Gambaran Gejala Gangguan Stres Pascatrauma Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada Remaja di Posko Pengungsian Kabanjahe Kabupaten Karo

9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bencana
2.1.1

Defenisi Bencana
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor manusia
sehingga

mengakibatkan

timbulnya

korban

jiwa


manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis. sedang bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa alam, berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topas, dan tanah longsor (BNPB, 2014).
Jadi, bencana alam adalah gejala ekstrim alam dimana masyarakat
tidak siap menghadapinya. Dimana ada dua hal yang berinteraksi,
yakni gejala alam dan masyarakat atau sekumpulan manusia (yang
berinteraksi dengan gejala alam tersebut).
2.1.2

Jenis-jenis Bencana
Indonesia terletak pada titik temu 4 lempeng utama bumi,
yakni: 1) Lempeng Pasifik; 2) Lempeng Eurasia; 3) Lempeng
Samudra Hindia-Australia; dan 4) Lempeng Philipina, sehingga
bencana yang dapat terjadi juga bermacam-macam. Ada sejumlah
bencana yang dikenal di Indonesia, antara lain: 1) Bencana
Kebumian yang meliputi: gempa bumi; tsunami; letusan volkanik


9
Universitas Sumatera Utara

dan gejala-gejala ”sekunder” seperti lahar dan sebagainya; tanah
longsor; gerakan tanah yang relatif lebih lambat dari proses
terjadinya tanah longsor, tetapi dalam skala jauh lebih besar; 2)
Bencana Kelautan seperti gelombang pasang (rob), gelombang
pasang disertai tiupan angin dan hujan (storm surges), kenaikan
muka laut (akibat pemanasan global, dan sebagainya), badai di laut
atau di wilayah pantai (di sini terjadi percampuran antara masalah
kelautan dan masalah atmosferik, karena memang kaitan antara
gejala atmosferik dan gejala kelautan itu sangat erat;. 3) Bencana
Atmosferik, yaitu perubahan di atmosfer yang berjalan sangat
cepat dan dalam beberapa jam atau hari berubah menjadi badai
besar, puting-beliung (tornado), angin ribut, dan banjir, yaitu
meluapnya air sungai melebihi kapasitas bumi menyerapnya atau
volume air melampaui tanggul-tanggul yang dibangun di sisi
sungai; 4) Bencana buatan manusia atau bencana industri
(kebakaran dan ledakan di pabrik petro-kimia; truk besar

mengangkut bahan kimia terguling, terbakar dan meledak; jebolnya
bendungan; letusan reaktor nuklir pembangkit listrik; bocornya
pabrik kimia dan sebagainya (LPPKM ITB, 2009).
Dari penjelasan diatas, salah satu bencana yang sering
terjadi di Indonesia adalah letusan vulkanik, atau disebut juga
dengan letusan gunung api. Letusan gunung api merupakan bagian
dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah “erupsi”.

Universitas Sumatera Utara

Hampir semua kegiatan gunung api berkaitan dengan zona
kegempaan aktif sebab berhubungan dengan batas lempeng. Pada
batas lempeng inilah terjadi perubahan tekanan dan suhu yang
sangat tinggi sehingga mampu melelehkan

material sekitarnya

yang merupakan cairan pijar (magma). Magma akan mengintrusi
batuan atau tanah di sekitarnya melalui rekahan-rekahan mendekati
permukaan bumi (BNPB, 2012).

2.2 Psikologi Perkembangan Remaja
2.2.1

Defenisi Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan merupakan cabang ilmu psikologi
yang mempelajari perkembangan dan perubahan aspek kejiwaan
manusia sejak dilahirkan hingga meninggal dunia. Psikologi
perkembangan juga mempelajari tingkah laku individu dalam
perkembangannya dan latar belakang yang mempengaruhinya.
Ilmu psikologi perkembangan digunakan dalam berbagai bidang,
seperti pendidikan dan pengasuhan, pengoptimalan kualitas hidup
dewasa tua, dan penanganan remaja.
Psikologi perkembangan berusaha memahami gejala-gejala
psikis yang berkaitan dengan perubahan individual. Sifat
perubahan ini tidak kuantitatif, tetapi lebih mengarah pada
perubahan kualitatif. Dengan demikian, psikologi perkembangan
dapat diartikan sebagai cabang ilmu psikologi yang mempelajari
berbagai perubahan yang terjadi dalam diri, perilaku, dan fungsi

