Analisis Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Dana Penyesuaian Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi Di Pulau Sumatera

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pertumbuhan Ekonomi
Negara di dunia ini sudah lama menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai
target ekonomi. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi faktor yang paling penting
dalam keberhasilan perekonomian suatu negara untuk jangka panjang.
Pertumbuhan ekonomi sangat dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber
peningkatan standar hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya terus
meningkat.
“Economic Development is Growth Plus Change” yang berarti
pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh
perubahan-perubahan dalam struktur dan corak (Sukirno,1995). Simon Kuznets
dalam Sukirno, mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu peningkatan
bagi suatu negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi bagi penduduknya,
pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi, kelembagaan,
serta

penyesuaian

ideologi


yang

dibutuhkan

(Sukirno,1995).

Masalah

pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam
jangka panjang. Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa
akan meningkat dari satu periode ke periode lainnya. Kemampuan yang
meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang selalu meningkat baik
jumlah maupun kualitasnya. investasi akan menambah jumlah barang modal.

Teknologi yang digunakan berkembang disamping itu tenaga kerja
bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk, dan pengalaman kerja dan
pendidikan menambah keterampilan mereka. (Robinson Tarigan,2004) secara
khusus menjelaskan pengertian pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) sebagai
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu

kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi di wilayah (daerah)
tersebut. Pertambahan pendapatan ini diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam
harga konstan). Ukuran yang sering digunakan untuk menghitung pertumbuhan
ekonomi adalah Produk Domestik Bruto (PDB).
PDB adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam suatu negara
dalam satu tahun tertentu dengan menggunakan faktor-faktor produksi milik
warga negaranya dan penduduk di negara-negara lain (Sukirno ,2004).
Boediono (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output dalam jangka panjang. Pemakaian indikator pertumbuhan
ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya sepuluh,dua
puluh, lima puluh tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi akan terjadi
apabila ada kencenderungan yang terjadi dari proses internal perekonomian itu,
artinya harus berasal dari kekuatan yang ada di dalam perekonomian itu sendiri.
Todaro dan Smith (2006) mengatakan , terdapat tiga faktor atau komponen
utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, antara lain:
a. Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia.
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan

diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan

dikemudian hari.
b. Pertumbuhan penduduk, yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah
angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja (yang
terjadi beberapa tahun kemudian setelah pertumbuhan penduduk) secara
tradisional dianggap menjadi salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan
ekonomi. jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah jumlah
tenaga produktif.
c. Kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang paling
penting. Kemajuan teknologi terjadi karena ditemukannya cara baru atas
perbaikan cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan tradisional
seperti kegiatan menanam jagung, membuat pakaian atau membangun rumah.
Todaro dan Smith (2006) menjelaskan beberapa pendekatan teori klasik
pembangunan ekonomi, yaitu: teori tahapan linier dan pembangunan sebagai
pertumbuhan; model perubahan struktural; revolusi ketergantungan internasional.
Ada dua teori yang dapat dikelompokkan dalam teori tahapan linier dan
pembangunan sebagai pertumbuhan, yaitu teori pertumbuhan Rostow, dan teori
pertumbuhan Harrod-Domar.
Teori ini bertolak dari lingkungan intelektual yang masih steril dan dipacu
oleh politik Perang Dingin yang berkobar pada masa tersebut. Model
pembangunan


tahap

pertumbuhan

(stages-of-growth

model

development)

merupakan hasil pemikiran dari seorang ahli sejarah ekonomi dari Amerika
Serikat yaitu Walt W. Rostow.

Menurut ajaran W.W. Rostow perubahan dari keterbelakangan menuju
kemajuan ekonomi dapat dijelaskan dalam satu seri tahapan yang harus dilalui
oleh setiap negara. Adapun tahapan tersebut adalah:
(1) Tahapan perekonomian tradisional;
(2) Tahapan pra kondisi tinggal landas;
(3) Tahapan tinggal landas;

(4) Tahapan menuju kedewasaan;
(5) Tahapan konsumsi massa tinggi.
Diasumsikan juga terdapat hubungan ekonomi langsung antara besarnya
total stok modal (K), dengan GNP total (Y). setiap tambahan neto terhadap stok
modal dalam bentuk investasi baru akan menghasilkan kenaikan arus output
nasional atau GNP (Todaro, 2003:63).
Persamaan tersebut merupakan bentuk sederhana dari teori pertumbuhan
Harrod-Domar. Persamaan tersebut menjelaskan secara jelas bahwa tingkat
pertumbuhan GNP (ΔY/Y) ditentukan bersama-sama oleh rasio tabungan nasional
(s), serta rasio modal output nasional (k). secara lebih spesifik , persamaan
tersebut mentakan bahwa tanpa adaya intervensi pemerintah, tingkat pertumbuhan
pendapatan nasional berbanding lurus dengan rasio tabungan (semakin besar
bagian GNP yang ditabung atau diinvestasikan, K pertumbuhan GNP yang akan
dihasilkan menjadi lebih besar), dan berbanding terbalik dengan rasio modal
output di suatu perekonomian (semakin besar rasio modal-output nasional (k),
maka tingkat pertumbuhan ekonomi semakin rendah).
Jadi berdasarkan teori Harrod-Domar agar dapat tumbuh dengan pesat,
maka setiap perekonomian harus menabung dan menginvestasikan sebanyak

