Identifikasi Soil Transmitted Helminthes pada Sayuran Selada di Kota Medan Tahun 2015

17

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Transmitted Helminths
Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnya

membutuhkan tanah untuk proses pematangan. Kecacingan oleh STH ini ditularkan
melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi.
Di daerah yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mencemari
tanah. Empat spesies yang paling umum menginfeksi manusia adalah cacing gelang
(Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Wardhana et al., 2014).

2.1.1 Ascaris lumbricoides
A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat
Manusia merupakan satu-satunya hospes A. lumbricoides. Penyakit yang
disebabkannya disebut askariasis. Cacing dewasa hidup di dalam lumen usus halus
(yeyunum) manusia. Sedangkan larvanya masuk ke dalam pembuluh darah dan
bermigrasi melalui paru-paru (Budiawati, 2001).


B. Epidemiologi
Parasit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), 1.27 milyar lebih atau
sekitar seperempat dari populasi dunia terinfeksi (Roberts et al., 2005). Parasit ini
lebih banyak ditemukan di daerah beriklim tropik dengan kelembaban tinggi,
terutama di daerah dengan sanitasi yang buruk merupakan tempat yang baik untuk
pertumbuhan telur (Waikagul et al., 2002).
Defekasi yang sembarangan akan mencemari tanah dengan telur yang dapat
bertahan hidup selama bulanan bahkan tahunan. Tanah liat, kelembaban yang tinggi
dan suhu yang berkisar 25-30OC merupakan hal yang sangat baik untuk
berkembangnya telur A. lumbricoides menjadi bentuk infektif. Telur-telur ini tahan

Universitas Sumatera Utara

18

terhadap disinfektan karena lapisan telur nya mengandung ascarosides sehingga
pencegahan dan pemberantasan di daerah endemik sulit. Pada suhu yang lebih rendah
akan menghambat pertumbuhan telur tetapi menguntungkan lamanya kehidupan.
Telur akan rusak oleh sinar matahari langsung dalam 15 jam dan mati pada suhu

>40OC (Robert et al., 2005).
Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh parasit ini tetapi anak-anak pada
golongan umur 5-9 tahun lebih sering terkena infeksi dengan memakan makanan
yang kurang bersih ataupun memakan makanan dengan tangan yang terkontaminasi.
Sanitasi lingkungan yang buruk seperti kurangnya pemakaian jamban keluarga,
tempat pemukiman yang padat dan kotor akan menimbulkan pencemaran tanah
dengan tinja seperti memudahkan terjadinya infeksi parasit ini. Di beberapa daerah
yang menggunakan tinja sebagai pupuk, terutama di Asia, Jerman dan beberapa
negara Mediteranian, sayuran yang tidak dimasak merupakan faktor penting yang
berpengaruh terhadap kontaminasi telur A.lumbricoides, bahkan debu yang tertiup
angin dapat membawa telur pada kondisi tertentu (Roberts et al., 2005).

C. Morfologi dan Siklus Hidup
Parasit ini merupakan parasit usus terbesar. Cacing dewasa berbentuk silindris
yang mengecil pada kedua ujungnya, berwarna putih susu sampai coklat muda
(Waikagul et al., 2002). Cacing jantan mempunyai panjang 15-31 cm

dengan

diameter 2-4 mm dan mempunyai ekor yang membengkok. Cacing betina

mempunyai panjang 20-49 cm dengan diameter 3-6 mm dan mempunyai ekor lurus
(Robert et al., 2005). Cacing ini pada mulutnya mempunyai 3 bibir dengan gigi-gigi
kecil (dentikel) pada pinggirnya. Bibirnya dapat ditutup dan dipanjangkan untuk
memasukkan makanan. Pada hipodermis terdapat sel otot somatik yang besar dan
panjang yang berguna untuk mempertahankan posisinya di dalam usus halus
manusia. Alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung di dalam rongga badan.
Cacing jantan merniliki 2 buah spikulum yang dapat dikeluarkan dari kloaka,
sedangkan cacing betina memiliki vulva terbuka pada sepertiga anterior badan.

