Gambaran Gejala Gangguan Stres Pascatrauma Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung pada Remaja di Posko Pengungsian Kabanjahe Kabupaten Karo Chapter III VI

29

BAB 3
KERANGKA PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran gangguan stres pascatrauma atau Post Traumatis
Stress Disorder (PTSD) korban bencana erupsi Gunung Sinabung pada
remaja di di Posko pengungsian Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe
Kabupaten Karo. Variabel dari penelitian ini adalahgangguan stres
pascatrauma atau Post Traumatis Stress Disorder (PTSD), dengan simtom
yang sudah dipaparkan.

Simtom:

PTSD pada remaja

1. Re-experiencing
2. Avoidance
3. Negative
alterations in mood

and cognition
4. Hyperousal

Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian Post Traumatis Stress
Disorder (PTSD) pada remaja.

Keterangan:
: Variabel yang diteliti

29
Universitas Sumatera Utara

3.2 Defenisi Operasional
Tabel 3.2 Defenisi Operasional
No
1.

Variabel

Defenisi Operasioanal


Alat Ukur

Hasil Ukur

Gangguan

Kondisi yang dapat

Kuesioner Post 1.Menunjukkan

stres

dialami remaja setelah

Traumatic

simtom Re-

pascatrauma mengalami suatu


Stress

experiencing,

pada remaja

kejadian traumatis

Disorder

minimal 1

dimana dalam

(PTSD)

simtom.

penelitian ini berupa


Screening

2.Menunjukkan

bencana alam erupsi

(PCL) yang

simtom

Gunung Sinabung, yang bersumber dari

Skala
Nominal

Avoidance,

ditunjukkan dengan 4


National

minimal 1

simptom khas, yaitu:

Center for

simtom.

1) Re-experiencing,

PTSD

3.Menunjukkan

penderita mengalami

(NCPTSD)


simtom

kembali peristiwa

dengan jumlah

Negative

traumatik;

pertanyaan

alterations in

2) Avoidance, penderita

sebanyak 20

mood and


berupaya dengan tetap

item.

cognition,

untuk menghindar

Pilihan

minimal 2

terhadap hal-hal yang

jawaban :

simtom

mengingatkan pada


1 = Tidak

4.Menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

peristiwa traumatik;

Pernah

simtom

3) Negative alterations

2 = Jarang

Hyperarousal,

in mood and cognition,


3 = Kadang-

minimal 2

perubahan negatif pada

kadang

simtom.

kognitif dan mood yang

4 = Sering

(Sumber: DSM-

berhubungan dengan

5 = Selalu


V, 2013;

kejadian traumatis;

NCPTSD, 2013)

4) Hyperousal,
perubahan yang jelas
pada kewaspadaan dan
reaksi yang
berhubungan dengan
kejadian traumatis.
Diagnosa ditegakkan
bila simtom ini timbul
dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian
bencana erupsi Gunung
Sinabung.

Universitas Sumatera Utara


32

BAB 4
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang
bertujuan untuk menggambarkan gangguan stres pascatrauma korban
bencana erupsi Gunung Sinabung pada remaja di Posko Gedung
GBKPSimpang VI Kabanjahe dengan asal pengungsi dari Desa Sigaranggarang Kabupaten Karo .
4.2 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
4.2.1

Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja korban

bencana erupsi Gunung Sinabung di Posko Gedung GBKPSimpang VI
Kabanjahe, sesuai dengan teori Wong (2008) yang mengatakan bahwa
istilah masa belasan tahun digunakan sebagai sinonim dengan masa remaja
untuk menggambarkan usia 13 sampai 19 tahun. Remaja dengan usia 1319 tahun yang berada di Posko Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe
berjumlah 65 orang.Data didapatkan dari Kepala Posko Gedung
GBKPSimpang VI Kabanjahe dengan asal pengungsi dari Desa Sigaranggarang Kabupaten Karo .
4.2.2

Sampel
Besarnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

seluruh dari populasi, yaitu sebanyak 65 orang.

32
Universitas Sumatera Utara

33

4.2.3

Teknik Sampling
Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik

sampling jenuh atau total sampling, dimana

semua anggota populasi

digunakan menjadi sampel. Hal ini dilakukan karena jumlah populasi
relatif kecil (Setiadi, 2007).Kriteria inklusi dalam penentuan sampel
adalah:
a. Remaja dengan usia 13-19 tahun (Wong, 2008)
b. Berada di Posko Pengungsian Gedung GBKPSimpang VI
Kabanjahe
c. Belum menikah
d. Dapat berbahasa Indonesia
e. Dapat membaca dan menulis
f. Bersedia menjadi responden
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.3.1

Lokasi Penelitian
Tempat

penelitian

ini

dilaksanakan

di

Posko

Gedung

GBKPSimpang VI Kabanjahedengan asal pengungsi dari Desa Sigaranggarang, Posko ini berada di Kabanjahe Kabupaten Karo dengan letak
koordinat 3o12’30’’LU dan 98o22’30’’ LS. Posko pengungsian ini berjarak
sekitar 40 km dari Kota Medan. Untuk menuju ke lokasi penelitian
dibutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan menggunakan kendaraan
darat. Alasan pemilihan lokasi karena Desa Sigarang-garang ini
merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak terbesar dari bencana

Universitas Sumatera Utara

34

erupsi Gunung Sinabung karena jarak yang cukup dekat dengan kaki
Gunung Sinabung yaitu sekitar 2,7 km, dan belum pernah dilakukan
penelitian tentang gangguan stres pascatrauma

pada remaja di desa

tersebut.