Universitas Sumatera Utara


mental manusia sepanjang rentang hidupnya, yang dimulai sejak
konsepsi hingga menjelang kematiannya (Rahman, 2016).
2.2.2

Psikologi Perkembangan Remaja
World Health Organization (WHO) memberikan definisi
tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi
tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologis, dan
sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi
sebagai berikut. Remaja adalah suatu masa di mana: 1) Individu
berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksualnya; 2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan
pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; 3) Terjadi
peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono, 2013).
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anakanak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual, yaitu antar
usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa
menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan

berbagai kepentingan, remaja adalah anak yang telah mencapai
umur 10-18 tahun bagi perempuan dan berumur 12-20 tahun bagi
anak laki-laki (Soetjiningsih, 2004 dalam Rahman, 2016).
Rentang usia remaja menurut World Health Organization
(WHO) berlangsung dari umur 10- 19 tahun, sedang menurut

Universitas Sumatera Utara

Menteri Kesehatan RI tahun 2010, batas usia remaja adalah antara
10 sampai 19 tahun dan belum kawin (DEPKES, 2013). Masa
remaja terdiri atas tiga subfase yang jelas, yaitu: masa remaja awal
usia 11-14 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-17 tahun, dan
remaja akhir usia 18-20 tahun. Masa remaja cenderung mulai dan
berakhir lebih awal pada remaja putri daripada remaja putra. Istilah
masa belasan tahun digunakan sebagai sinonim dengan masa
remaja untuk menggambarkan usia 13 sampai 19 tahun (Wong,
2008).
2.2.3

Karakteristik Perkembangan Remaja


a. Perkembangan Fisik
Perkembangan

fisik

remaja

merupakan

segmen

perkembangan individu yang sangat penting, yang diawali dengan
matangnya

organ-organ

fisik

(seksual)


sehingga

mampu

bereproduksi. Perubahan fisik otak semakin sempurna sehingga
meningkatkan kemampuan kognitifnya.
Perkembangan fisik mulai pada masa remaja awal hingga
remaja akhir sedikit mengalami penurunan, terutama pada
perkembangan eksternal berupa penambahan tinggi, perubahan
berat badan, serta kematangan organ-organ seksual, sehingga
pertumbuhan bagian internal berupa perubahan pada sistem
pencernaan, sistem aliran darah, sistem pernapasan, endokrin, dan

Universitas Sumatera Utara

jaringan tubuh lebih menonjol (Monks,dkk., 1999 dalam Pieter,
dkk., 2011).
b. Perkembangan Emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode

“badai dan tekanan”, masa ketika ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Hal ini
disebabkan terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada
di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, yang selama
masa kanak-kanak, mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi
keadaan-keadaan itu (Hurlock, 1999 dalam Rahman, 2016).
Pola emosi remaja sama dengan pola emosi kanak-kanak.
Jenis emosi yang secara normal dialami adalah cinta/kasih sayang,
gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih, dan lain-lain.
Perbedaannya terletak pada jenis dan tingkat rangsangan yang
mengakibatkan emosinya, khususnya pola pengendalian yang
dilakukan individu terhadap ungkapan emosi remaja.
c. Perkembangan Intelektual
Pesatnya perkembangan kemapuan intelektual remaja
terjadi di saat usia 11-15 tahun. Mereka terdorong memahami
dunia luar, mengembangkan dan mengorganisasi idenya. Bukti
pesatnya perkembangan kognitif pada remaja ditunjukkan denga
perubahan mental, seperti belajar, daya ingat, menalar, berpikir,
dan bahasa. Kini tahap perkembangan intelektual remaja memasuki