mungkin GNP-nya. Akan tetapi tingkat pertumbuhan aktiva yang dapat dijangkau

pada tiap tingkat tabungan dan investasi juga bergantung pad produktivitas
investasi tersebut.
Menurut Brodjonegoro (2000),desentralisasi fiskal merupakan penyerahan
wewenang fiskal kepada daerah yang meliputi :
(1) self financing atau cost recovery dalam pelayanan publik dalam bentuk
restribusi daerah,
(2) cofinancing atau oproduction yaitu penggunaan jasa publik beradaptasi dalam
bentuk kontribusi kerja sama atau pembayaran jasa,
(3) transfer dari pusat ke daerah terutama yang berasal sumbangan umum,
sumbangan khusus, sumbangan darurat serta bagi hasil pajak dan non pajak, dan
(4) kebebasan daerah untuk melakukan pinjaman. Melalui desentralisasi fiskal
seperti ini diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pembangunan dan
penyediaan pelayanan umum karena semakin dekatnya masyarakat dengan
pemerintah sehingga mampu mengakomodasi kondisi masyarakat dan wilayah
yang heterogen. Menurut Sidik (2004), dana perimbangan adalah dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah,dan antar pemerintah daerah. pengembangan ekonomi lokal.


2.1.2. Desentralisasi Fiskal.
Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7
dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan
Daerah Pasal 1 ayat 8, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
Desentralisasi fiskal akan memberi keleluasaan kepada daerah untuk
menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam kerangka
keseimbangan fiskal. Simanjuntak (2001) berpendapat ada empat alasan untuk
mempunyai sistem pemerintahan yang terdesentralisai yaitu:
Desentralisasi merupakan bagian dari strategi setiap institusi yang
berkehendak untuk tidak mati dalam persaingan global. Ia adalah strategi untuk
menjadi kompetitif. Demikian pula bagi sebuah negara. Desentralisasi
menjadikannya terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang terintegrasi dan menjadi
sebuah "makhluk organik" yang bergerak efisien mengatasi tantangan global.
Dalam praktik, desentralisasi dan otonomi bersifat tumpang tindih.
Namun, dalam makna keduanya memiliki perbedaan. Desentralisasi
merupakan sistem pengelolaan yang berkelebihan


dengan sentralisasi. Jika

sentralisasi adalah pemusatan pengelolaan, maka desentralisasi adalah pembagian
dan pelimpahan. Menurut Rondinelli dan Cheema yang dikutip oleh Sarundajang
(1999) bahwa Desentralisasi adalah "the transfer of planning, decission making,
or administrative authority from the central government to its field organizations,
local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations".

Keputusan menerapkan desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan
pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi
landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan
wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan
barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan
kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih
mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program
dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi
penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya
guna Sumarsono dan Utomo ( 2009).
Hubungan desentralisasi dan otonomi, yaitu pada dasarnya otonomi adalah
derivat dari desentralisasi daerah-daerah otonom, yaitu daerah yang mandiri,

tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan
semakin tinggi derajat desentralisasi, semakin tinggi otonomi daerah. Sedangkan
desentralisasi, yang dimaksudkan dalam UU No. 32 tahun 2004 menyatakan
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desentralisasi
adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, baik
bersifat kewilayahan maupun kefungsian.
Menurut Prawirosetoto (2002), Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian
tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan
keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment)
maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini
dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang

dan jasa publik (public goods / public service). Desentralisasi fiskal merupakan
inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik
maupun administrasi tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal merupakan
desentralisasi yang mempunya kriteria sebagai berikut:
1. Representasi demokrasi, untuk memastikan hak seluruh warga Negara untuk
berpartisipasi secara langsung pada keputusan yang akan mempengaruhi
daerah atau wilayah.

2. Tidak dapat dipraktekkanya pembuatan keputusan yang tersentralisasi, adalah
tidak realistis pada pemerintahan yang 28 sentralistis untuk membuat
keputusan mengenai semua pelayanan rakyat seluruh negara, terutama pada
negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia.
3. Pengetahuan lokal (local knowledge), mereka yang berada pada daerah lokal
mempunyai pengetahuan yang lebih banyak mengenai kebutuhan lokal,
prioritas, kondisi, dll.
4. Mobilitas sumber daya, mobilitas pada bantuan dan sumber daya dapat di
fasilitasi dengan hubungan yang lebih erat di antara populasi dan pembuat
kebijakan pada tingkat lokal.
Empat dimensi desentralisasi menurut Rondinelli (2000) yang diuraikan
dalam tabel berikut :

Tabel 2.1 : Kategori Desentralisasi menurut Tujuan dan Instrumen
No

Kategori

Tujuan


Instrumen

desentralisasi
1

Desentralisasi Meningkatkan
Politik

kekuasasan Perbedaan konstitusi dan


undang,

perwakilan politik mereka pengembangan

partai

kepada

penduduk

dan undang

dalam pembuatan keputusan politik, penguatan legislatif
publik

,pembentukan
politik

institusi

lokal,pendukungan

kelompok

kepentingan

publik yang efektif
2

Desentralisasi Memperbaiki
Administrasi

efisiensi Dekonsentrasi, delegasi, dan

manajemen

untuk devolusi masing – masing

penyediaan layanan publik

dengan karakteristik yang
berbeda

3

Desentralisasi Memperbaiki

kinerja Pengaturan kembali dalam

Fiskal

melalui pengeluaran , penerimaan

keuangan
peningkatan
dalam

keputusan dan transfer fiskal antar
menciptakan tingkatan pemerintahan.

penerimaan dan pengeluaran
yang rasional
4

Desentralisasi Menciptakan

lingkungan Transfer

fungsi

ekonomi dan

yang lebih baik bagi dunia pemerintahan

pasar

usasha

dan

kepada

menyediakan organisasi bisnis, kelompok

barang dan jasa berdasarkan masyarakat
respon terhadap kebutuhan melalui
lokal dan mekanisme pasar

atau

privatisasi

dan

penguatan ekonomi pasar
melalui deregulasi

Sumber :Disarikan dari Rondinelli(2000)

ornop

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should
follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan
dilaksanakan.