4.3.2

Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai

dengan bulan Juli 2017. Pengumpulan data dilakukan pada bulan April
sampai dengan bulan Mei 2017.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji
dan peneliti mendapatkan izin dari institusi pendidikan dan Komisi Etik
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya peniliti
mengajukan surat permohonan untuk mendapatkan izin dari Kepala Posko
Gedung GBKPSimpang VI Kabanjahe.
Pada pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu memperkenalkan
diri, kemudian menjelaskan maksud, tujuan dan prosedur penelitian
kepada responden. Apabila responden setuju maka responden diminta
untuk menandatangani lembar persetujuan (Informed Consent) yang telah
disediakan oleh peneliti . Bila responden tidak bersedia atau menolak
untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati
hak responden(Autonomy).

Universitas Sumatera Utara

35

Untuk menjaga kerahasian responden tersebut (Confidentiality),
maka peneliti tidak mencamtumkan namanya pada lembar pengumpulan
data (Anonymity), melainkan cukup dengan memberikan nomor kode
responden pada masing – masing lembar pengumpulan data tersebut.
Kerahasiaan informasi dari responden dijamin oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dijadikan atau dilaporkan sebagai hasil
penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian
Intrumen peneliatian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari 2 bagian, yaitu: kuesioner data demografi dan kuesioner tanda dan
gejala gangguan stres pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD).
Kuesioner demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, status keluarga berupa ada tidaknya orang tua, jumlah saudara,
pekerjaan orang tua, dan suku.
Kuesioner yang mengukur tanda dan gejala gangguan stres
pasctrauma yang digunakan peneliti dalam penelitian ini merupakan
instrumen Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)Screening (PCL) yang
bersumber dari National Center for PTSD (NCPTSD), dimana kuesioner
diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam Bahasa Indonesia. Kuesioner
terdiri dari 20 pertanyaan yang terdiri dari 4 kelompok. Pertanyaan nomor
1-5 merupakan kelompok simtom re-experiencing, pertanyaan nomor 6-7
merupakan kelompok simtom avoidance, pertanyaan nomor 8-14

Universitas Sumatera Utara

36

merupakan kelompok simtom negative alterations in mood and cognition,
dan pertanyaan 15-20 merupakan kelompok hyperarousal. Dalam
penentuan skoring diberi pilihan jawaban Selalu (SL) = 5, Sering (SR) = 4,
Kadang-kadang (KD) = 3, Jarang (JR) = 2, Tidak Pernah (TP) = 1.
Jawaban responden untuk kategori 3-5 dianggap memiliki salah satu
simtom PTSD, sedangkan jawaban untuk kategori 1-2 dianggap tidak
memiliki salah satu simtom PTSD, dengan mengikuti ketentuan kriteria
diagnostik PTSD dari DSM-V-TR:
-

Minimal memiliki 1 simtom re-experiencing (pertanyaan 1-5)

-

Minimal memiliki 1 simtom avoidance (pertanyaan 6-7)

-

Minimal memiliki 2 simtom negative alterations in mood and
cognition (pertanyaan 8-14)

-

Minimal memiliki 2 simtom hyperarousal (pertanyaan 15-20).

4.6 Uji Validitas dan Reabilitas
4.6.1

Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah kuesioner yang

kita susun tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur menurut
situasi dan kondisi tertentu (Notoadmodjo, 2012). Kuesioner yang
digunakan pada penelitian ini merupakan instrumen Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) Screening (PCL) yang bersumber dari National Center
for PTSD (NCPTSD), dimana sebelumnya telah dilakukan uji validitas
dengan nilai CVI 0,96. Kemudian untuk menyesuaikan dengan kejadian
yang akan diteliti, beberapa pertanyaan dari kuesioner disusun kembali

