Eksistensi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia (PAI) Pinang Lombang Di Desa Sei Raja Labuhan Batu 1974-2000

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan dalam arti kata yang luas bermakna merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap individu dalam masyarakat. Proses pemindahan nilai-nilai yang dimaksud dapat dilakukan dengan berbagai jalan. Salah satunya adalah melalui proses pengajaran. Oleh karena itu, pengajaran diartikan sebagai pemindahan pengetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan kepada individu lain yang belum mengetahui.1

Seiring berjalannya waktu, maka pada saat ini umumnya kemudian pesantren disejajarkan dengan sekolah umum, mulai dari tingkat pendidikan kanak-kanak sampai setingkat Sekolah Menengah Atas. Pendidikan yang diterapkan di pesantren juga kemudian

Ada banyak sarana yang dibangun untuk mewujudkan berlangsungnya proses pengajaran Islam terhadap masyarakat khususnya generasi muda. Tempat-tempat ini didirikan dengan maksud agar setiap orang yang menimba ilmu di tempat ini nantinya memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai agama Islam dan segala hukum yang berlaku dalam ajaran Islam, dan dapat memperoleh pemahaman mengenai hubungan manusia sebagai hamba dan Tuhannya sebagai satu-satunya yang disembah.

Tempat yang lazim dijadikan sebagai sarana untuk berlangsungnya pendidikan Islam adalah pondok pesantren. Di pondok pesantren, ajaran Islam diajarkan secara khusus dan mendalam. Pada awalnya pesantren memang dimaksudkan bagi mereka yang ingin menimba ilmu mengenai ajaran Islam, dari berbagai usia tidak peduli tua atau pun muda.

1


(2)

disesuaikan dengan standar pendidikan yang berlaku di Indonesia, termasuk kurikulum yang digunakan.

Pesantren bukanlah semacam sekolah atau madrasah, walaupun dalam lingkungan pesantren telah banyak pula didirikan unit-unit pendidikan klasikal serta kursus-kursus. Berbeda dengan sekolah, pesantren mempunyai kepemimpinan, ciri-ciri khusus dan semacam kepribadian yang diwarnai oleh karakteristik pribadi sang pendirinya, unsur-unsur pimpinan pesantren, bahkan aliran keagamaan tertentu yang dianut. Pesantren juga bukan semata-mata merupakan lembaga pendidikan, melainkan juga sebagai lembaga kemasyarakatan dalam arti memiliki pranata sendiri yang memiliki hubungan fungsional dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan kultur masyarakat khususnya yang berada di dalam lingkungan pengaruhnya.2

Satu hal yang menarik dari pendidikan pesantren ialah tidak adanya jurang pemisah antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah seperti antara guru dengan murid atau pun antara kehidupan murid dengan alam sekitarnya. Proses pembentukan watak dan nilai-nilai berjalan bersamaan dan seimbang dengan proses belajar memperoleh ilmu dan ketrampilan.

Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan dan mengembangkan serta menyebarkan ilmu agama Islam tidaklah memiliki kesamaan dan keseragaman antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Setiap pesantren memiliki ciri-ciri khusus serta karakteristik tersendiri. Sekali pun demikian fungsinya memiliki kesamaan. Lembaga ini pun memiliki nama yang berbeda-beda di tiap daerah. Di daerah Aceh misalnya disebut rangkang meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut surau, dan untuk daerah Pasundan disebut pondok.

2


(3)

Kesemuanya dijalankan dalam suatu keserasian kehidupan bersama di suatu pondok, yang menjalin pula suatu harmoni dengan kehidupan masyarakat pedesaan di sekitarnya.

Sesuatu yang unik pada dunia pesantren adalah begitu banyaknya variasi antara pesantren yang satu dengan pesantren lainnya, walupun dalam banyak hal dapat juga ditemukan kesamaan. Variasi tersebut dapat dijumpai apabila melihat pesantren dengan teliti dan mendetail. Artinya, seseorang dapat melihat pesantren dari corak kepemimpinannya, daerah sekitarnya, spesialisasi yang diajarkan serta bentuk aliran keagamaan yang dianut, kelompok santri, susunan kurikulumnya, dan sebagainya.