Universitas Sumatera Utara

19

Bagian ini lebih kecil dan dikenal sebagai cincin kopulasi (Copulatrix ring)
(Budiawati, 2001).
Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari
terdiri dari telur yang dibuahi dan tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berbentuk ovoid
dan berukuran 60 x 45 μ, bila baru dikeluarkan berisi satu sel tunggal dan tidak
infektif. Terdapat 3 tipe telur yang dapat diobservasi yaitu (1) telur yang dibuahi,
berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat dan berwarna coklat

keemasan. Ukurannya berkisar antara 55-57 μ panjangnya, dan 30-50 μ lebarnya.
Terdiri dari 3 lapis: Bagian luar dilapisi oleh albuminoid, bagian tengah glikogen dan
bagian dalam dilapisi oleh lapisan lipoid. (2) Telur yang mengalami dekortikasi yang
dibuahi maupun tidak dibuahi, tidak memiliki lapisan albuminoid yang juga berwarna
coklat keemasan. (3) Telur yang tidak dibuahi memiliki dinding yang tipis dan
berbentuk irregular. Ukurannya berkisar antara 88-95 μ panjangnya dan 44 μ
lebarnya. Dinding telur terdiri dari 2 lapisan: lapisan luar dilapisi oleh albuminoid
dan lapisan dalam oleh glikogen. Lapisan albuminoid ini kadang-kadang hilang atau
dilepaskan oleh zat kimia sehingga menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated)
(Waikagul et al., 2002).

Gambar 1.1. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan
manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti

Universitas Sumatera Utara

20


aliran darah menuju ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu
dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus
dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan
pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke
dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi
cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan
waktu kurang lebih 2-3 bulan (Wardhana et al., 2014).

Gambar 1.2 Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2014)
D. Patologi dan Gejala Klinik
Infeksi dari cacing A. lumbricoides yang mengandung l0 sampai 20 ekor cacing
sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru ditemukan pada pemeriksaan tinja
rutin atau bila cacing dewasa keluar sendiri dengan tinja. Patogenesis yang
disebabkan infeksi A. lumbricoides dihubungkan dengan respon imun hospes, efek
migrasi larva, efek mekanik cacing dewasa, defisiensi gizi akibat keberadaan cacing
dewasanya (Budiawati, 2001).

Universitas Sumatera Utara


21

Gejala yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa hal. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi, keadaan umum penderita,
daya tahan dan kerentanan penderita terhadap infeksi cacing. Gejala yang timbul pada
penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Migrasi larva ke paru-paru
menimbulkan gejala yang disebut "Sindroma Loeffler" berupa demam, eosinofilia,
urtikaria dan perubahan pada hati. Iritasi bronkial menyebabkan batuk spasmodik.
Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu (Wardhana
et al., 2014).

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa di dalam usus biasanya ringan,
seperti : mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat,
terutama pada anak bisa terjadi malabsorpsi sehingga akan memperberat gejala
malnutrisi. Cacing dewasa memperoleh makanan dengan merampas sari-sari
makanan hospes. Diketahui bahwa 20 ekor cacing dewasa memakan 2 gr hidrat arang
dan 0,79 gr protein sehari. Dengan demikian, infeksi berat yang disebabkan beratusratus cacing akan merampas sebagian besar makanan hospes sehingga akan
menimbulkan gangguan gizi pada anak. Bila cacing mengembara ke saluran empedu,
apendiks atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat, maka diperlukan
tindakan operatif (Budiawati, 2001).


E. Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan pemeriksaan tinja
secara langsung. Kebanyakan diagnosis dibuat untuk mengidentifikasi karakteristik
telur dalam tinja atau melihat ada tidaknya cacing dewasa keluar baik melalui mulut
atau hidung karena muntah maupun melalui tinja. A. lumbricoides harus dicurigai
ketika muncul gejala-gejala klinis seperti diatas. Pada kasus ringan biasanya
asimtomatik.