Universitas Sumatera Utara

37

dengan bahasa yang lebih efektif untuk memudahkan responden. Untuk itu
peneliti perlu untuk melakukan uji validitas kembali pada kuesioner ini.
Uji validitas penelitian ini dilakukan dengan menggunakan content
validity index, yakni sejauh mana instrumen penelitian memuat rumusanrumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Uji
validitas dilakukan dengan cara mengkoreksi instrumen dan dilakukan
penilaian oleh satu orang tenaga ahli yang berkompeten dari bagian
Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara,
yaitu Roxsana Devi T, S.Kep, Ns, Mnurs. Berdasarkan uji validitas
tersebut, kuesioner disusun kembali menjadi bahasa yang lebih efektif
untuk mempermudah responden untuk memahami kalimat yang berada di
instrumen dengan item-item pertanyaan yang mengukur sasaran yang
ingin diukur sesuai dengan tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Setelah
dilakukan uji validitas maka didapatkan nilai CVI 1. Hal ini berarti
instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini telah valid.Ini
dibuktikan berdasarakan teori, nilai validitas untuk CVI adalah 0,86 – 1
(Polit & Beck, 2012).
4.6.2

Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas instrumen bertujuan untuk mengetahui seberapa

besar derajat atau kemampuan alat ukur. Mengetahui sejauh mana suatu
alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan untuk digunakan sebagai
alat pengumpul data. Suatu alat ukur dapat disebut mempunyai reliabilitas
tinggi atau dipercaya, jika alat ukur itu mantap, dalam pengertian bahwa

Universitas Sumatera Utara

38

alat ukur tersebut stabil, dan dapat diandalkan. Alat

ukur dinyatakan

reliabel apabila dilakukan uji reliabilitas dan diperoleh nilai cronbach’s
alpha >0,60 (Polit & Beck, 2012).
Instrumen PTSD Screening (PCL) telah reliabel dengan nilai 0,96
(Orsillo, 2002). Namun perlu kembali dilakukan uji reliabilitas dengan
menggunakan

rumus

Crombach

Alpha

dengan

analisa

program

komputerisasi karena telah dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan penelitian. Dalam penelitian ini uji reliabilitas
dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada 20 remaja yang memiliki
kriteria yang sama dengan sampel penelitian namun ditempat berbeda.
Peneliti memilih tempat pengungsian korban bencana erupsi Gunung
Sinabung yang berada di Kabanjahe untuk melakukan uji reliabilitas. Uji
realiabilitas ini dilakukan pada Maret 2017. Kemudian jawaban dari
responden diolah dengan menggunakan bantuan komputerisasi dan
diperoleh nilai cronbach’s alpha 0,875. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kuesioner tanda dan gejala PTSD yang digunakan
dalam penelitian ini adalah reliabel.
4.7 Pengumpulan Data
Penelitian ini dimulai setelah peneliti mendapatkan izin dari
institusi pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara. Selanjutnya peniliti mengajukan surat permohonan untuk
mendapatkan izin dalam pengambilan data dari kantor Camat Desa
Sigarang-garang Kabupaten Karo. Lalu dilanjutkan dengan permohonan

Universitas Sumatera Utara

39

izin kepada Kepala Posko Gedung GBKPSimpang VI Kabanjahe. Setelah
mendapat persetujuan, peneliti menentukan calon responden yang sesuai
dengan kriteria yang sebelumnya telah ditetapkan.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner
penelitian kepada responden dan diisi sendiri oleh responden dengan
didampingi oleh peneliti. Peneliti dibantu oleh 4 orang asisten peneliti,
dimana sebelumnya sudah dijelaskan mengenai tujuan, prosedur
pelaksanaan, cara pengisian dan waktu dalam pengisian kuesioner.
Pengumpulan data dilakukan pada remaja yang ada di Posko
pengungsian dengan bantuan Kepala Posko, dengan cara mengumpulkan
remaja yang ada dalam Posko. Responden dipersilahkan duduk
menyesuaikan dengan kondisi Posko. Kemudian, peneliti memperkenalkan
diri dan memberi penjelasan kepada remaja sebagai calon responden
mengenai tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan penelitian, dan cara
pengisian kuesioner. Remaja yang bersedia diminta untuk menandatangani
lembar

persetujuan

(informed

consent).

Peneliti

mempersilahkan

responden untuk bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti terkait
dengan pengisian kuesioner maupun isi dari pertanyaan. Setiap responden
diberikan waktu 50 menit untuk mengisi lembar kuesioner. Setelah terisi,
kuesioner dikumpul dan diperiksa kelengkapannya oleh peneliti.
4.8 Analisa Data
Setelah data terkumpul, peneliti melakukan analisa data melalui
beberapa tahap, yaitu editing memeriksa kelengkapan kuisioner yang telah

Universitas Sumatera Utara

40

diisi oleh responden dengan maksud untuk memeriksa apakah kuesioner
telah diisi sesuai dengan petunjuk. Selanjutnya data diperiksa secara
manual untuk menentukan data yang memenuhi skriteria diagnostik PTSD
dari DSM-V, yaitu minimal memiliki 1 simtom re-experiencing, minimal
memiliki 1 simtom avoidance, minimal memiliki 2 simtom negative
alterations in mood and cognition, minimal memiliki 2 simtom
hyperarousal. Kemudian diberikan kode tertentu untuk mempermudah
waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Pengolahan data dilakukan
dengan tehnik komputerisasi yaitu dengan menggunakan entri data dan
teknis analisis deskriptif.
Untuk menggambarkan dan menjelaskan statistik dari variabel
dalam penelitian ini digunakan metode statistik univariat atau analisis
deskriptif. Selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
dan presentase data demografi dan data gambaran gangguan stres
pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada remaja.