Salah satu pesantren yang menyesuaikan dengan perkembangan serta kebutuhan masyarakatnya di Labuhan Batu adalah Pesantren At-Thoyyibah Indonesia (PAI) yang terletak di Dusun Pinang Lombang Desa Sei Raja Kecamatan NA IX-X. Pesantren At-Thoyyibah Indonesia merupakan salah satu pesantren modern di Labuhan Batu yang didirikan sejak tahun 1974. Istilah “modern” ini menunjukkan segi-segi perbedaan dengan sistem pondok tradisional atau pendahulunya dalam penggunaan sistem sekolah untuk segi pendidikan dan pengajarannya. Pengertian “modern” ini pun hanya dapat diterapkan pada masalah tersebut. Meskipun telah modern dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, lembaga ini tetap mempertahankan ideologi pendidikan pondok dengan harapan dapat dikembangkan nilai-nilai positif yang tersampul di dalamnya dan dipertahankan kontinuitas sejarah dengan lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berdasar keagamaan, dengan dasar tujuan pendidikan yang sesuai dengan ajaran agama Islam, tradisi kebudayaan Indonesia, dan diselenggarakan dengan sistem pendidikan dan pengajaran modern, maka dasar-dasar


(4)

lembaga pendidikan di Pesantren At-Thoyyibah Indonesia ini adalah dasar tauhid, yaitu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan kesadaran mutlak.3

Perjalanan panjang Pesantren At-Thoyyibah Indonesia hingga mencapai kemajuannya tidak terlepas dari peran H. Adenan Lubis, dan masyarakat Pinang Lombang berserta tokoh-tokoh yang tergabung dalam organisasi Muhammadiyah Labuhan Batu. Dengan mendapatkan dukungan material seperti sebidang tanah yang diwakafkan oleh saudaranya untuk didirikan lembaga pendidikan agama, H. Adenan Lubis dapat dikatakan berhasil menjadikan pesantren yang didirikannya itu menjadi sebuah pesantren yang dikenal oleh masyarakat dari berbagai daerah. Hal ini tidak terlepas dari karakter beliau yang kharismatik dan begitu disegani, baik oleh keluarga, sahabat, maupun santri-santrinya. Menjadi sesuatu yang wajar apabila pada masanya Pesantren At-Thoyyibah Indonesia menjadi terkenal dan sempat disebut sebagai “Gontornya Sumatera Utara”.4

Keberhasilan yang pernah dicapai oleh Pesantren At-Thoyyibah Indonesia tidak dapat diikuti oleh anaknya yang menggantikan H. Adenan Lubis untuk memimpin pesantren setelah beliau meninggal. Kepemimpinannya yang kharismatik itu tidak dimiliki oleh anaknya yang menggantikannya menjadi pemimpin di Pesantren At-Thoyyibah Indonesia. Berbagai faktor telah mempengaruhi kemunduran Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, sehingga eksistensinya di masyarakat semakin lama semakin berkurang dengan meninggalnya H. Adenan Lubis.

Hal ini dapat ditandai dengan banyaknya murid beliau yang datang untuk mondok di pesantren ini.

3

Wawancara dengan Ir. H. Tamsil Lubis di Kantor PDAM Tirtanadi Medan pada tanggal 12 April 2013.

4

Pesantren At-Thoyyibah Indonesia memperoleh gelar “Gontor Sumatera Utara” dari masyarakat karena pada saat itu Pesantren At-Thoyyibah Indonesia merupakan salah satu pesantren modern yang pertama di Labuhan Batu dalam bidang pendidikan dan pengajarannya sama seperti Pondok Modern Gontor yang didirikan oleh tiga bersaudara, yaitu Ahmad Sahal, Zainudin Fananie dan Imam Zarkasyi (sumber: Majalah At-Thoyyibah, yang diterbitkan oleh IKAPPAI Press tahun 2012).