Universitas Sumatera Utara

22

F. Pengobatan
Mebendazole adalah terapi pilihan dan pyrantel pamoate sebagai cadangan.
Nitazoxamide untuk pengobatan cryptosporodial diarrhea diperkirakan dapat
mengobati beberapa jenis helminthes, termasuk A. lumbricoides.

G. Pencegahan
1. Sanitasi yang baik.

2. Mencuci tangan sebelum makan.
3. Edukasi kepada anak untuk menjauhkan tangan dari mulut pada saat bermain
di tanah.
4. Mencuci dengan bersih sayuran yang tidak dimasak (Waikagul et al., 2002).

2.1.2 Trichuris trichiura
A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat
Manusia merupakan hospes utama T. trichiura , akan tetapi cacing tersebut juga
pernah dilaporkan di dalam kera dan babi. Penyakit yang disebabkannya disebut
trikuriasis. T. trichiura terutama hidup di caecum, akan tetapi dapat juga ditemukan
di apendiks dan ileum bagian distal. Pada infeksi berat, cacing ini tersebar di seluruh
kolon dan rektum dan kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami
prolapsus akibat mengejan pada waktu defekasi (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi
Penyebaran cacing ini secara kosmopolit. Lebih banyak ditemukan di daerah
panas dan lembab dan dengan sanitasi yang buruk. Parasit ini termasuk yang kedua
tersering pada infeksi STH pada negara tropis (Waikagul et al., 2002). Frekuensi di
Indonesia tinggi, pada beberapa daerah pedesaan berkisar antara 30-90%. Di Amerika
Selatan angka prevalensinya berkisar antara 20-25%. Yang penting untuk penyebaran

penyakit adalah kontaminasi tanah oleh tinja, sehingga pemakaian tinja sebagai
pupuk di beberapa negara merupakan sumber infeksi. Telur berkembang menjadi

Universitas Sumatera Utara

23

bentuk infektif pada tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum 30oc.
Tanah yang tercemar dengan telur-telur cacing dari penderita akan menjadi sumber
penularan kepada orang lain melalui tangan, makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi dengan telur yang sudah dalam stadium infektif (Budiawati, 2001).

C. Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing ini dikenal sebagai cacing cambuk karena bagian anterior seperti
cambuk, tiga perlima dari tubuhnya dilalui oleh esophagus yang sempit. Bagian
posteriornya lebih tebal, dua perlima dari tubuhnya berisi usus dan seperangkat alat
reproduksi. Panjang cacing jantan 30-45 mm dan cacing betina 35-50 mm. Bagian
posterior cacing betina membulat tumpul dan bagian posterior cacing jantan
melingkar dengan satu spikulum dan sarung yang retraktil (Waikagul et al., 2002).
Jumlah telur yang dihasilkan setiap hari oleh cacing betina diperkirakan antara

3.000-10.000 butir. Telurnya berukuran 50-54

μ x 22-23 μ berbentuk seperti

tempayan dengan tutup yang jernih dan menonjol pada kedua kutub. Kulit bagian luar
berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Sel telur yang dibuahi
waktu dikeluarkan cacing betina belum membelah. Perkembangan embrio terjadi di
luar hospes. larva stadium pertama yang infektif dan belum menetas dibentuk dalam
waktu 3-4 minggu dalam lingkungan yang sesuai yakni tanah hangat, basah dan
tempat teduh. Telur-telur kurang resisten dibanding telur A. lumbricoides terhadap
pengeringan, panas dan dingin (Waikagul et al., 2002). Cacing cambuk tidak
membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh menjadi bentuk infektif (Wardhana et
al., 2014).