Universitas Sumatera Utara

tahap formal operasional, yaitu berpikir abstrak, independen,
fleksibel, berpikir logis, dan mampu memprediksi suatu masalah
(Pieter dkk. 2011).
Menurut Piaget, remaja mencapai puncaknya dalam
kemampuan berpikir abstrak, yaitu periode operasional normal.
Remaja tidak lagi dibatasi dengan kenyataan dan aktual, yang
merupakan

ciri

periode

berpikir

konkret,

mereka


juga

memperhatikan terhadap kemungkinan yang akak terjadi.pada saat
ini mereka lebih jauh ke depan. Tanpa memusatkan perhatian pada
situasi saat ini, mereka dapat membayangkan sesuatu rangkaian
peristiwa yang mungkin terjadi, memikirkan bagaiman segala
sesuatu mungkin dapat berubah di masa depan, dan akibat dari
tindakan mereka (Wong, 2008).
d. Perkembangan Konsep Diri
Perilaku moral remaja sering kali berkaitan denga standar
perilaku. Hampir semua remaja meletakkan standar perilaku secara
tidak realistis bagi dirinya sendiri sehingga merasa bersalah ketika
tidak mampu mencapainya. Ini mengakibatkan putusnya relasi
emosi, kegagalan dalam penyesuaian diri, dan sikap menolak atau
melanggar peraturan yang berlaku (Rahman, 2016).

Universitas Sumatera Utara

e. Perkembangan Nilai Moral
Remaja

sebagai

invidu

ataupun

sebagai

komunitas

masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut
remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka,
apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional. Nilai
yang dianutnya akan berpengaruh terhadap perilaku remaja
tersebut.
Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan
selanjutnya dihayati oleh remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan
dan sopan santun aja, tetapi juga seperangkat nilai seperti
keagamaan, nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, nilai estetik,
nilai etik, dan nilai intelektual dalam bentuk yang sesuai dengan
perkembangan remaja (Pieter, dkk., 2011).
f. Perkembangan Kesadaran Beragama
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya
dengan moral. Dibandingkan denga masa awal anak-anak
misalnya,

keyakinan

agama

remaja

telah

mengalami

perkembangan yang cukup berarti. Apabila masa awal anak-anak
mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik, Tuhan
dibayangkan sebagai person yang berada di awan, pada masa
remaja mereka berusaha mencari sebuah konsep yang lebih
mendalam

tentang

Tuhan

dan

eksistensi,

perkembangan

Universitas Sumatera Utara

pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat
dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya (Sarwono, 2007).
g. Perkembangan Sosial
Kesulitan remaja dalam perilaku sosial akan ditunjukkan
dengan ketidak matangan perilaku sosial dan sifat infantil, sesama
jenis seks, dan sulit mendapatkan dukungan dari teman sebaya.
Remaja yang gagal membina relasi sosial akan menunjukkan suka
membuat diskriminasi, membuat nilai standar dalam kelompok,
suka mencari perhatian, seperti senang menggunakan pakaian
mencolok atau menggunakan kata-kata yang tidak lazim, kelihatan
sombong, perilaku agresif, destruktif, dan anti sosial.
h. Perkembangan Seksualitas
Pada masa remaja, perkembangan seksualitas diawali
dengan terjalinnya interaksi antarlawan jenis, baik interaksi antar
teman, maupun interaksi ketika berkencan. Dalam berkencan
dengan pasangannya, remaja melibatkan aspek emosi yang
diekspresikan dalam berbagai cara. Atas dasar dorongan-dorongan
seksual dan rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya, perilaku
remaja mulai diarahkan untuk menarik perhatian lawan jenis
(Pieter, dkk., 2011).

Universitas Sumatera Utara

2.3

Gangguan Stres Pascatrauma
2.3.1

Defenisi Gangguan Stres Pascatrauma
Gangguan stres pascatrauma atau Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) adalah gangguan stres akibat seseorang
mengalami suatu peristiwa traumatik yang luar biasa diluar
kemampuan manusia pada umumnya, seperti akibat bencana alam,
pemerkosaan, inses, korban tindakan kriminal, kekerasan dalam
rumah tangga, berada dalam tempat pembantaian, pemujaan, teror,
sandera, perang, atau kehancuran rumah tangga yang mendadak
(Copel, 2000). Gangguan stres pascatrauma menjadi populer
setelah konflik Vietnam pada tahun 1960-an.
Gangguan stres pascatrauma disebut juga sebagai suatu
kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang dialami atau
disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau
ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman terhadap
integritas fisik atau diri seseorang (Ardani,2011).
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan stress
yang disebabkan oleh kejadian atau pengalaman traumatik terjadi
segera (setelah 6 bulan kejadian traumatik), termasuk salah satu
gangguan kecemasan (anxiety disorder) cara mengatasi yang
sering digunakan adalah dengan menggunakan intervensi khusus
(Yosep, 2016).