(5)

Selain menyangkut corak kepemimpinan, di sisi yang berbeda juga ditunjukkan oleh Pesantren At-Thoyyibah Indonesia yang memiliki keunikan jika dilihat dari lingkungan masyarakatnya yang lebih banyak menganut Tarekat Naqsabandiyah.5 Diketahui, munculnya tarekat Naqsabandiyah dibawa oleh Syaikh Abdul Wahab yang berasal dari Rokan, Riau. Untuk mengembangkan ajaran Tarekat Naqsabandiyah, Syaikh Abdul Wahab memulainya di Rokan hingga ke sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera-Siak, Tembusai di Riau sampai ke Kerajaan Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, hingga ke Besilam di Langkat.6 Ajaran tarekat yang didirikan oleh Abdul Wahab ini menarik ratusan orang yang datang minta untuk dibaiat. Abdul wahab mengangkat sekitar 120 khalifah yang berasal dari berbagai daerah seperti Riau dan ada juga dari Malaysia. Salah satu khalifah generasi pertama yaitu Abdul Manan dari Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan.7

Di samping kegiatan tarekat yang diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Pinang Lombang, ternyata di sisi lain kehidupan masyarakat dusun ini masih banyak diwarnai perilaku kejahatan atau kriminalitas. Dengan kata lain, walaupun sudah ada kegiatan tarekat

Abdul Manan ini kemudian hijrah ke Pinang Lombang dan melanggengkan garis keguruan Naqsabandiyah. Ajaran tarekat di Pinang Lombang yang didirikan oleh Abdul Manan ini pun menarik sebagian masyarakatnya untuk bergabung, sama halnya seperti yang dilakukan oleh Tuan Gurunya yaitu Syaikh Abdul Wahab.

5

Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu ajaran keagamaan yang mengutamakan pemahaman hakikat dan tasauf, serta mengandung unsur-unsur pemahaman rohani. Kata Naqsyabandiyah berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Naqsh dan Band yang berarti "jalan rantai" atau "rantai emas". Di Sumatera Utara ajaran tarekat ini dikembangkan oleh Syaikh Abdul Wahab, yang juga merupakan pendiri Pesantren Babussalam, Langkat.

6

Hasan Asari, dkk., MIQAT Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Medan: IAIN Press Medan, 2011, hal. 60. 7

Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, hal. 135.


(6)

sebelumnya, namun hal tersebut tidak berpengaruh banyak dengan kebanyakan orang-orang yang melakukan tindakan kriminalitas tersebut. Masyarakat Dusun Pinang Lombang dianggap jauh dari nilai-nilai agama, dan hanya sebagian kecil saja dari mereka yang dekat dengan nilai agama, yaitu mereka yang menganut Terekat Naqsabandiyah.

Dipilihnya Dusun Pinang Lombang sebagai lokasi pendirian Pesantren At-Thoyyibah Indonesia sebenarnya cukup menarik karena wilayah ini sebelumnya lebih dikenal dengan kriminalitasnya, padahal sebagian besar masyarakatnya juga menganut Tarekat Naqsabandiyah. Berdasarkan alasan inilah membuat penulis tertarik meneliti Pesantren At-Thoyyibah Indonesia dengan judul “Eksistensi Pesantren At-At-Thoyyibah Indonesia Pinang Lombang di Desa Sei Raja Labuhan Batu Tahun 1974-2000”. Dalam penelitian ini penulis memberi batasan waktu yaitu sekitar tahun 1974 yang merupakan tahun dimana awal berdirinya Pondok Pesantren At-Thoyyibah Indonesia di Labuhan Batu. Tahun 2000 merupakan kondisi pesantren mulai mengalami penurunan. Hal tersebut mulai nampak dengan menurunnya jumlah santri sekitar tiga puluh persen terutama setelah pemimpin pesantren meninggal dunia.8

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah di sekitar latar belakang didirikannya Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, keberadaannya serta kontribusinya untuk

Rentang waktu antara tahun 1974 sampai 2000 adalah masa dimana penulis membahas bagaimana keberadaan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia di Dusun Pinang Lombang.