Artinya,

setiap

penyerahan

atau

pelimpahan

wewenang

pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan tersebut (Sasana,2009). Menurut Menteri Keuangan
No. 224 / PMK.07 tahun 2008 komponen-komponen desentralisasi fiskal terdiri
dari : PAD, DAU, DAK,DBH.
Penerapan

otonomi

dan

desentralisasi

fiskal

ditandai

dengan

diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada 1
Januari 2001. Dalam perjalanannya kedua undang-undang tersebut menimbulkan
beberapa permasalahan yang kemudian diperbaiki oleh pemerintah melalui revisi
undang-undang tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun
2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diberlakukan pada
bulan desember 2004 (RPJMN 2004-2009) Dalam UU No. 32 Tahun 2004,
desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah, oleh
pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia derajat
kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan di daerah, yaitu:
1. Decontretation Merupakan pelimpahan kewenangan dari agen-agen pemeritah
pusat yang ada di ibukota negara, pada agen-agen di daerah.
2. Delegation Merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat pada pemerintah
daerah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dengan tanggung jawab
pada pemerintah pusat.

3. Devolution Merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintah pusat,
pada pemerintah daerah, dimana daerah juga diberi kewenangan dalam
mengelolah penerimaan dan pengeluaran daerahnya.
Mengingat prinsip money follow function dalam pelaksanaan otonomi
daerah, maka maka desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan bentuk dari
desentralisasi yang ketiga (devolution). Lebih lanjut Slinko (2002) menyatakan
bahwa: Under the concept of “fiscal decentralization” we understand the
assignment of fiscal responsibilities to the lower levels of goverment, thats, the
degree of regional (local) autonomy and the authority of local goverment to
decide upon its own expanditure and its ability to generate local revenues.
Pernyataan Slinko mempertegas pengertian desentralisasi fiskal, yaitu sebagai
bentuk transfer kewenangan (tanggung jawab dan fungsi) dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pemberian otoritas bagi
pemerintah daerah untuk mengelola penerimaan dan pengeluaran daerahnya
sendiri.
Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah
daerah 32 dalam penyedian barang dan jas publik (pubilcgoods/public services).
Menurut Ebel dan Yilmaz (2002) ada dua keuntungan yang dapat dicapai
dari penerapan desentralisasi fiskal antara lain:
1.

Efisiensi

dan

alokasi

sumber-sumber

ekonomi

desentralisasi

akan

meningkatkan efisiensi karena pemerintah daerah mampu memperoleh
informasi yang lebih baik (dibandingkan dengan pemerintah pusat) mengenai
kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Oleh karena itu, pengeluaran
pemerintah daerah.

lebih mampu merefleksikan kebutuhan/pilihan masyarakat di wilayah tersebut
dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah pusat.
2. Persaingan antara pemerintah daerah penyediaan barang publik yang dibiayai
oleh pajak daerah akan mengakibatkan pemerintah daerah berkompetisi dalam
menyediakan fasilitas publik yang lebih baik. Karena dalam sistem desentralisasi
fiskal, warga negara menggunakan metode ―vote by feet‖ dalam menentukan
barang publik di wilayah mana, yang akan dimanfaatkan.
Untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu wilayah, terdapat dua
variabel umum yang sering digunakan, yaitu pengeluaran dan penerimaan daerah.
Ebel dan Yilmaz (2002) menyatakan terdapat variasi dalam pemilihan indikator
untuk mengukur desentralisasi antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Meskipun sama-sama menggunakan variabel yang pengeluaran dan penerimaan
pemerintah, yang menjadi pembeda adalah variabel ukuran (size variabels) yang
digunakan oleh peneliti yang satu dengan peneliti yang lain. Ada tiga
sizevariabels yang umum digunakan, yaitu: jumlah penduduk, luas wilayah, dan
GDP.
Lebih lanjut Ebel dan Yilmaz (2002) bahwa baik penerimaan dan atau
pengeluaran pemerintah bukanlah indikator yang sempurna untuk mengukur
desentralisasi fiskal. Slinko (2002) memberikan penjelas yang lengkap mengenai
hal ini.
The problem with the expanditure decentralization is that local
govermentusualy does not have real degree of autonomy but act on behalf of the
regional and federal goverments.
We also have problems with the revenue side estimation of fiscal decentralization
since those also could be not the consequnce of municipal ability to rise and
assign taxes, but the consequence of the revenue-sharing policy of regional
goverment.