Universitas Sumatera Utara

Dari
merupakan

pengertian

tersebut

gangguan

kejiwaan

dapat

disimpulkan,

akibat

PTSD

mengalami

atau

menyaksikan peristiwa traumatis yang mengancam keselamatan
hidup seseorang yang terjadi setelah 6 bulan terpapar kejadian
traumatik, sehingga berdampak pada kualitas hidup seseorang.
2.3.2

Penyebab Gangguan Stres Pascatrauma

a. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam
(gempa bumi, banjir, topan), kecelakaan, kebakaran, menyaksikan
kecelakaan atau bunuh diri, kematian anggota keluarga atau
sahabat secara mendadak.
b. Trauma yang disebabkan individu menjadi koban dari intepersonal
attackseperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual,
penyerangan

atau

(perampokan

dengan

penyiksaan

fisik,

kekerasan),

peristiwa

penculikan,

kriminal

menyaksikan

peristiwa penembakan atau tertembak.
c. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti:
tentara yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi
korban perang atau yang diserang, korban terorisme atau
pengeboman, korban penyiksaan (tawanan perang), sandera, orang
yang menyaksikan atau mengalami kekerasan.
d. Trauma yang disebabkan oleh penyakit yang berat yang diderita
oleh individu, seperti kanker, rheumatoid arthritis, jantung,

Universitas Sumatera Utara

diabetes, renal failure, multiple sclerosis, AIDS, dan penyakit lain
yang mengancam jiwa penderitanya (Yosep,2016).
2.3.3

Teori-teori Penyebab Gangguan Stres Pascatrauma

a. Psikodinamika
Ego klien telah mengalami trauma berat, sering dirasakan
sebagai ancaman terhadap integritas fisik atau konsep diri. Hal ini
menyebabkan ansietas berat yang tidak dapat dikendalikan oleh
ego dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku simtomatik.
Karena ego menjadi rentan, superego dapat menghukum dan
menyebabkan

individu

merasa

bersalah

terhadap

kejadian

traumatik tersebut. Ini dapat menjadi dominan, menyebabkan
perilaku impulsif tidak terkendali.
b. Biologis
Abnormalitas

dalam

penyimpanan,

pelepasan,

dan

eliminasi katekolamin mempengaruhi fungsi otak di daerah lokus
seruleus, amigdala dan hipokampus. Hipersensitivitas pada lokus
seruleus dapat menyebabkan seseorang tidak dapat belajar.
Amigdala sebagai penyimpan memori. Hipokampus menimbulkan
koheren naratif serta lokasi waktu dan ruang. Hiperaktivitas pada
amigdala dapat menghambat otak membuat hubungan perasaan
dalam memorinya sehingga menyebabkan memori disimpan dalam
bentuk mimpi buruk, kilas balik, dan gejala-gejala fisik lain.

Universitas Sumatera Utara

c. Dinamika Keluarga
Tipe pendidikan formal, kehidupan keluarga, dan gaya
hidup merupakan perkiraan yang signifikan terjadinya PTSD.
Pendidikan yang dibawah rata-rata, perilaku orangtua yang negatif,
dan kemiskinan orangtua merupakan prediktor perkembangan
PTSD (Yosep,2016).
2.3.4

Simtom-simtom Gangguan Stres Pascatrauma

1. Re-experiencing,

penderita

mengalami

kembali

peristiwa

traumatik: individu sering kali teringat pada kejadian tersebut dan
mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional
yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan
kejadian tersebut. Simtom ini tidak boleh diremehkan, karena dapat
menyebabkan simtom lainnya. Beberapa teori tentang PTSD
menjadikan simtom ini sebagai ciri utama dengan mengtribusikan
gangguan

tersebut

pada

ketidakmampuan

mengintegrasikan

kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini (Ardani,
2011).
2. Avoidance, penderita berupaya dengan tetap untuk menghindar
terhadap hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik dan
menumpulkan respon terhadap stimulus tersebut. Orang yang
bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma
atau menghadapi stimuli yang akan mengingatkannya pada