1.2 Rumusan Masalah

8


(7)

masyarakat sekitar selama periode 1974-2000. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini, maka hal-hal yang dibicarakan berupa:

1. Apa latar belakang didirikannya Pondok Pesantren At-Thoyyibah Indonesia di Dusun Pinang Lombang Desa Sei Raja?

2. Bagaimana keberadaan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia Dusun Pinang Lombang selama tahun 1974-2000?

3. Apa kontribusi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia bagi masyarakat sekitar?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Setelah menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas oleh penulis, selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penelitian dalam melakukan penelitian ini serta manfaat yang dapat dipetik. Ada pun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan latar belakang didirikannya Pondok Pesantren At-Thoyyibah Indonesia di Dusun Pinang Lombang Desa Sei Raja.

2. Menjelaskan keberadaan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia dari tahun 1974-2000. 3. Menjelaskan kontribusi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia bagi Desa Sei Raja.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi masyarakat khususnya, akan mengetahui bagaimana sejarah awal berdirinya Pesantren At-Thoyyibah Indonesia dan dapat mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Islam di daerah mereka.


(8)

2. Bagi pemerintah, perkembangan pendidikan Islam di Labuhan Batu dapat ditinjau dari seberapa banyak berdirinya pesantren dan seberapa besar minat masyarakat menyekolahkan anak-anak mereka ke sana.

3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan.

4. Bagi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, dapat menjadi cerminan untuk terus menata diri sehingga dapat memberikan kontribusi yang baik sebagai sebuah lembaga pendidikan agama.

1.4 Tinjauan Pustaka.

Terdapat beberapa literatur yang digunakan dalam mendukung penelitian ini.

Pertama, karya Abdurrahman Wahid, dkk., dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1974 oleh penerbit LP3ES dengan judul “Pesantren dan Pembaharuan” yang menjelaskan bagaimana awalnya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam serta perkembangan pondok pesantren itu sendiri. Kemudian dijelaskan juga bagaimana peran seorang kiai sebagai pemimpin pesantren yang empunya kuasa dan pengaruh di lingkungan pesantren tersebut. Buku ini juga menjelaskan bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren, baik yang tradisional maupun yang modern. Buku ini memiliki keterkaitan dengan penelitian ini terutama tidak terlepasnya peranan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren. Di saat seorang pemimpin tersebut meninggal, pesantren yang ditinggalkannya mengalami penurunan. Hal tersebut membuktikan bahwa Pesantren Modern tidak terlepas dari ketradisionalannya, yaitu peranan seorang kiai atau pemimpin.


(9)

Kedua, Marwan Suridjo, dkk., dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1983 oleh penerbit Dharma Bhakti dengan judul “Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia”. Buku ini sangat membantu peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana perkembangan pesantren-pesantren yang terdapat di Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana pondok pesantren pada permulaan perkembangan Islam yang diawali dengan masuknya Islam pertama kali, kemudian juga peranan paranan para Wali Songo dalam penyiaran Islam terutama di Pulau Jawa. Selain itu dijelaskan juga pondok pesantren ketika masa penjajahan Belanda dan juga pondok pesantren pasca kemerdekaan Indonesia serta beberapa contoh pondok pesantren terkenal di Indonesia.

Ketiga, Kafrawi dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1978 oleh penerbit P.T. Cemara Indah dengan judul “Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa”. Buku menguraikan secara jelas bagaimana sejarah pertumbuhan pesantren dan juga peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Selain itu juga dijelaskan bagaimana kurikulum pesantren berdasarkan zamannya dan lebih mendalam lagi dijabarkan bagaimana alumni-alumni pesantren dalam memperoleh kesempatan kerja.