Meskipun kedua variabel tersebut bukanlah indikator desentralisasi fiskal
yang sempurna, penelitian ini akan menggunakan share penerimaan daerah
(penerimaan asli daerah, PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) untuk
mengukut kemandirian fiskal daerah (derajat desentralisasi daerah). Pemilihan sisi
penerimaaan sebagai indikator untuk mengukur desentralisasi fiskal dikarenakan
keterbatasan data yang tersedia dari sisi pengeluaran.
2.1.3 Dana Penyesuaian
Dana Penyesuaian adalah dana yang dialokasikan untuk membantu daerah
dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan Ketentuan
peraturan perundang - undangan.(uu no 12 tahun 2004).
Dengan adanya pos dana penyesuaian dalam APBN maka cakupan dana
yang dialokasikan kepada daerah makin bertambah banyak, sehingga melampaui
ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan pusat antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Rincian dana
penyesuaian adalah sebagai berikut :
1. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
2. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD (TP Guru PNSD)
3. Dana Tunjangan Penghasilan Guru PNSD (DTP Guru PNSD)
4. Dana Insentif Daerah
5. Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2)
Guna menghadapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan revisi UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004, antara lain dengan menambahkan ketentuan yang
terkait dengan dana penyesuaian yang terkait dengan bidang pendidikan, yakni
tunjangan profesi guru, dana tambahan penghasilan guru, dan BOS disalurkan

secara triwulanan agar dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang terkait
dengan peningkatan kualitas pendidikan, termasuk pembayaran tunjangan kepada
guruPNSD.
Khusus untuk dana BOS, pola penyalurannya pada tahun 2012 telah
disederhanakan, yakni langsung dari rekening kas negara ke rekening kas umum
daerah provinsi, untuk selanjutnya diteruskan oleh provinsi ke satuan pendidikan
dasar di kabupaten/kota dalam bentuk hibah. Sedangkan pada tahun sebelumnya
BOS disalurkan dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah
kabupaten/kota, dan selanjutnya disalurkan ke masing-masing sekolah. Mengingat
dana transfer ke daerah mempunyai peranan yang penting bagi APBD, maka
mekanisme dan pola penyalurannya terus diperbaiki dari tahun ke tahun. Pada
periode sebelum tahun 2008, saat dana yang dialokasikan ke daerah mempunyai
nomen klatur belanja untuk daerah, pola penyalurannya dilaksanakan per daerah
melalui kantor pembayaran di masing - masing daerah. Namun, setelah nomen
klaturnya berubah menjadi transfer ke daerah pada tahun 2008, dana tersebut
disalurkan secara langsung dari rekening kas negara ke rekening kas umum
daerah. Perubahan tersebut telah memberikan dampak positif terhadap
pengelolaan keuangan daerah, antara lain berupa percepatan penyelesaian perda
APBD, pelaksanaan treasury single account, adanya kepastian terhadap
penerimaan kas daerah, percepatan pelaksanaan kegiatan/belanja daerah, dan
berkurangnya sisa dana pada akhir tahun anggaran.
Pemberian Dana Insentif Daerah (DID) adalah salah satu cara motivasi
yang cukup jitu, bukan hanya atraktif bagi pemerintah daerah tetapi juga

bermanfaat langsung bagi masyarakat setempat. Program pemberian DID sudah
dimulai pada tahun 2010. Tujuan program DID antara lain:
(a) mendorong agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih
baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini BPK terhadap Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD),
(b) memotivasi daerah agar berupaya untuk selalu menetapkan APBD tepat
waktu, dan
(c) mendorong agar daerah menggunakan instrumen politik dan instrumen fiskal
untuk secara optimal mewujudkan peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal dan
peningkatan kesejahteraan penduduknya.
Disamping untuk daerah yang berprestasi, DID dialokasikan juga bagi
daerah yang mengalami koreksi luas wilayah yang signifikan dan daerah yang
terkena dampak pemekaran, agar dapat menjaga kesinambungan dan stabilitas
fiskal daerah. Selain itu, dana tersebut juga bisa diberikan bagi pemerintah daerah
yang

mampu

menjaga

ketahanan

dan

meningkatkan

produktivitas

pangan.Menurut Jurnal Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam
Negeri

Sejak diberlakukannya reward and punishment terhadap pengelolaan

keuangan oleh pemerintah daerah, Kementerian Keuangan mencatat adanya
peningkatan kinerja perbaikan LKPD ke pemerintah pusat. Dengan demikian,
DID bisa dijadikan tolok ukur sekaligus ukuran prestasi atau tidaknya seorang
kepala daerah memimpin daerahnya. Dana Insentif Daerah 2013 tujuan utama di
alkokasikannya DID kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota adalah untuk
mendorong agar daerah berupaya untuk mengelola keuangannya dengan lebih
baik yang ditujukan dengan perolehan opini badan pemeriksa keuangan (BPK).

atas laporan keuangan pemerintah daerah dan mendrong agar daerah
berupaya untuk selalu menetapkan APBD secara tepat waktu.
Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
202/PMK.07/2012 menetapkan alokasi dana insenti daerah (DID) tahun anggaran
2013 untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan sebesar Rp1,39 triliun.
Proporsi DID untuk daerah provinsi ditetapkan sebsar 10 persen dari jumlah
keseluruhan DID sementara untuk kabupaten/kota ditetapkan sebesar 90 persen
dari jumlah keseluruhan DID. Mengenai alokasi minimum ditetapkan untuk
daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan
keuangan pemerintah daerahnya dari BPK dan menyampaikan peraturan daerah
tentang APBD tepat waktu, mendapatkan alokasi minimum sebesar Rp 2 miliar.
Jika daerah terseut menyampaikan laporan keuangan pemerintah daerah BPK
secara tepat waktu serta memenuhi batas minium penilaian kinerja, maka daerah
tersebut mendapat alokasi minium sebesar Rp3 miiar.
DID adalah dana penyesuaian dalam APBD 2013 yang digunakan dalam
rangka pelaksanaan fungsi pendidikan yang dialokasikan kepada daerah dengan
mempertimbangkan kriteria tertentu. Alokasi DID bertujuan untuk mendorong
agar daerah berupaya mengelola keuangannya dengan lebih baik yang ditujukkan
dengan perolehan opini dari BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah.
Selain itu untuk mendorong daerah berupaya selalu menetapkan APBD secara
tepat waktu. Penentuan daerah berprestasi dan penghitungan besaran alokasi DID
berdasarkan kriteria utama, kriteria inerja, dan batas minium penilaian kinerja.
Direktorat jendral Keuangan Daerah Departemen Dalam Negeri juga
menjelaskan Kriteria utama merupakan kriteria yang harus dipenuhi sebagai