Universitas Sumatera Utara

kejadian tersebut sehingga dapat terjadi amnesia terhadap kejadian
tersebut (Ardani, 2011).
3. Negative alterations in mood and cognition, penyimpangan secara
persisten diantara lain menyalahkan diri sendiri atau orang lain,
merasa terasing dari orang lain, berkurangnya minat melakukan
aktivitas, dan ketidakmampuan untuk mengingat aspek-aspek yang
menjadi kunci dari kejadian tersebut (APA, 2013).
4. Hyperousal, meningkatnya aktivitas secara persisten, antara lain
tidak dapat tidur, mudah tersinggung atau meledak, sulit
konsentrasi,

curiga,

dan

respon

terkejut

yang

berlebihan

(Ardani,2011).
2.3.5

Kriteria Diagnostik Gangguan Stres Pascatrauma Menurut DSM V
Diagnosa

yang

menyatakan

seseorang

mengalami

gangguan stres pascatrauma diberikan oleh Dokter Spesialis Jiwa
ataupun mental health professional(National Center for PTSD,
2016).Diagnosa baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul
dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat ( masa
laten berkisar antra beberapa minggu sampai beberapa bulan,
jarang sampai melampaui 6 bulan). Namun kemungkinan diagnosis
masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat
kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja
manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif
kategori gangguan lainnya.

Universitas Sumatera Utara

Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di
atas 6 tahun:
a. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius,
atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah
ini:
1. Langsung mengalami kejadian traumatis.
2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang
lain.
3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga
dekat atau teman dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian
kematian pada keluarga atau teman, kejadian harus kekerasan
atau kecelakaan.
4. Menghadapi

paparan

berulang

atau

ekstrim

kejadian

traumatis yang tidak diinginkan. Tidak termasuk paparan
lewat media elektronik, televisi, film, atau gambar yang
berhubungan dengan pekerjaan.
b. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan
kejadian traumatis (Re-experiencing), dimulai setelah kejadian
traumatis terjadi:
1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan
menjadi ingatan yang mengganggu.
2. Mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau
mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian
traumatis.
3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku
atau berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali.
(Reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling

Universitas Sumatera Utara

ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan keberadaan
sekelilingnya).
4. Distres

psikologis

yang

terjadi

secara

intens

atau

berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol yang
berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian
atau seluruhnya secara internal atau eksternal.
5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol
yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik
sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.
c. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang
berkaitan dengan peristiwa traumatik (Avoidance), yang dialami
dan disertai dengan satu atau kedua gejala di bawah ini:
1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang
atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian
traumatis.
2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari
pengingat eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas,
objek, situasi) yang menghidupkan ingatan, pikiran, atau
perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan
dengan kejadian traumatis.
d. Perubahan negatif pada kognitif dan mood yang berhubungan
dengan kejadian traumatis (Negative alterations in mood and
cognition), diawali atau bertambah parah setelah kejadian
traumatis terjadi, yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih)
gejala di bawah ini:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian
traumatis (biasa berhubungan dengan amnesia disosiatif dan
tidak dipengaruhi faktor lain seperti cedera kepala, alkohol,
atau obat-obatan).

Universitas Sumatera Utara

2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi
tentang seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya
buruk”, “Tidak ada orang mempercayai saya”, “Dunia sangat
berbahaya”, “Seluruh sistem saraf saya tidak bekerja
permanen”).
3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil
dari

kejadian

traumatis

yang

menyebabkan

individu

menyalahkan diri sendiri atau orang lain.
4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor,
kemarahan, perasaan bersalah, rasa malu).
5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam
aktivitas
6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.
7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif
(contoh: tidak dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau
rasa sayang).
e. Perubahan yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang
berhubungan dengan kejadian traumatis (Hyperarousal), diawali
atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang
ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:
1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan
(dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan
perkataan maupun perbuatan pada orang lain atau objek
tertentu.
2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan).
4. Respon terkejut yang berlebihan.
5. Kesulitan berkonsentrasi.

