1. Bagaimanakah ruang lingkup tanggung jawab saksi instrumenter dalam
pembuatan akta yang dibuat oleh Notaris..
2. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangan saksi instrumenter dalam
pembuatan akta yang di buat oleh Notaris.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka Teori sangat diperlukan dalam penulisan ilmiah ini. Dalam dunia
ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada
kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih
baik.15
Dalam setiap penelitian juga harus menyertakan dengan pemikiran-pemikiran
yang teoritis, kerangka teori dalam penelitian hukum merupakan kunci peranan yang
penting guna menjadikan dasar bagi penelitian untuk menentukan kemana arah atau
tujuan penelitian.
Teori merupakan bagian yang sangat penting dari penelitian ini. Dengan
demikian, tentunya akan memudahkan saya dalam menyusun arah dan tujuannya.
Teori bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta

15

Satjipto, Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259

Universitas Sumatera Utara

13

yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.16Teori mampu meningkatkan
keberhasilan penelitian karena teori mampu menghubungkan setiap penemuanpenemuan yang nampaknya berbeda ke dalam suatu keseluruhan dan memperjelas
proses-proses yang terjadi didalamnya. Teori dapat memberikan penjelasan terhadap
hubungan-hubungan yang diamati dalam suatu penelitian.
Teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum
positif. Pada saat orang mempelajari hukum positif, maka ia sepanjang waktu
dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang kegiatan dan
permasalahannya. Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah “membikin jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang
tertinggi.”17
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori,
tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya.18 Sedangkan
tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan
dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan
hasil-hasil penelitian yang terdahulu.19
Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.
Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal. sebagai berikut:
16
J.J.J.M, Wuisman, Penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, (Jakarta:
FE UI, 1996), hal. 203
17
Op.cit. hal.260
18
M.Solly, Lubis, Filsafat Imu Dan Penelitian, (Medan: PT.Sofmedia 2012), hal.129.
19
Burhan, Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal.19.

Universitas Sumatera Utara

14

a. Teori tersebut berguna untuk mempertajam fakta;
b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;
c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang di uji kebenarannya.20
Teori menjabarkan arah serta jalan pikiran yang sesuai dengan bentuk
kerangka yang relevan serta yang dapat menerangkan masalah-masalah tersebut.
Adapun kerangka teori yang di gunakan dalam penelitian ini adalah teori Mashlahat
sebagai teori utama dan teori Kepastian Hukum sebagai teori pendukung.
a. Teori Maslahat
Teori yang lazim dalam filsafat hukum Islam menyangkut tujuan hukum
Islam adalah teori “maslahat”(kebaikan-kebahagian manusia). Para ahli hukum Islam
memulai bahasan ini dengan istilah “maqoshidu al ahkam”(maqashid jamak dari
maqsud berarti tujuan-tujuan hukum, walaupun maslahat satu pengertian saja) dengan
pemahaman yang harus bebas diluar arti literal bahwa ada beragam kemaslahatan
yang dituju oleh hukum Islam. Dengan demikian pengertian maslahat (jamak) adalah
kumpulan maslahah-maslahah (mufrad).21 Jadi bila kemaslahatan yang menjadi
tujuan hukum Islam berarti beragam maslahah-maslahah yang dituju hukum Islam.
Konsep maslahat secara literal diartikan dengan kebaikan-kebaikan, sekaligus
sebagai lawan dari kejahatan dan keburukan. Dengan demikian, bila tujuan hukum
Islam adalah kemaslahatan berarti hukum Islam telah menetukan dan menunjuki
manusia kepada kebaikan-kebaikan dan meninggalkan kejahatan dan keburukan atau
20

Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.121.
Istilah gramatika ini merupakan tradisi manuskrip yuris Muslim klasik sehingga cara
memahami pikiran mereka tidak ada jalan lain melaikan cara generalisasi gramtikal.
21