Universitas Sumatera Utara

41

Universitas Sumatera Utara

41

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
gambaran gejala gangguan stres pascatrauma korban bencana erupsi
Gunung Sinabung pada remaja di Posko pengungsian Kabanjahe
Kabupaten Karo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai
dengan Mei 2017 dengan jumlah responden 65 remaja yang berada di
Posko Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe. Penyajian hasil analisa data
dalam penelitian ini meliputi data demografi dan gambaran gejala
gangguan stres pascatrauma pada remaja di Posko Gedung GBKP
Simpang VI Kabanjahe dengan asal pengungsi dari Desa Sigarang-garang.

5.1.1

Karakteristik Responden
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah

remaja berusia 13-16 tahun yaitu sebanyak 42 orang (64,6%), dengan jenis
kelamin perempuan sebanyak 39 orang (60%) dan tingkat pendidikan
SMA/SMK, yaitu 34 orang (52,3%). Latar belakang pekerjaan orangtua
responden mayoritas adalah petani, sebanyak 62 orang (95,4%) dengan
kondisi rumah yang dahulu ditempati sudah rusak atau tidak dapat
ditempati sebanyak 40 orang responden (61,5%). Hasil penelitian tentang
karakteristik demografi responden lebih jelas dapat dilihat pada tabel 5.1.

41

Universitas Sumatera Utara

42

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan data demografi remaja di
Posko Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe (n=65)

Data Demografi

Frekuensi
(f)

Persentase
(%)

Usia
13-16 tahun
17-19 tahun

42
23

64,6
35,4

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

26
39

40
60

Agama
Islam
Kristen
Katolik

36
26
3

55,4
40
4,6

Pendidikan
SD
SMP
SMA/SMK

4
27
34

6,2
41,5
52,3

Status Orangtua
Masih hidup
Sudah meninggal

64
1

98,5
1,5

Pekerjaan Orangtua
PNS
Petani
Wiraswasta

1
62
2

1,5
95,4
3,1

Jumlah Saudara
1-3 orang
4-7 orang
8-11 orang

25
38
2

38,5
58,4
3,1

Universitas Sumatera Utara

43

Kondisi Rumah
Masih utuh
Sudah rusak / tidak
dapat ditempati
Suku
Batak
Jawa

5.1.2

25
40

38,5
61,5

62
3

95,4
4,6

Gambaran Gejala Gangguan Stres Pascatrauma pada Remaja di
Posko Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe

Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami keempat
gejala gangguan stres pascatrauma bencana erupsi Gunung Sinabung sebanyak
40 orang (61,5%), sedangkan remaja yang tidak mengalami keempat gejala
gangguan stres pascatrauma sebanyak 25 orang (38,5%). Hasil penelitian
tentang gambaran gejala gangguan stres pascatrauma pada remaja di Posko
Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Distribusi frekuensi dan persentase gambaran gejala gangguan stres
pascatrauma pada remaja di Posko Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe
(n=65)
Gambaran Gejala PTSD pada remaja di
Posko Gedung GBKP Simpang VI
Kabanjahe
Mengalami semua gejala PTSD

Frekuensi

Persentase

(f)

(%)

40

61,5

Tidak mengalami semua gejala PTSD

25

38,5

Total

65

100

Berdasarkan pengelompokan gejala tanda dan gejala, ditemukan 92,3%
responden mengalami gejala re-experiencing, 84,6% mengalami gejala
hyperarousal, 83,1% gejala negative alterations in mood and cognition, dan

Universitas Sumatera Utara

44

72,3% dengan gejala avoidance.Hasil penelitian tentang tanda dan gejala
gangguan stres pascatrauma pada remaja di Posko Gedung GBKP Simpang VI
Kabanjahe dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dan persentase tanda dan gejala gangguan
stres pascatraumapada remaja di Posko Gedung GBKP Simpang VI
Kabanjahe (n=65)
Mengalami
Tanda dan Gejala

Tidak Mengalami

Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
(f)

(%)

(f)

(%)

Re-experiencing

60

92,3

5

7,7

Avoidance

47

72,3

18

27,7

Negative alterations in

54

83,1

11

16,9

55

84,6

10

15,4

mood and cognition
Hyperarousal

Berdasarkan pengelompokan keempat gejala gangguan stres pascatrauma,
ditemukan mayoritas responden yang mengalami gejala gangguan stres
pascatrauma berusia 13-16 tahun, yaitu sebanyak 63,3% mengalami gejala reexperiencing dan 61,5% mengalami gejala hyperarousal. Responden
terbanyak yang mengalami gejala adalah berjenis kelamin perempuan, yaitu
sebanyak 58,3% mengalami gejala re-experiencing dan 58,2% mengalami
gejala hyperarousal. Hasil penelitian tentang tanda dan gejala gangguan stres
pascatrauma berdasarkan karakteristik respondenremaja di Posko Gedung
GBKP Simpang VI Kabanjahe dapat dilihat pada tabel 5.4.