Universitas Sumatera Utara

6. Gangguan tidur.
f. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari
satu bulan.
g. Gangguan menyebabkan penderitaan atau kerusakan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
h. Gangguan tidak disebabkanoleh efek fisiologis dari zat (obatobatan, alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.
Spesifikasi:


Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria
PTSD dan sebagai respon terhadap stresor, individu juga
mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah
ini:

1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang yang
bersifat subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau
tidak familiar.
2. Derealisasi:Pengalaman menetap atau berulang yang bersifat
sebjektif terhadap lingkungan yang tidak nyata.
Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak
merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum.


Dengan Ekpresi Tertunda (PTSD with delayed onset): Jika
seluruh diagnostik tidak ditemui minimal 6 bulan (walaupun
onset maupun gejala terjadi langsung) (DSM-V, 2013).

2.3.6

Gangguan Stres Pascatrauma Pada Remaja
Gangguan stres pasctrauma bisa menyerang siapa saja dan
pada semua tingkat usia. Stres pascatrauma pada anak-anak
mungkin

ada

kecenderungan

mereka

untuk

tidak

mau

mendiskusikan trauma yang dialaminya, namun kita boleh

Universitas Sumatera Utara

menginterpreyasikan sebagai bentuk ketidakmampuannya untuk
mengingat apa yang pernah dialaminya. Anak-anak cenderung mau
mengingat masa lalunya dangan melakukan tindakan yang
berulang-ulang.
Anak-anak

yang

mengalami

gangguan

pascatrauma

menunjukkan gangguan fisik lain, seperti sakit kepala dan sakit
perut. Sementara gangguan psikis ditunjukkan melalui peningkatan
emosi yang kuat. Sementara bagi remaja, tanda-tanda gangguan
stres pascatrauma adalah merasa tidak memiliki harapan, masa
depan, karier, tidak ada kesempatan untuk berumah tangga, merasa
tidak bisa memiliki anak dan gagal dalam rentang hidup normal
(Pieter, dkk., 2011).
2.3.7

Terapi Gangguan Stres Pascatrauma
a. Terapi Individu
Dengan cara mendiskusikan secara seksama pada pasien
agar mendapatkan riwayat traumatis yang akurat, mendorong klien
untuk menunjukkan pikiran dan perasaan agar menilai secara
realistis

terhadap

traumanya,

menentukan

tema-tema

yang

membuat klien mengalami distres dan mengidentifikasi rasa
bersalah

dan

ansietasnya,

mendorong

klien

untuk

bisa

mengekspresikan rasa marah dan rasa sakit akibat trauma secara
realistis, membantu klien untuk menghilangkan rasa takut dan
memori traumatisnya guna mengakhiri pengalaman stresnya,

Universitas Sumatera Utara

membantu klien untuk berupaya dalam mengubah distorsi
kognitifnya tentang trauma dan hal-hal yang terkait engan
traumatisnya.
b. Terapi Keluarga
Dengan cara membantu keluarga klien untuk dapat
memahami klien yang mengalami stres pasctrauma, membantu
keluarga untuk lebih banyak mengenal karakteristik stres
pascatrauma, mengajarkan keluarga untuk mampu melindungi
klien dari kejadian-kejadian yang bisa menimbulkan trauma baru,
mengajarkan keluarga untuk membantu klien dalam mengatasi rasa
takut, amsietas, duka cita, dan rasa bersalah. Evaluasi interaksi
keluarga, difokuskan pada metode dan pola komunikasi dan kaji
bila ada disfungsional keluarga, seperti penganiayaan dan tindakan
kekerasan keluarga. Jika bisa diakses, diinformasikan pada klien
dan keluarga tentang ketersediaan konseling dan kelompok
pendukung.
c. Terapi Obat-obatan
Dengan

pemberian

obat-obat

anti-ansietas,

seperti

diazepam (valium) dan kloadiazepoksida (librium) dan obat-obat
antidepresan, seperti obat imipramin (tofranil) dan fenelzinsulfa.

Universitas Sumatera Utara