Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Baru Lahir di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2015
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada
awal
bayi
dilahirkan,
empat
sampai
enam
bulan
sistem
gastrointestinalnya belum sempurna sehingga paling tepat diberikan air susu ibu
(ASI). Secara fisik, ASI yang kental dan hangat pada masa tersebut sangat cocok
dengan kondisi fisiologis bayi (Robiwala, 2012). Kandungan ASI juga memiliki
keunggulan yang baik bagi pertumbuhan bayi serta mampu memberikan perlindungan
secara aktif maupun pasif. Sebenarnya menyusui, khususnya yang secara eksklusif
merupakan cara pemberian makanan bayi yang alamiah dan membantu bayi terhindar
dari berbagai macam infeksi atau penyakit (Widodo, 2010). Namun, seringkali ibu
kurang mendapat informasi tentang pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI tidak
saja memberikan kesempatan yang baik pada bayi untuk tumbuh menjadi manusia
yang sehat secara fisik, tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang lebih
stabil, perkembangan spiritual yang positif dan sosial yang lebih baik (Roesli, 2009).
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), cabang Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012, hak bayi mendapat ASI diartikan mendapat ASI
sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA, 2001) yaitu bayi mendapat
ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan, selanjutnya diberikan makanan
pendamping air susu ibu (MPASI) atau pemberian ASI diteruskan sampai usia 2
tahun atau lebih. Pemberian ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa
tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan
tim serta dianjurkan untuk jangka waktu selama 6 bulan (Roesli, 2009).
Departemen Kesehatan melalui keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) No:
450/Menkes/Surat Keputusan (SK)/IV/2004 telah menetapkan bahwa pemberian ASI
secara eksklusif bagi bayi di Indonesia adalah sejak lahir sampai bayi berumur 6
bulan, dan semua tenaga medis agar menginformasikan kepada semua ibu yang baru
Universitas Sumatera Utara
2
melahirkan untuk memberikan ASI secara eksklusif, dikutip dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2009).
Menurut United Nation Children’s Fund (UNICEF), 2012 pemberian ASI
eksklusif pada 6 bulan pertama di Indonesia menurun 40% di tahun 2002 dan 32%
pada tahun 2007. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2009, hanya 3,7% bayi memperoleh ASI pada hari pertama, sedangkan pemberian
ASI pada usia 2 bulan pertama 64%, yang kemudian menurun pada periode
berikutnya umur 3 bulan 45,5%, pada umur 4-5 bulan 13,9% dan umur 6-7 bulan
7,8%. Sementara itu ada peningkatan penggunaan pengganti air susu ibu (PASI) yang
biasa disebut dengan susu formula tiga kali lipat dalam kurun waktu 2003 dari 10,8%
menjadi 32,4% pada tahun 2008, hal ini mungkin diakibatkan kurangnya
pemahaman, dukungan keluarga dan lingkungan akan pemberian ASI secara
eksklusif (Sianturi, 2011).
Pemberian ASI yang rendah di keluarga menjadi salah satu pemicu rendahnya
status gizi bayi dan bawah lima tahun (Balita). World Health Organization (WHO),
pada tahun 2014 melaporkan bahwa 60% kematian bayi dan balita disebabkan oleh
kurang gizi dan 2/3 dari kematian tersebut terkait dengan praktek pemberian makan
yang kurang tepat pada bayi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 6,7 juta bayi (27,3%)
menderita gizi kurang dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Anemia gizi
besi dijumpai pada sekitar 8,1 juta anak (Depkes RI, 2009).
Pemberian ASI eksklusif juga merupakan salah satu upaya mempercepat
penurunan angka kematian bayi sehingga Indonesia dapat mencapai target Millenium
Development Goals 4 (MDGs 4) yaitu, menurunkan angka kematian bayi dan balita
menjadi 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. ASI eksklusif juga dapat mencegah
penyakit seperti diare dan pneumonia, yang menyebabkan 40% kematian bayi dan
balita di Indonesia (Martin, 2013). Menurut UNICEF (2012), Indonesia merupakan
negara dengan peringkat kesembilan dalam jumlah kematian bayi di dunia setelah
India, Cina, Nigeria, Pakistan, Kongo, Etiopia, Bangladesh, dan Afganistan. Tanzania
merupakan negara dengan peringkat kesepuluh dengan jumlah kematian bayi yang
Universitas Sumatera Utara
3
lebih kecil daripada Indonesia. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2009)
melaporkan bahwa Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara mengestimasi Angka
Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 sebesar 26,90 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka ini menurun bila dibandingkan dengan AKB tahun sebelumnya yang sebesar
28,2 per 1.000 kelahiran hidup (Andi, 2010).
Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2007 oleh Nutrition & Health
Surveillance System (NSS) kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) serta Helen Keller International di 4 perkotaan Jakarta,
Surabaya, Semarang dan Makasar menunjukkan ibu yang memberikan ASI eksklusif
pada bayi (46,8%), berusia 25-35 tahun dan 62% daripada mereka berpendidikan
SMA. Didapatkan pengetahuan ibu tersebut baik tentang pemberian ASI walaupun
tahap pendidikan mereka sedang (Yuni, 2012). Semakin bertambah umur maka
pengetahuan semakin bertambah. Hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tajuk
Kecamatan
Gatesan
terhadap
38
responden,
menunjukkan
bahwa
yang
berpengetahuan baik tentang ASI eksklusif berada pada kategori umur 25-35 tahun
sebanyak 21 orang. Kategori umur
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada
awal
bayi
dilahirkan,
empat
sampai
enam
bulan
sistem
gastrointestinalnya belum sempurna sehingga paling tepat diberikan air susu ibu
(ASI). Secara fisik, ASI yang kental dan hangat pada masa tersebut sangat cocok
dengan kondisi fisiologis bayi (Robiwala, 2012). Kandungan ASI juga memiliki
keunggulan yang baik bagi pertumbuhan bayi serta mampu memberikan perlindungan
secara aktif maupun pasif. Sebenarnya menyusui, khususnya yang secara eksklusif
merupakan cara pemberian makanan bayi yang alamiah dan membantu bayi terhindar
dari berbagai macam infeksi atau penyakit (Widodo, 2010). Namun, seringkali ibu
kurang mendapat informasi tentang pemberian ASI eksklusif. Pemberian ASI tidak
saja memberikan kesempatan yang baik pada bayi untuk tumbuh menjadi manusia
yang sehat secara fisik, tetapi juga lebih cerdas, mempunyai emosional yang lebih
stabil, perkembangan spiritual yang positif dan sosial yang lebih baik (Roesli, 2009).
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), cabang Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012, hak bayi mendapat ASI diartikan mendapat ASI
sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA, 2001) yaitu bayi mendapat
ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan, selanjutnya diberikan makanan
pendamping air susu ibu (MPASI) atau pemberian ASI diteruskan sampai usia 2
tahun atau lebih. Pemberian ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa
tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa
tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan
tim serta dianjurkan untuk jangka waktu selama 6 bulan (Roesli, 2009).
Departemen Kesehatan melalui keputusan Menteri Kesehatan (Menkes) No:
450/Menkes/Surat Keputusan (SK)/IV/2004 telah menetapkan bahwa pemberian ASI
secara eksklusif bagi bayi di Indonesia adalah sejak lahir sampai bayi berumur 6
bulan, dan semua tenaga medis agar menginformasikan kepada semua ibu yang baru
Universitas Sumatera Utara
2
melahirkan untuk memberikan ASI secara eksklusif, dikutip dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2009).
Menurut United Nation Children’s Fund (UNICEF), 2012 pemberian ASI
eksklusif pada 6 bulan pertama di Indonesia menurun 40% di tahun 2002 dan 32%
pada tahun 2007. Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
2009, hanya 3,7% bayi memperoleh ASI pada hari pertama, sedangkan pemberian
ASI pada usia 2 bulan pertama 64%, yang kemudian menurun pada periode
berikutnya umur 3 bulan 45,5%, pada umur 4-5 bulan 13,9% dan umur 6-7 bulan
7,8%. Sementara itu ada peningkatan penggunaan pengganti air susu ibu (PASI) yang
biasa disebut dengan susu formula tiga kali lipat dalam kurun waktu 2003 dari 10,8%
menjadi 32,4% pada tahun 2008, hal ini mungkin diakibatkan kurangnya
pemahaman, dukungan keluarga dan lingkungan akan pemberian ASI secara
eksklusif (Sianturi, 2011).
Pemberian ASI yang rendah di keluarga menjadi salah satu pemicu rendahnya
status gizi bayi dan bawah lima tahun (Balita). World Health Organization (WHO),
pada tahun 2014 melaporkan bahwa 60% kematian bayi dan balita disebabkan oleh
kurang gizi dan 2/3 dari kematian tersebut terkait dengan praktek pemberian makan
yang kurang tepat pada bayi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 6,7 juta bayi (27,3%)
menderita gizi kurang dan 1,5 juta diantaranya menderita gizi buruk. Anemia gizi
besi dijumpai pada sekitar 8,1 juta anak (Depkes RI, 2009).
Pemberian ASI eksklusif juga merupakan salah satu upaya mempercepat
penurunan angka kematian bayi sehingga Indonesia dapat mencapai target Millenium
Development Goals 4 (MDGs 4) yaitu, menurunkan angka kematian bayi dan balita
menjadi 2/3 dalam kurun waktu 1990-2015. ASI eksklusif juga dapat mencegah
penyakit seperti diare dan pneumonia, yang menyebabkan 40% kematian bayi dan
balita di Indonesia (Martin, 2013). Menurut UNICEF (2012), Indonesia merupakan
negara dengan peringkat kesembilan dalam jumlah kematian bayi di dunia setelah
India, Cina, Nigeria, Pakistan, Kongo, Etiopia, Bangladesh, dan Afganistan. Tanzania
merupakan negara dengan peringkat kesepuluh dengan jumlah kematian bayi yang
Universitas Sumatera Utara
3
lebih kecil daripada Indonesia. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2009)
melaporkan bahwa Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara mengestimasi Angka
Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2007 sebesar 26,90 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka ini menurun bila dibandingkan dengan AKB tahun sebelumnya yang sebesar
28,2 per 1.000 kelahiran hidup (Andi, 2010).
Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2007 oleh Nutrition & Health
Surveillance System (NSS) kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) serta Helen Keller International di 4 perkotaan Jakarta,
Surabaya, Semarang dan Makasar menunjukkan ibu yang memberikan ASI eksklusif
pada bayi (46,8%), berusia 25-35 tahun dan 62% daripada mereka berpendidikan
SMA. Didapatkan pengetahuan ibu tersebut baik tentang pemberian ASI walaupun
tahap pendidikan mereka sedang (Yuni, 2012). Semakin bertambah umur maka
pengetahuan semakin bertambah. Hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tajuk
Kecamatan
Gatesan
terhadap
38
responden,
menunjukkan
bahwa
yang
berpengetahuan baik tentang ASI eksklusif berada pada kategori umur 25-35 tahun
sebanyak 21 orang. Kategori umur