Keempat, Ahmad Musthofa Haroen, dkk., dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh penerbit CV. Maloho Jaya Abadi “Khazanah Intelektual Pesantren”. Dalam buku ini dijelaskan mengenai bagaimana intelektual murid-murid pesantren dalam menghadapi dunia di luar kehidupan pondok. Buku ini juga membahas mengenai mazhab-mazhab yang berlaku di Indonesia yang secara mendalam dipelajari di lingkungan pesantren. Di samping itu dijelaskan juga bagaimana kehidupan pesantren dan pluralisme yang ada di luar pesantren. Hal ini berkaitan dengan hubungan masyarakat ataupun warga pondok pesantren


(10)

dengan kehidupan di luar pesantren. Selain itu juga dibahas mengenai kesetaraan gender yang dibahas secara mendalam. Walaupun dalam Islam laki-laki diakui sebagai seorang imam, tetapi tetap saja kesetaraan gender itu perlu diperhatikan. Buku tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti tentang adanya hubungan dari dalam dan luar pesantren.

Akhirnya kelima, Hasan Langgulung dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1988 oleh penerbit Pustaka Al Husna yang berjudul “ Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke- 21, menguraikan bagaimana sejarah pendidikan Islam dari masa Islam di daratan Arab hingga sampai ke Indonesia. Dalam buku ini juga dijabarkan mengenai sarana pendidikan Islam yang merupakan tempat dimana generasi muda menimba ilmu ajaran Islam secara mendalam. Pendidikan Islam di Indonesia, seperti juga di bagian dunia Islam lainnya berjalan menurut rentak gerakan Islam pada umumnya, dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Dalam buku ini juga dijabarkan bagaimana perkembangan pendidikan Islam pada permulaan abad ke-20, juga bagaimana perjalanan pondok pesantren di Indonesia.

1.5 Metode Penelitian.

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.9

9

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (terj. Nugroho Notosusanto) Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985, hal 32.


(11)

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah menurut Dudung Abdurahman ada empat10

1. Heuristik atau pengumpulan sumber merupakan teknik mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Dalam hal ini sumber sejarah yang dimaksud adalah sumber tertulis dan sumber lisan. Pengumpulan sumber tersebut penulis lakukan melalui studi kepustakaan, seperti buku, dokumen, brosur, foto, arsip, majalah, yang semuanya itu penulis dapatkan dari perpustakaan, baik Perpustakaan PAI di Dusun Pinang Lombang, dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, serta beberapa perpustakaan lainnya seperti Perpustakaan Daerah di Medan. Pengumpulan data tidak hanya berupa literatur tetapi juga data yang didapatkan dari penelitian lapangan, seperti wawancara. Dalam penelitian lapangan penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yang memiliki berbagai informasi yang dibutuhkan dalam penelitian, seperti guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren (keturunan Almarhum H. Adenan Lubis), alumni pesantren, santri, serta beberapa warga desa yang memiliki keterkaitan dengan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, terutama masyarakat yang menganut Tarekat Naqsabandiyah.

. Langkah-langkah tersebut, adalah:

2. Kritik sumber, mengusahakan penulis untuk lebih dekat dengan nilai kebenaran dan keaslian sumber, terdiri dari kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal yaitu menelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber, baik dari buku, artikel, maupun arsip serta wawancara lisan dengan narasumber. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pengujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara.

10

Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2007, hal 54.


(12)

Adalah sangat penting untuk melakukan kritik eksternal demi menjaga objektifnya suatu data.

3. Interpretasi, merupakan tahap di mana penulis menganalisis atau menguraikan fakta-fakta yang diperoleh kemudian disatukan menjadi data yang objektif. Dalam hal ini, interpretasi yang dilakukan merupakan hasil dari pengumpulan sumber tentang objek kajian penulis terhadap Pesantren At-Thoyyibah Indonesia Pinang Lombang di Desa Sei Raja Kecamatan NA IX-X Labuhan Batu.

4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini merupakan hasil dari pengumpulan, kritik (baik kritik internal maupun eksternal) serta hasil dari interpretasi.