Gambar 2.1 Telur Trichuris trichiura (CDC, 2014)

Universitas Sumatera Utara

24


Infeksi terjadi bila telur matang tertelan oleh manusia, larva yang keluar dari
dinding telur yang sudah dicerna masuk ke dalam usus halus bagian proksimal dan
menembus vili usus, menetap disitu selama 3-10 hari dekat kripta lieberkuhn. Setelah
menjadi dewasa, cacing turun makin ke bawah ke daerah caecum. Suatu struktur yang
menyerupai tombak pada bagian anteriornya yang seperti cambuk tertanam ke dalam
mukosa usus hospesnya, tempat cacing itu mengambil makanannya. Sekresi mungkin
dapat mencairkan sel-sel mukosa yang berdekatan. Masa pertumbuhan mulai dari
telur yang tertelan sampai menjadi dewasa yang menghasilkan telur ialah 30-90 hari,
hidupnya mungkin selama beberapa tahun (Budiawati, 2001).

Gambar 2.2 Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2014)

D. Patologi dan Gejala Klinik
Cacing yang menginfeksi kurang dari 100 jarang menyebabkan infeksi ataupun
dapat menyebabkan infeksi tanpa gejala yang khas. Kasus berat terjadi dan pada
beberapa keadaan dapat meyebabkan kematian (Roberts et al., 2005).
Kerusakan mekanis pada mukosa dan respon alergi hospes merupakan faktor
utama untuk setiap kelainan patologi yang berkaitan dengan infeksi ini dan
berhubungan erat dengan jumlah cacing, lamanya infeksi dan umur serta status
kesehatan umum dari hospes. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa

Universitas Sumatera Utara

25

usus dan menghisap darah, disamping itu dari tempat perlengketannya dapat terjadi
perdarahan sehingga bisa menyebabkan anemia. Anemia yang jelas dapat menyertai
infeksi Trichuris trichiura dengan kadar Hb serendah 3 gr per 100 ml darah. Setiap
hari seekor cacing menghisap darah sebanyak 0,005 ml. Infeksi ringan biasanya tidak
menunjukkan gejala dan ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan tinja. Pada
infeksi yang berat timbul keluhan karena iritasi pada mukosa, seperti nyeri perut,
sukar untuk buang air besar, mencret, kembung, sering flatus, rasa mual, muntah dan
turunnya berat badan. Bahkan pada keadaan berat sering ditemukan malnutrisi,
terutama pada anak-anak dan kadang-kadang juga terjadi perforasi dan prolaps rekti
(Waikagul et al., 2002).

E. Diagnosis
Diagnosis T.trichiura berdasarkan penemuan telur yang khas seperti tempayan
di dalam tinja (Waikagul et al., 2002).

F. Pengobatan
Pengobatan trichuriasis tidak seefektif pengobatan parasit usus lainnya.
Bagaimanapun, mebendazole 100 mg perhari selama 3 hari memberikan hasil yang
cukup memuaskan, sedangkan pemberian albendazole 400 mg dosis tunggal atau
dosis ganda selama 2 sampai 3 hari memberikan hasil yang baik (Waikagul et al,
2002).

G. Pencegahan
Hiegenitas perorangan sangat penting. Dalam komunitas, edukasi kesehatan
sangat diperlukan pada beberapa aspek misalnya: sanitasi, buangan limbah,
pembuangan tinja manusia yang layak. Pembangunan jamban dan pemakaian yang
tepat sangat bermanfaat dalam mengontrol infeksi (Waikagul et al., 2002).

Universitas Sumatera Utara

26

2.1.3 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat
Cacing tambang yang menginfeksi manusia ada 2 jenis yaitu Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus. Kedua cacing ini disebut cacing tambang karena

pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang belum
mempunyai sanitasi yang memadai. Telur dari kedua cacing ini lebih sering disebut
sebagai cacing tambang. Cacing tambang dewasa dapat dibedakan dari bentuk,
ukuran dan morfologi serta mulut. Hospes defenitif kedua spesies ini adalah manusia.
Cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing dewasa
meletakkan dirinya pada mukosa usus halus terutama di yeyenum, beberapa di
duodenum dan jarang di ileum dengan dua pasang gigi pada A. duodenale dan
sepasang benda kitin pada N. americanus (Budiawati, 2001).