Universitas Sumatera Utara

15

yang sejenis dengannya seperti kerusakan, penderitaan-kesengsaraan. Kebaikankebaikan sendiri bertumpu pada moral yang dicanangkan oleh nas agama. Di sini
keadilan bukanlah menjadi tujuan karena keadilan hakikatnya merupakan alat untuk
mencapai maslahat. Sebagaimana hal mengenai kebahagiaan atau keamanan atau
mengurangi penderitaan menjadi tujuan karena kerap kali hukum menentukan
keharusan untuk berjuang melawan hawa nafsu atau dalam keadaan tertentu
menghendaki jihad berperang. Artinya, keamanan dan kebahagiaan tidak dapat
dinikmati dan dirasakan melewati hukum.22
Maslahat ukurannya adalah yang telah ditentukan Tuhan sendiri. Bentuk
maslahat secara tepat diilustrasikan Tuhan sebagai jalan keselamatan (sabulu al
salam). Maslahat merupakan jalan keselamatan (sabulu al salam) yakni jalan yang
lurus (siratu al mustaqiem), maka formulasi hukum Islam tidak hanya mengatur
hidup seseorang agar memperoleh keamanan dan kebahagiaan dunia tetapi juga
kebahagiaan akhirat. Wajar bila hukum Islam juga memfokuskan kekuatannya untuk
mengendalikan hawa nafsu manusia demi tercapainya kebahagiaan yang hakiki
bukan berdasarkan hawa nafsu (kejahatan dan keburukan). Perintah hukum seperti
Puasa bulan Ramadhan, sholat, zakat, perintah Haji dan berjihad secara sepintas
menggambarkan penderitaan bagi subyek hukum dan sangat tidak disukai oleh hawa
nafsu manusia namun semua itu untuk maslahat manusia (muslim) di dunia dan
akhirat kelak.

22

Abdoerraoef, 1970. Al Quran dan Ilmu hukum, jakarta: Bulan Bintang,hal. 35

Universitas Sumatera Utara

16

Teori Mashlahat yang pertama dikemukakan oleh Imam al-Syathibiy, yang
dikenal sebagai salah seorang pemikir hukum Islam yang banyak menjelaskan teori
mashlahah dalam karyanya, al-muwafaqat, melalui konsep tujuan hukum syara’
(mawashid al-syari’ah). Perumusan tujuan syariat islam bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan umum (ashlahah al-’ammah) dengan cara menjadikan aturan hukum
syariah yang paling utama dan sekaligus menjadi shalihah li kulli zaman wa makan
(kompatibel dengan kebutuhan ruang dan waktunya) untuk sebuah kehidupan
manusia yang adil, bermartabat, dan bermaslahat.
b. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian Hukum di Indonesia sebagai negara yang berlandaskan
hukum sedang mengalami masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai-nilai
dalam masyarakat dari nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai modern.23Namun, masih
terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru
yang akan menggantikannya, sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan
banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang-kadang akan menimbulkan
keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan
utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap
golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai
yang dianjurkan disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, baik yang tingkat
kemajuannya, agama serta bahasanya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.24

23

Ibid. hal. 20
Kuntjaraningrat, Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam
Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, (Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Banacipta, 2009), hal. 25
24

Universitas Sumatera Utara

17

Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undangundang. Melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang
telah diputus.25
Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.26
Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi :
1. Asas legalitas;
2. Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian
rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;
3. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
4. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.27
Al Qur’an dan Sunnah Rasullulah SAW sebagai penuntun memiliki daya
jangkau dan daya atur universal. Artinya, meliputi segenap aspek kehidupan umat
manusia dan selalu ideal untuk masa lalu, kini, dan yang akan datang.28
25

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Predana Media Group,
2008), hal. 158
26
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999),
hal. 145
27
Ida Bagus Putu Kumara Ady Adyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan, (Malang ; Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Brawijaya, 2010), hal. 95

Universitas Sumatera Utara

18

Al Quran sebagai sumber hukum Islam merupakan acuan bagi umat muslim
untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Salah satu bukti kesempurnaan
Al Quran ialah:
“Tidaklah ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikitpun….” (QS, Al
An’am 38.)
Masih banyak hal-hal. yang berkaitan dengan kedudukan saksi beserta aturan
segala permasalahannya jelas terkandung dalam kitab Allah yakni Al Quran.
Tentunya akan dilihat pula dari segi hukum positif yang ada di Indonesia.
2. Konsepsi
Konsep

diartikan

sebagai

kata

yang

menyatakan

abstraksi

yang

digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus.29
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi
dengan realitas.30
Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan
pihak lain.
Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dalam
28
29

Suhrawardi K., Lubis, Hukum Ekonomi Islam, , (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal.1
Sumardi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998),

hal.4
30

Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1998), hal. 34

Universitas Sumatera Utara

19

penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar didalam
pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu :
a. Saksi adalah orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap
mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan,
dapat memberikan keterangan yg membenarkan bahwa peristiwa itu sungguhsungguh terjadi: dua orang itu ikut menandatangani kontrak dan
sebagainya.31
b. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.
c. Akta Otentik adalah akta yang dibuat dan dipersiapkan oleh notaris atau
pejabat resmi lainnya (misalnya Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah)
untuk kepentingan pihak-pihak.
d. Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan
atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.32
e. Undang-Undang Jabatan Notaris adalah pembaharuan dan pengaturan
kembali secara menyeluruh dalam satu undang- undang yang mengatur
tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang
berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Repubik Indonesia.