penentu kelayakan daerah penerima, meliputi daerah yang mendapatkan opini
wajar tanpa pengecualian dan wajar dengn pengecalian dari BPK atas laporan
pemerintah daerahnya dan daerah yang mentapkan peraturan daerah tentang
APBD secara tepat waktu. Penyaluran DID dilakukan dengan cara pemindah
bukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah secara
sekaligus. Peyaluran DID dilakukan setelah daerah penerima menyampaikan
peraturan daerah mengenai APBN tahun 2013, surat pernyataan, dan rencana
penggunaan DID kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Penutup
untuk meraih DID tentu dibutuhkan kerjasama lintas sektoral, baik eksekutif
dengan legislatif (DPRD) maupun antar SPKD di lingkungan pemerintah daerah.
Hubungan antara eksekutif dengan DPRD yang baik, misalnya, dapat ditunjukkan
antara lain dengan penyelesaian dan penetapan APBD tepat waktu, yaitu sebelum
akhir Desember.
Hubungan yang saling bersinergi tersebut hendaknya dilakukan secara
konsisten, yang mengindikasikan adanya motivasi yang terencana. Pasalnya,
mempertahankan perolehan opini yang baik dari BPK - sebagai prasyarat untuk
mendapatkan DID - bukanlah upaya yang ringan melainkan penuh dengan
ketekunan untuk bertindak secara akuntabel dan transparan dalam pengelolaan
keuangan dan aset daerah.

2.1.4 Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dana alokasi khusus (DAK) adalah salah satu mekanisme transfer
keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk
meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas

nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan
pelayanan antar bidang Subekan (2012).

DAK memainkan peran penting dalam dinamika pembangunan sarana dan
prasarana pelayanan dasar di daerah karena sesuai dengan prinsip desentralisasi
tanggung jawab dan akuntabilitas bagi penyediaan pelayanan dasar masyarakat
telah dialihkan kepada pemerintah daerah. Dana alokasi khusus merupakan dana
yang dialokasikan dari APBN ke daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan
khusus yang merupakan urusan daerah dan juga prioritas nasional antara lain:
kebutuhan kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi atau
prasarana, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dll.

Menurut UU yang baru (UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004), wilayah
yang menerima DAK harus menyediakan dana penyesuaian paling tidak 10% dari
DAK yang ditransfer ke wilayah, dan dana penyesuaian ini harus dianggarkan
dalam anggaran daerah (APBD). Meskipun demikian, wilayah dengan
pengeluaran lebih besar dari penerimaan tidak perlu menyediakan dana
penyesuaian. Tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua daerah menerima DAK
karena DAK bertujuan untuk pemerataan dan untuk meningkatkan kondisi
infrastruktur fisik yang dinilai sebagai prioritas nasional.
a) Kriteria umum Dana Alokasi Khusus Prioritas pengalokasian DAK
diutamakan untuk daerahdaerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di
bawah rata-rata. Kemampuan fiskal daerah tersebut didasarkan atas selisih antara
realisasi penerimaan daerah (pendapatan asli daerah, dana 38 perimbangan,
pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah) tidak termasuk sisa anggaran

lebih (SAL) dengan Belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah (fiskal netto) pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
b) Kriteria Khusus Dana Alokasi Khusus Pengalokasian DAK juga harus
memperhatikan daerahdaerah tertentu yang memiliki dan/atau berada di
wilayah dengan kondisi dan kebutuhan khusus, seperti :
• Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang
merupakan Daerah otonomi khusus;
• ¨Kawasan Timur Indonesia, Pesisir dan Kepulauan, Perbatasan Darat,
Tertinggal/Terpencil, Penampung Program Transmigrasi, Rawan Banjir
dan Longsor.
• Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai Daerah Pasca Konflik;
Pengalokasian DAK kepada daerah sepenuhnya menjadi wewenang
pemerintah pusat berdasarkan kriteria tertentu. Dalam hal ini, peran satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) hanyalah menyediakan data bagi departemen teknis
terkait. Peran pemda dalam pengalokasian DAK bersifat pasif. Contoh kasus
dalam pengalokasian Dana Khusus ini adalah Dinas Kesehatan Kabupaten
Kupang, misalnya, belum pernah secara khusus membuat perencanaan atau
pengusulan DAK untuk membiayai 39 rencana kegiatannya. Walaupun pemda
tidak melakukan langkah apapun, Pemerintah Pusat tetap memberikan DAK
kepada daerah Pengalokasian dana dan sumber-sumbernya tergantung kepada
kebijakan pemerintah Kabupaten .
2.1.5 Dana Alokasi Umum (DAU)
Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, Dana Alokasi
Umum(DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar- Daerah
untuk

mendanai

kebutuhan

daerah

dalam

rangka

pelaksanaan

desentralisasi.Menurut Saragih (2003) bagi daerah yang relatif minim sumber
daya alam (SDA), DAU merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung
sumber operasional pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan
pembangunan. Tujuan DAU di samping untuk mendukung sumber penerimaan
daerah juga sebagai pemerataan (equalization) kemampuan keuangan pemerintah
daerah. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan
potensi daerah (Yani ,2002 ). DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya
celah fiskal suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal
need) dan potensi daerah (fiscal capacity).
Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar, tetapi kebutuhan
fiscal kecil akan memperoleh alokasi DAU relative kecil. Sebaliknya, daerah yang
potensi fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi
DAU relatif besar.
DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan
kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Pengalokasian DAU sebagai berikut :
1. DAU dialokasikan untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota.
2. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam
Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN.

3. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota
ditetapkan

sesuai

dengan

imbangan

kewenangan

antara

provinsi

dan

kabupaten/kota.
2.1.6. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari
sumber daya alam. Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya
memperhatikan potensi daerah penghasil (Nurcholis, 2005). Dalam pasal 11 UU
No. 33 tahun 2004 Dana Bagi Hasil dibagi menjadi dua yaitu dana bagi hasil
pajak (DBHP) dan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam
(DBHSDA). Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan
Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi
Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berasal dari : Kehutanan; Pertambangan umum; Perikanan; Pertambangan
minyak bumi; Pertambangan gas bumi; dan Pertambangan panas bumi.
Dana ini merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
(UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak
(Sumber Daya Alam) (Wahyuni & Adi 2009).

Berdasarkan UU PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun
anggaran 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang
pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang
Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan
sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA
tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN).
Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya
tingkat pendapatan sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah dengan tingkat
pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih
tinggi pula (Wahyuni & Adi 2009). DBH merupakan sumber pendapatan daerah
yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah
dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang
bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Pola bagi hasil penerimaan
tersebut dilakukan dengan prosentase tertentu yang didasarkan atas daerah
penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari : Pajak Penghasilan Pasal 21
(PPh 21), Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25), Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN). Sedangkan penerimaan DBH SDA
bersumber dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan
Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, Pertambangan Panas Bumi (Wahyuni &
Adi 2009).
2.1.6.1. Dana Bagi Hasil Pajak
Dana ini merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil

berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Dasar hukum dana bagi hasil pajak adalah:
a. Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
b. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
c. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
d. Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Harahap 2010).

DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, pajak penghasilan pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri, dan pajak penghasilan pasal 21. Penetapan alokasi DBH
Pajakditetapkan oleh menteri keuangan. DBH pajak sendiri disalurkan dengan
cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum
daerah (Harahap 2010).
Dana bagi hasil dari pajak dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 2.2 Rincian Dana Bagi Hasil dari Pajak
No

Jenis DBH

Provinsi Kab/Kota Pemerintah

Daerah

Kab/Kota
lainnya
dalam
Provinsi

a.

PPH pasal 25,29, & 21

40%

60%

b.

PPh WPOPDN pasal 21

8%

12%

Sumber : Ringkasan dari Harahap (2010)

Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan
berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
tahun anggaran berjalan serta dilaksanakan secara triwulan (Sianipar, 2011).
2.1.6.2 Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam)
DBH sumber daya alam adalah bagian daerah yang berasal dari
penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas
bumi (Harahap, 2010). Pembagian penerimaan negara yang berasal dari sumber
daya kehutanan ditetapkan sebagai berikut: 20% untuk pemerintah dan 80% untuk
daerah, yang diperoleh dari penerimaan Iuran hak pengusahaan hutan dan provisi
sumber daya hutan.
Bagian negara dari penerimaan negara iuran penguasaan hutan dibagi
dengan perincian sebagai berikut :
Tabel 2.3Rincian Dana Bagi Hasil dari Bukan Pajak
No

a.
b.
c.
d.
e.
f.

Jenis DBH

Provinsi

SDA Kehutanan
Iuran Penguasaan hutan
16%
Provisi SDA hutan
16%
Dana Reboisasi
Pertambangan umum
Penerimaan negara iuran
16%
tetap
g. Penerimaan negara
16%
h. SDA pertambangan gas
bumi
i. DBH pertambangan gas
6 %
bumi
0,1%
j. SDA pertambangan panas
16%
bumi
Sumber : Ringkasan dari Harahap (2010)

Kab/
Kota

Pemerint
ah

Daerah

20%

80%

60%
20%

40%
80%

69,5%

30,5%

Kab/Kota
lainnya
dalam
Provinsi

64%
32%

64%
32%

12 %
0,2%
32%

12 %
0,2%
32%

Dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan (Harahap, 2010). Penerimaan iuran tetap (landrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas
kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah
kuasa pertambangan.
Penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti) adalah iuran
produksi yang diterima negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan
eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan
eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha
pertambangan eksploitasi (royalti) satu atau lebih bahan galian (Harahap, 2010).
Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri dari:
Penerimaan pungutan pengusahaan perikanan, Penerimaan pungutan hasil
perikanan. Dana bagi hasil perikanan untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan
porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota. Bagian daerah dari
penerimaan negara sektor perikanan dibagikan dengan sama besar kepada
kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Penyaluran DBH pertambangan minyak bumi dan gas bumi ke daerah
dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi
130% (seratus tiga puluh persen) dari penetapan dalam APBN tahun berjalan.
Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam APBN
Perubahan melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), selisih penerimaan negara
dari minyak bumi dan gas bumi sebagai dampak dari kelebihan dimaksud
dialokasikan dengan menggunakan formula DAU (Harahap, 2010). Ketentuan
mengenai tata cara penghitungan selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan

gas bumi sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Keuangan. Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan
minyak dan gas alam berasal dari kegiatan operasi pertamina sendiri, kegiatan
kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) dan kontrak kerjasama selain
kontrak bagi hasil. Komponen pajak adalah pajak-pajak dalam kegiatan
pertambangan minyak dan gas alam dan pungutan-pungutan lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Sianipar 2011).
2.1.7 . Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan ini merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah (Halim 2007). Pendapatan Daerah sesuai UU No.33
22 Tahun 2004 Pasal 1 adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sesuai
dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan daerah pasal 6 bahwa sumber pendapatan asli daerah adalah sebagai
berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri yang sah :
a. Hasil Pajak Daerah
b. Hasil Retribusi Daerah
c. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan.
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah, yang terdiri dari :
a. Sumbangan dari pemerintah,
b. Sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan,

c. Pendapatan lain-lain yang sah .
2.7.1. Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah,
yang dimaksud dengan pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran
wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan

Yang

berlaku,

yang

digunakan

untuk

membiayai

penyelenggaraan pemerintah daerah Pembangunan daerah .Pajak ini merupakan
pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Hal ini terkait dengan pendapatan
pajak yang berbeda bagi provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan UU No. 34
Tahun 2000 tentang perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang pajak dan retribusi
daerah. Menurut UU tersebut, jenis pendapatan pajak untuk provinsi meliputi
objek pendapatan berikut : Pajak kendaraan bermotor, Bea balik nama kendaraan
bermotor, Pajak bahan bakar kendaraan bermotor, Pajak kendaraan diatas air,
Pajak air dibawah tanah, Pajak air permukaan. Selanjutnya, jenis pajak
kabupaten/kota tersusun atas : Pajak hotel, Pajak restoran, Pajak hiburan, Pajak
reklame, Pajak penerangan jalan, Pajak pengambilan bahan galian golongan C,
Pajak parkir (Halim, 2007).
2.7.2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang
dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Selain pajak daerah, sumber
pendapatan asli daerah yang cukup besar peranannya dalam menyumbang pada

terbentuknya pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Menurut UndangUndang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
dimaksud dengan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh PEMDA
oleh kepentingan orang pribadi atau badan.
Jadi dalam hal retribusi daerah balas jasa dengan adanya retribusi daerah
tersebut dapat langsung ditunjuk. Misalnya retribusi jalan, karena kendaraan
tertentu memang melewati jalan di mana retribusi jalan itu dipungut, retribusi
pasar dibayar karena ada pemakaian ruangan pasar tertentu oleh si pembayar
retribusi. Tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan
besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk
melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin
efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif
retribusi yang dikenakan, jadi sesungguhnya dalam hal pemungutan iuran retribusi
itu dianut asas manfaat (benefit principles). Berdasarkan asas ini besarnya
pungutan ditentukan berdasarkan manfaat yang diterima oleh si penerima manfaat
yang dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, namun yang menjadi
persoalannya adalah dalam menentukan berapa besar manfaat yang diterima oleh
orang yang membayar retribusi tersebut dan menentukan berapa besar pungutan
yang harus dibayarnya (Yovita ,2011). Retribusi ini merupakan pendapatan daerah
yang berasal dari retribusi. Terkait dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 untuk
provinsi jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut : Retribusi
pelayanan

kesehatan,

Retribusi

pemakaian

kekayaan

daerah,

Retribusi

penggantian biaya cetak peta, Retribusi pengujian kapal perikanan (Halim ,2007).

2.7.3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan.
Penerimaan PAD lainnya yang menduduki peran penting setelah pajak
daerah dan retribusi daerah adalah bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD.
Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja
atau mendorong pembangunan ekonomi daerah. Selain itu, BUMD merupakan
cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu
sumber pendapatan daerah. Jenis pendapatan yang termasuk hasil-hasil
pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain laba, dividen,
dan penjualan saham milik daerah (Yovita 2011).
Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang
dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggung jawabkan melalui
anggaran

belanja

daerah

dan

dimaksudkan

untuk

dikuasai

dan

dipertanggungjawabkan sendiri, dalam hal ini hasil laba perusahaan daerah
merupakan salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk
seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan,
maka sewajarnya daerah dapat pula mendirikan perusahaan yang khusus
dimaksudkan untuk menambah penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk
mempertinggi produksi, yang kesemua kegiatan usahanya dititkberatkan kearah
pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya
serta ketentraman dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat
adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan
perusahaan haruslah bersifat professional dan harus tetap berpegang pada prinsip
ekonomi secara umum, yakni efisiensi (Penjelasan atas UU No.5 Tahun 1962).

Berdasarkan ketentuan di atas maka walaupun perusahaan daerah merupakan
salah satu komponen yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya bagi
pendapatan daerah, tapi sifat utama dan perusahaan daerah bukanlah berorientasi
pada profit (keuntungan), akan tetapi justru dalam memberikan jasa dan
menyelenggarakan kemanfaatan umum, atau dengan perkataan lain, perusahaan
daerah menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjamin keseimbangannya,
yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi (Damang ,2011). Walaupun demikian hal
ini tidak berarti bahwa perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi
maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial oleh
perusahaan

daerah

dan

keharusan

untuk

mendapat

keuntungan

yang

memungkmnkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi
pendapatan daerah, bukanlah dua pilihan dikotomis yang saling bertolak belakang.
Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial perusahaan daerah dapat berjalan seiring
dengan pemenuhan fungsi ekonominya sebagal badan ekonomi yang bertujuan
untuk

mendapatkan

laba/keuntungan.