B. Epidemiologi
Penyebaran cacing tambang di seluruh daerah khatulistiwa, yang kelembaban
dan temperaturnya menguntungkan untuk perkembangan larva di tanah. Tanah
gembur (pasir, humus) merupakan tempat pembiakan yang baik untuk larva cacing
tambang. Suhu optimum bagi N. americanus adalah 280-320C. Ini adalah salah satu
sebab mengapa N. americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.
duodenale (Budiawati, 20001). Dalam diskusi biologi pada hookworm, hal ini terjadi

karena kombinasi dari sanitasi yang buruk dan lingkungan yang memiliki tingkat
endemik yang tinggi (Roberts et al., 2005).

C. Morfologi dan Siklus Hidup
Ukuran A. duodenale sedikit lebih besar dari N. americanus. Cacing dewasa
jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm.
Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale
menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N. americanus

Universitas Sumatera Utara

27

mempunyai benda kitin, sedangkan A. duodenale ada dua pasang gigi (Wardhana et
al., 2014).

Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran 40 x 60 μ.
Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus, di antara ovum dan dinding
telur terdapat ruangan yang jelas dan bening. Telur yang baru keluar bersama tinja
mempunyai ovum yang mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur N.
americanus tidak dapat dibedakan dari A. duodenale. Jumlah telur per-hari yang

dihasilkan seekor cacing betina N. americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada
A. duodenale 10.000-20.000 butir (Wardhana et al., 2014).

Gambar 3.1 Telur cacing tambang (hookworm) (CDC, 2014)
Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah.
Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur akan menetas dalam
1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250-300 μm. Setelah dua
kali mengalami perubahan akan terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur
ke larva filariform adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan
masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah
itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke bronkus, trakea,
faring, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus
(Wardhana et al., 2014).

Universitas Sumatera Utara

28

Gambar 3.2 Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2014)
Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva maupun
cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk maculopapula dan eritem,
sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch. Sewaktu larva
berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat
menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis (Wardhana et al., 2014).

D. Patologi dan Gejala Klinik
Gejala klinik dan patologis penyakit cacing ini bergantung pada jumlah cacing
yang menginfeksi usus; paling sedikit 500 cacing diperlukan untuk menyebabkan
terjadinya anemia dan gejala klinik pada pasien dewasa.
l. Stadium larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit
yang disebut "ground itch". Perubahan pada paru biasanya ringan.

2. Stadium dewasa
Gejala tergantung pada : (a). spesies dan jumlah cacing dan (b). keadaan gizi
penderita ( Fe dan protein ).

Universitas Sumatera Utara

29

Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,0050,1cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,05-0,34 cc. Biasanya tejadi anemia hipokrom
mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Rasa tak enak diperut, kembung,
sering flatus, mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus
yang terjadi lebih kurang 2 minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam
kulit. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing (Budiawati, 2001).

E. Diagnosis
1. Pemeriksaan tinja untuk mengetahui karakteristik telur.
2. Gejala klinis.
3. Pemeriksaan sputum untuk mengetahui ada tidaknya larva.
4. Biakan tinja untuk membedakan telur N.americanus dan A.duodenale dengan
metode Harada—mori (Waikagul et al., 2002).

F. Pengobatan
Mebendazole adalah pilihan pengobatan. Selain untuk mengobati infeksi N.
americanus dan A. duodenale obat ini juga dapat mengobati infeksi A. lumbricoides.

dosis tunggal selain murah, tepat dan efektif. Sayangnya belum ada keterangan
tentang resisten albendazole terhadap N. americanus (Waikagul et al., 2002).

G. Pencegahan
Infeksi cacing tambang dilaporkan lebih banyak pada ras kulit hitam daripada
kulit putih, pada generasi muda daripada generasi tua, pada laki-laki daripada
perempuan. Resiko tinggi infeksi ini terjadi pada petani yang menggunakan pupuk
dari tinja, pada orang-orang yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki dan pada
orang yang mengkonsumsi sayuran mentah (Waikagul et al., 2002)
Pencegahan yang efektif bergantung pada peningkatan kesehatan dan sanitasi
yang adekuat.