31

Amir, Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
cetakan ketiga Maret 2010), hal. 9
32
Ibid

Universitas Sumatera Utara

20

G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam
pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang
dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian
dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud
berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal. yang bertentangan dengan suatu
kerangka tertentu.33
Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif (yuridis-normatif)
adalah suatu penelitian hukum dengan cara kepustakaan yang artinya metode atau
cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yaitu dilakukan dengan cara
meneliti bahan-bahan kepustakaan yang ada. Dalam penelitian ini pendekatan
dilakukan dengan terlebih dahulu menelaah berbagai peraturan perundang-undangan
terkait yang relevan atau berhubungan dengan apa yang menjadi permasalahan yang
kemudian diangkat dalam penelitian ini. Kemudian dilakukan juga kajian mengenai
kasus yang hangat atau telah terjadi dan mendapat perhatian dari publik, lalu
mengkaji atau menelaah perkembangan dinamika permasalahan penelitian yang
diangkat. Setelah itu lalu membandingkannya semua hal yang terkait mengenai hal
yang relevan atas kajian sebelumnya. Hingga pada akhirnya dengan mempelajari

33

Soerjono, Soekanto dan Sri, Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Radja
Grafindo Persada, 2001), hal. 42.

Universitas Sumatera Utara

21

pandangan beserta doktrin di dalam Ilmu Hukum, untuk menemukan ide, konsep,
landasan dan asas-asas hukum yang relevan dengan permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini.
Jadi, penelitian normatif ini dilakukan untuk menemukan seperangkat
peraturan, pandangan, ide mengenai hukum. Mengingat bahwa penelitian ini
menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif,
yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum,34yang
terdapat dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan Indonesia maka
penelitian ini menekankan pada sumber-sumber bahan sekunder, baik berupa
peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, di samping menelaah kaidah-kaidah
hukum yang berlaku di masyarakat, sehingga ditemukan suatu azas-azas hukum yang
berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan
untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,35 yang dapat menjawab pertanyaan
sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu mengenai
kedudukan saksi dalam perspektif Islam dan Undang-Undang Jabatan Notaris.
2. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tertier. Data-data
hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber, baik sumber data tertulis
seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai macam
34

Sunaryati, Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung :
Alumni, 1994), hal.101
35
Op.cit., hal. 13

Universitas Sumatera Utara

22

dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal ini seorang peneliti di
harapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang terkait dengan
objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam menganalisis data
dan menyajikan hasil penelitian.
3. Data Sekunder
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu
baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber
data tersebut terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang antara lain dari :
1. Al-Qur’an dan Hadist;
2. Kompilasi Hukum Islam;
3. Undang-Undang Jabatan Notaris;
4. Undang-Undang Hukum Perdata
b. Bahan Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa :
1. Buku-buku;
2. Jurnal-jurnal;
3. Majalah-majalah;
4. Artikel-artikel media;

Universitas Sumatera Utara

23

5. Dan berbagai tulisan lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum atau
bahan-bahan yang dapat memberikan sejumlah informasi tentang bahan
hukum primer dan sekunder, ensiklopedia, dan lain-lain. Bahan hukum tersier
biasanya memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan ini, adalah
dengan metode penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
yaitu mengumpulkan data dan informasi serta mempelajari dokumen-dokumen, bukubuku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan ilmiah yang ada
hubunganya dengan judul penelitian. Selain itu, guna mendukung data primer yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula wawancara dengan
beberapa informan atau narasumber seperti: Notaris , Pegawai Notaris, Ketua Majelis
Ulama Sumatera Utara.
5. Analisis Data
Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal. ini berguna untuk
memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

Universitas Sumatera Utara

24

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pole tertentu, namun
penuh dengan yariasi (keragaman). Selanjutnya dianalisis untuk memperoleh
kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu
dari hal. yang bersifat umum menuju hal. yang bersifat khusus.

Universitas Sumatera Utara