Universitas Sumatera Utara

45

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi dan persentase tanda dan gejala gangguan stres
pascatrauma berdasarkan karakteristik respondenremaja di Posko Gedung
GBKP Simpang VI Kabanjahe.
Re-experiencing

Avoidance

Negative alterations

Data

in mood and

Demografi

cognition

Hyperarousal

(f)

(%)

(f)

(%)

(f)

(%)

(f)

(%)

13-16 tahun

38

63,3

29

61,7

34

63

34

61,8

17-19 tahun

22

36,7

18

38,3

20

37

21

38,2

Laki-laki

25

41,7

19

40,4

20

37

23

41,8

Perempuan

35

58,3

28

59,6

34

64

32

58,2

Usia

Jenis Kelamin

5.2 Pembahasan
5.2.1

Gambaran Gejala Gangguan Stres Pascatrauma Berdasarkan
Karakteristik Demografi Remaja di Posko Gedung GBKP Simpang
VI Kabanjahe

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebanyak
61,5% remaja di Posko Gedung GBKB Simpang VI Kabanjahe mengalami
keempat tanda dan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Jika dilihat
dari data demografi, mayoritas responden yang mengalami tanda dan
gejalaPost Traumatic Stress Disorder (PTSD) berada pada rentang usia 13-16
tahun. Rentang usia ini dikategorikan sebagai awal dari masa remaja. Dimana
masa remaja merupakan segmen

kehidupan yang penting dalam siklus

Universitas Sumatera Utara

46

perkembangan individu dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan
pada perkembangan masa dewasa yang sehat (Yusuf,2014).
Remaja dan perkembangannya memiliki tugas yang harus diselesaikan
dengan sebaik-baiknya agar mampu secara optimal memasuki tahap
perkembangan selanjutnya (Hurlock,1980), adapun yaitu: mencapai hubungan
baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita,
mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan
menggunakannya secara efektif, mencapai kemandirian emosional dari
orangtua dan orang-orang dewasa lainnya, mencapai jaminan kebebasan
ekonomis, memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan, persiapan untuk
memasuki kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan intelektual
dan konsep yang penting untuk kompetensi kewarganegaraan, mencapai dan
mengharapkan tingkah laku sosial yang bertanggung jawab, dan memperoleh
himpunan nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku.
Perkembangan psikis remaja merupan salah satu faktor yang membantu
tugas perkembangan pada masa remaja. Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) merupakan masalah psikis yang dapat mempengaruhi tugas
perkembangan remaja di PoskoGedung GBKP Simpang VI Kabanjahe. Oleh
karena itu dibutuhkan penanganan yang cukup serius untuk menghindari
kegagalan remaja di posko ini dalam menjalankan tugas perkembangan pada
masanya menuju perkembangan masa dewasa yang lebih sehat.
Responden perempuan adalah yang terbanyak yang mengalami tanda dan
gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dibandingkan dengan laki-laki.

Universitas Sumatera Utara

47

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh National Institute of
Mental Health (NIMH) pada tahun 2010 yang mengemukakan bahwa
prevalensi terjadinya PTSD lebih tinggi pada populasi perempuan, yaitu
berkisar 10-12% sedangkan laki-laki berkisar 5-6%. Jenis kelamin berperan
terhadap terjadinya gangguan psikologis. menurut penelitian yang dilakuakan
oleh Wang (2007) ada perbedaan respon antara laki-laki dan perempuan saat
menghadapi konflik. Otak perempuan memiliki kewaspadaan yang negatif
terhadap adanya konflik dan stres, pada perempuan konflik memicu
memunculkan stres, gelisah, dan rasa takut. Sedangkan laki-laki umumnya
menikmati adanya konflik dan persaingan, bahkan menganggap bahwa konflik
dapat memberikan dorongan yang positif. Dengan kata lain, ketika perempuan
mendapat tekanan, maka umumnya akan lebih mudah mengalami gangguan
psikologis. oleh karena itu responden perempuan lebih banyak yang terkena
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam penelitian ini. Pendapat lain
dari Lubis (2012) mengatakan remaja perempuan beresiko lebih besar
dikarenakan keberadaan mereka masih dibawah resiko dan ancaman yang
membahayakan kelangsungan hidupnya, tingkat ketergantungan yang tinggi
terhadap orang dewasa, belum memiliki banyak pengalaman hidup serta
kemampuan untuk melindungi diri sendiri masih terbatas dan mereka tidak
dalam posisi yang dapat mengambil keputusan atas dirinya sendiri.
Mayoritas pekerjaan orangtua remaja di Posko Pengungsian adalah petani,
yaitu sebanyak 95,4%, dengan memiliki jumlah saudara rata-rata 4-7 orang
sebanyak 58,4%. Ini sesuai dengan salah satu teori penyebab Post Traumatic