Universitas Sumatera Utara

30

Hal-hal lain yang harus dilakukan:
1) Mengobati orang yang positif terkena infeksi dan mencegah reinfeksi dengan
menghentikan pencemaran tanah.
2) Memberikan edukasi tentang infeksi parasit, hiegenitas perorangan dan sanitasi.
3) Pembuangan tinja yang bersih dan mencegah penggunaan pupuk dari tinja
(Waikagul et al., 2002).

2.2 Selada (Lactuca sativa)
Selada (Lactuca sativa) termasuk tanaman setahun atau semusim yang banyak
mengandung air (herbaceous). Batangnya pendek berbuku-buku tempat kedudukan
daun. Daun-daun selada bentuknya bulat panjang, mencapai ukuran 25 cm dan
lebarnya 15 cm atau lebih.
Di daerah yang beriklim sedang (sub-tropis) tanaman selada mudah berbunga.
Bunganya berwarna kuning, terletak pada rangkaian yang lebat dan tangkai bunganya
dapat mencapai ketinggian 90 cm. Bunga ini menghasilkan buah berbentuk polong,
yang berisi biji. Biji selada berbentuk pipih, berukuran kecil-kecil serta berbulu
tajam.
Selada dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun pertumbuhan yang baik
akan diperoleh bila ditanam pada tanah gembur, lembab dan mengandung cukup
bahan organik. Diasumsikan selada dan STH hidup dalam kondisi tanah yang serupa.
Daun selada berposisi duduk sehingga kontak langsung dengan tanah. Keadaan ini
memungkinkan telur STH akan mudah menempel pada daun selada yang berada dekat
dengan lokasi BAB terutama pada bagian krop terluar dan ujung bagian selada.
Berbeda dengan sayuran lain, selada tidak pernah dimasak karena setelah
dimasak rasanya menjadi agak liat. Hal ini memungkinkan telur STH dengan mudah

Universitas Sumatera Utara

31

masuk ke dalam tubuh karena selada yang dikonsumsi tidak dicuci bersih (Asihka et
al., 2014).

2.3. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths pada Sayuran
Sayuran lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara mentah. Hal
ini dikarenakan tekstur dan organoleptik sayuran lalapan ini memungkinkan untuk
dikonsumsi secara mentah. Kelebihan sayuran lalapan adalah ketika dikonsumsi zatzat gizi yang terkandung didalamnya tidak mengalami perubahan (Wardhana, 2014)
Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
telur STH pada sayuran adalah dengan metode tak langsung. Dalam metode ini telur
cacing tidak langsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel
diperlakukan sedemikian rupa sehingga telur cacing dapat terkumpul. Metode ini
menghasilkan sediaan yang lebih bersih daripada metode yang lain.
Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi (pengendapan)
dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi adalah memisahkan antara
suspensi dan supernatan dengan adanya sentrifugasi sehingga telur cacing dapat
terendap. Sedangkan prinsip dari teknik flotasi adalah berat jenis telur cacing lebih
kecil daripada berat jenis NaCl jenuh sehingga mengakibatkan telur cacing akan
mengapung di permukaan larutan.
Pemeriksaan dengan teknik sedimentasi dan flotasi memiliki kelebihan dan
kekurangan. Teknik sedimentasi memerlukan waktu lama, tetapi mempunyai
keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak bentuknya. Pada teknik
flotasi, pemeriksaan tidak akurat bila berat jenis larutan pengapung lebih rendah
daripada berat jenis telur dan jika berat jenis larutan pengapung ditambah maka akan
menyebabkan kerusakan pada telur (Wardhana, 20014).

Universitas Sumatera Utara

32

2.4 Kerangka Teori

Sayuran

- Penggunaan tinja sebagai pupuk
- Sistem irigasi yang buruk
- Pencemaran tanah oleh feses
yang terkontaminasi
- Sanitasi dan hiegenitas yang
buruk

Kontaminasi

Konsumen

Universitas Sumatera Utara