Hal

ini

dapat

berjalan

apabila

profesionalisme dalam pengelolaannya dapat diwujudkan (Josef, 2005 dalam
Damang ,2011).
2.7.4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Hasil usaha daerah lain dan sah adalah Pendapatan Asli daerah (PAD)
yang tidak termasuk kategori pajak, retribusi dan perusahaan daerah (BUMD).
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, antara lain hasil penjualan aset tetap
daerah dan jasa giro (Yovita 2011). Pasal 79 UU 22/1999 mengisyaratkan bahwa
dalam penyelenggaraan fungsi-funsi pemerintahan daerah, kepala daerah
Kabupaten/Kota,

dengan

kata

lain,

diharapkan

kepada

kepala

daerah

Kabupaten/Kota didalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan
pembangunan daerah tidak terus menerus selalu menggantungkan dana (anggaran)
dari pusat melalui pembangian dana perimbangan. Administrasi keuangan daerah
PAD adalah pendapatan daerah yang diurus dan diusahakan sendiri oleh daerah
yang dimaksud sebagai sumber PAD guna pembangunan. Berdasarkan ketentuan
maka PAD dapat disimpulkan bahwa PAD merupakan sumber pendekatan daerah
dengan mengelola dan memanfaatkan potensial daerahnya dan dalam mengelola,
mengolah dan memanfaatkan potensi daerah, PAD dapat berupa pemungutan
pajak, retribusi dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.8. Review Peneliti terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini
antara lain Prasetyo (2011) meneliti Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan
PAD Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi kasus pada seluruh
Kabupaten/Kota Di Pulau Jawa 2001- 2009) variabel-variabel yang digunakan
adalah Pertumbuhan ekonomi (Y), DAU(X1), DAK (X2), DBH (X3) dan PAD
(X4). Metode analisis yangdigunakan dalam mengolah data adalah metode regresi
data panel. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa DBH,DAU dan PAD
berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
DAK berpengaruh tidak signifikan dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Prasetya (2011) meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah ,Dana
Perimbangan dan Belanja Modal Pemerintah Daerah Terhadap Pertumbuhan
ekonomi (Studi Kasus Kabupaten/Kota Se- Jawa Bali Tahun 2006-2009) variabelvariabel yang digunakan adalah Pertumbuhan ekonomi (Y), PAD(X1), DAU
(X2), DAK(X3), DBH (X4) dan Belanja Modal (X5). Metode analisis

yangdigunakan dalam mengolah data adalah metode regresi data panel. Hasil
penelitian menyimpulkan bahwa PAD, DAU,DBH dan Belanja Modal
berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
DAK berpengaruh tidak signifikan dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
PAD,DBH,DAU,DAK Serta Belanja Modal secara bersma – sama berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sihite (2010) meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli Darah, Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan
Ekonomi (Studi kasus Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera 2004-2007) variabelvariabel yang digunakan adalah Pertumbuhan ekonomi (Y), PAD(X1), DAU
(X2), DAK(X3), dan Belanja Modal (X4). Metode analisis yangdigunakan dalam
mengolah data adalah metode regresi data panel. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa

PAD,

DAU,DAK

berpengaruh

signifikan

dan

positif

terhadap

pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Belanja Modal berpengaruh tidak signifikan
dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Guntara dan Dwirandra (2014) meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Alokasi Umum Pada Pertumbuhan Ekonomi Dengan Belanja
Modal Sebagai Variabel Pemoderasi Di Bali. variabel-variabel yang digunakan
adalah Pertumbuhan ekonomi (Y), PAD(X1), DAU (X2), dan Belanja Modal
(X3). Metode analisis yangdigunakan dalam mengolah data adalah metode regresi
data panel. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa PAD,DAU dan Belanja Modal
berpengaruh secara simultan terhadap pertumbuhan ekonomi secara simultan
sementara hasil uji parsia; PAD dan DAU berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil uji moderasi menunjukan bahwa belanja

modal memperlemah pengaruh PAD terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan
belanja modal sebagai variabel pemoderasi tidak mampu memoderasi pengaruh
DAU terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mariyati dan Endarwati (2013) Pengaruh Pengaruh Pendapatan Aslu
Daerah,Dana Alokasi Umum dan Alokasi Khusus Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi studi Kasus Sumatera Barat . variabel-variabel yang digunakan adalah
Pertumbuhan ekonomi (Y), PAD (X1), dan DAU (X2),). Metode analisis
yangdigunakan dalam mengolah data adalah metod

Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Belanja Daerah Dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Di Indonesia Dengan Konsumsi Sebagai Variabel Moderating

1 31 106

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 38 82

Pengaruh Dana Bagi Hasil, Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal Terhadap Kinerja Keuangan Dengan Pendapatan Asli Daerah Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 6 113

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Belanja Modal sebagai variabel moderating pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2011-2013

0 4 77

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI.

0 3 47

Analisis Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Dana Penyesuaian Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi Di Pulau Sumatera

0 0 11

Analisis Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Dana Penyesuaian Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi Di Pulau Sumatera

0 0 3

Analisis Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Dana Penyesuaian Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi Di Pulau Sumatera

0 0 7

Analisis Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Dana Penyesuaian Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi Di Pulau Sumatera

0 0 4

Analisis Dana Perimbangan Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dengan Dana Penyesuaian Sebagai Variabel Moderating Pada Pemerintah Provinsi Di Pulau Sumatera

0 0 9