Universitas Sumatera Utara

48

Stress Disorder (PTSD), yaitu dinamika keluarga. Dimana tipe pendidikan
formal, kehidupan keluarga, dan gaya hidup merupakan perkiraan yang
signifikan terjadi,nya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Pendidikan
yang dibawah rata-rata, perilaku orangtua yang negatif, dan kemiskinan
orangtua merupakan prediktor perkembangan Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) (Yosep,2016).
Pekerjaan orangtua yang hanya seorang petani dan lingkungan keluarga
yang berada cukup jauh dari perkotaan menyebabkan kurangnya pengetahuan
orangtua tentang permasalahan psikologi yang dialami remaja. Sementara bagi
remaja yang mengalami gangguan stres pascatrauama, peran orangtua atau
keluarga sangat penting untuk proses pemulihan. Selain itu, bencana erupsi
Gunung Sinabung yang sampai sekarang masih tetap terjadi menyebabkan
perekonomian disekitar Gunung Sinabung jauh menurun. Para petani, yang
tidak lain adalah orangtua remaja

yang mengalami gangguan stres

pascatrauma banyak mengalami kerugian dari hasil pertanian yang terkena
dampak erupsi Gunung Sinabung. Ekonomi yang sulit merupakan salah satu
prediktor berkembangnya gangguan stres pascatrauma.
Data penelitian menunjukkan mayoritas responden yang mengalami tanda
dan gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) memiliki rumah yang
sudah rusak atau sudah tidak dapat ditempati lagi, sehingga mengharuskan
mereka tinggal di posko sampai waktu yang belum dapat ditentukan. Ada
kemungkinan kondisi ini mempengaruhi Post Traumatic Stress Disorder
(PTSD) yang dialami oleh remaja Posko. Lingkungan merupakan salah satu

Universitas Sumatera Utara

49

faktor

yang

mempengaruhi

remaja

dalam

menjalankan

tugas

perkembangannya. Dimana lingkungan sosial membentuk sistem pergaulan
yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang. Remaja
yang berada di Posko tersebut dituntut harus mampu beradaptasi dengan
lingkungan baru yang berbeda dengan rumah mereka dahulu. Mereka harus
mampu berbagi tempat tidur dengan orang lain dalam satu ruangan,dimana
kita ketahui remaja sangat membutuhkan ruang privasi untuk urusan pribadi
mereka. Mereka harus makan dengan makanan yang tersedia tanpa
memikirkan nilai gizi yang dibutuhkannya. Kebutuhan rasa aman dan nyaman
juga kurang terjamin, dikarenakan Gunung Sinabung masih saja mengalami
erupsi sampai saat ini.
5.2.2

Tanda dan Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada
Individu

Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 61,5% remaja di Posko
Pengungsian Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe memenuhi kriteria
diagnostik PTSD. Hal isi sesuai dengan yang dikemukakan oleh American
Psychiatric Association (APA) dan Sadock & Sadock (2007) bahwa gejala
PTSD dapat muncul 6 bulan pertama setelah peristiwa trauma dan dapat juga
bersifat delay yaitu muncul bertahun-tahun setelah peristiwa trauma. Gejalagejala dari gangguan relatif didominasi oleh gejala seperti mengalami kembali
peristiwa traumatik (re-experiencing), gejala menghindar (avoidance),
perubahan negatif pada kognitif dan mood yang berhubungan dengan kejadian
traumatis (negative alterations in mood and cognition), dan gejala

Universitas Sumatera Utara

50

hiperarousal (hyperarousal) yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu.
Reaktivasi gejala tersebut dapat terjadi sebagai respon terhadap adanya
pengingat (reminders) terhadap trauma yang dialami, kehidupan yang penuh
tekanan atau individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan
mengingatkan dia pada peristiwa traumatis di masa lalunya.
Dari keempat

pengelompokkan tanda dan gejala tersebut didapatkan

sebanyak 92,3% penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dengan
tanda dan gejala re-experiencing

dan juga gejala hyperarousal sebanyak

84,6%. Menurut APA (2000), individu memiliki gejala kecemasan yang
persisten atau meningkat yang tidak ada sebelum trauma.Gejala reexperiencing ini dapat seperti penderita mengalami kembali peristiwa
traumatik tersebut, individu sering kali teringat pada kejadian tersebut dan
mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang
mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut.
Beberapa teori tentang PTSD menjadikan simtom ini sebagai ciri utama
dengan

mengtribusikan

gangguan

tersebut

pada

ketidakmampuan

mengintegrasikan kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini
(Ardani,2011).
Bradshaw (2008) menjelaskan pada penelitiannya bahwa hanya sebagian
kecil dari otak yang menampung pembicaraan serta pemahaman kata,
sedangkan sebagian lain dari otak justru lebih banyak merespon gejala panik,
flashback, respon terkejut serta perasaan kaku di leher dan tenggorokan.
Perasaan-perasaan tersebut sulit dijelaskan dalam bentuk kata-kata. Peristiwa