(1)

masyarakat sekitar selama periode 1974-2000. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini, maka hal-hal yang dibicarakan berupa:

1. Apa latar belakang didirikannya Pondok Pesantren At-Thoyyibah Indonesia di Dusun Pinang Lombang Desa Sei Raja?

2. Bagaimana keberadaan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia Dusun Pinang Lombang selama tahun 1974-2000?

3. Apa kontribusi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia bagi masyarakat sekitar?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Setelah menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas oleh penulis, selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penelitian dalam melakukan penelitian ini serta manfaat yang dapat dipetik. Ada pun tujuan penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan latar belakang didirikannya Pondok Pesantren At-Thoyyibah Indonesia di Dusun Pinang Lombang Desa Sei Raja.

2. Menjelaskan keberadaan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia dari tahun 1974-2000. 3. Menjelaskan kontribusi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia bagi Desa Sei Raja.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Bagi masyarakat khususnya, akan mengetahui bagaimana sejarah awal berdirinya Pesantren At-Thoyyibah Indonesia dan dapat mengetahui bagaimana perkembangan pendidikan Islam di daerah mereka.


(2)

2. Bagi pemerintah, perkembangan pendidikan Islam di Labuhan Batu dapat ditinjau dari seberapa banyak berdirinya pesantren dan seberapa besar minat masyarakat menyekolahkan anak-anak mereka ke sana.

3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan.

4. Bagi Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, dapat menjadi cerminan untuk terus menata diri sehingga dapat memberikan kontribusi yang baik sebagai sebuah lembaga pendidikan agama.

1.4 Tinjauan Pustaka.

Terdapat beberapa literatur yang digunakan dalam mendukung penelitian ini.

Pertama, karya Abdurrahman Wahid, dkk., dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1974 oleh penerbit LP3ES dengan judul “Pesantren dan Pembaharuan” yang menjelaskan bagaimana awalnya pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam serta perkembangan pondok pesantren itu sendiri. Kemudian dijelaskan juga bagaimana peran seorang kiai sebagai pemimpin pesantren yang empunya kuasa dan pengaruh di lingkungan pesantren tersebut. Buku ini juga menjelaskan bagaimana sistem pendidikan pondok pesantren, baik yang tradisional maupun yang modern. Buku ini memiliki keterkaitan dengan penelitian ini terutama tidak terlepasnya peranan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren. Di saat seorang pemimpin tersebut meninggal, pesantren yang ditinggalkannya mengalami penurunan. Hal tersebut membuktikan bahwa Pesantren Modern tidak terlepas dari ketradisionalannya, yaitu peranan seorang kiai atau pemimpin.


(3)

Kedua, Marwan Suridjo, dkk., dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1983 oleh penerbit Dharma Bhakti dengan judul “Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia”. Buku ini sangat membantu peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana perkembangan pesantren-pesantren yang terdapat di Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana pondok pesantren pada permulaan perkembangan Islam yang diawali dengan masuknya Islam pertama kali, kemudian juga peranan paranan para Wali Songo dalam penyiaran Islam terutama di Pulau Jawa. Selain itu dijelaskan juga pondok pesantren ketika masa penjajahan Belanda dan juga pondok pesantren pasca kemerdekaan Indonesia serta beberapa contoh pondok pesantren terkenal di Indonesia.

Ketiga, Kafrawi dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1978 oleh penerbit P.T. Cemara Indah dengan judul “Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa”. Buku menguraikan secara jelas bagaimana sejarah pertumbuhan pesantren dan juga peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Selain itu juga dijelaskan bagaimana kurikulum pesantren berdasarkan zamannya dan lebih mendalam lagi dijabarkan bagaimana alumni-alumni pesantren dalam memperoleh kesempatan kerja.