Universitas Sumatera Utara

51

traumatis mengirim sinyal pada amygdala yang direspon dengan persepsi
adanya ancaman (Fernandez& Solomom, 2001). Pengaktifan amygdala
meningkatkan ingatan yang dimediasi oleh hippocampus. Peningkatan yang
ekstrim mengganggu fungsi hippocampal (bagian otak yang menyimpan
ingatan). Peningkatan yang berlebihan di amygdala menyebabkan respon
emosional dan impresi sensorik yang terjadi karena berdasarkan penggalan
informasi, daripada persepsi yang utuh pada objek. Ingatan dari peristiwa
traumatis ini kemudian disimpan namun tidak diintegrasikan ke dalam ingatan
semantik. Oleh sebab itu, informasi disimpan pada bentuk keadaan yang
spesifik

serta

(Fernandez&

tidak

dapat

Solomom,

sepenuhnya

2001).

diproses

Peningkatan

dan

diintegrasikan

tersebut

menyebabkan

terganggunya integrasi pemrosesan informasi. Ini merupakan penyebab
mengapa seseorang yang terdiagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)
kerap kali mengalami gejala re-experiencing.
Gejala re-experiencing dimanifestasikan menjadi seperti 1) kejadian
traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang
mengganggu, 2) mimpi distres yang berulang yang mana isinya dan/atau
mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis, 3) reaksi
disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau berperasaan seolah
kejadian traumatis terjadi kembali (reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan
ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan keberadaan
sekelilingnya), 4) distres psikologis yang terjadi secara intens atau
berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan

Universitas Sumatera Utara

52

dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara
internal atau eksternal, 5) reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau
simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau
seluruhnya secara internal atau eksternal.
Dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan, responden
mengalami

gejala

berupa

sering

mengalami

kembali

ingatan

yang

mengganggu tentang erupsi Gunung Sinabung secara berkali-kali 23,1%,
sering mengalami mimpi tentang eruspi Gunung Sinabung sehingga
menimbulkan stres 10,8%, sering mengalami seakan-akan kejadian yang
menimbulkan stres tersebut muncul kembali 12,3%, merasa selalu tersinggung
jika ada yang mengingatkan kembali pada kejadian erupsi Gunung Sinabung
30,8%, dan selalu merasakan keluhan fisik yang menggangu jika mengingat
kembali kejadian erupsi Gunung Sinabung 21,5%. Ini menunjukkan responden
masih belum mampu mengintegrasikan kejadian traumatik yang dialami
berupa erupsi Gunung Sinabung kedalam skema kehidupan yang dijalani pada
saat ini.
Gejala hyperarousal dapat bermanifestasi sebagai kesulitan untuk
memulai tidur atau mempertahankannya akibat mimpi buruk berulang
mengenai peristiwa traumatik, hypervigilance atau sikap waspada berlebihan.
Individu yang telah mengalami trauma akan bersikap waspada terhadap
memori yang mengganggu. Mereka juga cenderung berhati-hati untuk
memastikan bahwa cedera lebih lanjut tidak terjadi. Hypervigilance
ditunjukkan sebagai perasaan rentan, takut kehilangan akan sesuatu hal, tidak

Universitas Sumatera Utara

53

dapat merasa tenang di tempat-tempat yang aman, ketakutan terhadap
pengulangan kejadian, selalu mengantisipasi bencana, menjadi overprotective
atau overcontrolling. Gejala hyperarousal juga dimanifestasikan dengan
adanya peningkatan respon kejut yang berlebihan, iritabilitas atau ledakan
kemarahan serta sulit berkonsentrasi atau menyelesaikan tugas-tugas. Adapun
gejala yang sering ditemukan antar lain 1) perilaku sembrono atau merusak
diri sendiri, 2) respon terkejut yang berlebihan, 3) kesulitan berkonsentrasi, 4)
gangguan tidur.
Gejala-gejala PTSD bisa hilang timbul sepanjang hidup penderita,
sehingga dapat mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Giacco, dkk (2013) menyatakan bahwa
gangguan PTSD berkaitan erat dengan penurunan kualitas hidup seseorang.
Analisis hasil penelitian terhadap pengaruh ketiga kelompok gejala PTSD
terhadap perubahan kualitas hidup menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan antara perubahan gejala hyperarousal dengan perubahan kualitas
hidup. Hubungan antara gejala hyperarousal dan kualitas hidup menunjukkan
hubungan yang berkesinambungan. Ini artinya penurunan gejala hyperarousal
dapat mengakibatkan peningkatan kualitas hidup, begitu juga sebaliknya.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, responden mengalami gejala
berupa selalu mudah merasa tersinggung marah atau bertindak agresif
semenjak erupsi Gunung Sinabung 24,6%, selalu melakukan hal –hal yang
dapat menyebabkan bahaya pada diri sendiri 10,8%, sering sulit memulai tidur
atau sering terjaga di malam hari 10,8%, merasa selalu sulit berkonsentrasi

Universitas Sumatera Utara

54

27,7%, selalu waspada secara berlebihan 15,4%, dan merasa selalu gugup atau
gampang merasa khawatir 23,1%.
Remaja yang terdiagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) di
Posko Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe dengan mengalami gejala
terbanyak berupa re-experiencing dan hyperarousal. Ada beberapa faktor
yang menjadi penyebab mengapa gejala ini masih saja dialami oleh remaja di
Posko Gedung GBKB Simpang VI Kabanjahe, salah satunya adalah belum
ada penanganan yang dilakukan dari tenaga kesehatan terkait dengan
permasalahan psikologis yang dialami remaja di Posko Gedung GBKP
Simpang VI Kabanjahe. Kita ketahui, penanganan dari masalah psikologis
berupa Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang paling penting adalah
berupa terapi, baik itu individu ataupun dengan bantuan keluarga. Namun
sampai saat ini, remaja belum ada mendapatkan treatment dari tenaga
kesehatan untuk permasalahan psikologis yang mereka alami. Selain itu, status
Gunung Sinabung yang sampai sekarang masih sering mengalami erupsi
memperparah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dialami remaja
tersebut, sehingga gejala-gejala tersebut makin sering dialami. Erupsi Gunung
Sinabung yang tidak dapat ditebak menjadikan mereka harus lebih lama lagi
tinggal di Posko, ini menyebabkan bertambahnya beban psikologis yang
dialami remaja di Posko Pengungsian Gedung GBKP Simpang VI Kabanjahe.

Universitas Sumatera Utara

55

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Setelah dilakukan penelitian dengan judul gangguan stres pascatrauma
korban bencana erupsi Gunung Sinabung pada remaja di Posko pengungsian
Kabanjahe Kabupaten Karo pada tahun 2017 penulis dapat mengambil
kesimpulan sebagai berikut :
6.1.1

Diketahui dari karakteristik responden mayoritas berusia 13-16
tahun, berjenis kelamin perempuan, dengan tingkat pendidikan
SMA/SMK. Latar belakang pekerjaan orangtua adalah petani,
dengan kondisi rumah yang dahulu ditempati sudah rusak atau
tidak dapat dihuni.

6.1.2

Remaja pada umumnya mengalami tanda dan gejala serta
memenuhi kriteria diagnostik gangguan stres pascatrauma bencana
erupsi Gunung Sinabung, dengan jumlah data sebanyak 61,5%.

6.1.3

Dilihat dari pengelompokan tanda dan gejala, didominasi oleh
gejala re-experiencing sebanyak 92,3%dan hyperarousal sebanyak
84,6%. Responden yang mengalami gejala tersebut mayoritas
berusia 13-16 tahun dan berjenis kelamin perempuan.

6.2 Saran
6.2.1

Praktik Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

maupun wawasan tentang pelaksanaan standar asuhan keperawatan untuk
mendukung upaya dalam peningkatan kesehatan psikologis khususnya

55

Universitas Sumatera Utara

56

pada remaja yang mengalami gangguan stres pascatrauma. Diharapkan
perawat berkomitmen memberikan dukungan psikologis awal pasca
bencana secara berkelanjutan terutama pada kelompok usia anak dan
remaja. Hal ini penting untuk mencegah anak mengembangkan gangguan
psikologis menjadi lebih berat sehingga proses pertumbuhan dan
perkembangan tetap berlangsung dengan baik.
6.2.2

Pendidikan Keperawatan

Melalui institusi pendidikan penting untuk memberikan materi tentang
tindakan-tindakan psikososial yang dapat dilakukan oleh peserta didik
kepada penyintas bencana alam untuk meminimalkan gangguan psikologis
mengingat wilayah Indonesia termasuk wilayah yang rawan terjadinya
bencana alam. Materi ini dapat diberikan melalui perkuliahan elektif
Nursing Disaster.
6.2.3

Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi peneliti
yang ingin melakukan penelitian dalam ruang lingkup yang sama atau
terhadap gangguan psikologis lainnya. Penggunaan instrumen penelitian
bisa menggunakan instrumen yang sudah ada ataupun bisa menggunakan
instrumen

lain

yang

mengakomodasi

kriteria

PTSD

dengan

mempertimbangkan tahap perkembangan.

Universitas Sumatera Utara