Keempat, Ahmad Musthofa Haroen, dkk., dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2009 oleh penerbit CV. Maloho Jaya Abadi “Khazanah Intelektual Pesantren”. Dalam buku ini dijelaskan mengenai bagaimana intelektual murid-murid pesantren dalam menghadapi dunia di luar kehidupan pondok. Buku ini juga membahas mengenai mazhab-mazhab yang berlaku di Indonesia yang secara mendalam dipelajari di lingkungan pesantren. Di samping itu dijelaskan juga bagaimana kehidupan pesantren dan pluralisme yang ada di luar pesantren. Hal ini berkaitan dengan hubungan masyarakat ataupun warga pondok pesantren


(4)

dengan kehidupan di luar pesantren. Selain itu juga dibahas mengenai kesetaraan gender yang dibahas secara mendalam. Walaupun dalam Islam laki-laki diakui sebagai seorang imam, tetapi tetap saja kesetaraan gender itu perlu diperhatikan. Buku tersebut memiliki keterkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti tentang adanya hubungan dari dalam dan luar pesantren.

Akhirnya kelima, Hasan Langgulung dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1988 oleh penerbit Pustaka Al Husna yang berjudul “ Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke- 21, menguraikan bagaimana sejarah pendidikan Islam dari masa Islam di daratan Arab hingga sampai ke Indonesia. Dalam buku ini juga dijabarkan mengenai sarana pendidikan Islam yang merupakan tempat dimana generasi muda menimba ilmu ajaran Islam secara mendalam. Pendidikan Islam di Indonesia, seperti juga di bagian dunia Islam lainnya berjalan menurut rentak gerakan Islam pada umumnya, dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Dalam buku ini juga dijabarkan bagaimana perkembangan pendidikan Islam pada permulaan abad ke-20, juga bagaimana perjalanan pondok pesantren di Indonesia.

1.5 Metode Penelitian.

Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.9

9

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (terj. Nugroho Notosusanto) Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985, hal 32.


(5)

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah menurut Dudung Abdurahman ada empat10

1. Heuristik atau pengumpulan sumber merupakan teknik mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Dalam hal ini sumber sejarah yang dimaksud adalah sumber tertulis dan sumber lisan. Pengumpulan sumber tersebut penulis lakukan melalui studi kepustakaan, seperti buku, dokumen, brosur, foto, arsip, majalah, yang semuanya itu penulis dapatkan dari perpustakaan, baik Perpustakaan PAI di Dusun Pinang Lombang, dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, serta beberapa perpustakaan lainnya seperti Perpustakaan Daerah di Medan. Pengumpulan data tidak hanya berupa literatur tetapi juga data yang didapatkan dari penelitian lapangan, seperti wawancara. Dalam penelitian lapangan penulis melakukan wawancara dengan beberapa informan yang memiliki berbagai informasi yang dibutuhkan dalam penelitian, seperti guru, kepala sekolah, pimpinan pesantren (keturunan Almarhum H. Adenan Lubis), alumni pesantren, santri, serta beberapa warga desa yang memiliki keterkaitan dengan Pesantren At-Thoyyibah Indonesia, terutama masyarakat yang menganut Tarekat Naqsabandiyah.

. Langkah-langkah tersebut, adalah:

2. Kritik sumber, mengusahakan penulis untuk lebih dekat dengan nilai kebenaran dan keaslian sumber, terdiri dari kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal yaitu menelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber, baik dari buku, artikel, maupun arsip serta wawancara lisan dengan narasumber. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pengujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara.

10


(6)

Adalah sangat penting untuk melakukan kritik eksternal demi menjaga objektifnya suatu data.

3. Interpretasi, merupakan tahap di mana penulis menganalisis atau menguraikan fakta-fakta yang diperoleh kemudian disatukan menjadi data yang objektif. Dalam hal ini, interpretasi yang dilakukan merupakan hasil dari pengumpulan sumber tentang objek kajian penulis terhadap Pesantren At-Thoyyibah Indonesia Pinang Lombang di Desa Sei Raja Kecamatan NA IX-X Labuhan Batu.

4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini merupakan hasil dari pengumpulan, kritik (baik kritik internal maupun eksternal) serta hasil dari interpretasi.